You are on page 1of 65

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : NARTO
PASCASARJANA STAIN TULUNGAGUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap ilmu pengetahuan seharusnya diinspirasi dari haril kerja epistemologinya. Pendidikan
Islam harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan epistemologi untuk menciptakan
pendidikan Islam yang bermutu dan berdaya saing tinggi untuk bisa bertahan dan memimpin.
Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan efisien,
bila didasarkan epistemologi pendidikan Islam. 1[1] Sehingga pengembangan pendidikan Islam
secara konseptual maupun secara aplikatif harus dibangun dari epistemologi pendidikan Islam
secara menyeluruh.
Pertanyaan yang dikemukakan dalam epistimologi adalah menyangkut apa yang
dimaksud pengetahuan yang benar, apa sumber dan dasarnya, bagaimana cara mengetahui dan
sebagainya. Disebabkan kenyataan bahwa studi epistimologis berkaitan dengan pertanyaan
mengenai dasar pencapaian pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta ketepatan
berbagai metode mencapai kebenaran yang dapat dipercaya, maka epistimologi dan metafisika
menduduki posisi sentral dalam proses pendidikan.2[2] Hal ini dikarenakan dunia pendidikan
merupakan wahana berlangsungnya proses pewarisan kebudayaan, utamanya berupa ilmu
pengetahuan. Kedudukan epistimologi menjadi penting artinya mengingat di dalamnya dikaji
hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi substansi pendidikan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dikemukakan bagaimana pengertian epistemologi pendidikan
Islam,

pendidikan Barat mempengaruhi pendidikan Islam, sistem epistemologi pendidikan

Islam, pembaharuan epistemologi pendidikan Islam, dan upaya membangun epistemologi


pendidikan Islam. Hal-hal itulah yang dibahas untuk dijadikan sebagai pertimbangan seberapa
jauh epistemologi pendidikan Islam dapat dinyatakan sebagai kebutuhan yang sangat penting dan
mendesak.
1
2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian epistemologi pendidikan Islam ?
2. Bagaimana pengaruh pendidikan barat terhadap pendidikan Islam ?
3. Bagaimana sistem epistemologi pendidikan Islam ?
4. Bagaimana pembaharuan epistemologi pendidikan Islam ?
5. Bagaimana upaya membangun epistemologi pendidikan islam ?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis dapat menentukan tujuan
pembahasan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian epistemologi pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan barat terhadap pendidikan Islam
3. Untuk mengetahui sistem epistemologi pendidikan Islam
4. Untuk mengetahui pembaharuan epistemologi pendidikan Islam
5. Untuk mengetahui upaya membangun epistemologi pendidikan Islam
D. Batasan Masalah
Berdasarkan tujuan pembahasan masalah tersebut di atas, maka penulis dapat menentukan
batasan masalah sebagai berikut :
1. Pengertian epistemologi pendidikan Islam
2. Pengaruh pendidikan barat terhadap pendidikan Islam
3. Sistem epistemologi pendidikan Islam
4. Pembaharuan epistemologi pendidikaan Islam
5. Upaya membangun epistemologi pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi Pendidikan Islam
Kata epistemologi berasal dari bahasa yunani episteme yang berarti pengetahuan, dan logos
yang berarti kata, pikiran, percakapan atau ilmu. Dalam bahasa Brauner dan Burns, episemologis

diungkapkan dengan the branc of philosophy which investigated the origin, structure,
methodes and validity of knowledge.3[3] Secara tradisional, pokok persoalan epistimologis
meliputi sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan, bidang, batas dan jangkauan
pengetahuan, serta validitas berbagai klaim terhadap pengetahuan.4[4]
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D. Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azzumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang
keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan5[5]
John A. Laska merumuskan pendidikan sebagai upaya sengaja yang dilakukan pelajar atau
(yang

disertai-ed)

orang

lainnya

untuk

mengontrol

(atau

memandu,

mengarahkan,

mempengaruhi dan mengelola) situasi belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan. 6
[6]
Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama
Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.7[7]
Maka epistemologi pendidikan Islam menekankan pada upaya, cara, atau langkah-langkah
untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan Islam. Jelaslah bahwa aktivitas berfikir dalam
epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreatifitas keilmuan
dibanding ontologi dan aksiologi.
B. Pengaruh Pendidikan Barat Terhadap Pendidikan Islam
Kekalahan Islam akibat penghancuran Hulago Khan terhadap Baghdad sebagi pusat
kekuasaan Islam pada tahun 1258 mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang
kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu,
pendidikan Islam tidak lagi mampu menjadi alternatif bagi para pelajar dan mahasiswa dalam
skala internasional yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan. Pembahasan-pembahasan serius

3
4
5
6
7

dalam bidang kebudayaan (sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para ilmuwan
yang hidup pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang sama sekali.8[8]
Pengaruh penguasa Dinasti Turki Usmani pada abad ke-16 dalam bidang pengajaran dan
aktifitas-aktifitas ilmiah lainnya mengarah pada penempatan empat bidang studi kegamaan;
Alquran, Hadis, Syariah dan Tata Bahasa Arab, menjadi sumber utama proses pendidikan. Ciri
utama sistem pendidikan Islam, adalah menekankan pada proses mengingat sumber-sumber
pemikiran keagamaan. Padahal untuk kepentingan memecahkan atau mencari solusi atas
persoalan-persoalan pendidikan yang dihadapi umat tidak bisa dilalui dengan proses
mengingat, tetapi seharusnya dengan proses berfikir.9[9]
Napoleon mendarat di Mesir pada 1798, datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi
juga untuk kepentingan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Baru pada saat inilah umat Islam dan orang-orang Mesir untuk pertama kalinya
mempunyai kontak langsung dengan peradapan Eropa. Tampaknya kedatangan Napoleon itu,
direspons oleh penguasa Islam melalui perlawanan bersenjata dan oleh pembaharu Islam dengan
pemikiran pembaharunya.10[10]
Dalam bidang pendidikan, para pembaharu Islam tersebut yang memiliki perhatian besar,
antara lain adalah Muhammad Ali Pasha, Sultan Mahmud II, Muhammad Abduh, Sir Sayyid
Ahmad Khan. Mereka mengikuti pola pendidikan yang dikembangkan di Barat, karena Barat
dianggap berhasil dalam mengembangkan pendidikan. Sedangkan umat Islam kendatipun secara
bertahap, juga mengikuti langkah-langkah para pembaharu itu, sehingga mereka mencoba
meniru gaya pendidikan Barat dalam berbagai dimensinya, termasuk pemikiran-pemikran yang
mendasari keberadaan pendidikan yang biasa disebut dengan filsafat pendidikan.11[11]
Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan,
tetap tidak layak dijadikan sebuah model untuk memajukan peradapan Islam yang damai,
anggun, dan ramah terhadap kehidupan manusia. Pendidikan Barat itu hanya maju secara
lahiriyah, tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran pendidikan tersebut hanya
berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif. Ukuran-ukuran hasil pendidikan lebih
8
9
10
11

dilihat dari sudut, seberapa jauh pengetahuan yang diserap oleh peserta didik, tidak
memperhatikan apakah tumbuh kesadaran diri peserta didik untuk bertindak sesuai dengan
pengetahuan yang dikuasainya.12[12]
Hal ini mengingatkan kita pada kasus pembaharuan Islam di Turki terutama yang dilakukan
Mustafa Kemal. Melalui semangat westernisme, sekulerisme dan nasionaliseme, dia mengadakan
perombakan pendidikan Islam secara mendasar dengan menutup madrasah diganti sekolah yang
khusus membina imam dan khatib, menghapuskan pendidikan agama di sekolah-sekolah,
menghapus bahasa Arab dan Persia dalam kurikulum sekolah, dan menukar tulisan Arab dengan
tulisan Latin.13[13] Akan tetapi kenyataanya hingga sekarang Turki tidak mampu mencapai
kemajuan peradapan sebagai yang dicapai negara-negara Barat. Turki tetap tidak memperoleh
apa-apa. Sebaliknya, Jepang yang sangat kuat berpegang teguh pada tradisi lokal sekalipun
dengan tetap mengikuti perkembangan di Barat ternyata mampu menyaingi kemajuan negaranegara Barat yang maju.
C. Sistem Epistemologi Pendidikan Islam
Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sub sistem-sub sistem atau unsur-unsur
pendidikan yang saling terkait dalam mewujudkan keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum,
materi, metode, pendidik, peserta didik, sarana, alat, pendekatan, dan sebagainya. Keberadan
satu unsur membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu di antara
unsur-unsur itu proses pendidikan menjadi terhalang, sehingga mengalami kegagalan. 14[14]
Ketika satu unsur dominan mendapat pengaruh tertentu, pada saat yang bersamaan unsur-unsur
lainnya menjadi terpengaruh. Kemudian kita bisa membayangkan, bagaimana mudahnya bagi
pendidikan Barat modern mempengaruhi sistem pendidikan Islam dengan cara mempengaruhi
substansi tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu. Berawal dari penggarapan tujuan ini, untuk
berikutnya akan lebih mudah mempengaruhi unsur-unsur lainnya.15[15]
Demi kepentingan antisipasi terhadap meluasnya pengaruh Barat terhadap pendidikan Islam
kendatipun terlambat, kita masih perlu meninjau sistem pendidikan Islam. Tampaknya, sistem
12
13
14
15

