You are on page 1of 3

Air Gunung Kidul

Di suatu pagi yang temaram, sekelompok lelaki tanah kapur berjalan beriringan
memasuki sebuah mulut gua. Mereka hendak memburu air.

Oleh Zaki Habibi


Foto oleh Dwi Oblo

Di suatu pagi yang temaram, sekelompok lelaki tanah kapur berjalan beriringan memasuki sebuah mulut
gua. Beberapa memanggul jeriken plastik atau kaleng. Yang lainnya menggenggam erat obor yang
menyala. Mereka hendak memburu air. Di dalam kegelapan relung-relung perut Bumi yang lembap, obor
adalah pelita, juga menanda cukup tidaknya udara segar. Bila dian telah padam, berarti oksigen telah

1
menipis dalam ruang yang mereka pijak dan itu artinya mereka harus berbalik pulang ke rumah dengan
atau tanpa air. Keseharian manusia tanah kapur Gunungkidul memang penuh dengan perjuangan
mencari air bagi kehidupan sehari-hari, sejak dulu.
Tanah Gunungkidul selatan yang gamping memaksa warga memeras keringat demi air bersih. Di wilayah
tersebut, tanah tak pernah membiarkan air hujan menggenang. Air hanya mengalir di perut Bumi, tetapi
bisa ditemukan dalam lorong-lorong gua. “Ada yang cukup ditelusuri dengan jalan kaki melalui gua
horizontal dan tidak terlalu dalam. Ada juga yang jauh sekali di dalam. Ada yang terletak di kedalaman
100 meter lebih dari permukaan luweng atau liang vertikal,” papar Sintia WN, ahli Geofisika Universitas
Gajah Mada yang juga seorang penelusur gua.

Kawasan selatan tersebut dikenal sebagai perbukitan karst, bagian dari Pegunungan Karst Gunungsewu
yang membujur di selatan Jawa. Menurut Sintia, dahulu Gunungkidul terutama wilayah selatannya
adalah dasar laut. Proses teknonik jutaan tahun membuat dasar laut itu terangkat, tenggelam, dan
kemudian kembali terangkat ke permukaan seperti sekarang. Alhasil, permukaan kawasan itu disusun
oleh karang yang terbatukan menjadi gamping. Nasib sejarah Bumi itulah yang membuat Gunungkidul
selatan tidak seelok Gunungkidul utara yang berupa perbukitan tanah vulkanis tua.

Tetangganya di wilayah tengah juga bernasib lebih baik karena berupa cekungan sehingga masih
memungkinkan hadirnya aliran air permukaan. Cadangan air tanah di Gunungkidul tengah juga relatif
tak terlalu dalam. Di sejumlah tempat, warga bahkan mampu menemukan air melimpah dari sumur
berkedalaman tujuh hingga 15 meter. Selain itu, warga juga masih bisa mengalirkan air dari sungai
dengan pipa-pipa bambu atau PVC hingga sepanjang 2,5 kilometer seperti di Dusun Ngamplar,
Gunungkidul utara.
Di selatan saat musim penghujan, masyarakat berusaha memanen hujan dengan bak-bak penampungan.
Saat kemarau mendera, berbagai bentuk perburuan air pun dimulai. Dengan berjalan kaki atau bersepeda
motor, warga tanah kapur akan pergi mencari gua-gua tempat mengalirnya sungai-sungai bawah tanah,
sumur-sumur dalam yang masih basah, atau kubangan-kubangan yang tetap menyisakan air.

Beruntung, sebagian dari mereka—terutama di permukiman yang teramat jauh dari sumber air—kini
dapat mengandalkan truk-truk tangki bantuan pemerintah atau organisasi nirlaba yang berkunjung ke
permukiman mereka. Hanya saja, warga tetap harus merogok kantong sebanyak 20 rupiah untuk seliter
air, sementara kebutuhan rata-rata satu keluarga sepanjang musim kemarau adalah sekitar 5.000 liter.
Itulah masa perjuangan bagi warga yang mayoritas petani dan hanya bisa membuat gaplek ketela seharga
800 rupiah per kilogram di musim kemarau.

Saat kemarau, sesungguhnya air dapat ditemukan di sejumlah telaga, yaitu cekungan di kawasan karst
yang mampu menyimpan air hujan dalam waktu relatif lama. Menurut ahli hidrologi karst UGM Tjahyo
Nugroho Adji, dasar telaga di kawasan karst Gunungkidul selalu memiliki ponor (sink hole) atau liang

2
yang terhubung dengan sistem aliran sungai bawah tanah. Telaga-telaga itu selalu menyediakan air
karena terdapat lapisan lempung di atas ponor. “Lempung membuat air tetap tertahan di telaga,” tutur
Tjahyo.

Kurun 1970-an dan 1980-an, warga sempat menyaksikan beberapa telaga kehidupan mereka terancam
kerontang. Para peneliti mengisahkan, saat itu pemerintah berinisiatif mengeruk dasar telaga dan
melapis dinding telaga dengan semen dengan harapan, air di dalam akan semakin banyak. Celaka, air di
telaga-telaga tersebut justru terus menyusut dan mengering. Rupanya, pengerukan membuat lapisan
lempung yang menahan air di permukaan ikut terbuang sehingga, berapapun air hujan yang tertampung
akan langsung tersedot ke dalam tanah.
Kini, harapan besar terhadap teknologi terletak pada proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)
Bribin II yang melibatkan berbagai pihak dari Indonesia dan Jerman. Proyek yang dimulai oleh
Universitas Karlsruhe Jerman itu memanfaatkan aliran sungai bawah Luweng Sindon di Bribin. Di
kedalaman 104 meter, sebuah bendungan dibangun untuk menghasilkan energi listrik yang kemudian
dimanfaatkan untuk memompa air tanah ke atas permukaan.

Meski harapan besar ditumpukan, teknologi Bribin II ternyata bukanlah solusi tunggal. Pasalnya, satu
proyek tak bisa menjawab persoalan distribusi air bagi seluruh warga Gunungkidul yang jumlahnya
685.210 jiwa dan tersebar di wilayah seluas 1.485,36 kilometer persegi. “Bribin II adalah upaya pertama
di dunia yang memanfaatkan teknologi mikrohidro di sungai bawah tanah. Sebagai sebuah riset ini sangat
bagus,” jelas Tjahyo.

Tjahyo dan Sintia berhitung, sejatinya Gunungkidul memiliki potensi air nan berlimpah di musim hujan
dan musim kemarau. “Sumber utama berasal dari hujan dan curah hujan di Gunungkidul tergolong
tinggi. Jadi, air sebenarnya sangat memadai,” imbuh Tjahyo. Namun, air berlimpah yang selalu disimpan
dalam perut Bumi itu hingga kini terus memaksa warga berpeluh dalam mengambilnya.

You might also like