You are on page 1of 42

TUGAS ISU TERKINI PENYAKIT TIDAK MENULAR

KASUS GONDOK DI KABUPATEN BREBES


Tugas ini disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Semester IT Penyakit Tidak
Menular

Disusun oleh :
Nanik Dewi Setyowati

25010113120089

KELAS B FKM 2013

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2015

Kasus Untuk Penyakit Tidak Menular


BAGIAN 1:
Kabupaten Brebes yang berada di pantai utara Jawa merupakan salah satu
kabupaten di Jawa Tengah yang mengandalkan komoditas pertanian sebagai salah
satu sumber penndapatan asli daerahnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh
Seksi Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Brebes di empat desa di
kecamatan X diperoleh informasi bahwa kasus gondok (goiter) yang dinyatakan
dalam total goiter rate (TGR) pada siswa SD di keempat desa tsb ternyata tinggi,
yakni rata-ratanya mencapai 22,2%. Bila dikaji per desa, TGR untuk masingmasing desa adalah sbb: desa A 23,5%; desa B 8,9%; desa C 32,1% dan desa D
24,5%.
TUGAS 1:
1. Apakah goiter/gondok itu? (etiologi, patogenesis, bagaimana metode
pemeriksaannya, epidemiologi, dampaknya terhadap tumbuh-kembang anak)
2. Apakah TGR? Bagaimana interpretasinya?
JAWABAN TUGAS 1 :
1. Goiter/Gondok
Penyakit gondok adalah pembengkakan atau benjolan besar pada leher
sebelah depan (pada tenggorokan) dan terjadi
gondok

akibat pertumbuhan kelenjar

yang tidak normal. Kebanyakan penyakit gondok

disebebakan oeh

kekurangan yodium dalam makanan (Maxwell et all, 2011).


Selain itu penyakit gondok dapat didefinisikan sebagai kondisi yang
menyebabkan pembesaran kelenjar gondok (kelenjar tiroid) yang diakibatkan oleh
meningkatnya aktivitas kelenjar tersebut dalam upaya meningkatkan produksi
hormon tiroksin maupun triiodotironin. Secara morfologi penyakit ini dapat
dikenali dari adnaya benjolan di leher bagian depan awah. Kelenjar gondok
berupa elenjar berbentu kupu-kupu yang terdapat di leher. Kelenjar ini mebentuk
hormon tiroksi dan triiodotironin dari bahan baku iodium( Wijayanti, 2010)

Penyakit Gondok/ Giter sering disebut sebagai penyakit Gangguan Akibat


Kekurangan Yodium(GAKY). Penyebab timbulnya GAKY adalah karena tubuh
seseorang kekurangan undur yodium secara tertus menerus dalam jangka waktu
yang lama (Dardjito dan Rahardjo, 2010)
A. Etiologi
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan defisiensi yodium
yang berlangsung lama akibat dari pola konsumsi pangan yang kurang
mengonsumsi yodium sehingga akan menggangu fungsi kelenjar tiroid, yang
secara perlahan menyebabkan kelenjar membesar sehingga menyebabkan gondok.
Yodium sendiri adalah sejenis mineral ang terdapat di alam, baik di tanah
maupun di air,, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan utnuk pertumbuhan dan
perkembangan makhluk hidup. Dalam tubuh manusia Yodium diperlukan untuk
membntuk Hormon Tiroksi yang berfunsi untuk mengatur pertumbuhan dan
perkembangan termasuk kecerdasan mulai dari janin sampai dewasa.
Defisiensi yodium akan menguras cadangan yodium serta mengurangai
produksi tetraiodotironin/T4. Penurunan kadar T4 dalam darah memicu sekresi
Thyroid Stimulating Hormon(TSH) yang selanjutnya menyebabkan kelenjar tiroid
bekerja lebih giat sehingga fisiknya kemudian membesar (hiperplasi.) Pada saat
ini efisiensi pemompaan yodium bertambah yang dibarengi dengan percepatan
pemecahan, yodium dalam kelenjar.
Kekurangan yodium pada masa kehamilan, dan awal kehidupan
menyebabkan, perkembangan otak terhambat.Titik paling kritis GAKY adalah
trimester ke-2 kehamilan sampai dengan 3 tahun setelah lahir. GAKY merupakan
salah satu peyebab kerusakan otak yang dapat dicegah (Pratama, 2012).
Agent kimia penyebab goiter/gondok adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia
yang

dapat

menggangu

hormogenesis

tiroid.

Goitrogen

menyebabakan

pembesaran kelenkar tiroid seperti yang terdapat dalam kandungan kol,, lobak,
padi-padian, singkong, dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat
dalam

obat-obatan

seperti

propylthiouraci,

lithium,

phenylbutazone,

aminoglutethimide,expectorants yang mengandung yodium secara berlebih.

Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab goiter yang


merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus
anak-anak yang sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium
radioaktif pada tiroksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana sebelumnya
tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25
tahun kemudian. Selain itu Goiter endemik sering terdapat di daerah-daerah yang
air

minumnya

kurang

sekali

mengandung

yodium.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20013/4/Chapter%20II.pdf ).

B. Patogenesis
Gondok terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga pula penghambatan dalam pembentukan TSH
oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinakan hipofisis mensekresikan TSH
dalam jumlah yang berlebuhan. TSH

kemudian meenebabakna sel-sel tiroid

mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel.


Dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.Akibat kekurangan
yodium maka tiak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3 , ukuran folikel
menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500
gram.
Selain itu goiter/gondok dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
(goitrogenic agent), proes peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya goiter kolid dan goiter non
toksis(goiterendemik).
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20013/4/Chapter%20II.pdf)

1.

C. Metode pemeriksaan
Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan mengenai pembesaran didaerah leher depan,


adanya keluhan-keluhan hipertiroid (seperti selalu kepanasan, keringatan, makin
kurus, dll). Disamping itu apakah ada merasakan nyeri atau tanda-tanda
penekanan (seperti gangguan menelan, sesak nafas, suara serak). Apakah terdapat
anggota keluarga atau tetangga yang menderita penyakit yang sama (Tim
Pelaksana Skil Lab FK Universitas Andalas, 2012)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik kelenjer tiroid merupakan bagian dari pemeriksaan umum
seorang penderita. Dalam memeriksa leher seseorang, struktur leher lainnya pun
harus diperhatikan. Ada beberapa alasan untuk hal ini, pertama sering struktur ini
tertutup atau berubah oleh keadaan kelenjar tiroid, kedua metastasis tiroid sering
terjadi ke kelenjar limfe leher dan ketiga banyak juga kelainan leher yang sama
sekali tidak berhubungan dengan gangguan kelenjer gondok. Riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisik sistematik juga diperlukan, sebab dampak yang ditimbulkan
oleh gangguan fungsi kelenjer tiroid melibatkan hampir seluruh oragan tubuh,
sehingga pengungkapan detail kelainan organ lainnya sangat membantu
menegakkan maupun mengevaluasi gangguan kelainan penyakit kelenjar tiroid.
Pemeriksaan kelenjar tiroid meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi (Tim
Pelaksana Skil Lab FK Universitas Andalas, 2012). Selain itu pemeriksaan fisik
juga bisa bisa dilakukan melalui USG, UIE, Tes Fungsi Hormon, Foto Rontgen
leher ,Sidikan (Scan) tiroid, Biopsi Aspirasi Jarum Halus
a.

Inspeksi
Waktu memeriksa kelenjar tiroid hendaknya dipastikan arah sinar yang
tepat, sehingga masih memberi gambaran jelas pada kontur, relief, tekstur kulit
maupun benjolan. Demikian pula harus diperhatikan apakah ada bekas luka
operasi. Dengan dagu agak diangkat, perhatikan struktur dibagian bawah-depan
leher. Kelenjar tiroid normal biasanya tidak dapat dilihat dengan cara inspeksi,
kecuali pada orang yang amat kurus, namun apabila dalam keadaan tertentu
ditemukan deviasi trachea atau dilatasi vena maka harus curiga kemungkinan
adanya gondok substernal. Biasanya dengan inspeksi saja kita dapat menduga
adanya pembesaran kelenjar tiroid yang lazim disebut gondok.

Gondok yang agak besar dapat dilihat, namun untuk memastikan serta
melihat gambaran lebih jelas maka pasien diminta untuk membuat gerakan
menelan (oleh karena tiroid melekat pada trachea ia akan tertarik keatas
bersama gerakan menelan). Manuver ini cukup diagnostik untuk memisahkan
apakah satu struktur leher tertentu berhubungan atau tidak dengan tiroid.
Sebaliknya apabila struktur kelenjar tiroid tidak ikut gerakan menelan sering
disebabkan perlengkapan dengan jaringan sekitarnya. Untuk ini dipikirkan
kemungkinan radang kronik atau keganasan tiroid auskultasi (Tim Pelaksana
Skil Lab FK Universitas Andalas, 2012)
b.