pendidikan yang ada sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan berat dan
serius yang memerlukan penanganan dengan segera. Dalam menangani permasalah ini tidak bisa
dilakukan sepotong-potong atau secara parsial, tapi harus dilakukan secara total dan integratif
berdasarkan petunjuk-petunjuk wahyu untuk menjamin arah pemecahan yang benar.
Pendidikan yang dialami oleh seseorang senantiasa mempengaruhi cara berfikirnya,
cakrawalanya, pandangannya tentang kehidupan, cara-cara dalam bekerja, maupun tehnik
berkarya. Adapun secara kolektif, sistem pendidikan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan
masyarakat dan bernegara, baik menyangkut sosial, ekonomi, hukum, budaya dan lain-lain.
Kata Islam yang terangkai dalam sistem pendidikan Islam tidak untuk formalitas, tetapi
memiliki implikasi-implikasi yang jauh, di mana wahyu Allah, baik Al-quran maupun al-sunnah
ditempatkan sebagi pemberi petunjuk ke arah mana proses pendidikan digerakkan, apa bentuk
tujuan yang ingin dicapai, bagaimana cara mencapai tujuan itu, orientasi apa yang ingin dituju,
dan lain-lain. Disamping itu, wahyu tersebut dijadikan alat memantau perkembangan pendidikan
Islam apakah telah sesuai dengan petunjuk-petunjuknya atau telah menyimpang sama sekali dari
petunjuk itu. Jadi, dalam sistem pendidikan Islam, wahyu diperankan secara aktif mendampingi
akal.




16[16]
[17]17 -
Untuk mendukung renovasi sistem pendidikan Islam tersebut, sistem pendidikan kita harus
mengandung sebuah misi penyampaian wawasan (vision) Islam. Sebaliknya, Kita harus
menolak sistem pendidikan yang didasarkan atas paternalisme dan yang memaksakan perspektifperspektif yang asing bagi masyarakat kita. 18[18] Agaknya penting disadari, bahwa kita tidak
mampu mengubah sistem pendidikan secara mendadak tanpa mengubah struktur kekuasaan
dalam masyarakat kita. Selama masyarakat kita masih bercorak paternalistik, rasanya tidak
mudah mewujudkan sistem pendidikan yang benar-benar berkemampuan melahirkan kreatifitas.
16
17
18

Pada masyarakat paternalistik itu, ketergantungan seseorang pada figur-figur tokoh sangat tinggi.
Oleh karena itu, diperlukan tahapan sosialisasi untuk memperkenalkan sistem pendidikan yang
memperdayakan semua pihak baik pendidik, peserta didik, masyarakat dan pemerintah.19[19]
D. Pembaharuan Epistemologi Pendidikan Islam
Sebagai kegiatan yang menekankan pada proses sebenarnya memberikan sinyal bahwa
persoalan-persoalan pendidikan Islam adalah sebagai persoalan ijtihadiah, yang banyak memberi
peran kepada umat Islam untuk mencermati, mengkritisi, dan mengkontruk formula-formula
baru yang makin sempurna. Kendatipun wahyu telah memberikan petunjuk-petunjuk, tetapi
justru petunjuk-petunjuk itu masih perlu dijabarkan secara detail, sehingga melibatkan akal untuk
melakukan pemikiran-pemikiran secara mendalam.20[20]
Masalah pendidikan adalah masalah duniawi, ajaran Islam hanya memberikan dasar dan
garis-garis pokoknya, sedangkan detailnya diserahkan kepada akal sehat, modus bagaimana yang
baik dan yang benar. Berdasarkan realitas ini, seharusnya pendidikan telah mengalami dinamika
yang cepat, mengingat ada ruang gerak yang longgar untuk mengembangkannya. Logikanya,
semakin longgar wilayah ijtihadnya semakin dapat mempercepat perkembangannya, jika para
pemikir Islam berupaya mengembangkan secara optimal.21[21]

[22]22 -
Pendidikan ternyata memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam
mengembangkan peradaban Islam dan mencapai kejayaan umat Islam. Dilihat dari obyek
formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan
dikembangkannya. Dalam persoalan kemajuan peradaban dan umat Islam, kemampuan manusia
ini harus menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian pendidikan
berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia yang belakangan ini
diyakini lebih mampu mempercepat kemajuan peradaban, daripada sumber daya alam. Ada
banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi potensi sumber daya manusianya besar mampu

19
20
21
22

mengalahkan kemajuan negara yang sumber daya alamnya besar tetapi sumber daya manusianya
kecil, seperti Jepang terhadap Indonesia.23[23]
Dengan demikian, ke arah masa depan yang lebih baik adalah pendidikan. Pendidikan
merupakan bentuk investasi yang paling baik. Maka, setiap Muslim mengalokasikan porsi
terbesar dari pendapatan nasionalnya untuk program-program pendidikan. Bila umat Islam
bermaksud merebut peranan sejarahnya kembali dalam percaturan dunia, kerja pertama yang
harus ditandinginya adalah membenahi dunia pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi.
Pendidikan tinggi Islam harus mampu menciptakan lingkungan akademik yang kondusif bagi
lahirnya cendekia-cendekia yang berfikir kreatif, otentik, dan orisinal, bukan cendekia-cendekia
konsumen yang berwawasan sempit, terbatas dan verbal.24[24]
Bentuk pendidikan tradisional yang menghabiskan banyak energi bukan dalam bidang
pemikiran yang kreatif, tetapi dalam hal mengingat dan mengulang itu tidak dapat
menghasilkan gerakan intelektual. Padahal, semestinya pendidikan yang baik dan strategis tentu
mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang berkapasitas intelektual, sebab kaum intelektual
adalah anggota-anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide
orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif. Di tangan merekalah dapat
digantungkan harapan adanya gagasan dan terobosan baru untuk memecahkan problem-problem
yang dihadapi umat.25[25]
E. Upaya Membangun Epistemologi Pendidikan Islam
Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di hampir semua negara
ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam, sehingga sistem pendidikan
Islam mengalami banyak kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para
pakar pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam harus
mengadakan pembaharuan-pembaharuan secara komprehensif agar terwujud pendidikan Islam
ideal yang mencakup berbagai dimensi. Pada dimensi pengembangan terdapat kesadaran bahwa
cita-cita mewujudkan pendidikan Islam ideal itu baru bisa dicapai bila ada upaya membangun
epistemologinya.26[26]
23
24
25
26

