Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. TANAMAN TOMAT
1. Klasifikasi dan ciri morfologi
Menurut Lawrence (1951: 354, 370, 438, 676, & 693), Backer dan
Backhuizen van den Brink, Jr. (1965: 476--477) serta Heywood (1974: 15)
tanaman tomat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Superorder : Asteridae
Order
: Polemoniales
Family
: Solanaceae
Genus
: Lycopersicon
Species
2. Varietas Opal
Tanaman tomat varietas Opal merupakan salah satu varietas yang
dihasilkan oleh Departemen Pertanian. Varietas tersebut memiliki bentuk
buah lonjong, berat buah 25--27 g, rasa manis agak asam, dan toleran
terhadap penyakit layu bakteri. Polinasi pada tomat varietas Opal dapat
terjadi sendiri (self pollination). Secara genetis, varietas Opal cocok ditanam
di dataran tinggi dengan potensi daya hasil 30--50 ton/ha. Keunggulan
varietas tersebut adalah umur panen yang pendek (58--61 hari) dan daya
simpan buah hingga 9 hari (Litbang Hortikultura 2006: 8).
3. Faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi produktivitas tanaman tomat
Terdapat tiga faktor lingkungan utama yang memengaruhi
produktivitas tanaman tomat, yaitu ketinggian tempat, suhu, dan kelembapan
udara. Ketiga faktor tersebut mengatur sejumlah proses pertumbuhan
dan perkembangan hingga terjadinya polinasi, fertilisasi, serta pembentukan
buah dan biji (Moore & Janick 1983: 52).
Tanaman tomat dapat tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian
200-- 500 m di atas permukaan laut, tetapi biasanya tumbuh lebih baik di
dataran tinggi (> 900 m dpl) (Supriati dkk. 2008: 12). Relf dkk. (2004: 428)
menyatakan bahwa titik kritis pada pembentukan buah tomat adalah suhu
malam hari. Kisaran suhu malam hari yang optimal untuk tanaman tomat
adalah 15 -- 20o C. Suhu malam hari yang rendah (< 13o C) akan
menurunkan produksi dan viabilitas polen, sedangkan suhu tinggi (> 32o C)
bersamaan dengan kelembapan yang rendah disertai angin kering, dapat
menghambat polinasi dan fertilisasi sehingga buah tidak dapat terbentuk.
Sebaliknya kelembapan udara yang tinggi akan menyebabkan tanaman
tomat banyak diserang penyakit busuk daun. Kelembapan relatif yang
optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat adalah 80%
(Relf dkk. 2004: 428).
4. Manfaat
Buah tomat kaya vitamin, mineral, dan asam organik sehingga sangat
berguna bagi kesehatan tubuh manusia (Garg dkk. 2006: 275). Buah tomat
mengandung alkaloid solanin (0,007%), saponin, asam folat, asam malat,
asam sitrat, bioflavonoid, protein, lemak, gula (glukosa, fruktosa), adenin,
trigonelin, kholin, tomatin, mineral (Ca, Mg, P, K, Na, Fe, S, Cl), dan vitamin
(B1, B2, B6, C, E, likopen, niasin) (Cox 2000: 3).
Buah tomat dapat dikonsumsi segar misalnya untuk campuran salad
atau sebagai buah-buahan pencuci mulut. Tomat untuk konsumsi segar
dipilih yang berwarna kemerahan dan masak secara alami. Buah tomat
juga dapat dikonsumsi setelah melalui proses pengolahan terlebih dahulu
seperti jus, saus, sarden, pasta, sirup, dan puree. Sup tomat sangat baik
untuk proses remediasi bagi penderita konstipasi (Kusumo & Sunarjono
1992: 28; Garg dkk. 2006: 275--276).
5. Penyakit
Serangan penyakit akan mengganggu metabolisme tanaman tomat,
sehingga memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Penyakit pada
akar dan batang akan memengaruhi penyerapan air dan transportasi zat-zat
makanan pada jaringan-jaringan, sehingga pertumbuhan tanaman terganggu.
Penyakit pada tanaman tomat mempunyai kemampuan merusak tanaman
sejak dari biji sampai masa panen sehingga mengakibatkan nilai
ekonomisnya menurun (Soewito 1987: 29).
Penyakit pada tanaman tomat yang umum ditemukan adalah kelayuan
yang disebabkan oleh kapang Fusarium oxysporum Schlechtendahl emend.