Palpasi
Dalam menentukan besar, bentuk konsistensi dan nyeri tekan kelenjar
tiroid maka palpasi merupakan jalan terbaik dan terpenting. Ada beberapa cara,
tergantung dari kebiasaan pemeriksa. Syarat untuk palpasi tiroid yang baik
adalah menundukkan leher sedikit serta menoleh kearah tiroid yang akan
diperiksa (menoleh kekanan untuk memeriksa tiroid kanan, maksudnya untuk
memberi relaksasi otot sternokleidomastoideus kanan). Pemeriksa berdiri
didepan pasien atau duduk setinggi pasien. Sebagian pemeriksa lebih senang
memeriksa tiroid dari belakang pasien. Apapun yang dipilih langkah pertama
ialah meraba daerah tiroid dengan jari telunjuk (dan atau 3 jari) guna
memastikan ukuran, bentuk, konsistensi, nyeri tekan dan simetri. Untuk
mempermudah meraba tiroid, kita dapat menggeser laring dan tiroid ke satu
sisi dengan menggunakan ibu jari atau jari tangan lain pada kartilago tiroid.
Kedua tiroid diperiksa dengan cara yang sama sambil pasien melakukan
gerakan menelan.

Palpasi lebih mudah dilakukan pada orang kurus, meskipun pada orang
gemuk tiroid yang membesar juga dapat diraba dengan mudah. Umumnya
wanita mempunayi gondok lebih besar sehingga lebih mudah diraba. Tujuan
menggunakan metoda ini ialah mendapat angka statistik dalam mengendalikan
masalah gondok endemik dan kurang yodium, dengan cara yang reploducible.
Klasifikasi awal (Perez 1960) adalah sebagai berikut :
Derajat 0 : Subjek tanpa gondok
Derajat 1 : Subjek dengan gondok yang dapat diraba (palpable)
Derajat 2 : Subjek dengan gondok terlihat (visible)
Derajat 3 : Subjek dengan gondok besar sekali, terlihat dari beberapa cm.
Dalam praktek masih banyak dijumpai kasus dengan gondok yang teraba
membesar tetapi tidak terlihat. Untuk ini dibuat subklas baru yaitu derajat IA
dan derajat IB.
Derajat IA : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi tidak terlihat
meskipun leher sudah ditengadahkan maksimal.
Derajat IB : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi terlihat dengan
sikap kepala biasa, artinya leher tidak ditengadahkan.
Adapun kriteria untuk menyatakan bahwa gondok membesar ialah apabila
lobus leteral tiroid sama atau lebih besar dari falang akhir ibu jari tangan pasien
(bukan jari pemeriksa). Dalam sistem klasifikasi ini setiap nodul perlu
dilaporkan khusus (pada survei GAKI dapatan ini mempunyai arti tersendiri)
(Tim Pelaksana Skil Lab FK Universitas Andalas, 2012)

c.

Auskultasi
Tidak banyak informasi yang dapat disumbangkan oleh auskultasi tiroid,
kecuali untuk mendengarkan bruit, bising pembuluh di daerah gondok yang
paling banyak ditemukan pada gondok toksik (utamanya ditemukan di lobus
kanan tiroid-ingat vaskularisasinya (Tim Pelaksana Skil Lab FK Universitas
Andalas, 2012)

d.

Pengukuran volume tiroid dengan Ultrasonografi (USG) Tiroid


Kelebihan dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) adalah memberikan
suatu pengukuran objektif dari volume tiroid, dalambeberapa kasus mungkin
bisa menunjukkan pertimbangan terhadap GAKY dan karenanya program
pencegahan yang mahal bisa dihindarkan, ultrasonografi dengan cepat
menggantikan palpasi. Pemeriksaan USG juga merupakan suatu pengukuran
yang tepat untuk melihat pembesaran volume tiroid dibandingkan dengan
palpasi.
Volume tiroid yang dihitung berdasarkan panjang, jarak dan ketebalan dari
kedua cuping, volume yang dihitung dibandingkan dengan standar dari suatu
populasi dengan masukan iodium yang cukup. Pengukuran volume tiroid
dengan menggunakan Ultrasonografi untuk saat ini hanya bisa dilakukan oleh
dokter ahli yang sudah terlatih dalam teknik ini. Hasil pemeriksaan volume
tiroid pada sampel merupakan penjumlahan dari volume tiroid kanan dan kiri.
Tabel 1 Batas Normal Volume Tiroid Berdasarkan USG

(Gatie , 2006)

Kelemahan dari ultrasonografi di antaranya harus ada pelatihan, biaya


instrumen yang mahal dan masalah transportasi dari pusat ke wilayah survei
(Gatie, 2006)
e.

Kadar Iodium dalam Urine (UIE)


Pengukuran yodium yang paling dapat dipercaya atau diandalkan adalah
median kadar yodium dalam urin sampel yang mewakili, karena sebagian besar
(lebih dari 90%) yodium yang diabsorpsi dalam tubuh akhirnya akan diekskresi
lewat urin . Dengan demikian UIE jelas dapat menggambarkan intake yodium
seseorang. Kadar UIE dianggap sebagai tanda biokimia yang dapat digunakan
untuk mengetahui adanya defisiensi yodium dalam suatu Sampel terbaik untuk
pemeriksaan UIE adalah urin selama 24 jam karena dapat menggambarkan
fluktuasi yodium dari hari ke hari. Tetapi, pengambilan sampel urin 24 jam ini
tidak mudah dilakukan di lapangan. Beberapa peneliti kemudian menggunakan
sampel urin sewaktu dan mengukur kadar kreatinin dalam serum, Ialu dihitung
sebagai rasio UIE per gram kreatinin. Hal ini dilakukan dengan asumsi ekskresi
kreatinin relatif stabil. Tetapi ternyata cara ini mempunyai kelemahan karena
kadar kreatinin serum sangat tergantung pada massa otot, jenis kelamin dan
berat badan seseorang (Rachmawati dalam Gatie 2006)
Pada Conggres Consultation tahun 1992 oleh WHO, UNICEF, ICCIDD
telah disepakati bahwa pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan UIE
cukup menggunakan urin sewaktu dan tidak perlu lagi menggunakan rasio
dengan kreatinin. Urin dapat ditampung dalam botol penampung yang tertutup
rapat, tidak perlu dimasukkan dalam lemari es selama masa transportasi dan
tidak

perlu

ditambahkan

preservas(pengawet

urin).

Setelah

sampai

laboratorium kemudian urin disimpan dalam lemari es. Dengan penyimpanan


dalam lemari es sebelum diperiksa, urin dapat tahan sampai beberapa bulan
Oleh WHO, UNICEF dan ICCIDD pada Tahun 1994 akhirnya disepakati
bahwa metoda yang direkomendasikan untuk dipakai di seluruh dunia adalah
metoda Acid Digestion. Pertimbangan pemilihan metoda ini adalah mudah,
cepat dan tidak memerlukan alat yang terlalu mahal. Metoda ini menggunakan

spektrofotometer dengan prinsip kolorimetri. Metode ini dapat mendeteksi


kadar yodium dalam urinsampai 5 g/L.
Tabel 2 Klasifikasi kecukupan Yodium Berdasarkan Median UIE

(Gatie ,2006)
Nilai median UIE dalam suatu populasi dapat digunakan untuk mengukur derajat
endemisitas GAKY.
Tabel 3 Kriteria epidemiologi untuk penentuan derajat endemisitas GAKY
berdasarkan media UIE

(Gatie, 2006)
f.

Tes Fungsi Hormon


Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat
diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya
sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya
kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga
memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk

mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap danmengubah yodida


(Darmayanti et al, 2012)

g.

Foto Rontgen leher


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas) (Darmayanti et al, 2012).

h.

