You are on page 1of 31

SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Gizi, Endokrin &

Fakultas Kedokteran Umum

Tumbuh Kembang

Universitas Mulawarman

Hipotiroid Kongenital

Disusun Oleh:
Syahidah Amaniyya Ramadhan

0910015043

Pembimbing:
dr. Diane M. Sumpit, Sp. A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2016
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Hipotiroid kongenital (HK) adalah suatu keadaan kurang atau tidak adanya

produksi hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hormon tiroid mempengaruhi
metabolisme sel di seluruh tubuh sehingga berperan penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak. Kekurangan hormon tiroid dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental pada anak.
Hal ini dapat terjadi karena adanya kelainan pada anatomi kelenjar tiroid,
gangguan metabolisme tiroid, atau kekurangan iodium.1
Prevalensi HK sangat bervariasi antar negara. Perbedaan ini dipengaruhi
oleh etnis dan ras. Prevalensi hipotiroid kongenital di Amerika Serikat sekitar 1 :
3500 kelahiran hidup, sedangkan

pada populasi kulit hitam sangat jarang.

Berdasarkan jenis kelamin, angka kejadian HK dua kali lebih tinggi pada anak
perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Di seluruh dunia, prevalensi HK
diperkirakan mendekati 1: 3000 dengan kejadian sangat tinggi di daerah
kekurangan iodium, yaitu 1 : 900. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan
jauh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 1 : 1500 kelahiran hidup.2
Gejala hipotiroid pada bayi baru lahir biasanya tidak terlalu jelas, oleh
sebab itu sangat diperlukan skrining hipotiroid pada neonatus. Program skrining
memungkinkan bayi mendapatkan terapi dini dan memiliki prognosis yang lebih
baik, terutama dalam perkembangan sistem neurologis.3
Program pendahuluan skrining hipotiroid kongenital yang dilakukan di
Bandung dan Jakarta sejak tahun 2000 terhadap lebih dari 100.000 bayi,
didapatkan angka kejadian hipotiroid congenital pertahun antara 1: 2600 dan 1 :
3800.1
Hipotiroid kongenital yang terlambat diketahui dan diobati, dapat
menyebabkan retardasi mental dan akan berdampak pada kualitas sumber daya
manusia.2
1.2

Tujuan
2

Tujuan dari penulisan tutorial ini adalah :


1) Menjelaskan tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, penatalaksaan
dan skrining dari hipotiroid kongenital.
2) Sebagai pemenuhan tugas di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.

BAB II
3

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang tidak

adekuat pada bayi baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh
yang dapat disebabkan oleh kelainan anatomi kelenjar tiroid, kelainan genetik,
kesalahan biosintesis tiroksin serta pengaruh lingkungan.1
2.2.

Embriologi
Kelenjar tiroid janin berasal dari endoderm foregut yang kemudian
bermigrasi ke inferior sampai ke daerah kartilago tiroid. Segala sesuatu yang
terjadi selama proses migrasi ini dapat menyebabkan terjadinya tiroid ektopik.
Pada usia 7 minggu, kelenjar tiroid sudah terdiri dari 2 lobus.2

Gambar 1. Perkembangan Kelenjar Tiroid

Gambar 4. Anatomi Kelenjar tiroid


Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) mulai terdapat dalam neuron pada
neonatus saat usia 4 minggu sedangkan Tiroid Stimulating Hormone (TSH) mulai
dihasilkan oleh hipofisis pada usia 9 minggu, dan dapat dideteksi dalam sirkulasi
pada usia 11 sampai 12 minggu. Kadar TSH dalam darah mulai meningkat pada
usia 12 minggu sampai aterm. Pada usia 4 minggu, janin mulai mensintesis
tiroglobulin. Aktivitas tiroid mulai tampak pada usia 8 minggu kehamilan. Pada
usia kehamilan 8 sampai 10 minggu, janin dapat melakukan ambilan (trapping)
iodium dan pada usia 12 minggu dapat memproduksi T4 yang secara bertahap
kadarnya terus meningkat sampai mencapai usia 36 minggu. Produksi TRH oleh
hipotalamus dan TSH oleh hipofisis terjadi dalam waktu yang berrsamaan, tetapi
integrasi dan fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid dengan mekanisme umpan
baliknya belum terjadi sampai trimester kedua kehamilan.2
Sebelum memasuki trimester kedua kehamilan, perkembangan normal
janin sangat bergantung pada hormon tiroid ibu. Kira-kira sepertiga kadar T4 ibu
dapat melewati plasenta dan masuk ke janin. Apabila ibu hamil mengalami
kelainan tiroid atau mendapatkan pengobatan anti tiroid, misalnya penyakit
Graves maka, obat anti tiroid juga melewati plasenta sehingga janin beresiko
mengalami hipotiroid.2
Sesudah bayi lahir terjadi kenaikan TSH mendadak yang menyebabkan
peningkatan kadar T3 dan T4 yang kemudian secara perlahan-lahan menurun
dalam 4 minggu pertama kehidupan bayi. Pada bayi prematur kadar T4 saat lahir
5

rendah kemudian meningkat mencapai kadar bayi aterm dalam usia 6 minggu.
Semua tahap yang melibatkan sintesis hormon tiroid termasuk trapping, oksidasi,
organifikasi, coupling dan sekresinya berada di bawah pengaruh TSH.2
2.3.

Anatomi dan Fisiologi


Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang menyatu di
bagian tengah oleh bagian sempit kelenjar, sehingga kelenjar ini tampak seperti
dasi kupu-kupu. Kelenjar ini bahkan terletak di posisi yang tepat untuk
pemasangan dasi kupu-kupu, yaitu berada di atas trakea, tepat di bawah laring.
sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi gelembung-gelembung berongga,
yang masing-masing membentuk unit fungsional yang disebut folikel. Dengan
demikian sel-sel sekretorik ini sering disebut sebagai sel folikel. Pada potongan
mikroskopik, folikel tampak sebagai cincin-cincin sel folikel yang meliputi lumen
bagian dalam yang dipenuhi koloid, suatu bahan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan untuk hormon tiroid.3,4
Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal
sebagai tiroglobulin, yang didalamnya berisi hormon-hormon tiroid dalam
berbagai tahap pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon yang
mengandung iodium, yang berasal dari asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin
(T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Awalan tetra dan tri serta huruf bawaan
4 dan 3 menandakan jumlah atom Iodium yang masing-masing terdapat di dalam
setiap molekul hormon. kedua hormon ini yang secara kolektif disebut sebagai
hormon tiroid, merupakan regulator penting bagi laju metabolisme basal
keseluruhan.3,4
Di ruang interstisium di antara folikel-folikel terdapat sel sekretorik jenis
lain, yaitu sel C (disebut demikian karena mengeluarkan hormon peptida
kalsitonin), yang berperan dalam metabolisme kalsium. Kalsitonin sama sekali
tidak berkaitan dengan kedua hormon tiroid utama di atas. Seluruh langkah
sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul besar tiroglobulin, yang kemudian
menyimpan hormon-hormon tersebut. bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid
adalah tirosin dan Iodium, yang keduanya harus diserap dari darah oleh sel-sel
folikel. Tirosin suatu asam amino, disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh,
sehingga bukan merupakan kebutuhan esensial dalam makanan. di pihak lain,
6