Syder & Hansen (Fusarium wilt). Penyakit tersebut menyebabkan dedaunan
yang dekat dengan tanah berubah warna menjadi kuning, layu, dan akhirnya
mati. Penyakit tersebut menjalar ke arah batang dan seluruh bagian
tanaman, sehingga akhirnya menyebabkan kematian tanaman tomat
(Damicone dkk. 2003: 2). Penyakit lain yang sering menyerang tanaman
tomat adalah busuk leher akar yang disebabkan oleh Corticium rolfsii (Sacc.)
Curzi dan busuk batang yang disebabkan oleh Thanatephorus cucumeris
(Frank.) Donk. Kedua penyakit tersebut lebih sering menyerang tanaman
tomat pada kondisi tanah yang basah (Tindall 1983: 248; William dkk. 1993:
222).
B. PEMBUAHAN
Bhatnagar dan Bhojwani (1974: 86, 88, 91--92 & 100) menyatakan
bahwa pembentukan buah normal dimulai dengan adanya polinasi,
yaitu menempelnya polen di stigma. Selanjutnya polen berkecambah dan
membentuk tabung polen untuk mencapai ovul. Peristiwa bertemunya polen
dengan ovul di dalam ovari disebut fertilisasi. Kemudian ovari akan
membesar dan berkembang menjadi buah bersamaan dengan pembentukan
biji. Mekanisme polinasi dan fertilisasi menghasilkan buah fertil yang memiliki
biji.
Pertumbuhan buah tomat disertai perubahan kandungan hormon
auksin di dalam ovari. Auksin merupakan salah satu hormon tanaman yang
dapat meregulasi banyak proses fisiologis, seperti pertumbuhan, pembelahan
dan diferensiasi sel serta sintesis protein (Salisbury & Ross 1995: 37).
Auksin yang dikenal juga dengan indole-3-acetic acid (IAA) dibiosintesis dari
asam amino prekursor triptofan. Biosintesis tersebut menghasilkan senyawa
perantara yang secara alami analog dengan IAA tetapi mempunyai aktifitas
lebih kecil, seperti indole-3-acetinitrile (IAN), indole-3-pyruvic acid (IpyA) dan
indole-3-acetodehyde (IAAld). Proses biosintesis auksin dibantu oleh enzim
IAA-oksidase (Swain & Koltunow 2006: 2).
Tanaman tomat memiliki kompleks protein yang berfungsi sebagai
regulator dalam produksi auksin untuk inisiasi pertumbuhan dan
perkembangan buah. Kompleks tersebut terdiri atas protein IAA9, auxin
biasanya tanpa biji (seedless) atau berbiji sedikit (Pandolfini dkk. 2002: 2).
Partenokarpi kurang menguntungkan bagi program produksi benih atau biji,
tetapi sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas dan produktivitas buah,
terutama pada jenis tanaman komersial (Rotino dkk. 2005: 33). Sebagai
contoh, partenokarpi pada terung dapat meningkatkan kualitas buah,
sedangkan pada kiwi dapat meningkatkan produktivitas buah dan tidak
membutuhkan serangga penyerbuk (polinator) (Donzella dkk. 2000: 85).
1. Jenis-jenis partenokarpi
Menurut Gustafson tahun 1942 (lihat Rotino dkk. 2005: 2),
partenokarpi dapat terjadi secara alami (genetik) atau buatan (induksi).
Partenokarpi alami dibedakan menjadi dua tipe yaitu obligator dan fakultatif.
Kedua tipe partenokarpi alami tersebut sangat jarang dijumpai pada tanaman
(Rotino dkk. 2005: 33).
Tipe obligator adalah partenokarpi alami yang terjadi tanpa adanya
faktor atau pengaruh dari lingkungan. Hal tersebut dapat terjadi karena
secara genetik tanaman memiliki gen penyebab partenokarpi (Swain &
Koltunow 2006: 3--4).