Sidikan (Scan) tiroid


Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah.
Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu
selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
(Darmayanti et all, 2012)

i.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus


Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil
negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang
benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
intrepertasi oleh ahli sitologi. (Darmayanti et al, 2012)
D. Epidemiologi Goiter
Distribusi dan Frekuensi
a. Orang
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12
%) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun
259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang
diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia

yang terbanyak pada usia 31-

40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %)

(Darmayanti et al, 2012)


b. Tempat dan Waktu
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau
pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81
anak (8,0%) mengalami struma endemis atau gondok. Penelitian Tenpeny K.E di
Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang dilakukan
pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12 tahun (Darmayanti, 2012)
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak
yang terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita gondok
menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan 0,65 % di
Desa Mejayan (daerah non endemik) (Darmayanti, 2012)
E. Dampak pada Tumbuh Kembang Anak
Pada anak-anak akibat yang ditimbulkan, yakni pertumbuhan terhambat
(cretinism) atau kerdil, penurunan potensi tingkat kecerdasan (penurunan
Intelligence Quotient = IQ), dan gangguan bicara serta tuli. Potensi penurunan IQ
karena GAKI yakni menurun sampai 50 poin yang disertai kerdil dan menurun
sampai 10 poin pada anak dengan penyakit gondok (Mirdania, 2012).
2. TGR
a. Definisi TGR
TGR (Total Goiter Rate) merupakan angka prevalelensi gondok yang
dihitung berdasarkan seluruh pembesaran kelenjar gondok , baikk yang teraba
(palpable) atau yang terlihat (visible). TGR digunakan untuk menentukan
endemisitas GAKY (Syaiful, 2008). TGR merupakan ukuran kelennjar tiroid
yang berubah sesuai degan asupan iodium. TGR dikatakan goiter jika masingmasing lobus kelenjar tiroid mempunyai volume lebih besar dari normal pada
falang distal pemeriksa .
Klasifikasi TGR dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4 Klasifikasi TGR dengan metode Palpasi

(Ananda,2011)
Daerah Endemik GAKY adalah daerah yang sebagian besar penduduknya
mengalami pembesaran kelenjar gondok. Klasifikasi daerah endemik :
- Daerah GAKI berat, bila TGR 30%
- Daerah GAKI sedang, bila TGR 20-29,9%
- Daerah GAKI ringan, bila TGR 5-19,9%
- Daerah non-endemik, bila TGR 5% (Syaiful, 2008)
Tabel 5 kriteria epidemiologis untuk menilai derjat keparahan
defisiensi yodium berdasarkan prevalensi goiter pada anak usia
sekolah

(Ananda, 2011)
b.

Interpretasi TGR berdasar Kasus


Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Seksi Gizi Dinas Kesehatan
Kabupaten (DKK) Brebes di empat desa di kecamatan X diperoleh informasi
bahwa kasus gondok (goiter) yang dinyatakan dalam total goiter rate (TGR)
pada siswa SD di keempat desa tsb ternyata tinggi, yakni rata-ratanya mencapai
22,2%. Bila dikaji per desa, TGR untuk masing-masing desa adalah sbb: desa
A 23,5%; desa B 8,9%; desa C 32,1% dan desa D 24,5%.

Dari kasus diatas berdasarkan TGR yang ada di masing-masing desa dapat
diinterpretasikan bahwa:
-Daerah endemik GAKI berat

: desa C 32,1%

-Daerah endemik GAKI sedang

: desa A 23,5% dan D 24,5%

-Daerah endemik GAKI ringan

: desa B 8,9%.

Berdasarkan klasifikasi tersebut maka diketahui bahwa Desa CMM menjadi


Desa dengan prevalensi terjadinya gondok paling tinggi, dibandingkan dengan
ketiga desa yang lain. Kemudian disusul oleh Desa A dan D dengan prevaensi
sedang, dan sementara prevalensi terendah berada di desa B . Dari keempat
desa tersebut dapat disimpulkan bahwa , Desa C memiliki

permasalahan

goiter/gondok yang banyak ditemukan pada siswa SD dan menjadi masalah


kesehatan yang serius sehingga perlu ditangani karena berhubungan dengan
dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak seperti pertumbuhan
yang lambat atau kerdil, hingga penurungan tingkat kecerdasan (IQ).

DAFTAR PUSTAKA BAGIAN 1

Ananda, Ajinata Alfa Afiv . 2011. Hubungan Stimulasi Kognitif Dengan Prestasi
Belajar

Pada Anak Di Daerah Endemis GAKY. Skripsi. Fakultas

Kedokteran

Universitas

Diponegoro

Semarang.

http://eprints.undip.ac.id/46194/3/Alfa_Ajinata_Afiv_Ananda_22010111120
016_Lap.KTI_Bab2.pdf diakses pada 6 januari 2016
Dardjito dan Rahardjo 2010. Iodine Deficiency Disorder In Reproductive Age
Women In Baturaden Districtbanyumas Regency, Central Java. Artikel
penelitian .Jurnal Kesehtan Masyarakat Nasional,Vol 5, No 3, Desember
2010.
Darmayanti, Ni Luh Ayu et al. 2012. Endemik Goiter. Artikel.
Fakultas

Kedokteran

Universitas

Udayana

Denpasar

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14448&val=970
diakses pada 6 januari 2016
Gatie, Ni Asih Luh. Validasi Total Goitre Rate (Tgr) Berdasar Palpasi Terhadap
Ultrasonografi (Usg) Tiroid Serta Kandungan Yodium Garam Dan Air Di
Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes. Tesis . Magister Gizi Masyarakat.
Undip . http://core.ac.uk/download/files/379/11715426.pdf
Maxwell et al 2010.Where There is No Doctor. Alih Terjemahan Bahasa
Indonesia. Yogyakata : ANDI.
Mirdania, Yaditta. 2012. Jangan Sepelekan Gondok. Http://majalahkesehatan.
com/jangan-sepelekan-gondok/. Diakses tanggal 6 Januari 2016.
Pratama Ridho, 2012. Makalah Ganguan Akibat Kekurangan Yodium. PKM-GT.
Sekolah

Tinggi

Ilmu

Kesehatan

Binawan.

https://www.academia.edu/9996806/MAKALAH_GANGGUAN_AKIBAT_
KEKURANGAN_YODIUM_GAKY_ diakses pada 5 januari 2016
Syaiful, Iip. 2008. Masalah Gizi di Indonesia dan Program Perbaikan Gizi
Masyarakat.

Http://kgm.bappenas.go.id/document/datadokumen/28_Data

Dokumen.pdf. diakses pada 6 Januari 2016


Tim Pelaksana Skil Lab FK Universitas Andalas, 2012). Penuntun Skills Lab Blok
2.5 Gangguan hormon dan metabolisme : Pemeriksaan Fisik kelenjar tiroid
edisi

3.

Fakultas

Kedokteran

Universoitas

Andalas

Padang.

http://fk.unand.ac.id/images/skills_lab_Blok_2.5._2012.pdf diakses pada 5


Januari 2016
Wijayanti,

Gratiana.

2010.

Penyakit

Gondok:

Penyebab,

Gejala

Dan

Konsekuensinya Bagi Perkembangan Janin, Anak-Anak, Dan Remaja Dan


Penanggulangannya.

http://bio.unsoed.ac.id/sites/default/files/Penyakit

%20Gondok%20Penyebab,%20gejala%20dan%20konsekuensinya%20bagi
%20perkembangan%20janin,%20anak-anak,%20dan%20remaja%20dan
%20penanggulangannya-.pdf diakses pada 4 Januari 2015.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20013/4/Chapter%20II.pdf

diakses pada 5 januari 2016

BAGIAN 2:
Berdasarkan teori dan bukti-bukti epidemiologi yang diketahui selama ini, kasus
gondok pada umumnya terjadi di daerah dataran tinggi, karena asupan yodium
yang kurang. Namun, berdasarkan informasi, ternyata keempat desa yang temuan
TGR-nya tinggi tersebut berada di daerah dataran rendah. Hasil pemeriksaan

ekskresi yodium urin (EYU) pada siswa SD di keempat desa tersebut


mendapatkan angka yang masih dalam batas normal, sehingga berdasarkan hasil
tsb dapat diambil kesimpulan bahwa penyebab goiter pada siswa SD di keempat
desa tsb bukan karena kekurangan yodium.
TUGAS 2;
1. Apakah yang dimaksud dengan EYU? Tujuan pemeriksaan tsb untuk apa?
Berapa nilai normalnya?
2. Terkait dengan kemungkinan penyebab kekurangan asupan yodium yang
sudah dapat disingkirkan, kemungkinan adanya penyebab atau faktor
risiko lain harus Anda pikirkan.
JAWABAN BAGIAN 2
1. EIU
a. Definisi EIU
Berat ringannya endemisitas suatu daerah selain dinilai berdasar dari
adanya pembesaran kelenjar tiroid (TGR), dapat juga dengan menilai median
kadar iodium dalam urin atau Ekskresi Iodium Urin (EIU). EIU menggambarkan
asupan iodium, sebab 90% iodium yang masuk tubuh diekskresi melalui urin.
Kecukupan iodium tubh mulai dinilai dari iodium yang masuk lewat makanan dan
minuman, sebab tubuh manusia tidak dapat mensintesis iodium. Pemeriksaan EIU
dalam urin sangat penting dilakukan karena hampir seluruh iodium 90%
dieksresikan melalui urin, dengan demikian EIU dapat menggambarkan intake
seseorang . Indikaror utama untuk melihat kemajuan pnanganan GAKI ada dua,
pertama untuk melihat niai asupan iodium dipakai kadar iodium dalam garam
kedua untuk melihat impak adalah dngan pemeriksaan EIU.
Berdasarkan WHO/UNICEF/ICCIDD telah disepakati pengambilan
sampel urin menggnakan urin sewaktu sebab urin 24 jam atau urin pagi sulit
didapatkan pada studi lapangan. Pada pengukuran di seluruh dunia adalah metode
Acid digestion dnegan larutan ammonium persulfate. . Pertimbangan pemilihan
metode ini adalah mudah, cepat dan tidak memerlukan alat yang terlalu mahal.
Metode ini menggunakan prinsip kolorimetri (Sartini, 2012)

b.