Iodium yang diperlukan untuk sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari
makanan.4
Sintesis hormon

tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di dalam

koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks golgi/ retikulum


endoplasma sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam molekul tiroglobulin
sewaktu molekul besar ini diproduksi. Setelah diproduksi, tiroglobulin yang
mengandung tirosin dikeluarkan dari sel folikel ke dalam koloid melaluui
eksositosis. Tiroid menangkap Iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam
koloid melalui suatu pompa Iodium yang sangat aktif atau Iodine trapping
mechanism protein pembawa yang sangat kuat dan memerlukan energi yang
terletak di membran luar sel folikel. Hampir semua Iodium di tubuh dipindahkan
melawan gradien konsentrasinya ke kelenjar tiroid untuk mensintesis hormon
tiroid. Selain untuk sintesis hormon tiroid, Iodium tidak memiliki manfaat lain di
tubuh.3,4
Dalam koloid, Iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam
molekul tiroglobulin. Perlekatan sebuah Iodium ke tirosin menghasilkan
monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua Iodium ke tirosin menghasilkan
diiodotirosin (DIT). Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekulmolekul tirosin beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan dua
DIT (masing-masing mengandung dua atom iodium) menghasilkan (T4 atau
tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid dengan empat Iodium. Penggabungan satu
MIT (dengan satu iodium) dan satu DIT (dengan dua iodium) menghasilkan
triiodotironin atau T3 (dengan tiga iodium). Penggabungan tidak terjadi antara dua
molekul MIT. Karena reaksi-reaksi ini berlangsung di dalam molekul tiroglobulin,
semua produk tetap melekat ke protein besar tersebut. Hormon-hormon tiroid
tetap disimpan dalam bentuk ini di koloid sampai mereka dipecah dan
disekresikan. Diperkirakan bahwa jumlah hormon tiroid yang secara normal
disimpan di koloid cukup untuk memasok kebutuhan tubuh untuk beberapa
bulan.3,4
Pengeluaran hormon-hormon tiroid ke dalam sirkulasi sistemik memerlukan
proses yang agak rumit karena dua alasan. Pertama, sebelum dikeluarkan T4 dan
T3 tetap terikat ke molekul tiroglobulin. Kedua, hormon-hormon ini disimpan di
7

luar lumen folikel, sebelum dapat memasuki pembuluh darah yang berjalan di
ruang interstisium, mereka harus diangkut menembus sel folikel. Proses sekresi
hormon tiroid pada dasarnya melibatkan pemecahan sepotong koloid oleh sel
folikel, sehingga molekul tiroglobulin terpecah menjadi bagian-bagiannya, dan
pelepasan T4 dan T3 bebas ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan yang
sesuai untuk mengeluarakan hormon tiroid, sel-sel folikel memasukkkan sebagian
dari kompleks hormon-tiroglobulin dengan memfagositosis sekeping koloid.
Di dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu dengan
lisosom, yang enzim-enzimnya kemudian memisahkan hormon tiroid yang aktif
secara biologis, T4 dan T3, serta iodotirosin yang nonaktif, MIT dan DIT.
Hormon-hormon tiroid, karena sangat lipofilik, dengan mudah melewati membran
luar sel folikel dan masuk kedalam darah. MIT dan DIT tidak memiliki nilai
endokrin. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim yang dengan cepat
mengeluarkan Iodium dari MIT dan DIT, sehingga Iodium yang dibebaskan dapat
didaur ulang untuk sintesis lebih banyak hormon. Enzim yang sangat spesifik ini
akan mengeluarkan Iodium hanya dari MIT dan DIT yang tidak berguna, bukan
dari T4 dan T3.3,4
Sekitar 90 % produk sekretorik yang dikeluarkan dari kelenjar tiroid
adalah dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat
kali lebih baik daripada T4. Namun sebagian besar T4 yang disekresikan
kemudian diubah menjadi T3, atau diaktifkan melalui proses pengeluaran satu
Iodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4
yang mengalami proses pengeluaran Iodium di jaringan perifer. Dengan demikian
T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel, walaupun
tiroid lebih banyak mengeluarkan T4.3
Setelah dikeluarkan ke dalam darah hormon tiroid yang sangat lipofilik
dengan cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1 % T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada pada bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan
hormon tiroid memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan mampu menimbulkan
suatu efek.3

Terdapat tiga protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon


tiroid: globulin pengikat tiroksin (TBG) yang secara selektif mengikat hormon
tiroid55% dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasiwalaupun namanya hanya
menyebutkan secara khusus tiroksin (T4) albumin yang secara nonselektif
mengikat banyak hormon lipofilik, termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3 dan
thyroxine-binding prealbumin yang mengikat sisa 35% T4.3

Gambar 5. Pengaturan Produksi Hormon Tiroid


2.4

Epidemiologi
Hipotiroid kongenital telah di temukan di berbagai daerah dan ras, dengan

prevalensi terbanyak di Asia dibandingkan daerah lain. Insiden pada kelahiran


hidup bervariasi dari 1:3000 sampai 1:4000 di berbagai belahan dunia. Hal ini
dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, dan faktor autoimun. Penyebab tersering
adalah disgenesis tiroid yang mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada
anak perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1. Anak dengan
sindrom down memiliki resiko 35 kali lebih tinggi untuk menderita hipotiroid
kongenital dibanding anak normal.2
Di Amerika serikat dilaporkan terjadi kenaikan insiden hipotiroid
kongenital dari 1:4094 pada 1987 menjadi 1:2372 pada 2002. Alasan peningkatan
tersebut belum diketahui, tapi diduga karena adanya peningkatan sensitivitas dan
akurasi dari test yang dilakukan terhadap TSH sehingga anak dengan hipotiroid
9

ringan dapat dideteksi. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih


tinggi yaitu sebesar 1:1500 kelahiran hidup.2
2.5

Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi hipotiroid kongenital bervariasi. Berdasarkan penyebabnya

hipotiroid kongenital dapat dikelompokkan menjadi:


1. Hipotiroid kongenital primer permanen, yaitu disebabkan oleh defek pada
perkembangan kelenjar tiroid (disgenesis tiroid), defek ikatan atau transduksi
sinyal TSH (dishormogenesis) dan defisiensi produksi hormon tiroid. 2,7
Disgenesis kelenjar tiroid merupakan penyebab tersering hipotiroid kongenital
yaitu (80%). Hal ini dapat terjadi akibat aplasia, hipoplasia, dan kelenjar tiroid
ektopik. Hipoplasia tiroid dapat disebabkan oleh beberapa defek genetik,
termasuk mutasi pada TSH subunit beta, reseptor TSH, dan faktor transkripsi
PAX8. Mutasi genetik pada faktor transkripsi tersebut dapat mengakibatkan
kelainan organ lainnya. Pada tiroid ektopik, kelenjar tiroid mungkin terdapat
di superior dan inferior tulang hyoid atau di atas kartilago tiroid.2,7
Dihormogenesis meliputi kelainan proses sintesis, sekresi, dan utilisasi
hormon tiroid sejak lahir. Dishormonogenesis juga dapat diakibatkan
defisiensi enzim yang diperlukan dalam sintesis tiroid. Kelainan ini diturunkan
secara autosomal resesif. Kelainan ini mencakup 10% kasus hipotiroid
kongenital. Kelainan ini dapat terjadi karena:2
a. Kelainan reseptor TSH. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan fungsi
reseptor TSH pada membran sel tiroid atau kegagalan sistem adenilat
siklase untuk mengaktifkan reseptor TSH yang sebetulnya normal.
b. Kegagalan menangkap yodium. Keadaan ini disebabkan kegagalan fungsi
pompa yodium untuk memompa yodida konsentrat menembus membran
sel tiroid.
c. Kelainan organifikasi. Keadaan ini yang paling sering dijumpai. Defisiensi
enzim tiroid peroksidase menyebabkan yodida tidak dapat dioksidasi
(disorganifikasi) sehingga tidak dapat mengikat diri pada tirosin di dalam
tiroglobulin.

10

d. Defek coupling. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan enzimatik untuk


menggabungkan MIT dan DIT menjadi T3 maupun DIT dan DIT menjadi
T4.
e. Kelainan deiodinasi. Kegagalan ini menyebabkan MIT dan DIT tidak
dapat melepaskan yodotirosin sehingga recycling yodium terhambat.
f. Produksi tiroglobulin abnormal. Kegagalan ini menyebabkan tiroglobulin
tidak dapat melepaskan T3 dan T4 ke dalam sirkulasi darah.
g. Kegagalan sekresi hormon tiroid. Pada keadaan ini terjadi kegagalan
enzim proteolitik untuk memecah ikatan tiroglobulin-T 4 sebelum
dilepaskan ke dalam sirkulasi.
h. Kelainan reseptor hormon tiroid perifer. Keadaan ini diturunkan secara
autosomal dominan. Keadaan ini terjadi akibat gagalnya ikatan hormon
tiroid dengan reseptor di inti sel jaringan target sehingga hormon tiroid
tidak dapat berfungsi.2
Ibu

yang

mendapatkan

pengobatan

yodium

radioaktif

juga

dapat

mengakibatkan hipotiroid primer permanen. Preparat yodium radioaktif dapat


melewati plasenta setelah usia gestasi 10 minggu, selanjutnya ditangkap oleh
tiroid janin sehingga mengakibatkan ablasio tiroid, stenosis trakea, dan
hipoparatiroid.2,7
2.

Hipotiroid kongenital primer transien2

Ibu dengan penyakit Graves atau mengkonsumsi bahan goitrogenik


Pada ibu yang mengonsumsi PTU propiltiourasil 200-400 mg/hari) dapat
mengakibatkan penurunan sintesis hormon tiroid hingga dua minggu
setelah lahir.

Defisiensi yodium pada ibu atau paparan yodium pada janin atau bayi baru
lahir

Transfer antibodi antitiroid dari ibu


Transfer antibodi antitiroid dari ibu menembus sawar plasenta dan
menghalangi reseptor TSH pada neonatus hingga usia 3-6 bulan kemudian
kadar antibodi tersebut akan menurun.

Bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah yang sakit
11


3.

Idiopatik

Hipotiroid kongenital sekunder menetap


Kelainan ini merupakan 5 % seluruh kasus hipotiroid kongenital, dapat

disebabkan oleh: 2,7

Kelainan kongenital perkembangan otak tengah.


Ini merupakan penyebab defisiensi TSH kongenital. Kelainan ini meliputi
hipoplasia nervus optikus, displasia septooptik, atau dapat juga disertai
labiopalatoskizis.

Aplasia hipofisis kongenital

Idiopatik, yaitu riwayat trauma lahir, hipoksia, dan hipotensi sehingga


mengakibatkan infark hipofisis.2

4.

Hipotiroid kongenital sekunder transien, dapat terjadi pada bayi dengan kadar
T4 total, T4 bebas, dan TSH normal rendah. Keadaan ini sering terjadi pada
bayi prematur karena imaturitas aksis hipotalamus-hipofisis.2
2.6 Patogenesis
Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut

Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan sintesis dan
sekresi hormon tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid primer dengan
peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma.2
Jalur 2
Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid
menurun, sehingga hipofisis non sekresi TSH lebih banyak untuk memacu
kelenjar tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar sesuai dengan
kebutuhan. Akibatnya kadar TSH meningkat dan kelenjer tiroid membesar
(stadium kompensasi). Walaupun pada stadium ini terdapat struma difusa dan
peningkatan kadar TSH, tetapi kadar tiroid tetap normal. Bila kompensasi ini
gagal, maka akan terjadi stadium dekompensasi, yaitu terdapatnya struma difusa,
peningktan kadar TSH, dan kadar hormon tiroid rendah.2

12

Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjer tiroid dapat mengganggu atau
menurunkan sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik, tiroiditis, pasca
tiroidektomi, pasca terapi dengan iodium radioaktif, dan adanya kelainan enzim
didalam

jalur

sintesis

hormon

tiroid)

disebut

dishormogenesis

yang

mengakibatkan sekresi hormon tiroid menurun, sehingga terjadi hipotiroid dengan


kadar TSH tinggi, dengan/tanpa struma tergantung pada penyebabnya.2
Jalur 4A
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan
hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan kadar TSH yang
sangat rendah atau tidak terukur.2
Jalur 4B
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang menyebabkan
sekresi TSH yang menurun akan menyebabkan hipotiroid dengan kadar TSH
rendah dan tanpa struma.2
Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan kadar TSH
yang tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai struma, dan jalur 3
dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4A dan 4B adalah patogenesis hipotiroid
sekunder dengan kadar TSH yang tidak terukur atau rendah dan tidak ditemukan
struma.2
2.7