Epistemologi pendidikan Islam ini, meliputi; pembahasan yang berkaitan dengan seluk
beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan
Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam,
sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya. Dalam pembahasan
ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat
dipakai membangun ilmu pendidikan Islam, daripada komponen-komponen lainnya, karena
komponen metode tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik
secara konsepteual maupun aplikatif.
Epistemologi pendidikan Islam ini perlu dirumuskan secara konseptual untuk menemukan
syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Syarat-syarat itu
merupakan kunci dalam memasuki wilayah pendidikan Islam, tanpa menemukan syarat-syarat
itu kita merasa kesulitan mengungkapkan hakekat pendidikan Islam, mengingat syarat
merupakan tahapan yang harus dipenuhi sebelum berusaha memahami dan mengetahui
pendidikan Islam yang sebenarnya. Setelah ditemukan syarat-syaratnya, langkah selanjutnya
untuk dapat menangkap misteri pendidikan Islam adalah dengan menyiapkan segala sarana
dan potensi yang dimiliki para ilmuan atau pemikir, dalam kapasitasnya sebagai penggali
khazanah dan temuan pendidikan Islam.27[27]
Oleh karena itu, epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi
solusi, penemu dan pengembang. Melalui epistemologi pendidikan Islam ini, seseorang pemikir
dapat melakukan : Pertama, teori-teori atau konsep-konsep pendidikan pada umumnya maupun
pendidikan yang diklaim sebagi Islam dapat dikritisi dengan salah satu pendekatan yang
dimilikinya. Kedua, epistemologi tersebut bisa memberikan pemecahan terhadap problemproblem pendidikan, baik secara teoritis maupun praktis, karena teori yang ditawarkan dari
epistemologi itu untuk dipraktekkan. Ketiga, dengan menggunakan epistemologi, para pemikir
dan penggali khazanah pendidikan Islam dapat menemukan teori-teori atau konsep-konsep baru
tentang pendidikan Islam. Selanjutnya, yang keempat, dari hasil temuan-temuan baru itu
kemudian dikembangkan secara optimal.28[28]
Mengingat epistemologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar, dan
terlebih lagi sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam,
27
28

maka ada benarnya pendapat yang mengatakan Problem utama pendidikan Islam adalah
problem epistemologinya.29[29] Sekiranya terjadi kelemahan atau kemunduran pendidikan
Islam, maka epistemologi sebagai penyebab paling awal harus dibangun lebih dulu, dan melalui
epistemologi juga, jika kita berkeinginan mengembangkan pendidikan Islam. Kekokohan
bangunan epistemologi melahirkan ketahanan pendidikan Islam menghadapi pengaruh apapun,
termasuk arus budaya Barat, dan mampu memberi jaminan terhadap kemajuan pendidikan Islam
serta bersaing dengan pendidikan-pendidikan lainnya.30[30]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Epistemologi Pendidikan Islam adalah upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan
pengetahuan pendidikan yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah.
2. Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam yaitu hanya maju secara lahiriyah, tapi
kering secara rohaniyah. Ukuran hasil pendidikan hanya dilihat dari seberapa banyak
pengetahuan yang diserap peserta didik, tetapi tidak pada kesadaran diri peserta didik untuk
bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
3. Sistem pendidikan Islam harus menempatkan Al-Quran maupun As-Sunah sebagi pemberi
petunjuk ke arah mana proses pendidikan digerakkan.
4. Pembaharuan epistemologi pendidikan Islam seharusnya dikembangkan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Pendidikan Islam harus mampu melahirkan ilmuwan yang
berfikir kreatif, otentik dan orisinal, tidak dengan cara mengingat atau mengulang tetapi dengan
cara berfikir.
5. Dalam upaya membangun epistemologi pendidikan Islam seharusnya para pakar dan pemegang
kebijakan dalam pendidikan Islam mengadakan pembaharuan secara komprehensif terhadap
metode atau pendekatan yang dipakai membangun pendidikan Islam.
B. Saran
1. Peserta didik sebaiknya dalam menempuh pendidikan berusaha untuk mengembangkan olah
pikir dan daya nalar, sehingga dapat bertindak sesuai dengan ilmu yang dimiliki.
2. Para pakar dan para pemegang kendali pendidikan Islam diharapkan selalu untuk
memperbaharui metode atau pendekatan dalam membangun pendidikan Islam secara
menyeluruh.
29
30

DAFTAR RUJUKAN
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim (Yokyakarta :Sipress, 1993)
Ahmad Syafii Ma;arif, Posisi sentral Al-Quran dalam studi Islam (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya ,
1989)
Akhyak, Pengantar Materi Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Brauner and Burns, Problems
George R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta, Gama Media : 2007)
Hadis
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975)
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005)
QS an-Nisa ayat 59
Rapper, Pengantar
Ziaudin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj, Rahmani Astuti, (Bandung :Mizan,
1992)

Jurnal Epistemologi Pendidikan Islam


PENGARUH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN BARAT TERHADAP PENDIDIKAN
ISLAM DAN METODE EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Nurhidayah (1132010051)
Manajemen Pendidikan Islam
UIN SGD Bandung
Jl. A. H. Nasution, Cibiru, Bandung.
Email: hidayah.rido@gmail.com

ABSTRAK
Tulisan ini dibuat untuk mencari tahu tentang metode atau cara mendapatkan ilmu dalam
pendidikan islam, atau mencari asal pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, manfaat dan
sahihnya pengetahuan dalam pendidikan islam. Dalam pendidikan islam ada cara mendapatkan
ilmu dengan mengambil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Namun dalam kenyataan pendidikan
islam saat ini, tidak semuanya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah melainkan teori-teori
dari barat digunakan pula dalam mengambil sumber belajar. Pendidikan Islam saat ini masih
menganut epistemologi barat, meskipun begitu beberapa para pemikir Islam sedang gencar
melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah
metode kajian pustaka. Pemikiran teologi yang menjadi landasan tulisan ini adalah pemikiran
Mujamil Qomar yang memungkinkan adanya metode memproses pengetahuan tentang
pendidikan Islam atau metode epistemologi pendidikan Islam, yang memiliki lima macam
bentuk metode yaitu: metode rasional (manhaj aqli), metode intuitif (manhaj zawqi), metode
dialogis (manhaj jadali), metode komparatif (manhaj muqarani), dan metode kritik (manhaj
naqdi).
Kata Kunci: Pendidikan Islam, Epistimologi, Metode, Pengaruh

PENDAHULUAN
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme
(pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau cara). Jadi, epistemologi berarti kata,
pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau cara berpengetahuan. (Dian)
Epistomologi lazimnya disebut teori pengetahuan secara umum membicarakan menegenai
sumber-sumber, karakteristik dan kebenaran pengetahuan. Persoalan epistemologi (teori
pengetahuan) berkaitan erat dengan persoalan metafisika. Bedanya, persoalan epistemologi
berpusat pada: problem asal pengetahuah? Apakah sumber-sumber pengetahuan? Darimana
pengetahuan yang benar, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Problem penampilan, apakah

yang menjadi kartakteristik pengetahuan? Apakah dunia riil di luar akal, apabila ada dapatkah
diketahui? Problem mencoba kebenaran, bagaimana membedakan antara kebenaran dan
kekeliruan.(Fuad Ihsan, 2010: 42-43).
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan,
sebab ia merupakan tempat berpijak. Epistemologi disebut juga metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ilmiah sangat penting dalam sains,
sehingga bannya pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku
dalam menerapkannya, seakaan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode:
akhirnya berkembang menjadi sains adalah metode. (Mujamil Qomar, 2005: 10-11)
Metode ilmiah berperan dalam tataran informasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu
pengetahuan. Bisa-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang sangat beruntung pada
metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan
suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan meskipun empiris, jika tiak logis, maka
tidak akan digolongkan sebagai ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat. Dengan
demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara
integratif.
(Imam Barnadib: 1976) Rasio atau akal merupakan instrument utama untuk memperoleh
pengetahuan. Rasio telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban
suatu masalah pengetahuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan
rasional. Dengan pengertian lain pendekatan rasional ini disebut dengan metode deduktif yang
dikenal dengan silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.
Epistemologi berusaha member definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabangcabangnya yang pokok, mengeidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.
Apa yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui adalah masalah-masalah sentral
epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat
(Ziauddin Sardar, 1998: 35). Epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya
tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu filsafat sebagai
objek penyelidikannya (Abdul Munir Mulkhan hal. 54). Dalam epistemologi terdapat upayaupaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. aktivitas-aktivitas ini ditempuh
melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis. Perenungan atau konteplasi yang