Tujuan Pemeriksaan EYU


Pemeriksaan EYU bertujuan untuk melihat berat ringannya endemisitas GAKY

di suatu daerah. Pemeriksaan EIU digunakan untuk mengukur asupan iodium.


EIU merupakan indikator yang palng dini akan terjadinya defisiensi dan paling
sensitive menggambarkan kecukupan yodium.(Panjaitan, 2008.) Panjaitan, rotua.
2008. Pengaru karakteristik ibu dan pola konsumsi pangan keluarga terhadap
status GAKY anak SD di Kabupaten Dairy tahun 2007. Tesis. Fakultas Kesehatan
Masyarakat,. Unversitas Sumatera Utara diakses pada 6 januari 2016.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6737/1/09E00718.pdf )
c.

Nilai Normal EIU


Tabel 6 Kriteria Kadar Eksresi Iodium Urine

(Rasipin, 2011).
(Rasipin, 2012)

1.

2. Faktor Risiko lain Penyebab Kekurangan Asupan Iodium


Faktor Geografi
Prevalensi gondok berdsarkan letak geografis yang diolah berdasarkan
prevalensi gondok pada anak sekolah meunjukkan bahwa dataran tinggi sebesar
30,3 %, disusul daerah dataran rendah (8,7%) dan di daerah rawa hanya sebesar
2,8 % . Dengan uji proporsi ditemukan perbdaan yang bermakna antara prevalensi

gondok di daerah tinggi dan rendah serta perbedaan bermakna antara dataran
tinggi dan rawa (Fredy dalam Saidin 2009)
Djokomoelyanto dalam Saidin 2009 mengemukanan bahwa dataran tinggi atau
pegunungan biasanya miskin akan yodium karena lapisan paling atas dari tanah
yang megandung yodium terkikis dari waktu ke waktu. Sebalinya tanah di dataran
rendah kemungkinan terkikis lebih kecil sehingga di duga kandungan yodium
masih normal . Di daerah rawa diharapkan tidak terjadi pengikisan tanah sehingga
kadar yodium tanah dan air cukup tinggi.
2.

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang terpentiing adalah agen-agen goitrogen. Goitrogen
adalah zat atau bahan yang dapat menggangu pembentukan hormon tiorid, sehinga
dpat menyebabkan pembesaran kelenjar tioid (gondok) (Djokomoelyanto dalam
Saidin 2009)
Terdapat 2 jenis goitrogen yaitu; goitrogen alami dan sintesis. Goitrogen alami
yang paling penting adalah singkong dan kubis. Sedangkan goitrogen sintesis
adalah insektisida, organoklor(DDT, DDD, dan Dieldrin), fungisida, dan
antibiotik (tetrasiklin)

a.

Pengaruh goitrogen alami


Goitrogen alami dapat dikelompokkan menjadi 3:
1. Kelompok tiosianat atau senyawa mirip tiosianat yang secara primer
menghambat mekanisme transport aktif iodium ke dalam kelenjar
tiroid. Makanan-makanan tinggi tiosianat adalah singkong, jagung,
rebung, ubi jalar dan buncis besar
2. Kelomok tiourea, tionamide, tioglicoside , bioflavonoid dan disulfide
aflifatik. Kelompok ini bekerja menghambat organifikasi yodium dan
penggabungan yodotirosin dalam pembentukan hormone tiroid aktif.
Kelompok ini ditemukan dengan konsentrasi tinggi dalam bahan
makanan seperti sorgum, kacang-kacangan, bawang merah dan garlic.
3. Kelomok yodida. Senyawa ini bekerja pada proses proteolisis dan rilis
hormone tiroid.

b.

Pengaruh Faktor Goitrogen Sintesis


Goitrogen sintessis adalah goitrogen yang berasal dari produk obatobatan seperti obat anti tiroid(thiorasil dan thiourea) atau bahan kimia
seperti insektisida atau pestisida yang sering digunakan petani untuk
membunuh hama. Penelitian yang pernah dilakukan di Kecamatan
Srumbung oleh Ance Murdiana tahun 2001, menemukan bahwa bahan
makanan yang sering dikonsumsi dan diduga banyak mengandung
goitrogenik di daerah endemic adalah singkong dan berbagai macam
sayuran seperti slada air, daun mlinjo. Zat goitrogenik yang terdapat
dalam berbagai bahan makanan tersebut terutama sianida (linamarin).
Sianida yang bersifat racun yang terkonsumsi oleh masyarakat dapat
didetoksifikasi dengan diubah menjadi tiosianat. Tiosianat akan
dikeluarkan didalam urin. Penentuan tiosianat dalam win dapat
digunakan sebagai tanda atau marker bahwa masyarakat mengkonsumsi
bahan makanan yang bersifat goitrogenik Penentuan tiosianat dalam urin
dilakukan dengan metoda Bradbury. Untuk mengetahui status yodium
urin dilakukan analisis kandungan yodium dalam urin dengan metoda
'weoot digestion' reaksi Sandell-Kolthof.
A. Pengaruh Faktor Goitrogen Sintetis
Goitrogen sintetis adalah goitrogen yang berasal dari produk obatobatan seperti obat anti tiroid (thiourasil dan thiourea) atau bahan kimia
seperti insektisida atau pestisida yang sering digunakan petani untuk
membunuh hama. Ada 2 macam obat yang biasa digunakan yakni: thioda
dan obat biru. Keduanya banyak mengandung chlor. Ikan kecil yang mati
akibat obat tersebut dikonsumsi oleh masyarakat di sekitar tambak tersebut.
Dilakukan pengambilan darah untuk mengetahui kandungan Clor
dalam plasma darah dan dilakukan pengumpulan data konsumsi terutama
konsumsi ikan yang mati karena tercemar obat pembasmi ikan predator.
Hasil analisis kadar chlor, nilai T3 dan T4 dalam plasma penderita dan
bukan penderita gondok. Hasil analisis menunjukkan

pada lingkungan

yang

banyak

menggunakan

obat

pembasmi

ikan

predator

yang

mengandung chlor ada kemungkinan untuk ditemukan kasus gondok.


B. Pengaruh penggunaan pestisida
Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian khususnya sayuran
dapat menurunkan kadar hormon tiroid dan selanjutnya akan memicu
terjadinya kejadian gondok. Hal serupa pernah terjadi di Amerika.Utara, di
sekitar danau Michigan ditemukan banyak burung mati karena minum air
danau yang tercemar pestisida yang berasal dari buangan limbah pertanian.
C. Pengaruh Cemaran Pb dan Hg
Meningkatnya prevalensi atau kasus Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium (GAKI) di dataran rendah seperti yang ditemukan pada survey
nasional pemetaan GAKI th 1996/98 diduga ada hubungan dengan
cemaran Pb dan Hg yang berasal dari limbah pabrik atau dari cemaran
emisi gas buangan kendaraan bermotor. Kejadian gondok di dataran
rendah (tempat penelitian) bukan karena kekurangan yodium akan tetapi
ada indikasi kuat lebih disebabkan karena adanya "Blocking Agent".
Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar Pb darah dengan kejadian
gondok. Penelitian lain yang dilakukan di Jogyakarta oleh Samsudin
menemukan sebanyak 55,9% responden terkontaminasi Pb akibat polusi
dari kendaraan bermotor. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan
yang bermakna antara kadar Pb dalam darah dengan fungsi tiroid dengan
nilai p=0.018 dan RR= 3,99. Disimpulkan bahwa WUS yang tinggal
diperkotaan yang terpapar cemaran Pb mempunyai resiko menjadi gondok
sebesar 4 kali dibandingkan dengan WUS yang tidak terpapar Pb.
D. Faktor-faktor lain yang ikut berpengaruh terhadap terjadinya GAKI
1. Faktor Unsur Kelumit (Trace Elemen)
Timbulnya gondok endemik tidak hanya disebabkan oleh
faktor geografis dan lingkungan dapat juga disebabkan oleh faktor
unsur kelumit seperti timah hitam (Pb), air raksa (Hg), tembaga
(Cu) dan selenium (Se). Faktor unsur kelumit yang penting adalah