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan

laboratorium, pemeriksaan radiologis dan skrining.2


Anamnesis
Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu menegakkan
diagnosis dengan menanyakan apakah ibu berasal dari daerah gondok endemik,
riwayat struma pada ibu, riwayat pengobatan anti tiroid waktu hamil atau tidak,
riwayat struma pada keluarga dan perkembangan anak. 2,5

13

Gejala Klinis
Kebanyakan anak dengan hipotiroid kongenital, gejala klinis pada periode
neonatal sangatlah jarang atau ringan dan tidak spesifik, meskipun terdapat
agenesis kelenjar tiroid komplit. 1,6
Berat badan dan panjang lahir adalah normal, tetapi ukuran kepala dapat
sedikit

meningkat

karena

miksedema

otak.

Ikterus

fisiologis

yang

berkepanjangan, yang disebabkan oleh maturasi glukoronid konjugasi yang


terlambat, mungkin merupakan gejala paling awal. Kesulitan memberi makan,
terutama kelambanan, kurang minat, somnolen, dan serangan tersedak saat
dirawat, sering muncul selama umur bulan pertama. Kesulitan bernapas, sebagian
karena lidah yang besar, termasuk episode apnea, pernapasan berbunyi, dan
hidung tersumbat. Sindrom distres pernapasan yang khas juga dapat terjadi. Bayi
yang terkena sedikit menangis, banyak tidur, tidak selera makan, dan biasanya
lamban. Mungkin ada konstipasi yang biasanya tidak berespon terhadap
pengobatan. Perut besar dan biasanya ada hernia umbilikalis. Suhu badan
subnormal, sering dibawah 350C, dan kulit terutama tungkai, mungkin dingin dan
burik (mottled). Edema genital dan tungkai mungkin ada. Nadi lambat, bising
jantung, kardiomegali, dan efusi perikardium asimptomatik biasanya ada. Anemia
makrositik sering ada dan refrakter terhadap pengobatan dengan hematinik.
Karena gejala-gejala muncul secara bertahap, diagnosis sering kali terlambat. 5
Manifestasi ini terus berkembang. Retardasi perkembangan fisik dan
mental menjadi lebih besar selama bulan-bulan berikutnya, dan pada usia 3-6
bulan, gambaran klinis berkembang sepenuhnya. Bila hanya ada defisiensi
hormon tiroid parsial, gejalanya dapat lebih ringan, dan onsetnya terlambat.
Meskipun air susu ibu mengandung sejumlah hormon tiroid, terutama T3, hormon
ini tidak cukup untuk melindungi bayi yang menyusu dengan hipotiroidisme
kongenital, dan tidak mempunyai pengaruh pada uji skrining tiroid neonatus. 5,6
Pertumbuhan anak tersendat, ekstremitas pendek, dan ukuran kepala
normal atau bahkan meningkat. Fontanella anterior dan posterior terbuka lebar.
Pengamatan tanda ini pada saat lahir dapat berperan sebagai pedoman awal untuk
mengenali hipotiroidisme kongenital. Hanya 3% bayi baru lahir normal memiliki
fontanella posterior yang lebih besar dari 0,5cm. Matanya tampak terpisah lebar,

14

dan jembatan hidung yang lebar terlihat cekung. Fisura palpebra sempit dan
kelopak mata membengkak. Mulut terbuka, dan lidah yang tebal serta lebar
terjulur ke luar. Pertumbuhan gigi terlambat. Leher pendek dan tebal, terdapat
endapan lemak di atas klavikula dan diantara leher dan bahu. Tangan lebar dan jari
pendek. Kulit kering dan bersisik, dan sedikit keringat. Miksedema tampak,
terutama pada kulit kelopak mata, punggung tangan, dan genitalia eksterna.
Karotenemia dapat menyebabkan warna kulit menjadi kuning, tetapi skleranya
tetap putih. Kulit kepala tebal dan rambut kasar, mudah patah dan tipis. Garis
rambut menurun jauh ke bagian bawah dahi, yang biasanya tampak mengerut,
terutama ketika bayi menangis. 6
Perkembangan biasanya terlambat. Bayi hipotiroid tampak letargi dan
lamban dalam belajar duduk dan berdiri. Suaranya serak dan bayi tidak mau
belajar berbicara. Tingkat retardasi fisik dan mental meningkat sejalan dengan
usianya. Maturasi seksual dapat terlambat atau tidak terjadi sama sekali. 5
Otot biasanya hipotonik, tetapi pada keadaan yang jarang, terjadi
pseudohipertrofi otot menyeluruh (sindrom Kocher-Debre-Semelaigne sindrome).
Anak yang terkena dapat berpenampilan atletis karena pseudohipertrofi, terutama
pada otot betis. Patogenesisnya belum diketahui. Perubahan ultrastruktural dan
histokimia yang tidak spesifik tampak pada biopsi otot yang kembali normal
dengan pengobatan. Sindrom ini cenderung berkembang pada anak laki-laki, yang
telah diamati pada saudara kandung yang lahir dari perkawinan sedarah. Penderita
menderita hipotiroidisme yang lebih lama dan lebih berat.5
Tabel 1. Gejala Hipotiroid Kongenital 5
Sistem organ
Kulit dan jaringan ikat

Manifestasi Klinis
Kulit dingin, kering dan pucat, rambut
kasar, kering dan rapuh, kuku tebal,
lambat tumbuh
Miksedema, carotenemia, Puffy face,
makroglosi,

erupsi

gigi

lambat,

hipoplasia enamel.
Kardiovaskuler

Bradikardi,

efusi

perikardial,

kardiomegali, tekanan darah rendah.

15

Neuromuskuler

Lamban (mental dan fisik), gangguan


neurologis dan fisik, refleks tendon
lambat, hipotonia, hernia umbilikalis,
retardasi ental, disfungsi serebelum
(pada bayi), tuli.

Pernafasan

Efusi pleura, sindrom sleep apnoe


(obstruksi saluran nafas karena lidah
besar, hipotoni otot faring), sindrom
distress nafas.