istilah Arabnya kurang lebih tafakkur yang telah diyakini sebagai ciri khas cara kerja berpikir
filosofis. Tidak akan ada filsafat tanpa melalui perenungan-perenungan (konteplasi) itu. Filsafat
selalu mengandalkan kontemplasi, baik ketika menelaah wilayah kajian ontology, aksiologi
maupun epistemologi, meskipun menggunakan pendekatan lain, seperti analisis konsep atau
analisis bahasa. (Mujamil Qomar, 2005: 25-26).
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap
pandangan dunia. Di dalam konteks islam, ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa
yang mugkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya: apa yang mungkin
diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui.
Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek
objek pengetahuan. Tiddak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objekobjek tertentu yang tingkat manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu
diketahui, meskipun memungkinkan diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan
misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui. Epistemologi juga menentukan cara berfikir
manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori
yang bersifat umum menuju detail-detailnya berarti dia menggunakan pendekatan deduktif.
Bagi Karl R. Ropper epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori ilmiah,
epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secar kritis prosedur yang ditempuh ilmu
pengetahuan dan membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam
pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya.
Epistemologi juga membekali daya tarik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori
yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep pemikiran para filosof yang kemudian mendapat
serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan
epistemologi. Dalam tradisi pengetahuan ilmiah, adanya perbedaan pemikiran adalah
keniscayaan. Perbedaan pemikiran tidak bisa dibendung dan tidak perlu lagi di cegah. Bahkan
perbedaan pemikiran dalam persoalan yang sama, sungguh diharapkan terjadi dalam dunia
keilmuan, karena itu berarti tradisi pengetahuan ilmiah benar-benarsedang tumbuh.
Perbedaan pemikiran ini di kalangan ilmuwan eksakta tidak terlalu menonjol lantaran
fenomena-fenomena alam bersifat homogen. Namun, di kalangan ilmiuwan sosial perbedaan itu
bahkan menjadi cirri khasnya. Kontribusi epistimologi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan
selanjutnya pengetahuan dan selanjutnya peradaban itu dapat diperhatikan secara jelas melalui

perbandingan segitiga antara wilayah Yunani, Wilayah Islam dan dunia Barat. Ilmu Yunani lebih
menitikberatkan pada aspek ontologi yang ingin mengejar kebenaran substantive, sehingga
menekankan pada pembahasan yang mendalam pada substansi atau segala sesuatu yang ada, baik
dalam kognisi maupun realitas indrawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang
bersumber dari metode spekulatif, terutama filsafat; ilmu pengetahuan di Barat lebih
menekankan pada proses atau metode ilmiah yang dilewati sebagai sarana mencapai kebenaran.
Adapun pengetahuan di dunia Islam lebih menekankan pada aksiologi. Aksiologi merupakan
Weltanschauung yang berfungsi sebagai landasan dalam mengkontruksi fakta. Islam tidak
menghendaki keterpisahan antara ilmu dan system nilai, seperti yang terjadi di Barat. Ilmu
adalah fungsional ajaran wahyu. Ilmu merupakan hasil dialog antara ilmuwan dengan ralitas
yang diarahkan perkembangannya oleh wahyu Alquran. Islam meletakkan wahyu sebagai
paradigm agamawi yang mengakui eksistensi Tuhan, tidak hanya sebatas keyakinan semata,
tetapi diterapkan dlam konstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Islam menolak science
for science dan menghendaki terlibatnya moralitas dalam pencarian kebenaran ilmu (Noeng
Muhajir:105-106).
Perbedaan tekanan ilmu pengetahuan tersebut ternyata sangat berpengaruh pada kualitas
kemajuan. Dunia barat yang menekankan pada epistemologi,tampak lebih maju daripada Yunani
yang menekankan pada ontology. Letak permasalahannya dengan begitu bukan pada kegeniusan
para pemikirannya, melainkan pada cara pandangn sesuatu. Terhadap perbandingan kasus ini, A.
Mukti Ali mengatakan, bahwa aristoteles (384-322 SM) sudah barang tentu jauuh lebih genius
daripada Francis Bacon (1561-1626 M), dan Plato (427-347 SM) adalah lebih genius daripada
Roger Bacon (1214-1294 M). Namun, mengapa orang-orang genius seperti Plato dan Aristoteles
justru menyebabkan kemandegan dan stagnasi di Eropa pada abad-abad pertengahan, sedangkan
orang biasa, seperti Bacon mempu membawa kemajuan ilmiah? Sebabnya adalah kedua Bacon
itu menemukan kebenaran; sedangkan pemikir-pemikir genius yang besar, apabila tidak
mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnua,
maka mereka tidak dapat memanfaatkan kegeniusannya itu. (Tim Redaksi Driyakarya)
(Mujamil Qomar, 2005: 33-34) mengatakan Di kalangan di dunia Islam, ilmu pengetahuan
kalah pesat perkembangannya disbanding ilmu pengetahuan Barat, sebab pemikir-pemikir Islam
lebih menekankan pada aksiologi walaupun dunia Islam pernah menjadi pelopor peradaban.
Pemikiran aksiologis ini, mau tidak mau pasti terkait pada aturan aturan normatif yang

menentukan nilai-nilai dalam kehiduipan manusia. Tradisi model berpikir secara aksiologis ini
masih terasa hingga sekarang, sehingga dunia Islam semakin jauh ketinggalan dari kemajuan
yang dicapai oleh dunia Barat. Ketertinggalan kemajuan ini lalu berpengaruh negative terhadap
perilku umat Islam, terutama yang berkaitan dengan dimensi intelektual atau dinamika keilmuan.
Hal inilah yang sekarang menjadi perhatian serius pada pemikir untuk dapat dicatikan solusinya.
Ismail Raji Al-Faruqi mengajukan alternative pemecahan, bahwa malaise (penyakit) umat
hanya dapat diobati dengan injeksi epistemologi. (Ismail Raji Al-Faruqi, 1984: 11).
Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajual ilmiah maupun
peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai.
Epistemologi membekali seseorang yang menguasainya untuk menjadi produsen, baik dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, bisnis, maupun secara umum peradaban. Sosok
produsen ini memiliki sifat kreatif, dinamis, berusaha menyiasati perubahan zaman dengan
cermat. Sebagai produsen dengan dukungan sifat-sifat tersebut, tentu memiliki target untuk bisa
memiliki konsumen sebanyak-sebanyaknya, sebagaimana yang terjadi di dunia bisnis. Dalam
dunia intelektual sebenarnya secara substantif tidak jauh berbeda. Para ilmuwan yang aktif,
selalu berupaya menggali pengetahuan baru yang senantiasa menjadi referensi bagi masyarakat
atau komunitas terpelajar, sehingga teori-teori yang mereka bangun, selalu diikuti oleh
komunitas tersebut. Kita bisa memperhatikan bagaimana teori-teori yang dibangun Issac
Newton, Albert Einsten,Thomas S. Kuhn dan sebaginya, menjadi panutan komunitas terpelajar,
baik mahasiswa, dosen, peneliti, maupun ilmuwan di seluruh dunia. Mereka mampu
merumuskan teori-teori ilmiah melalui bekal kemampuan epistemologinya. (Mujamil Qomar,
2005: 34-35)
PEMBAHASAN
Epistemologi Barat
Hashemi Rafsanjani mengemukakan bahwa kontribusi Barat dalam pengembangan sains
dan teknologi modern mencapai sekitar 97%, Dunia Islam 1%, sedangkan sisanya 2% oleh dunia
lainnya. Pernyataan tersebut dilontarkan ketikan beliau sedang menjabat presiden pada 1990-an.
Memang tidak ada Negara yang mendominasi semua jenis teknologi. Amerika dikenal sebagai
raja tekonologi di bidang alat alat strategis, Jerman sebagai raja teknologi alat-alat berat, Jepang

sebagai raja alat-alat elektro, sedangkan di bidang agronomi rajanya adalah Thailand. Namun,
secara global Baratlah yang mendominasi kemajuan sains dan teknologi ini. (Mujamil Qomar,
2005: 41).
Kunci Rahasia yang penting diungkapkan adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan
oleh pendekatan sainsnya pada epistemologi. Epistemologi yang dikuasai ilmuwan Barat benarbenar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi.
Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran para
ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka.
Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di masingmasing Negara, akhirnya secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya,pijakan berpikirnya,
metode berpikirnya caranya mempersepsi semuanya. Secara sadar atau tidak mereka telah
terbelenggu oleh pengaruh mengikat itu. Padahal epistemologi yang semestinya dijadikan sarana
penalaran yang bisa mewujudkan dinamika pemikiran, berubah menjadi penyeragaman cara-cara
berpikir. seolah-olah hanya ada satu model berpikir yang mesti diikuti. Kondisi semacam ini
makin membuktikan, bahwa sesungguhnya sedang terjadi proses imperialisme Epistimologi
Barat teradapat pemikiran masyarakat sedunia.
Imperialisme Barat sudah terjadi dan berlangsung sekitar beberapa abad yang lalu.
Sebagaimana yang dinukil Amrullah Achmad dalam buku karya Mujamil Qomar, Ziauddin
Sardanr mengatakan. Epistemologi Barat yang dipandang oleh para pakar muslim dan nonmuslim sebagai epistemologi universal, telah menjadi cara mengetahui dan menyelidiki yang
dominan dewasa ini,telah mengesampingkan cara-cara mengetahui dengan alternatef lain. Oleh
karena sangat diminannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim seluruhnya dan
manusia planet bumi ini, sesungguhnya dibentuk image manusia Barat. Ia telah menyebabkan
terjadimya apa yang dinamakan Imperialisme epistemologi. Imperialism ini telah berjalan skitar
300 tahun, sejak kolonialisme Eropa dunia Islam.
Selama ini epistemologi Barat itu selalu dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan
menanamkan keyakinan secara apriori, bahwa Baratlah sumber pengetahuan, cara-cara berfikir
model Baratlah yang bisa diandalkan, dan Barat sebagai pusan metode ilmiah. Meskipun
memang harus diakui bahwa Barat memiliki keunggulan sains. Tetapi akan salah pengertian jika
mengandalkan segalanya kepada Barat. Karena cara kerja berpikit model Barat sesungguhnya
adalah upaya memasung para ilmuwan supaya meyakini sesuatu yang dianggap baku padahal