unsur selenium (Se). Defisiensi Se dapat menyebabkan tubuh


rentan terhadap masuknya unsur Pb, Hg dan Cu. Asupan yang
berlebih dari Pb dapat menghambat pembentukan hormon tiroid
karena Pb akan membentuk ikatan yang kuat dengan yodium.
2. Faktor Kurang Energi Protein (KEP) dan Kurang Vitamin A (KVA).
Untoro, mengungkapkan bahwa terdapat kemungkinan
gangguan penyerapan yodium pada penderita KEP sehingga akan
memperberat masalah GAKI di daerah gondok endemik, terutama
bila konsumsi yodium terbatas. Kekurangan vitamin A juga
berdampak terhadap metabolisme yodium. Penelitian Widardo
menunjukkan bahwa anak balita yang diberi intervensi Selenium
dan vitamin A terjadi peningkatan status gizi (BB/U, TBAJ) dan
status yodium (TSH) lebih baik dibandingkan dengan anak balita
pembanding (kontrol).(Saidin, 2009)

DAFTAR PUSTAKA BAGIAN 2


Rasipin.2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejqadian Goiter pada
Siswa-siswa SD di Wilayah Pertanian di Kecamatan Bulakamba
Kab.Brebes.Semarang:Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
Semarang.eprints.undip.ac.id/45146/1/TESIS-(Tanpa_Daftar_Pustaka).pdf
Rasipin 2011 diakses pada 6 januari 2016
Saidin, Sukati, 2009. Keadaan Geografi dan Lingkungan dengan Gangguan
Akibat Kurang Yodium. Media Litbang Kesehatan Volume XIX Nomor 2
tahun 2009.
Suhartono. 2014. Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan. Fakultas Kessehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro

http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/images/publikasi/prosiding/1KEBIJAKAN-LINGKUNGAN-KESEHATAN/2-Suhartono-Dampak
%20Pestisida%20Terhadap%20Kesehatan.pdf diakses pada 7 Januari 2016.

BAGIAN 3:
Untuk mencari faktor risiko dari kejadian goiter pada siswa SD di keempat desa
tersebut kemudian Anda mencari informasi tentang kegiatan/perilaku masyarakat
di lokasi dengan observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara

tersebut

diperoleh

informasi

sbb:

kegiatan/pekerjaan

utama

masyarakat di keempat desa tersebut adalah di bidang pertanian; komoditas


pertanian paling utama di desa A, C dan D adalah bawang merah dan cabe;
sementara untuk desa B komoditas utama adalah padi.
TUGAS 3:
1. Berdasarkan penjelasan di Bagian 3, dan dengan melihat kembali data TGR
untuk masing-masing desa di Bagian 1, apa yang Anda pikirkan?Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa Desa dengan jenis pertanian bawang
merah/cabe memiliki nilai TGR yang jauh lebih tinggi daripada desa yang
jenis pertaniannya padi. Desa A, C, dan D termasuk dalam Daerah GAKI

sedang, sedangkan Desa B termasuk dalam daerah GAKI ringan. Hal tersebut
menandakan bahwa masyarakat di Desa dengan komoditas pertanian bawang
merah dan cabe memiliki faktor risiko yang tinggi untuk terkena goiter dari
pada masyarkat di Desa dengan komoditas pertaniannya padi berdasarkan
perilaku penggunaan pestisida pertanian.

Jawaban :
Dari kasus diatas dapat diketahui kegiatan/pekerjaan utama masyarakat di
keempat desa di kabupaten brebes adalah sebagai petani. Mayoritas pekerjaan
sebagai petani erat kaitannya dengan penggunaan pestisida, hal ini bisa menjadi
indikasi mengapa di empat desa tersebut mengalami kasus GAKY. Pestisida
terdapat agen-agen goitrogen, didalamnya yaitu zat atau bahan yang dapat
mengganggu pembentukan hormon tiroid, sehingga dapat menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid atau gondok
Pestisida mempunyai pengaruh negatif terhadap hormon tiroid. Zat-zat
polutan dapat menghambat pengikatan yodium pada pembentukan mono dan
diiodotirosin atau sebagai prekursor hormon pembentukan hormon T3 dan T4
terhambat. Penurunan hormon tiroid akan meningkatkan produksi Thyroid
Stimulating Hormon (TSH), hal demikian dikenal dengan hipotiroid. Hipotiroid
seringkali ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid, yang disebut sebagai goiter
(gondok) (Saidin , 2009)
Tingginya TGR yang terdapat pada desa A, C, dan D bisa disebabkan karena
komoditas pertanian utama di ketiga Desa tersebut adalah bawang merah dan
cabe, dibandingkan desa B dengan komoditas pertanian utama berupa padi.
Menurut Suhartono (2014 )dijelaskan bahwa komoditas pertanian berupa bawang
dan cabe akan meningkatkan perilakupetani untuk melakukan penyemptotan lebih
sering, dengan penggunaan pestisida yang tinggi pula. Kedua jenistanaman ini
yakni bawang merah dan caeb memebutuhkan intensitas penyemprotan pestisida
yang sangat tinggi yakni sekitar dua kali seminggu, abhakan dua hari skelai pada

musim penghujan.Sementara Desa B memiliki komoditas berupa padi.


Penggunaan pestisida untuk tanaman ini berbeda dengan tanaman bawang merah
dan baang putih, dimana intensitas penyemprotannya relatf lebih jarang yakni
sekitar sebulan sekali.
DAFTAR PUSTAKA BAGIAN 3
Saidin, Sukati, 2009. Keadaan Geografi dan Lingkungan dengan Gangguan
Akibat Kurang Yodium. Media Litbang Kesehatan Volume XIX Nomor 2
tahun 2009.
Suhartono. 2014. Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan. Fakultas Kessehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro

http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/images/publikasi/prosiding/1KEBIJAKAN-LINGKUNGAN-KESEHATAN/2-Suhartono-Dampak
%20Pestisida%20Terhadap%20Kesehatan.pdf diakses pada 7 Januari 2016.
BAGIAN 4:
Tertarik akan adanya perbedaan yang cukup mencolok angka TGR antara desa
dengan jenis pertanian bawang merah/cabe dibanding padi, maka Anda
melakukan observasi dan wawancara lebih mendalam dengan masyarakat/petani
di keempat desa. Hasilnya adalah bahwa terdapat perbedaan dalam penggunaan
pestisida antara jenis pertanian bawang merah/cabe dengan padi. Pada jenis
pertanian bawang merah, petani melakukan penyemprotan 3-4 kali/minggu
dengan dosis di atas standar yang tertulis dalam kemasan; sementara pada jenis
pertanian padi, penyemprotan hanya dilakukan 1-2 kali/bulan. Jenis pestisida yang
paling banyak digunakan di lokasi adalah golongan organopospat.
TUGAS 4:
1. Terkait dengan definisi epidemiologi deskriptif, simpulan sementara apa
yang dapat Anda ambil berdasarkan penjelasan di Bagian 4;
2. Dari hasil observasi dan wawancara yang tertuang di Bagian 4, apakah
anda

sudah

dapat

membuat

suatu

perumusan

mengembangkan pertanyaan penelitian dan hipotesis;

masalah

atau

3. Cari teori yang dapat menjelaskan kemungkinan pestisida sebagai


penyebab (faktor risiko) kejadian gangguan fungsi tiroid (goiter) dan
jelaskan bagaimana patogenesisnya!
4. Kembangkan kerangka teori dan kerangka konsep
Jawaban :
1. Epidemiologi deskriptif berdasarkan kasus
Epidemiologi deskriptif adalah cabang epidemiologi yang ditujukan untuk
menentukan jumlah atau frekuensi dan distribusi penyakit di suatu daerah
berdasarkan variable tempat, orang, dan waktu.
a.
o

Karakteristik orang
Usia
Usia merupakan variable yang selalu harus diperhitungkan dalam studi
epidemiologi. Perbedaan angka penyakit yang ada antar kelompok dalam populasi
belum dapat diinterpretasikan sebelum memperhitungkan relevansi kemungkinan
adanya perbedaan usia antar kelompok-kelompok tersebut.
Berdasarkan kasus diketahu bahwa kejadian gondok yang terjadi di empat
desa di kabupaten Brebes terjadi pada anak-anak SD dengan usia antara 6-12
tahun.

b.