Ginjal dan metabolisme Elektrolit

Retensi

air,

edema,

hiponatremia,

hipokalsemia
Metabolisme karbohidrat,

Gemuk, intoleransi terhadap dingin,

lemak dan protein

absorbsi

glukosa

lambat,

hiperlipidemia, sintesis proteolipid dan


protein

pada

susunan

saraf

bayi

menurun.
Saluran cerna dan hepar

Obstipasi (menurunnya gerakan usus),


ikterus

berkepanjangan

(fungsi

konjugasi hepar menurun)


Hematopoetik

Anemia

karena

menurunnya

eritropoesis, kemampuan absorbsi zat


besi rendah.
Skelet/somatik

Produksi GH dan IGF 1 menurun,


menyebabkan hambatan pertumbuhan,
pusat osifikasi sekunder terhambat,
maturitas dan aktifitas sel-sel tulang
menurun.

Reproduksi

Pubertas terlambat, pubertas precoks,


gangguan haid.

16

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hipotiroid kongenital ditemukan nilai TSH meningkat,
dan T3 serta T4 menurun. Kadar T4 serum rendah, kadar T3 serum dapat normal
dan tidak bermanfaat pada diagnosis. Jika defeknya terutama pada tiroid, kadar
TSH meningkat, sering diatas 100U/mL. Kadar prolaktin serum meningkat,
berkorelasi dengan kadar TSH serum. Kadar Tg serum biasanya rendah pada bayi
dengan disgenesis tiroid atau defek sintesis atau sekresi Tg. Kadar Tg yang tidak
dapat dideteksi biasanya menunjukkan aplasia tiroid.1
Pemeriksaan Radiologis
Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan roentgenographi
saat lahir dan sekitar 60% bayi hipotiroid kongenital menunjukkan kekurangan
hormon tiroid selama kehidupan intrauterine. Contohnya, distal femoral epiphysis,
yang biasanya ada saat lahir, sering tidak ada. Pada pasien yang tidak diobati,
ketidaksesuaian antara umur kronologis dan umur osseus meningkat. Epiphyses
sering memiliki beberapa fokus penulangan (epifisis disgenesis), deformitas
(retak) dari vertebra thorakalis 12 atau ruas lumbal 1 atau 2 sering ditemukan.
Foto tengkorak menunjukkan fontanela besar dan sutura lebar, tulang antar sutura
biasanya ada. Sella tursica sering besar dan bulat, dalam kasus-kasus langka
mungkin ada erosi dan menipis. Keterlambatan pada pembentukan dan erupsi
gigi dapat terjadi. Pembesaran jantung atau efusi perikardial mungkin ada. 5
Skintigraphy dapat membantu menentukan penyebab pada bayi dengan
hipotiroid bawaan, tetapi pengobatan tidak boleh ditunda karena pemeriksaan ini.
Pemeriksaan

123

I-natrium iodida lebih unggul dari

99m

Tc-natrium pertechnetate

untuk tujuan ini. Ultrasonographic tiroid sangat membantu, tapi penelitian


menunjukkan jaringan tiroid ektopik yang tidak terdeteksi dengan USG tiroid dan
ini dapat ditunjukkan oleh skintigrapI. Rendahnya level TG serum menunjukkan
agenesis dan peningkatan Tg serum ada pada kelenjar ektopik dan gondok, tetapi
ada tumpang tindih dengan rentang luas. Adanya jaringan tiroid ektopik adalah
diagnostik untuk disgenesis tiroid yang membutuhkan pengobatan seumur hidup
dengan T4. Kegagalan menemukan jaringan tiroid menunjukkan tiroid aplasia,
tetapi hal ini juga terjadi pada bayi dengan defek trapping- iodida. Kelenjar tiroid
yang normal dengan ambilan radionuklida yang normal atau meningkat

17

menunjukkan cacat dalam biosintesis hormon tiroid. Pasien dengan goiter


hipotiroidisme memerlukan evaluasi lebih lanjut yaitu pemeriksaan radioiodine,
uji cairan perklorat, penelitian kinetik, kromatografi, dan pemeriksaan jaringan
tiroid, jika sifat biokimia defek harus ditentukan. 1,5
Elektrokardiogram mungkin menunjukkan gelombang P dan T voltase
rendah dengan amplitudo kompleks QRS yang berkurang dan menunjukkan
fungsi ventrikel kiri jelek dan efusi perikardial. Elektroensefalogram sering
menunjukkan voltase rendah. Pada anak-anak yang berumur lebih dari 2 tahun,
tingkat kolesterol serum biasanya meningkat. MRI otak sebelum pengobatan
dilaporkan

normal,

meskipun

spektroskopi

resonansi

magnetik

proton

menunjukkan tingkat tinggi yang mengandung senyawa kolin, yang mungkin


mencerminkan blok di pematangan myelin. 1,5
2.8

Penatalaksanaan
Tujuan umum pengobatan HK adalah menjamin agar anak mampu

mencapai pertumbuhan dan perkembangan mental mendekati potensi genetiknya.


Keadaan ini bisa dicapai dengan mengembalikan FT4 dan TSH dalam rentang
normal dan mempertahankan status klinis dan biokimiawi dalam keadaan eutiroid
(tiroid normal). Apapun penyebabnya, terapi sulih hormon dengan (pil tiroksin) Lthyroxine harus secepatnya diberikan begitu diagnosis ditegakkan. 8
Secara tujuan pengobatan hipotiroid kongenital adalah : 1
a. Mengembalikan fungsi metabolisme yang esensial agar menjadi normal dalam
waktu singkat. Termasuk fungsi termoregulasi, respirasi, metabolism otot dan
otot jantung yang sangat diperlukan pada masa awal kehidupan seperti proses
enzimatik di otak, perkembangan akson, dendrite, sel glia dan proses
mielinisasi neuron.
b. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak.
c. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya otak.