Tanaman tomat dapat membentuk buah partenokarpi secara alami
karena memiliki gen mutan parthenocarpic fruit (pat). Perkembangan ovari
pada tomat normal akan terjadi pada hari ke-2 setelah pembungaan, yaitu
pada saat kantung embrio telah matang serta telah terjadi polinasi dan
fertilisasi. Namun pada tanaman tomat yang memiliki gen mutan pat,
embrio atau biji tanpa memengaruhi pertumbuhan buah (Kosuge dkk. 1966:
3739), sedangkan pendekatan kedua dengan mengekspresikan fitohormon
pada bagian ovari atau ovul untuk memacu perkembangan buah partenokarpi
Gen DefH9-iaaM terdiri atas dua sekuen gen yang spesifik. Sekuen
pertama yaitu gen iaaM, berukuran 600 pb dan diisolasi dari bakteri
Pseudomonas syringae vs savastanoi . Gen iaaM menghasilkan auksin
dalam jaringan tanaman. Sekuen kedua ialah daerah promoter DefH9
(deficiens homologue 9) yang diisolasi dari Antirrhinum majus dan berukuran
1.350 pb (Gambar 2) (Ficcadenti dkk. 1998: 463).
Gen partenokarpi DefH9-iaaM menyandi enzim indolasetamida
monooksigenase yang mengkonversi triptofan menjadi indolasetamida
(prekursor auksin IAA) yang diekspresikan pada ovul dan plasenta. Akibat
ekspresi gen tersebut maka terbentuk buah partenokarpi tanpa melalui
polinasi dan fertilisasi (Donzella dkk. 2000: 80). Bagian regulator DefH9
(promoter) dapat mengontrol ekspresi iaaM (pengkode IAA) hanya pada
bagian plasenta dan ovul. Ekspresi IAA pada bagian plasenta memastikan
bahwa partenokarpi terjadi sebelum polinasi, sedangkan pada ovul ditujukan
untuk menggantikan peran biji dalam memacu pertumbuhan buah (Donzella
dkk. 2000: 80).
Gen DefH9-iaaM mampu menginduksi buah partenokarpi pada
tanaman seperti tomat (Rotino dkk. 1997: 1398), terung (Donzella dkk. 2000:
81--83), strawberry dan raspberry (Mezzetti dkk. 2004: 1477--1479).
Ekspresi gen DefH9-iaaM spesifik pada plasenta dan ovul meningkatkan
produktivitas tomat karena 90--95% bunga mampu membentuk buah (Rotino
dkk. 1997: 1398). Tanaman hibrid tomat yang mengandung gen Defh9-iaaM
menunjukkan peningkatan produksi buah pada musim dingin (Acciari dkk.
(T-DNA) yang terletak pada plasmid Ti (tumor inducing) (Gama dkk. 1996:
440).
Tanaman transgenik yang stabil memiliki transgen yang telah
terintegrasi ke dalam genom dan diwariskan ke generasi berikutnya. Rasio
individu transgenik dan nontransgenik yang terbentuk pada generasi
berikutnya harus memenuhi rasio penyilangan monohibrid Mendel yaitu 3:1
(Christou dkk. 1992: 288).
Kestabilan insersi transgen dalam tanaman transgenik dapat diketahui
dengan melakukan uji stabilitas gen. Uji stabilitas gen dilakukan dengan
mendeteksi transgen pada turunan tanaman transgenik menggunakan teknik
polymerase chain reaction (PCR). Teknik PCR dapat mengamplifikasi
fragmen transgen menggunakan primer spesifik, sehingga tanaman yang
yang memiliki insersi transgen dapat terdeteksi (Hadiarto dkk. 2003: 165).
Teknik tersebut terdiri atas tiga tahap utama yaitu isolasi deoxyribonucleic
acid (DNA) genom, PCR, dan elektroforesis.
1. Isolasi DNA genom tanaman tomat transgenik partenokarpi
Genom DNA merupakan seluruh materi genetik yang dimiliki oleh
suatu organisme, termasuk di dalamnya DNA yang berinteraksi dengan
protein dan RNA (Weaver & Hedrick 1997: 616). Isolasi DNA genom terdiri
atas tiga tahap penting yaitu mengeluarkan kromosom dari dalam sel dengan
suatu reaksi kimiawi, mendenaturasi protein dengan enzim proteinase, dan
merusak ribonucleic acid (RNA) menggunakan enzim RNAse. Setelah tahap-
tahap tersebut, akan diperoleh DNA genom yang siap untuk dianalisis lebih
lanjut (Muladno 2002: 9).
Salah satu metode yang digunakan untuk isolasi DNA adalah singlestep extraction genome DNA merupakan. Prosedur tersebut menggunakan
Extract-N-AmpTM Plant PCR kit [Invitrogen] yang terdiri atas extraction
solution, dilution solution, dan PCR reaction mix. Ketiga komponen kit
tersebut mengandung semua bahan yang dibutuhkan untuk isolasi DNA
genom dari daun tanaman sekaligus amplifikasi sekuens target
(Wang dkk. 2008: 2).