mestinya masih bisa dikembangkan atau bahkan bisa dipertentangkan dengan cara-cara kerja
ilmiah model lainnya. Akibatnya para ilmuwan dan pemikir terbelenggu daya kreativitasnya
karena hanya mengeharap produk sains Barat, tanpa disertai upaya mencari solusi yang mungkin
bisa memberikan jawaban lain yang lebih baik.
Epistimologi dari peradaban Barat yang telah menjadi cara pemikiran dan penyelidikan
(mode of thought and inquiry) yang dominan dewasa ini telah mengesampingkan cara-cara
mengetahui alternatif lainnya(Ziauddin Sardar, 1998: 36). Dengan begitu dominannya
epistemologi barat dalam mempengaruhi dan meyakinkan orang terhadap keterandalan cara
berfikirnya, metodenya, dalam memperoleh pengetahuan telah menyebabkan para komunitas
ilmuwan seperti telah mengkultuskan kebenaran epistemologi barat. Dalam waktu yang
bersamaan para ilmuwan dan pemikir tidak lagi mau mempertimbangkan apakah ada
epistemologi versi lain yang berfungsi juga sebagai alat efektif dalam memperoleh pengetahuan.
Membuat orang banyak yang berfikir bahwa selain epistemologi barat itu rendah kualitasnya,
belum teruji keandalannya dalam memberikan jawaban-jawabanya, tentang bagaimana
memperoleh pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Alasan mengapa epistemologi Barat diakui oleh seluruh dunia karena mereka gencar
mensosialisasikan secara besar-besaran melalui berbagai media. Selain itu mereka sudah
menyiapkan berbagai media untuk memperkenalkan mekanisme kerja epistemologi, hingga
diperoleh pengetahuan baru, yaitu buku, jurnal,forum seminar, penayangan layar ditelevisi dan
sebagainya. Karena upaya mereka tersebut akhirnya orang Barat mampu membentuk Opini
public bahwa epistemologi Barat lah yang harus diakui sebagai cara yang paling benar dalam
memperoleh pengetahuan. Kesan seperti itu menjadikanmasyarakat tidak mempercayai ilmuwanilmuwan non Barat dalam merumuskan epistemologi. Selain itu mereka akan bersikap tidak
percaya terhadap kemampuan mereka sendiri. adapun secara psikologis, perasaan mereka bisa
teriringiuntuk mempercayai keunggulan epistemologi Barat. Padahal harusnya para ilmuwan itu
percaya pada kemampuan sendiri dan berani mengembangkan dan membuat epistemologi versi
mereka sendiri.
Mujamil Qomar menukil pernyataan Ismail Raji Al-Faruqi, bahwa kondisi yang seperti
ini seharusnya juga bisa terwujud dalam Dunia Islam mengingat negara-negara colonial barat
beserta antek-anteknya mengisi kehidupan sehari-hari seorang muslim dengan efek-efek
mempromosikan kultur Barat (Ismail Raji Al-Faruqi, 1984: 9). Banyak sekali kultur Barat yang

mulai tertanam dalam masyarakat muslim, dan masyarakat muslim sendiri telah meninggalkan
kultur yang diwariskan dari para pendahulunya. Masyarakat muslim banyak mempraktekkan
kultur Barat dalam kehidupan sehari-harinya dengann bangga yang justru membahayakan
kehidupan mereka sendiri. ironisnya kultur Barat yang negatif lebih diadaptasi dari pada yang
positif. Menurut Hasan Hanafi masyarakat perlu menentang peradaban Barat, sehingga dia
mengusulkan oksidentalisme sebagai jawaban terhadap orientalisme dalam ranka menakhiri
mitos peradaban Barat.
Keterjebakannya umat Islam untuk bergantung pada pemikiran Barat itu sampai mereka
mengesampingkan pemberdayaan akalnya sendiri. mereka tidak mempunyai upaya seius dalam
membentuk dan membangun pengetahuan berdasarkan ijtihadnya. Padahal jika mereka
memikirkan pada masa keemasan Islam banyak tokoh-tokoh yang melakukan ijtihad. Harusnya
tradisi ijtihad itu dimanfaatkan untuk memberikan spirit kepada mereka dalam menumbuhkan
semangat intelektual, sehingga secara produktif mereka mengekspresikan pemikiran-pemikiran
segar dan orisinal.
Kini pemikiran Islam sepenuhnya sudah terpinngirkan di zaman Era modern ini, karena
pemikiran islam tidak dapat memberikan gagasan yang cerdas terhadap bangunan fisik dan
khazanah intelektual di dalam wacana ilmu pengetahuan konteporer.
Epistemologi Islam
Epistemologi Islam perlu dijadikan alternative terutama bagi filosof, pemikir dan ilmuwan
Muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali
epistemologi Barat. Karena epistemologi telah menguasai wilayah dunia para ilmuwan Muslim
juga mengikkuti bahkan tidak jarang yang mengandalkan epistemologi Barat tanpa koreksi sama
sekali, maka secara intelektual sebenarnya umat Islam menjadi terjajah oleh Berat. M. Arkoum
melaporkan, ternyata hingga dewasa ini semua cabang ilmu keislaman boleh dikata mengalami
kelumpuhan, stagnasi, tidak ada lagi perkembangan yang berarti, baik ilmu kalam, fiqh, tasawuf,
atau ilmu-ilmu tafsir, hadis dan lain-lainnya.
Dari reaitas tersebut seharusnyua umat muslim mencari pemecahan solusi yang statetig
agar kondisi ilmu keislaman tidak berlarut tanpa penyelesaian. Kalangan intelektual Muslim
yang paling bertanggung jawab mencarikan alternatif penyelesaian. Epistemologi Islam memiliki
fungsi yang sangat penting dalam menjaga kehormatan umat Islam. Epistemologi ini bisa

membangkitkan umat Islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun belakangan ini sudah banyak gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan diberbagai belahan
dunia yang diperankan oleh intelektual Muslim. Kejayaan Islam yang diharapkan terwujud
kembali hanya menjadi impian belaka tanpa pernah menjadi, bahkan mendekati realitas sama
sekali. Malapetaka peradaban ini terjadi karena kaum intelektual Muslim tidak segera sadar dan
membangun epistemologi alternative yaitu epistemologi yang dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan
(Mujamil Qomar, 2005: 164-166).
Tauhid yang mendasari epistemologi Islam yang hendak dibangun, merupakan salah satu
disiplin dasar yang sangat penting dalam mengembangkan ilmu-ilmu Islam, sebab epistemologi
merupakan operator mayor yang mentransformasikan visi tauhid dan visi dunia dalam realita.
Upaya mentransformasikan ideal Islam menjadi kenyataan itu semacam manajeman dalam
proses mengetahui menjadi perbuatan dan perlembagaannya dalam kehidupan (Amrullah
Achmad: 120). Dalam prekspektif tauhid Islam bahwa epistemologi Islam dimulai dari premis
seluruh pengetahuan adalah milik Allah. Dia yang mengajarkan segala bentuk pengetahuan
kepada manusia yaitu Nabi Adam As. Pengajaran Allah kepada Adam tersebut merupakan
petunjuk bahwa Allah menghendaki agar manusia mampu menguasai dan mengolah ala mini
dengan ilmunya.
Epistemologi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam harus didekatkan pada epistemologi untuk mewujudkan, apa yang
disebut epistemologi pendidikan Islam. Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan
pendidikan Islam bisa efektif dan efisien, bila didasarkan pada epistemologi pendidikan Islam.
Epistemologi pendidikan Islam, menuntut segera dibangun oleh para pemikir Islam. Karena
sangat berfungsi untuk mengembangkan pendidikan secara konseptual dan aplikatif. Selain itu
paling tidak mengurangi epistemologi Barat yang sudah banyak mempengaruhi pendidikan
Islam.
Menurut Amirullah Achmad Filsafat pendidikan yang diberikan pada departemen
kependidikan Islam sepenuhnya filsafat pendidikan Barat yang mulai digugat sebagian besar
pakar kita. Sedangkan kajian filsafat Islam sudah hampir putus dari nilai dan wawasan Islam,
sehingga perlu segera diperbaiki dan ditekankan kembali pada kajian filsafat Islam, sebab pada
sisi inilah yang justru menjadi sumber krisis di dunia Muslim dan yang paling sedikit dikaji pada
unversitas Islam selama ini atau bahkan ditinggalkan sama sekali (Mujamil Qomar, 2005: 209).