Karakteristik Tempat
Frekuensi penyakit di berbagai wilayah menujukkan variasi yeng besar dalam
distribusi geografinya. Berdasarkan kasus diketahui bahwa , kejadian gondok
yang terjadi di empat desa di kabupaten Brebes terjadi pada siswa SD yang
tinggal pada daerah pertanian, dimana para petani menggunakan banyak pestisida.
Khususnya petani bawang merah dan cabai yang melakukan penyemprotan 3-4
kali/minggu dengan dosis yang melebihi ambang batas Hal ini dijadikan indikasi
bahwa penyakit gondok di 3 Desa yaitu Desa, A,C, dan D lebih tinggi ( desa A
(23,5%), desa C (32,1%) dan desa D (24,5%)) lebih tinggi dibandingkan pada

desa B (8,9%) yang merupakan banyak petaninya menanam padi yang


penyemprotan hanya dilakukan 1-2 kali/bulan.
c.

Karakteristik Waktu
Data runtun-waktu (time-series) dapat menunjukkan adanya kecenderungan
tertentu (peningkatan atau penurunan tingkat morbiditas atau mortalitas) untuk
berbagai penyakit ataupun kematian oleh sebab tertentu. Kecenderungan demikian
sering terjadi dalam rentang waktu puluhan tahun, sehingga tidak disadari oleh
populasi yang bersangkutan. Data runtun-waktu juga sangat berguna untuk
menentukan adanya wabah
(http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidanan/bab3epidemiologi_deskriptif.pdf)

Berdasarkan hal studi epidemiologi deskriptif diatas , dapat tarik


kesimpulan bahwa:
Penggunaan Pestisida untuk komoditas pertanian seperti bawang, cabai dan padi
berpengaruh pada tinggi/ rendahnya angka TGR di Kabupaten Brebes
2.

Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara terjadinya kasus goiter atau gondok dengan

kegiatan penyemprotan, pengangkutan hasil panen dan penggunaan APD dalam


aktifatis pertanian?
Hipotesis berdasarkan perumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
a. Ada hubungan antara kejadian gondok atau goiter dengan kegiatan
penyemprotan.
b. Ada hubungan antara kejadian gondok atau goiter dengan kegiatan
pengangkutan hasil panen.
c. Ada hubungan antara kejadian gondok atau goiter dengan kegiatan
penggunaan APD.

3.

Teori Pestisida dengan kejadian gondok


Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian khususnya sayuran dapat

menurunkan kadar hormon tiroid dan selanjutnya akan memicu terjadinya


kejadian gondok. Hal serupa pernah terjadi di Amerika.Utara, di sekitar danau
Michigan ditemukan banyak burung mati karena minum air danau yang tercemar
pestisida yang berasal dari buangan limbah pertanian. Saidin, 2009)
Pestisida atau Pest Killing Agent merupakan obat-obatan atau senyawa kimia
yang umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi jasad pengganggu
tanaman, baik hama, penyakit maupun gulma. Penggunaan pestisida pada suatu
lahan, merupakan aplikasi dari suatu teknologi yang pada saat itu, diharapkan
dapat membantu meningkatkan hasil pertanian dan membuat biaya pengelolaan
pertanian menjadi lebih efisien dan ekonomis. Pemakaian pestisida biasanya
dilakukan karena adanya kekhawatiran petani akan adanya serangan hama yang
dapat menurunkan hasil pertaniannya. Intensitas pemakaian pestisida yang tinggi,
dan dilakukan secara terus menerus pada setiap musim tanam akan menyebabkan
beberapa kerugian, antara lain residu pestisida akan terakumulasi pada produkproduk pertanian dan perairan, pencemaran pada lingkungan pertanian, keracunan
pada hewan, keracunan pada manusia sehingga berdampak buruk terhadap
kesehatan manusia. Dampak buruk pestisida ini bukan hanya mengenai petani
atau pekerja yang menyemprot pestisida saja, tetapi juga dapat mengenai keluarga
dan tetangga di mana kegiatan itu dilakukan. Keracunan pestisida dapat bersifat
akut maupun kronis. Keracunan pestisida yang akut ada yang bersifat lokal ada
juga yang bersifat sistemik. Keracunan pestisida yang bersifat sistemik dapat
menyerang sistem syaraf, hati atau liver, perut, sistem kekebalan dan
keseimbangan hormonal. Keracunan pestisida dapat ditemukan dengan memeriksa
aktifitas cholinesterase dalam darah. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
keracunan pestisida meliputi beberapa faktor antara lain, umur, tingkat
pendidikan, masa kerja, lama kerja per hari, jenis pestisida, dosis pestisida,
frekuensi penyemprotan, waktu penyemprotan, arah angin waktu penyemprotan
dan penggunaan alat pelindung diri (APD)

Penelitian terhadap hewan menunjukan bahwa pestisida mempengaruhi


produksi hormon dalam tubuh. Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh
organ-organ seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium
untuk mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida dapat
menyebabkan pembesaran tiroid yang akhirnya kanker tiroid. Kelenjar tiroid
menghasilkan hormon tiroid yang berguna untuk metabolisme dan pertumbuhan
yang dalam pembentukan hormon tiroid dipengaruhi oleh asupan iodium.
Kekurangan iodium akan menimbulkan gangguan yang dikenal dengan gangguan
akibat kekurangan Iodium (GAKI), gangguan ini berpengaruh terhadap sintesa
hormon tiroid. Gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) dapat dipengaruhi
banyak faktor antara lain, asupan iodium (Intake Iodium) dan jenis makanan yang
dikonsumsi (goitrogenic). Selain itu kerusakan jaringan dan penyakit penyakit
tertentu yang berhubungan dengan sistem endokrin juga memberikan pengaruh.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida antara
lain:
1. Umur; fenomena alam, semakin lama seseorang hidup semakin
bertambah umurnya dan semakin banyak pula pemaparan yang dialaminya.
Semakin bertambah tua seseorang maka kemampuan metabolismenya akan
mengalami penurunan, demikian juga fungsi enzim cholinseterasenya akan
mengalami penurunan aktifitasnya
2. Tingkat Pendidikan; pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan
formal juga akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan adaptasi
seseorang serta lebih mudah menerima pesan-pesan yang disampaikan.
Sehingga penanganan/pengelolaan pestisida juga akan lebih baik3
3. Masa Kerja; merupakan masa waktu berapa lama petani mulai
melakukan pekerjaannya. Sehingga semakin lama ia menjadi petani maka
semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadi kontak dengan pestisida.
Penurunan aktifitas cholinesterase dalam darah akan terjadi hingga 2
minggu setelah penyemprotan.

4. Lama kerja per hari; dalam melakukan penyemprotan seseorang tidak


boleh lebih dari 2 jam. Semakin lama melakukan penyemprotan maka
akan semakin tinggi intensitas pemaparan yang terjadi
5. Jenis pestisida; kaitannya dengan efek fungsi fisiologis yang
ditimbulkan terhadap tubuh, golongan organofosfat dan Carbamate lebih
berbahaya dalam bentuk gas.
6. Dosis pestisida; pemakaian besar, maka akan semakin mempermudah
terjadinya keracunan pada petani pengguna.
7. Frekuensi penyemprotan; semakin sering

petani

melakukan

penyemprotan dengan menggunakan pestisida, maka akan semakin besar


pula kemungkinan untuk terjadinya keracunan.
8. Waktu penyemprotan; perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan
penyemprotan berkaitan dengan suhu lingkungan yanag dapat membuat
pengeluaran keringat lebih banyak pada siang hari, sehingga akan terjadi
kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih mudah.
9. Arah angin waktu penyemprotan; harus diperhatikan oleh petani pada
saat melakukan kegiatan penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila
dilakukan searah dengan arah angin.
10. Penggunaan Alat Pelindung diri; penggunaan alat pelindung diri
merupakan proteksi untuk mecegah terjadinya kecelakaan akibat kerja,
termasuk terjadinya keracunan pestisida pada petani waktu melakukan
kegiatan penyemprotan (Sungkawa,2008)
Pestisida golongan organofosfat adalah pestisida yang tidak persisten
dapat diurai di alam menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya namun bersifat
sangat toksik bagi manusia (diazinon, malation, dimetoat dan klorpirifos )
(Miskiyah, 2009). Beberapa penelitian tentang residu pestisida pada sayuran
didapatkan residu insektisida golongan organofosfat dengan kandungan
profenofos dan klorpirifos pada bawang merah 0,565 1,167 ppm, cabe merah
0,024 1,713 ppm (Hidayat, 2012).Pestisida tersebut merupakan Thyroid
Disrupting Chemicals (TDCs). Banyak penelitian sudah membuktikan bahwa
paparan organophospat berdampak hipotiroidisme. Paparan klorpirifos dosis 5
mg/KgBB pada tikus wistar selama 14 hari menyebabkan hipotiroid dengan

menurunkan kadar hormon T3 dan T4 serta meningkatkan kadar hormon TSH.