18

Medikamentosa
Terapi harus dimulai segera setelah diagnosis hipotiroid congenital
ditegakkan. Natrium L-tiroksin (sodium L-thyroxin) merupakan obat yang tepat
untuk pengobatan hipotiroid kongenital. Tiroksin sebaiknya tidak diberikan
bersama-sama dengan makanan yang mengandung goitrogen seperti protein
kedele, zat besi, kalsium atau makanan tinggi serat karena makanan ini akan
mengikat T4 dan atau menghambat penyerapannya.1,2
Pada umumnya dosis bervariasi tergantung dari berat badan dan
disesuaikan dengan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4. 8
Tabel 2. Dosis umum Hormon Tiroid yang diberikan
Usia

Untuk

Na L-T4 (microgram/kgBB)

0 - 3 bulan

10 -15

3 - 6 bulan

8 -10

6 - 12 bulan

6-8

1 - 5 tahun

5-6

6 - 12 tahun

4-5

>12 tahun

23

neonatus

yang

terdeteksi

pada

minggu

awal

kehidupan

direkomendasikan untuk diberikan dosis inisial sebesar 10-15 g/kg/hari karena


lebih cepat dalam normalisasi kadar T4 dan TSH. Pada bayi cukup bulan
diberikan rata-rata 37,5 50 g per hari. Bayi-bayi dengan hipotiroidisme berat
(kadar T4 sangat rendah, TSH sangat tinggi, dan hilangnya epifise femoral distal
dan tibia proksimal pada gambaran radiologi lutut) harus dimulai dengan dosis 15
g/kgBB/hari. 2,8
Besarnya dosis hormon tergantung berat ringannya kelainan. Bayi dengan
hipotiroid kongenital berat, yaitu dengan kadar T4 kurang dari 5 g, sebaiknya
diberikan 50 g. Pemberian 50 g lebih cepat menormalisir kadar T4 dan TSH. 8
Secara umum pengobatan langsung dengan dosis penuh aman bagi
neonatus. Bila ada tanda-tanda kelainan jantung atau tanda-tanda dekompensasi
jantung, maka pengobatan dianjurkan dimulai dengan dosis rendah, yaitu 1/3

19

dosis, dan setelah selang beberapa hari dinaikkan 1/3 dosis lagi sampai dosis
penuh yang dianjurkan tercapai. 2
Monitoring
Untuk menentukan dosis pengobatan yang diberikan, harus dilakukan
pemantauan kemajuan klinis maupun kimiawi secara berkala karena terapi setiap
kasus bersifat individual.
Pemantauan pada pasien dengan hipotiroid kongenital antara lain:
1. Pertumbuhan dan perkembangan
2. Pemantauan kadar T4 bebas dan TSH
Kadar T4 serum harus dijaga dalam batas normal (10-16 g/dl) atau T4
bebas dalam rentang 1,4-2,3 ng/dl dengan TSH serum dipertahankan < 5 mU/L.
Jadwal pemeriksaan kadar T4 dan TSH, yaitu :
-

Setelah 2 minggu dan 4 minggu sejak pengobatan Tiroksin

setiap 1-2 bulan selama 6 bulan pertama,

setiap 3-4 bulan pada usia 6 bulan3 tahun,

selanjutnya tiap 6-12 bulan pada umur 3-18 tahun.


Selain itu, kadar T4 dan TSH juga harus diperiksa 4 minggu setelah

perubahan dosis. Hal ini penting untuk mencegah pengobatan yang berlebihan.
Efek samping dari pengobatan berlebihan ini adalah fusi dini dari sutura,
percepatan kematangan tulang, dan masalah pada tempramen, dan perilaku. 8
2.9

Prognosis 1,2
Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi hipotiorid

kongenital, prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari sebelumnya.


Diagnosis awal dan pengobatan yang cukup sejak umur minggu pertama
kehidupan memungkinkan pertumbuhan linier yang normal dan intelegensinya
setingkat dengan saudara kandung yang tidak terkena. Tanpa pengobatan bayi
yang terkena menjadi cebol dan defisiensi mental. Bila pengobatan dimulai pada
usia 46 minggu IQ pasien tidak berbeda dengan IQ populasi kontrol. Program
skrinng di Quebec (AS) mendapatkan bahwa IQ pasien pada usia 1 tahun sebesar
115, usia 18 bulan sebesar 104, dan usia 36 bulan sebesar 103. Pada pemeriksaan
di usia 36 bulan didapatkan hearing speech dan practical reasoning lebih
20

rendah dari populasi control. Pada sebagian kecil kasus dengan IQ normal dapat
dijumpai kelainan neurologis, antara lain gangguan koordinasi motorik kasar dan
halus, ataksia, tonus otot meningggi atau menurun, gangguan pemusatan perhatian
dan gangguan bicara. Tuli sensorineural ditemukan pada 20% kasus hipotiroid
kongenital.
2.10

Skrining hipotiroid kongenital


Kunci keberhasilan pengobatan anak dengan HK adalah dengan deteksi

dini dan pengobatan sebelum anak berumur 1-3 bulan. HK sendiri sangat jarang
memperlihatkan gejala klinis pada awal kehidupan. Bila gejala klinis sudah
tampak, berarti ada keterlambatan penanganan.
Pada hipotiroid kongenital, skrinning merupakan manajemen yang paling
penting dilakukan. Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) sebaiknya dilakukan
pada semua bayi baru lahir sebelum timbulnya gejala klinis, karena makin lama
gejala makin berat, hambatan pertumbuhan dan perkembangan lebih nyata dan
pada umur 36 bulan gejala khas hipotiroid menjadi lebih jelas. Bila tidak segera
dideteksi dan diobati, maka bayi akan mengalami kecacatan yang sangat
merugikan kehidupan berikutnya. Anak akan mengalami gangguan pertumbuhan
fisik secara keseluruhan, dan yang paling menyedihkan adalah perkembangan
mental terbelakang yang tidak bisa dipulihkan.
Pada dasarnya orientasi skrining HK adalah untuk mendeteksi hipotiroid
primer (permanen maupun transien) dan sesuai dengan rekomendasi American
Thyroid Association, pemeriksaan primer TSH merupakan uji fungsi tiroid yang
paling sensitif. Peningkatan kadar TSH sebagai marka hormonal cukup akurat
digunakan untuk menapis HK primer. Khusus untuk negara yang masih
menghadapi masalah gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) seperti
Indonesia, International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders
(ICCIDD) menyatakan bahwa

pemeriksaan primer TSH untuk skrining HK

akibat kekurangan iodium pada ibu hamil, merupakan indikator yang sensitif
dalam menentukan derajat kekurangan iodium. Juga merupakan cara yang baik
untuk memantau hasil program penanggulangan GAKI.
Proses Skrining

21

1. Persiapan

Penjelasan kepada orangtua tentang skrining pada bayi baru lahir dengan
pengambilan tetes darah tumit bayi dan keuntungan skrining ini bagi masa
depan bayi akan mendorong orangtua untuk mau melakukan skrining bagi
bayinya.

Persetujuan (informed consent) tidak perlu tertulis khusus, tetapi


dicantumkan bersama-sama dengan persetujuan tindakan medis lain pada
saat bayi masuk ke ruang perawatan bayi.

Bila tindakan pengambilan darah pada BBL ditolak, maka orangtua harus
menandatangani formulir penolakan.

2. Pengambilan Spesimen
Hal yang penting diperhatikan pada pemeriksaan spesimen ialah :
a. Waktu pengambilan (timing)

Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur bayi 48
sampai 72 jam.

Pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa ditolerir antara 24


48 jam.

Sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir karena
pada saat itu kadar TSH masih tinggi, sehingga akan memberikan
sejumlah hasil positif palsu (false positive).

b. Data demografi bayi

Isi kartu identitas bayi dengan lengkap dan benar dalam kartu informasi.

Kelengkapan dan akuratan data pada kartu informasi sangat penting untuk
kecepatan tindak lanjut hasil tes bagi pasien.

Pengisian

kartu

informasi

dilakukan

dengan

ballpoint,

jangan

menggunakan tinta yang dapat luntur.

Hindari pencemaran pada kertas saring, mengotori kertas saring atau


merusak tetes darah yang ada. Usahakan kertas saring tidak banyak
disentuh petugas lain.

22

c. Metode pengambilan
Metode Pengambilan Darah dari Tumit Bayi (heel prick)
Siapkan alat yang digunakan :
-

Sarung tangan

Lancet

Kartu-kertas saring (kertas saring yang diproduksi oleh Schleicher &


Schuell, Inc (S&S grade 903) atau Whatman 903)

Kapas

Alkohol 70%

Kasa steril

Rak pengering

Prosedur pengambilan spesimen darah :


1. Cuci tangan menggunakan sabun dengan air bersih mengalir dan
pakailah sarung tangan
2. Hangatkan tumit
3. Supaya aliran darah lebih lancar, posisikan kaki lebih rendah dari
kepala bayi
4. Tentukan lokasi penusukan yaitu bagian lateral atau medial tumit
5. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan antiseptik kapas alkohol
70%, biarkan kering
6. Tusuk tumit dengan lanset steril sekali pakai ukuran 2 mm.
7. Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain kasa steril
(gambar 8)
8. Lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes darah yang cukup
besar. Hindarkan gerakan memeras karena akan mengakibatkan
hemolisis atau darah tercampur cairan jaringan. (gambar 9)
9. Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring sampai
bulatan terisi penuh dan tembus kedua sisi. Hindarkan tetesan darah
yang berlapis-lapis (layering). Ulangi meneteskan darah ke atas
bulatan lain. Bila darah tidak cukup, lakukan tusukan di tempat
terpisah dengan menggunakan lanset baru. (gambar 10)

23

10. Tekan bekas tusukan dengan kasa/kapas steril. Bekas tusukan tidak
perlu diberi plester ataupun pembalut.

Metode Pengeringan Spesimen


1. Setelah mendapatkan spesimen letakkan di rak

pengering dengan

posisi horisontal atau diletakkan di atas permukaan datar yang kering


dan tidak menyerap (non absorbent).
2. Biarkan spesimen mengering (warna darah merah gelap)
3. Sebaiknya biarkan spesimen di atas rak pengering sebelum dikirim ke
laboratorium
4. Jangan meletakkan pengering berdekatan dengan bahan-bahan yang
mengeluarkan uap seperti cat, aerosol, dan insektisida.
d. Pengiriman/transportasi
1. Ketika spesimen

akan dikirim, susun berselang-seling untuk

menghindari agar bercak darah tidak saling bersinggungan, atau taruh


kertas diantara bercak darah. Bisa juga tiap spesimen dimasukkan ke
dalam kantong khusus
2. Masukkan ke dalam amplop dan sertakan daftar spesimen.
3. Pengiriman dapat dilakukan oleh petugas pengumpul spesimen atau
langsung dikirim melalui jasa layanan PT. POS Indonesia (Pos
Express) maupun jasa pengiriman swasta.
4. Pengiriman tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari sejak spesimen
diambil. Perjalanan pengiriman tidak boleh lebih dari 3 hari.
5. Spesimen dikirim ke salah satu Laboratorium Rujukan Skrining
Hipotiroid Kongenital di Indonesia :

Pusat Skrining Hipotiroid Kongenital Propinsi Jawa Barat

24

Bagian Kedokteran Nuklir FK-Unpad RSUP Hasan Sadikin

Laboratorium Patologi Klinik FK-UI RS Cipto Mangunkusumo

e. Proses skrining di laboratorium


Setelah sampai di laboratorium, spesimen yang dikirim dipisahkan antara
spesimen pertama dan ulangan, kemudian diperiksa kelengkapan identitas
spesimen. Untuk spesimen yang tidak lengkap, pengawas laboratorium
untuk menghubungi petugas fasilitas kesehatan dan menanyakan secara

lengkap identitas bayi.


Pemeriksaan kualitas spesimen. Spesimen diperiksa satu persatu untuk
melihat kualitasnya. Spesimen darah harus sudah kering, memenuhi satu
lingkaran penuh hingga tembus ke sisi belakangnya, berwarna gelap dan
tidak memudar pada sisi lingkaran. Spesimen darah yang telah memenuhi

syarat diatas di tandai dengan tulisan SPESIMEN DITERIMA.


Spesimen yang terkontaminasi, warna tetesan darah yang pudar, darah
terlalu sedikit ( lihat gambar spesimen yang tidak baik), termasuk juga
spesimen yang diambil sebelum bayi berumur 24 jam, dipisahkan dalam
kantong plastik dan ditandai dengan tulisan SPESIMEN DITOLAK.
Petugas harus melaporkan kepada pengawas laboratorium agar dapat
segera menghubungi petugas fasilitas kesehatan yang bersangkutan untuk
pengambilan spesimen kembali.

Spesimen yang memerlukan pengambilan ulang (resample):

Spesimen dengan hasil TSH antara 20 - 40 mU/L

Spesimen yang tidak cukup untuk pengukuran TSH

Spesimen dengan kesalahan pengambilan (terkontaminasi, berlapislapis, < 24 jam, dll.), seperti gambaran berikut :

25

Kemungkinan

Spesimen tidak baik :

penyebab :
Tetes
darah
kurang
Meneteskan

darah dengan tabung


kapiler
Kertas

tersentuh

sarung tangan, lotion


Kertas rusak,
meneteskan
dengan

darah
tabung

kapiler
Mengirim
spesimen

tangan,

sebelum

kering
Meneteskan
terlalu banyak darah
Meneteskan

darah di kedua sisi

bulatan kertas
Darah diperas
(milking) dari tempat
tusukan

Kontaminasi

Terpapar panas
Alkohol tidak
dikeringkan
Kontaminasi

dengan alkohol dan


lotion

Darah diperas

26

(milking)