Mujamil Qomar dalam bukunya mengatakan bahwa Filsafat pendidikan yang diajarkan kepada
mahasiswa jurusan pendidikan Islam adalah filsafat Barat, maka pendidikan yang dikembangkan
umat Islam adalah pendidikan yang berpola Barat. Selain itu M. Rusli Karim menegaskan,
Pendidikan Islam di beberapa Negara Islam

yang mayoritas penduduknya beragama Islam

tidak lebih dari duplikasi dari pendidikan di negara-negara Barat sekuler yang banyak mereka
cela. Dengan demikian, produk system pendidikan mereka tidak mungkin menjadi atau berupa
alternatif (M. Rusli Karim,1991: 37).
Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan,
tetap tidak layak dijadikan sebagai sebuah model untuk memajukan peradaban Islam yang
damai, anggun, dan ramah terhadao kehidupan manusia. Pendidikan barat itu hanya maju
lahiriah, tetapi rohaninya tidak karena pendidikan tersebut hanya berorientasi pada
pengembangan yang bersifat kuantitatif. Jadi ukuran hasil pendidikan itu dilihat dari seberapa
jauh pengetahuan yang diserap peserta didik, bukan peserta didiknya itu bertindak sesuai
ilmunya.
Di Barat ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera, sehingga ilmu
pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang dapat diindera dan dinalar semata. Namun,
karaktek pendidikan Barat tampaknya telah mengilhami pendidikan yang dikembangkan di dunia
Islam. Banyak orang Islam yang bangga menetapkan model Barat, bahkan sikap peniruan untuk
mendapatkan pengakuan sebagai telah mengikuti perkembangan pendidikan yang paling
modern. Pengaruh pendidikan karakter Barat itu memasuki hampir semua pendidikan di
kalangan Muslim. Kini banyak dari penerapan pendidikan di dunia Islam telah terlanjur
mengikuti pola dan model pendidikan yang dikembangkan Barat dengan alasan mencapai
kemajuan seperti di Barat, tetapi kenyataannya sangat berlawanan dengan harapan. Hasil
pendidikan yang dicapai tetap tidak mampu memobilisasi perkembangan peradaban Islam.
Kenyataan yang menimbulkan problem dilematis ini pernah diungkap oleh Ismqil Raji Alfaruqi bahwa materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam adalah jiplakan dari
materi dan metodologi Barat, namun tak mengandung wawasan yang selama ini menghidupkan
negeri Barat. Selain itu kondisi riil di masyarakat ini tumbuh karena pengaruh pendidikan
modern Barat yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan ekonomu. Semakin besar pengaruh
pendidikan Barat untuk menguasai, mewarnai dan mengendalikan pendidikan Islam sesuai

dengan selera, kecenderungan, tradisi, budaya dan paradigma kehidupan orang-orang barat yang
sekuler. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak berdaya memberikan
pembekalan terhadap potensi umat Islam dalam mengembangkan peradaban mereka yang dicitacitakan.
Pengaruh lain dari pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam adalah wujudnya dikotomi
pendidikan di kalangan Muslim. Pendidikan Islam sebagai warisan periode klasik akhir, tidak
lagi ditegakkan atas fondasi intelektual spiritual yang kokoh dan anggun. Diterimanya prinsip
dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum, adalah salah satu indikasi rapuhnya dasar filosofis
pendidikan Islam (Ahmad Syafii Maarif, 1991: 18). Dikotomi itu menimbulkan kesan, bahwa
pendidikan agama berjalan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebaliknya
pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. Sistem pendidikan yang dikotomik tersebut
sekaligus menyebabkan lahirnya system pendidikan umat Islam yang sekuleristik, rasionalistikempirik, intuitif, dan materialistic. Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang
mampu melahirkan peraadaban Islami (Amrullah Achmad).
Kemudian Mujamil merinci dikotomi pendidikan itu secara sambung menyambung
menyebabkan:
1.
2.
3.
4.
5.

Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid


Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fitrah Islam
Adanya dikotomi kurikulum
Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan
Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti
kemusyikan, kemunafikan yang melembaga dalam system keyakinan, system pemikiran, sikap,

cita-cita dan perilaku yang sering disebut sekulerisme


6. Rusaknya system pengelolaan lembaga pendidikan
7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang justru menimbulkan
dan memperkokoh sistm kehidupan umat yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan
materialistik
8. Lahirnya Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam
9. Lahirnya dai yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentukna yang memisahkan kehidupan
sosial-politik-ekonomi ilmu pengetahuan-teknologi dengan ajaran Islam saja, agama urusan
akhirat dan ilmu-teknologi untuk urusan dunia.
Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di hampir semua
Negara ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam, sehingga system
pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan

tersebut, para pakar pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikanislam
harus mengadakan pembaruan-pembaruan secra komprehensif agar terwujud pendidikan Islam
ideal yang mencakup berbagai dimensi.
Epistemologi pendidikan Islam, meliputipembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk
pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam,
sumber-sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsus pendidikan
Islam, sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya. Dalam
tulisan ini akan lebih mengarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai
membangun pendidikan Islam, daripada komponen-komponen lainnya, karena komponenkomponen tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara
konseptual maupun aplikatif.
Metode Epistemologi Pendidikan Islam
Metode merupakan bagian integral dan epistemologi, karena epistemologi mencakup
banyak pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah sebagai
metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan
Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipkai dalam membangun ilmu pendidikan
Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode-metode dalam epistemologi
pendidikan Islam atau metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang
pendidikan Islam. Ada perbedaan antara metode epistemologi pendidikan Islam dengan metode
penelitian pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam lebih berada pada tataran pemikiran
filosofis, sedangkan metode penelitian pendidikan Islam berada pada tataran teknis dan
operasional. Metode epistemologi pendidikan Islam merupakan alat filsafat yang membahas
pengetahuan pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam berusaha membangun,
merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam.
Menurut Mujamil Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits
Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif
untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
A. Metode Rasional (Manhaj Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan
menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima
rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh

lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan
penggunaan akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama yang bersifat
apriori. Akal member penjelasan-penjelasan yang logis terhadap suatu masalah,sedangkan indera
membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk
pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Filosof muslim
berpandangan, bahwa sebagian nas syariat mengandung makna z ahir untuk kalangan umum dan
makna batin filosofis bagi kalangan khusus. Makna yang kedua ini diwujudkan melalui tawil
bagi ahlinya. Ini berarti Al-Quran dan Hadits benar-benar mengandung segi-segi pemikiranpemikiran filosofis dan mewajibkan untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran ini bagi orang
yang mampu dan ahlinya.
Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya bersifat filosofis,
dengan pengertian tidak mudah dimengerti tanpa mencari, menganalisis atau menggali sesuatu
yang tersimpan dibalik bahasa harfiah. Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin
rasional dan logis sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman
terhadap kandungan Al-Quran sebagai cermin dari ajaran Islam.
Teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai
landasan dalam membahas masing-masing disiplin ilmu karena masih kalah oleh teori barat.
Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap
baku dan disakralkan karena tidak pernah digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan
pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan
menggunakan metode rasional. Harusnya metode rasional telah lama menjadi pegangan para
filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori. Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli
filsafat pendidikan Islam yang memanfaatkan metode rasional ini. Pendidikan Islam selama ini
secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika diperhatikan landasan pendidikan
Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja
metode rasional yang kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan
dengan cara mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat
B.

diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Isla dalam jumlah yang amat besar.
Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi ilmiah
Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan ada kesepakatan

untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan pengetahuan,
sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangap penembangan
pengetahuan. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut intuisi itu. Muhammad Iqbal
menyebut intuisi ini dengan peristilahan cinta atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang layak.
Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang objek formalnya
adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara spesifik terfokus untuk
mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan wahyu, pemberdayaan akal maupun
pengamatan langsung. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal
maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali, bahwa
al-zawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap
pengetahuanyang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan
al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk Ilham
(Hasyimsyah Nasution, 1999: 81).
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral. Artinya ia bisa dimanfaatkan
untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Intuisi dalam pengertian kemampuan
mencapai kesimpulan secara tepat tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi satu (al-hads),
maupun dalam pengertian pengalaman mencerahkan (al-wjdan), adalah sampainya daripada
makna, atau sampainya makna pada diri, baik itu diperoleh melalui pembuktian, seperti dalam
hal pertama al-hads, atau datang dengan sendirinya dalamhal yang kedua al-wijdan. Hakekat
intuisi menurut Al-Tahawuny, bisa bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati pengalaman
kita sehari-hari tampaknya ada perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam rentang waktu tertentu.
Adakalanya dalam waktu yang berututan muncul beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu
yang lama juga tidak kunjung tiba.
Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melihat pemahaman yang kita sebut hati atau
kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan akal dan intuisi secara integral
dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan metode-metode yang
dipakai menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan
berkembang melalui pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan akal dan intuisi. Intuisi
itu bisa didatangkan untuk memberikan pencerhan konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi.
Sebaiknya kita memiliki tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun konsep

pendidikan Islam yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di hadapan kriteria ilmu
pengetahuan dan secara normatif di hadapan wahyu.
C. Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkann di sini adalah upaya menggali pengetahaun
pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan
antara

dua

orang

ahli

atau

lebih

berdasarkan

argumentasi-argumentasi

yang

bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya
untuk mecari jawaban-jawaban adalah aktivitasyang saha menurut Islam maupun ilmu
pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog telah dikemukakkan dalam Al-Quran. Menurut
Mohammad Anwar, Banyak ayat dalam Al-Quran memulai dengan kata-kata yasaluunaka
(mereka bertanya). Ada sebanyak 15 kali kata ini dipergunakan dalam Al-Quran. Kata tersebut
disambugn dengan objek pertanyaan, kemudian diikuti kata qul (katakanlah) baru materi
jawaban kecuali pada An-Naziat ayat 42. Ternyata pada ayat ini setelah dicermati mengandung
rahasia tertentu, bahwa orang-orang kafir bertanya kepada Muhammad tentang hari berbangkit
bukan semata-mata ingin mendapatkan jawaban yang pasti, melainkan sebagai ejekan.
Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperolah jawaban-jawaban
yang signifikan dalam mengembangkan pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan memiliki daya
analisis yang tajam manakala menghadapi tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus
bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaan empiris yang terdiri atas fakta
atau informasi untuk diolah menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu
pengetahuan ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat disiapkan wdahnya dengan beberapa
cara, misalnya dengan menetapkan pasangan dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan
dua forum dialog, maupun dengan mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila
difungsikan secara maksimal. wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya saja, sedang misi
dan fungsinya relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan
Islam dari Al-Quran, hadits dan praktek-praktek pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam
teori-teori ilmiah tentang pendidikan Islam.
Metode dialogis dalam epistemologi pendidikan Islam ini bisa mengambil bermacammacam objek; ketentuan-ketentuan wahyu, baik yang terdapat pada Al-Quran maupun hadits
yang disebut dengan konsep-konsep Normatif, pendapat-pendapat para pakar pendidikan Islam,
baik pada masa lampau maupun sekarang yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan

terhadap pengalaman-pengalaman melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu


maupun sekarang yang bisa disebut konsep-konsep empiris. Semua Objek itu ada dalam
bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam arti wahyu dan Islam
dalam arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis sedang Isla budaya berupa
pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.
D. Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan
pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan pendidikan
lainnya. Metode ini ditempuh untukmencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan
pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan
pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan dengan pendidikan perbandingan.
Metode komparatif sebagai salah satu metode epistemologi pendidikan Islam objek yang
beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi: perbandingan sesame Ayat Al-Quran tentang
pendidikan, antara ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara sesame hadits
pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori dari pakar
pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam, antara sesama
lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non Islam, antara sesama sejarah umat
Islam dahulu dan sekarang.
Metode komparatif ini selain sebagai metode epistemologi juga pada tahap operasionalnya
menjadi salah satu metode penelitian dan memiliki objek yang luas. Dalam penelitian filsafat,
menurut J. Collins perbandingan itu dapat diadakan di antara tokoh atau naskah, system atau
konsep, antara dua hal/pribadi atau lebih banyak, antara yang serupa atau berbeda sekali. Dari
segi mekanisme kerja metode komparatif dipublikasikan melalui langkah-langkah kerja secara
bertahap sebagai berikut: Pertama, menelusuri permasalahan-permasalahan yang setara tingkat
dan jenisnya; kedua, mempertemukan dua atau lebih permasalahannya yang setara; ketiga,
mengungkapkan ciri-ciri dari objek yang sedang dibandingkan secara jelas dan terinci; keempat,
mengungkapkan hasil perbandingan; kelima, menyusun atau memformulasikan teori-teori yang
E.

bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (logis dan objektif).


Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam
dnegan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian
menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya. Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya

kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang


harus diluruskan.
Sebenarnya kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulum dari ilmu kalam, fiqh,
sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang jarang sekali kalangan Muslim yang
berpijak pada metode kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya. Salah satau pemikir
muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau mengkritik
bangunan epistemologi keilmuan agam Islam. Sebenarnya kritik itu berkonotasi dalam makna
upaya membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik adalah penghinaan.
Dan itu berakibat umat muslim merasa tidak suka terhadap kritik. Dengan menggunakan metode
kritik dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu yang berkaitan
dengan pendidikan Islam.
SIMPULAN
Epistemologi Barat yang sudah banyak digunakan di pendidikan Indonesia, memang sulita
untuk dihilangkan, apalagi untuk mengganti dengan epistemologi Islam. Dalam dunia pendidikan
Islam saat ini juga menggunakan Epistemologi Barat, yang dianggap modern. Padahal cara-cara
barat tidaklah menghasilkan sesuatu yang baik. Pemikiran barat mengedepankan seberapa jauh
para peserta didik mampu menyerap ilmu yang dia dapat bukan memperhatikan apakah tumbuh
kesdaran dari peserta didik itu untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya.
Seharusnya pendidikan Islam melakukan pembaruan supaya lebih memperhatikan Akhlak
peserta didiknya, bukan hanya pada kepandaian menyerap ilmunya. Saat ini para pemikir sedang
melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, meskipun tidak semua ilmu itu dapat dilakukan
islamisasi. Metode epistemologi pendidikan harusnya dilakukan berdasarkan nas-nas wahyu
yang bersandar pada Al-Quran dan hadits. Adapun metode epistemologi yang harus digunakan
oleh para pemikir muslim. Pertama, metode rasionalis yaitu yang bertumpu pada akal manusia.
Kedua, metode intuitif yaitu yang bertumpu pada rasa dan intuisi terhadap pengetahuan. Ketiga,
metode dialogis atau seperti Tanya jawab. metode ini sudah ada pada Al-Quran yang perlu
dicontoh oleh para pemikir Muslim dalam pendidikan Islam. Keempat, metode komparatif atau
seperti perbandingan. Dengan metode ini dapat membandingkan dengan yang lainnya. Kelima,
metode kritik, metode ini sudah lama digunakan oleh para pemikir islam terdahulu, apalagi
dalam ilmu kalam, fiqh, sejarah dan hadits juga ada yang namanya kritik dari metode kritik
harusnya para pemikir islam bisa mengkritik teori-teori barat. Namun, sayang sekali para pemikir

pendidikan islam yang tidak melakukan kritik terhadap teori-teori Barat, malahan mereka
membenarkan teori-teori tersebut tanpa mau mengembangkannya kembali.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka Setia.
Barnadib, Iman. 1976. Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode). Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Ilmu Pendidikan.
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhajir, Noeng. 2000. Landasan Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik.
Jakarta: Erlangga.
Sardar, Ziauddin. 1998. Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. Surabaya:
Risalah Gusti.