Hal ini terjadi karena paparan klorpirifos menyebabkan degenerasi dan apoptosis
sel-sel folikel tiroid yang diikuti dengan penurunan sekresi sel-sel tersebut
Patogenesis
Ketika pestisida masuk ke dalam tubuh, pestisida akan menempel pada
enzim kholinesterase, akibatnya terjadi hambatan pada aktifitas enzim
kholineterase, sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkolin) pada sel efektor.
Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan pada syaraf yang berupa aktifitas
kholinergik secara terus menerus akibat asetilkolin yang tidak dihidrolisis.
Asetilkolin berperan sebagai jembatan penyebrang bagi mengalirnya getarangetaran syaraf. Melalui system syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh
menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi aktifitas sel pada organ.
Pada system syaraf, stimulasi yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut
syaraf (akson) dalam bentuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetilkolin
diberangkatkan/diteruskan melalui serabut, enzim kholinesterase memcahkan
asetilkolin dengan cara menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuah ion
asetat, impuls syaraf kemudian berhenti
System syaraf pusat dihubungkan dengan hipofisis melalui hipotalamus,
ini adalah hubungan yang paling nyata antara system syaraf pusat dan system
endokrin. Kedua system ini saling berhubungan baik melalui syaraf maupun
vascular. System yang menghubungakan hipotalamus dengan kelenjar hipofisis
dikenal dengan istilah system portal hipotalamus-hipofisis. System portal ini
merupakan saluran vascular yang penting karena memungkinkan pergerakan
releasing

hormone

dari

hipotalamus

ke

kelenjar

hipofisis,

sehingga

memungkinkan hipotalamus mengatur fungsi kelenjar hipofisis. Rangsangan dari


otak mengaktifkan neuron dalam nuclei hipotalamus yang mensintesis dan
mensekresikan protein dengan berat molekul rendah. Protein atau neurohormon
ini dikenal sebagai thyroid stimulating hormone.Tthyroid stimulating hormone
dilepaskan ke dalam pembuluh darah system portal dan akhirnya mencapai sel-sel
dalam kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis sendiri memberi respon terhadap

releasing hormone dengan melepaskan hormon-hormon tropic hipofisis dalam


rangkaian kejadian ini yaitu Thyroid Stimulating Hormone,hormon-hormon yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis diangkut bersama darah dan merangsang
kelenjar-kelenjar lain, menyebabkan pelepasan hormone-hormon kelenjar sasaran.
Sehingga apabila ada gangguan pada system syaraf karena gagalnya enzim
kholinesterase memecah asetilkholin maka fungsinya menjadi berjalan tidak
sempurna dan akibatnya informasi yang seharusnya sampai pada kelenjar menjadi
terganggu dan ini akan mengakibatkan pelepasan hormone-hormon dari kelenjar
sasaran menjadi terganggu.
Umumnya penyakit-penyakit endokrin dapat dipahami melalui aktifitasaktifitas metabolic dari hormone yang terlibat. Kondisi tersebut dapat terjadi
karena kelebihan atau kekurangan pembentukan hormone. Dalam hal ini hormone
tiroid, bila terjadi pembentukan tiroksin yang berlebih, seseorang akan mengalami
peningkatan metabolisme basal dan produksi panas. Penderita hipertirodisme
memperlihatkan tingkat metabolism basal yang tinggi, tidak tahan ppanas dan
berkurangnya berat badan. Sebaliknya, kekurangan tiroksin mengalami efek
metabolism yang berlawanan, seperti metabolism basal yang rendah, peningkatan
kepekaan terhadap sushu dingin.
Gangguan primer pada tingkat reseptor tampak pada pasien-pasien
penyakit graves, dimana suatu proses autoimin membentuk antibody terhadap
reseptor TSH, sehingga meningkatkan fungsi tiroid. Bebrapa senyawa dan
keadaan dapat mengubah sintesis, pelepasan dan metabolism hormone tiroid.
Senyawa-senyawa pestisida seperti perklorat dan tiosianat dapat menghambat
sintesis tiroksin, sebagai akibatnya obat-obatan itu dapat mengakibatkan penuruna
kadar tiroksin dan melalui rangsangan umpan balik negative meningkatkan
pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini mwngakibatkan pembesaran
kelenjar tiroid dan timbulnya goiter. Kelompok senyawa tiokarbamid yang
berhubungan dengan tiourea juga menghambat iodinasi monoiodotirosin
(pengikat organik iodide) dan menghambat reaksi penggabungan. Iodinasi tirosin
dihambat senyawa tersebut karena berkompetisi dengan residu tirosin mengambil

iodium da mengalami iodinasi. Selain itu senyawa tersebut juga menghambat


5DI, menurunkan T4 menjadi T3 pada banyak jaringan non tiroid. Tiokaramid
tidak menghambat pengambilan iodide, karena peningkatan sekresi TSH, maka
ambilan awal iodium sebenarnya meningkat, namun karena peningkatanyya
terhambat, maka iodium tidak disimpan (Sungkawa, 2008)

Kerangka Teori
Faktor lingkungan
-Jenis tanaman
-arah angin
-waktu penyemprotan

Faktor perilaku
-Intensitas penyemprotan
-lama kerja per hari
-penggunaan APD
-Kebiasaan Cuci Tangan
-Aktivitas bermain di lahan
pertanian
-penyimpanan pestisida di
dalam rumah
-ikut melakukan kegiatan
pertanian dengan orang tua

Faktor genetik
Kelainan metabolic
kongenital (Penyakit graves)

Faktor pelayanan
kesehatan
Akses dan pemeriksaan
penyakit gondok

Kejadian
goiter/gon
dok

Kerangka Konsep

Faktor lingkungan
-Jenis tanaman
-arah angin
-waktu penyemprotan

Faktor perilaku
-Intensitas penyemprotan
-lama kerja per hari
-penggunaan APD
-Kebiasaan Cuci Tangan
-Aktivitas bermain di lahan
pertanian
-penyimpanan pestisida di
dalam rumah
-ikut melakukan kegiatan
pertanian dengan orang tua

Kejadian
goiter/gon
dok

DAFPUS BAGIAN 4
Saidin, Sukati, 2009. Keadaan Geografi dan Lingkungan dengan Gangguan
Akibat Kurang Yodium. Media Litbang Kesehatan Volume XIX Nomor 2
tahun 2009.

Sungkawa,hendra budi. 2008. Hubungan Riwayat Paparan Pestisida Dengan


Kejadian Goiter Pada Petani Holtikultura Di Kecamatan Ngablak
Kabupaten Magelang.Magister kesehatan lingkungan. Universotas
diponegoro semarang.
Hidayat, Nur Ilma. 2008. Identifikasi Residu Pestisida Klorpirifos dan Profenofos
pada Bawang (Allium ascalonicum) di Pasar Terong Market dan Lotte Mart
Kota Makassar. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin
Semarang.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4321/NUR
%20ILMA%20HIDAYAT_K11109294.pdf?sequence=1 diakses pada 10
Januari 2016
(http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidanan/bab3epidemiologi_deskriptif.pdf) diakses pada10 Januari 2016
BAGIAN 5:
Untuk menjawab hipotesis, Anda melakukan pengambilan data di lapangan,
dengan populasi adalah semua siswa SD di keempat desa; sampel (subyek
penelitian) Anda sebanyak 120 siswa SD. Berdasarkan hasil wawancara tentang
jenis kegiatan pertanian dan perilaku penggunaan alat pelindung diri serta
pemeriksaan palpasi kelenjar tiroid didapatkan data sbb:
1. Hasil palpasi: 30 siswa positif goiter
2. Hasil wawacara dan observasi:
a. Terlibat dalam kegiatan penyemprotan 40 siswa, 15 di antaranya
positif goiter;
b. Terlibat dalam kegiatan mengangkut hasil panen 59 siswa, 14 di
antaranya positif goiter;
c. Selalu menggunakan APD 50 orang, 7 di antaranya positif goiter
TUGAS 5:
1. Hitung besar risiko dari masing-masing jenis kegiatan pertanian dan
perilaku penggunaan APD untuk kejadian goiter
2. Simpulan apa yang dapat Anda buat berdasarkan tugas no 1?
3. Saran apa yang Anda berikan berdasarkan simpulan? (kaitkan dengan
aspek perilaku dan kebijakan di bidang pertanian/kesehatan)

Jawaban
1.