Pengeringan
tidak baik

Penetesan
darah beberapa kali

Meneteskan
darah di kedua sisi
bulatan kertas

Gagal
memperoleh
specimen

Tindak Lanjut Hasil Skrining


Hal pertama yang harus dilakukan ketika mendapatkan hasil tes positif
adalah sesegera mungkin menghubungi orang tua bayi yang bersangkutan. Tugas
dari tim tindak lanjut bayi dengan hasil tes positif ialah mencari tempat tinggal
bayi tersebut dan memfasilitasi pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan
diagnosis. Bila perlu, dilakukan tes konfirmasi berupa pemeriksaan TSH, dan T4
bebas (FT4) serum terhadap bayi tersebut.
Beberapa kemungkinan hasil TSH
a. Kadar TSH 20 mU/L
Bila tes konfirmasi mendapatkan hasil kadar TSH kurang dari 20 mU/L, maka
hasil dianggap normal dan akan disampaikan kepada pengirim spesimen
dalam waktu 7 hari.
b. Kadar TSH antara >20 40 mU/L
Nilai TSH yang demikian menunjukkan hasil yang meragukan. Sehingga perlu
pengambilan spesimen ulang (resample). Bila pada hasil pengambilan ulang
didapatkan:

Kadar TSH 20 mU/L, maka hasil tersebut dianggap normal

27

kadar TSH > 20 mU/L, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSH dan FT4
serum

c. Kadar TSH > 40 mU/L


Jika hasil pemeriksaan menunjukkan nilai yang demikian, maka perlu
dilakukan pemeriksaan konfirmasi TSH dan FT4 serum
Tabel Skema Pelaksanaan Pengambilan Dan Pemeriksaan Spesimen Darah

Memotivasi orangMemotivasi
tua sebaiknya
orang
dilakukan
tua
oleh petugas kesehatan yang terlibat langsung d

Pengambilan spesimen bisa dilakukan pada


Pengambilan
24 72 jam
sampel
setelah
darah
bayi lahir. Pengambilan darah bisa dikerjakan oleh do

Pengiriman
Lakukan
sampel
pengambilan
ke laboratorium
sampel atau pengiriman secara teratur oleh kurir ata

Dilaksanakan
Mengerjakan
di laboratorium
tes uji saring
yang telah ditunjuk dan mempunyai kemampuan men

Hasil tes disampaikan dalam waktu satuPenyampaian


minggu setelah
hasil
spesimen
skrining diterima di laboratorium. Hasil disampaikan ke pe

ulang (recalling)
pasien bayi lahir. Recall tes positif untuk pemeri
Recall pasien merupakan tanggungPemanggilan
jawab dari subkoordinator
di tempat

28

Algoritma Kerja Tim Skrining Hipotiroid Kongenital

KEMENKES

DINKES PROVINSI

POKJANAS

POKJA PROVINSI

Pencatatan dan pelaporan

Monitoring dan evaluasi


LABORATORIUM SHK

TIM FOLLOW UP HASIL UJI SARING

Hasil TSH negatif

Hasil TSH positif

Umpan balik segera kpd koordinator RS/RB/PKM/Perawat/ Bidan/ pengirim sampel


Beritahu koordinator RS/RB/PKM/KL. Bidan

Hubungi/cari/kunjungi orang tua bayi, beri penjelasan

Ambil darah/serum untuk pemeriksan TSH dan T4

TSH tinggi, T4 rendah: beri tiroksin

Pencatatan dan pelaporan


(rekam medis)
Bila memungkinkan, pemeriksaan diagnostik lain: scanning tiroid, pencitraan sendi lututdan panggul, serta pemerik

29

BAB III
PENUTUP
Hipotiroid kongeital adalah suatu keadaan kurang atau tidak adanya
produksi hormon tiroid sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, baik fisik maupun mental pada anak. Secara epidemiologi
kejadian HK bervariasi di seluruh dunia, perbedaan ini dipengaruhi oleh berbagai
ras dan etnis dengan insiden seluruh dunia diperkirakan sekitar 1 : 3000 kelahiran
hidup. Insiden hipotiroid di Indonesia sendiri diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu
sebesar 1:1500 kelahiran hidup.
Disgenesis kelenjar tiroid merupakan penyebab tersering hipotiroid
kongenital sekitar 80 %. Hal ini dapat terjadi akibat aplasia, hipoplasia, dan
kelenjar tiroid ektopik. HK dibedakan menjadi HK primer dan HK sekunder
(sentral). HK primer disebabkan oleh kelainan pada kelenjar tiroid. HK sekuder
terjadi akibat kelainan pada hipofisis atau hipotalamus.
Penegakan diagnosis secara dini merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk mencegah keterlambatan terapi pada pasien hipotiroid kongenital. Skrining
BBL merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk pencegahan keadaan tersebut.
Skrining dilakukan pada saat bayi berumur beberapa hari untuk mendeteksi
adanya gangguan kongenital sedini mungkin, sehingga dapat segera dilakukan
intervensi.
Deteksi dini yang dilakukan pada bayi baru lahir berisiko menderita
hipotiroid kongenital dapat mencegah terjadinya keterlambatan terapi yang dapat
menimbulkan efek yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat di masa
mendatang. Oleh karena begitu besarnya manfaat yang didapat dengan
dilakukannya program skrining terhadap bayi baru lahir yang berisiko menderita
hipotiroid kongenital, maka sepatutnyalah program skrining tersebut menjadi
suatu program nasional dalam upaya menurunkan insiden penyakit hipotiroid
kongenital di Indonesia.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Stephen La Franchi, Hypothyroidism. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia:
Saunders; 2007:2319-25
2. Batubara, Jose RL, dkk. Ganggguan Kelenjar Tiroid. Dalam : Buku Ajar
Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010. hal.205-12.
3. Schteingart, David E. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Price AS, Wilson
LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6, Vol. 2.
Jakarta: EGC, 2006: 1225-34.
4. Sherwood, Lauralee. Organ Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia Dari Sel ke
Sistem (Human Physiology: From Cells to Systems). Edisi 2. Jakarta: EGC,
2001: 644-51.
5. Van vliet, G, Polak, M. Pediatric Endocrinology Fifth Edition volume 2.
Thyroid Disorders In Infancy. New York : Informa Healthcare USA Inc. 2007:
392-8.
6. Larson, Cecilia A. Congenital Hypothyroidism. Dalam: Radovick, S, MD,
MacGilivray, MH, MD, editor. Pediatric Endocrinology : A Practical Clinical
Guide. New Jersey : Humana Press Inc. 2003: 275-84.
7. Maynika V Rastogi dan Stephen H LaFranchi. Congenital Hypothyroidism.
Orphanet Journal of Rare Diseases: 2010; 5: 17: 1-22
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Skrining Hipotiroid
Kongenital. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012

31

You might also like