Komposisi bahan yang terdapat pada extraction solution
menyebabkan beberapa prosedur isolasi DNA secara konvensional tidak
perlu dikerjakan. Prosedur-prosedur tersebut meliputi pembekuan sampel
dengan nitrogen cair, ekstraksi organik, purifikasi, dan presipitasi DNA.
Dillution solution mengandung komposisi bahan yang dapat menetralisir
substansi-substansi utama yang menghambat reaksi PCR. Polymerase
chain reaction (PCR) reaction mix diformulasikan secara khusus untuk
amplifikasi langsung DNA hasil isolasi. Formulasi tersebut dapat
menghambat aktivitas polimerase selama persiapan reaksi PCR, menekan
aktivitas polimerase sebelum siklus PCR, mengurangi amplifikasi non
spesifik, dan meningkatkan produk target. Polymerase chain reaction (PCR)
reaction mix juga memiliki formula REDextract-N-AmpTM plant PCR kit.
Formula tersebut mengandung dye yang berfungsi sebagai tracking dyes
tertentu pada DNA template jika suhu yang digunakan pada tahap annealing
sesuai. Primer didesain khusus untuk fragmen yang akan diamplifikasi.
Desain primer spesifik dapat mengurangi produk PCR yang tidak diharapkan
(Sambrook & Russell 2001: 85).
Menurut Sharrocks (1994: 6), terdapat beberapa parameter yang
dapat digunakan untuk memilih primer yang baik. Pertama, panjang primer
sekitar 18--25 basa. Kedua, komposisi basa GC pada primer sekitar
45--55%. Kondisi tersebut akan menghasilkan suhu leleh (Tm) yang efisien
sehingga menyebabkan terjadinya proses annealing yang spesifik terhadap
fragmen target. Ketiga, primer tidak mengandung sekuen basa yang
berulang. Keempat, lima basa terakhir pada ujung 3 primer tidak
mengandung lebih dari dua nukleotida G atau C yang letaknya berurutan.
Kelima, pasangan primer didesain agar tidak terbentuk primer dimer. Primer
dimer merupakan interaksi antara primer forward dan primer reverse
sehingga membentuk struktur untai ganda DNA (Real Time PCR Info
2007: 1).
3. Elektroforesis
Elektroforesis dapat digunakan untuk memisahkan berbagai macam
molekul organik seperti DNA, RNA, dan protein (Klug & Cummings 1994:
397). Prinsip kerja elektroforesis adalah berdasarkan pergerakan molekulmolekul bermuatan negatif (anion) menuju kutub positif (katoda), sedangkan
molekuler adalah
1998: 2.5A.7).
E. UJI EKSPRESI FENOTIPIK
Uji ekspresi fenotipik pada tanaman hasil transformasi genetik
dilakukan untuk mengetahui tingkat ekspresi gen yang diintroduksikan ke
dalam genom tanaman resipien. Hasil uji ekspresi fenotipik secara tidak
langsung juga dapat digunakan untuk memilih strategi transformasi terbaik
(Garg dkk. 2006: 276).
Parameter fenotipik partenokarpi yang harus dianalisis meliputi jumlah
tandan, jumlah bunga per tandan, jumlah buah per tandan, diameter buah,
berat per buah, dan jumlah biji (Hidayat 2003: 8). Parameter jumlah bunga,
jumlah buah, dan berat buah merupakan parameter yang menunjukkan
produktivitas buah. Paramater jumlah biji akan menunjukkan ekspresi gen
partenokarpi DefH9-iaaM pada tanaman tomat transgenik (Pardal 2001: 45).
Gen DefH9-iaaM meningkatkan jumlah rata-rata bunga majemuk per
tandan pada anggur (Constantini dkk. 2007: 1690). Gen DefH9-iaaM
meningkatkan berat strawberry transgenik sebesar 24% dibandingkan
dengan kontrol. Peningkatan berat juga diimbangi dengan peningkatan
ukuran buah (Mezzetti dkk. 2004: 5). Buah positif partenokarpi umumnya
seedless dan memiliki ciri yang sama dengan buah normal, yaitu bentuk buah
tidak cacat dan warna buah cerah (Gorguet dkk. 2007: 756).