Besar Risiko
Odds Ratio (OR) digunakan untuk mengestimasi tingkat risiko antara
variable dependen dengan independen.

Cara

menghitung

Odds

Ratio,

sebagai berikut:
Faktor Risiko
Faktor Risiko (+)
Faktor Risiko (-)
Jumlah

Variabel X
A
C
a+c

Variabel Y
B
D
b+d

Odds Ratio = a/c : b/d = ad / bc


Interpretasi nilai OR:
OR < 1
: faktor risiko berhubungan negatif dengan Variabel
OR = 1
: tidak ada hubungan antara factor risiko dengan Variabel
OR 1
: factor risiko berhubungan positif dengan Variabel
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126060-S-5608-Faktor-faktor%20yangMetodologi.pdf)
Pengambilan data di lapangan dengan hasil sebagai berikut:
a. Hasil palpasi : 30 siswa positif goiter
b. Hasil wawancara dan observasi:
1) Terlibat dalam kegiatan penyemprotan 40 siswa, 15 di antaranya
positif goiter;
2) Terlibat dalam kegiatan mengangkut hasil panen 59 siswa, 14 di
antaranya positif goiter;
3) Selalu menggunakan APD 50 orang, 7 di antaranya positif goiter
A. Penyemprotan
Faktor Risiko

Melakukan

Tidak

Jumlah

Penyemprotan

melakukan

Faktor Risiko (+)

15

penyemprotan
15

30

Faktor Risiko (- )

25

65

90

Jumlah

40

80

120

Ods Ratio

Melakukan Penyemprotan : Tidak Melakukan Penyemprotan

15
25

3
5

3
5

15
65

3
13

13
3

13
5
2,6

Nilai Ods Ratio 2,6 karena 1 sehingga ada hubungan positif antara
kejadian gondok dengan kegiatan penyemprotan.
B.

Pengangkutan Hasil Panen

Faktor Risiko

Melakukan
Pengangkutan
Hasil Panen

Tidak
melakukan
Pengangkutan
Hasil Panen

Jumlah

Faktor Risiko (+)

14

16

30

Faktor Risiko (- )

45

45

90

Jumlah

59

61

120

Ods Ratio

Melakukan Pengangkutan : Tidak Melakukan Pengangkutan

14
45

14
45

16
45

45
16

14
16
0,875

Nilai Ods Ratio 0,875 karena < 1 sehingga ada hubungan negatif antara
kejadian gondok dengan kegiatan pengangkutan hasil panen.
C. Penggunaan APD
Menggunaka
n APD

Tidak
Menggunaka
n APD

Jumlah

Faktor Risiko (+)

23

30

Faktor Risiko (- )

43

47

90

Jumlah

50

70

120

Faktor Risiko

Ods Ratio

Memakai APD : Tidak Memakai APD

7
43

7
43

23
47

47
23

329
989
0,33

Nilai Ods Ratio 0,33 karena < 1 sehingga ada hubungan negatif antara
kejadian gondok dengan menggunakan APD
3. Simpulan dari tugas nomer 1
a. Siswa SD yang terlibat kegiatan penyemprotan mempunyai risiko
2,6 kali lebih besar terkena goiter dibandingkan siswa SD yang
tidak terlibat kegiatan penyemprotan
b. Siswa SD yang terlibat dalam kegiatan pengangkutan hasil panen
ber risiko 0,875 kali lebih besar terkena goiter dibandingkan siswa
SD yang tidak terlibat kegiatan pengangkutan hasil panen
c. Siswa SD yang tidak menggunakan APD ber risiko 0,875 kali
lebih besar terkena goiter dibandingkan siswa SD yang
menggunakan APD
Dari hasil dari penghitungan odds ratio dikeathui bahwa ada hubungan positif
antara kejadian goiter atau gondok dengan kegiatan penyemprotan. Kemudian
tidak ada hubungan antara kejadian goiter atau gondok dengan kegiatan
pengangkutan hasil panen dan penggunaan APD. Hasil dari penghitungan odds
ratio ad hubungan positif antara kejadian goiter atau gondok dengan kegiatan
penyemprotan. Kemudian tidak ada hubungan antara kejadian goiter atau gondok
dengan kegiatan pengangkutan hasil panen dan penggunaan APD. Jadi,
berdasarkan tiga perhitungan faktor risiko diatas dapat disimpulkan bahwa siswa
SD yang ikut melakukan kegiatan pertanian dan berinteraksi langsung dengan zat
pestisida di lingkungan pertanian berisiko lebih tinggi menderita goiter daripada
siswa SD yang tidak ikut melakukan kegiatan pertanian.
4. Saran

Berdasarkan UU

nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

bahwa

penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan salah satunya melalui kegiatan


kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan
udara, pengamanan limbah padat, pengamanan limbah cair, limbah gas, radiasi
dan kebisingan, pengendalian vector penyakit , dan penyehatan atau
pengamanan lainnya. Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan dalam
penggunaan pestisida agar tidak menimbulkan masalah kesehatan lingkungan
yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat di wilayah sekitar.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang
Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida.
Penggunaan pestisida adalah menggunakan pestisida dengan atau tanpa alat
yang dipergunakan untuk :

Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak

tanaman;
Memberantas rerumputan;
Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
Mengatur atau merangsang pertumbuhn tanaman;
Memberantas dan mencegah hama liar pada hewan piaraan/ternak;
Memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik dalam rumah

tangga;
Memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia.

Maka berdasarkan beberapa kebijakan pemerintah di atas dapat di


simpulkan saran sebagai berikut :
1

Bagi instansi terkait,terutama Dinas Kesehatan, agar mengembangkan


program monitoring fungsi tiroid dan memberikan perhatian serius
terhadap kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah

pertanian, mengingat jumlah mereka yang sangat besar.


Petani dengan usia yang sudah terlalu lanjut disarankan untuk tidak
melakukan kegiatan pertanian yang menggunakan pestisida. Karena

kemampuan metabolismenya sudah menurun, demikian juga fungsi


2

enzim cholinseterasenya akan mengalami penurunan aktifitasnya.


Memberikan pembinaan kepada petani tentang cara pengaplikasian

pestisida yang baik dan benar.


Petani sebaiknya memperhatikan masa kerja mereka di lahan pertanian.
Masa kerja merupakan masa waktu berapa lama petani mulai
melakukan pekerjaannya. Sehingga semakin lama seseorang menjadi
petani maka semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadi kontak

dengan pestisida.
Petani juga harus memperhatikan Lama waktu kerja per hari. Karena
dalam melakukan penyemprotan pestisida seseorang tidak boleh lebih
dari 2 jam. Semakin lama melakukan penyemprotan maka akan

semakin tinggi intensitas pemaparan yang terjadi.


Sebaiknya petani juga memperhaikan dengan teliti jenis pestisida yang
digunakan, terutama yang memberikan efek fungsi fisiologis bagi tubuh

manusia.
Perhatikan juga dosis pestisida; pemakaian besar, maka akan semakin

mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna.


Perlu dicermati pula waktu penyemprotan. Karena dalam melakukan
kegiatan penyemprotan berkaitan dengan suhu lingkungan yanag dapat
membuat pengeluaran keringat lebih banyak pada siang hari, sehingga
akan terjadi kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih

mudah.
Petani juga harus memperhatikan arah angin saat melakukan
penyemprotan; harus diperhatikan oleh petani pada saat melakukan
kegiatan penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila dilakukan searah

dengan arah angin.


Petani juga perlu menggunakan Alat Pelindung diri; penggunaan alat
pelindung diri merupakan proteksi untuk mecegah terjadinya keracunan

pestisida pada petani waktu melakukan kegiatan penyemprotan.


10 Petani juga dilarang melakukan pencampuran pestisida yang dilakukan
berdasarkan pengalaman sesama petani.
11 Petani juga dilarang melakukan pencampuran pestisida dilakukan dekat
dengan sumber air dan tidak melakukan penuangan dekat dengan tubuh

DAFTAR PUSTAKA BAGIAN 5


Undang Undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 2002 tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran,
Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126060-S-5608-Faktor-faktor%20yangMetodologi.pdf diakses pada 10 Januari 2016

You might also like