EPISTEMOLOGI ILMU PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan islam sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatifitas peserta didik,
bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT., cerdas,
terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggung jawab
terhadap dirinya, bangsa dan Negara serta agama. Proses itu sendiri sudah berlangsung sepanjang
sejarah kehidupan manusia.
Ilmu pendidikan merupakan prinsip, struktur, metodologi, dan objek yang memiliki
karakteristik epistimologi ilmu islami. Oleh karena itu, pendidikan islam sangat bertolak
belakang dengan ilmu pendidikan non islam. Pengembangan pendidikan islam adalah upaya
memperjuangkan sebuah sistem pendidikan alternative yang lebih dan relative dapat memenuhi

kebutuhan umat islam dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi
sehari-hari.
B.
1.
2.
3.

Rumusan Masalah
Bagaimana pengertian Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?
Bagaimana metode Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?
Bagaimana upaya membangun Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam
Secara etimologi, kata epistemology berasal dari bahasa Yunani; episteme dan
logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan.
Jadi epistimologi berarti sebuah teori tentang pengetahuan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah Theori of Knowledge.
Secara terminology, menurut Dagobert D. runes dalam bukunya Dictionary of
Phlisophy mengatakan bahwa Epistimologi sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang
keaslian pengertian, struktur, mode, dan validitas pengetahuan. Menurut Harun Nasution dalam
bukunya Filsafat Agama mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan Epistimologi adalah
Ilmu yang membahas apa penetahuan itu dan bagaimana memperolehnya. Menurut
Fudyartanto mengatakan bahwa epistimologi berarti filsafat tentang pengetahuan atau dengan
kata lain filsafat pengetahuan. Menurut KBBI epistimologi adalah cabang ilmu filsafat tentang
dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.31[1] Epistemologi adalah salah satu cabang pokok
filsafat yang membicarakan seluk-beluk pengetahuan.32[2]
31[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers,
Jakarata, 2002, hal 3

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa epistimologi adalh sebuah ilmu yang
mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara subtantif.
Oleh karena itu epistimologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:
a) Filsafat, yaitu sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
b) Metode, memiliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
c) Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
ilmu pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hokum-hukum
agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.33[3]
Maka, epistemologi merupakan ilmu pendidikan islam yang menekankan pada upaya,
cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan islam. Jelaslah bahwa
aktifitas berfikir dalam epistemology adalah aktifitas yang paling mampu mengembangkan
kreatifitas keilmuan disbanding ontology dan aksiologi.
B. Metode Epistemoogi Pendidikan Islam
Metode merupakan bagian integral dari epistemologi, karena epistemologi mencakup
banyak pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah sebagai
metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan
Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipakai dalam membangun ilmu
pendidikan Islam.
Metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan antara metode epistemologi pendidikan
Islam dengan metode penelitian pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam lebih berada pada
tataran pemikiran filosofis, sedangkan metode penelitian pendidikan Islam berada pada tataran
teknis dan operasional. Metode epistemologi pendidikan Islam merupakan alat filsafat yang
membahas pengetahuan pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam berusaha
membangun, merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam. Menurut
Mujamil Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits Nabi dan
penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untuk
membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
a. Metode Rasional (Manhaj Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan
menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima
rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh
32[2] Abdul Munir Mulkhan dkk, Religiusitas Iptek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1998, hal 49
33[3] Op.Cit., Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Hal 10

lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan
penggunaan akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama yang bersifat
apriori. Akal memberi penjelasan-penjelasan yang logis terhadap suatu masalah, sedangkan
indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan
termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Machfudz Ibawi
berani menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya bersifat filosofis, dengan pengertian
tidak mudah dimengerti tanpa mencari, menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan
dibalik bahasa harfiah. Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis
sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan
Al-Quran sebagai cermin dari ajaran Islam. Teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwanilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing disiplin
ilmu karena masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual
adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap baku dan disakralkan karena tidak pernah digugat.
Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga
menjadi sasaran pencermatan kembali dengan menggunakan metode rasional. Seharusnya
metode rasional telah lama menjadi pegangan para filosof pendidikan Islam dalam merumuskan
teori. Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang memanfaatkan
metode rasional ini.
Pendidikan Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika
diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan seharusnya tidak ada
lagi peniruan. Mekanisme kerja metode rasional yang kesekian kali dalam mencapai
pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan cara mengembangkan objek pembahasan.
Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan
Islam dalam jumlah yang amat besar.
b. Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi ilmiah
Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan ada kesepakatan
untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan pengetahuan,
sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangkap pengembangan

pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebut intuisi ini dengan peristilahan cinta atau kadangkadang disebut pengalaman kalbu.
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang layak.
Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang objek formalnya
adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara spesifik terfokus untuk
mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan wahyu, pemberdayaan akal maupun
pengamatan langsung. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal
maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali, bahwa
al-zawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap pengetahuan
yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan al-nubuwwat,
yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk Ilham.
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral. Artinya ia bisa dimanfaatkan
untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Hakekat intuisi menurut Al-Tahawuny, bisa
bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati pengalaman kita sehari-hari tampaknya ada
perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam rentang waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang
berututan muncul beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga tidak kunjung
tiba. Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melihat pemahaman yang kita sebut hati atau
kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan akal dan intuisi secara integral
dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan metode-metode yang
dipakai menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan
berkembang melalui pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan akal dan intuisi. Intuisi
itu bisa didatangkan untuk memberikan pencerahan konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi.
Sebaiknya kita memiliki tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun konsep
pendidikan Islam yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah di hadapan kriteria ilmu
pengetahuan dan secara normatif di hadapan wahyu.
c.

Metode Dialogis (Manhaj Jadali)


Metode dialogis yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali pengetahaun pendidikan
Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua
orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mecari jawabanjawaban adalah aktivitas yang baik menurut Islam maupun ilmu pengetahuan. Peristiwa sebagai

wujud dialog telah dikemukakan dalam Al-Quran. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan
nalar kita untuk memperolah jawaban-jawaban yang signifikan dalam mengembangkan
pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan memiliki daya analisis yang tajam manakala
menghadapi tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan
yang dialogis dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah
menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu pengetahuan ilmiah. Untuk
menerapkan metode ini, dapat disiapkan wadahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan
menetapkan pasangan dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog,
maupun dengan mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila difungsikan secara
maksimal. wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya saja, sedang misi dan fungsinya
relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan Islam dari AlQuran, hadits dan praktek-praktek pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam teori-teori
ilmiah tentang pendidikan Islam.
Metode dialogis dalam epistemologi pendidikan Islam ini bisa mengambil bermacam-macam
objek: ketentuan-ketentuan wahyu, baik yang terdapat pada Al-Quran maupun hadits yang
disebut dengan konsep-konsep normatif, pendapat-pendapat para pakar pendidikan Islam, baik
pada masa lampau maupun sekarang yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan
terhadap pengalaman-pengalaman melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu
maupun sekarang yang bisa disebut konsep-konsep empiris. Semua Objek itu ada dalam
bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam arti wahyu dan Islam
dalam arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis sedang Islam budaya berupa
pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.
d. Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan
pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan pendidikan
lainnya). Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan
pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan
pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan dengan pendidikan perbandingan.
Metode komparatif sebagai salah satu metode epistemologi pendidikan Islam objek yang
beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi: perbandingan sesama Ayat Al-Quran tentang
pendidikan, antara ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara sesama hadits

pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori dari pakar
pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam, antara sesama
lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non Islam, antara sesama sejarah umat
Islam dahulu dan sekarang.
e.

Metode Kritik (Manhaj Naqdi)


Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam
dgan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian
menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya. Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya
kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang
harus diluruskan. Sebenarnya kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulum dari ilmu
kalam, fiqh, sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang jarang sekali kalangan
Muslim yang berpijak pada metode kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya. Salah
satau pemikir muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau
mengkritik bangunan epistemologi keilmuan agam Islam. Sebenarnya kritik itu berkonotasi
dalam makna upaya membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik adalah
penghinaan. Dan itu berakibat umat muslim merasa tidak suka terhadap kritik. Dengan
menggunakan metode kritik dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan nas-nas
wahyu yang berkaitan dengan pendidikan Islam.34[4]

C. Upaya Membangun Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam


Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di hampir semua negara
ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam, sehingga sistem pendidikan
Islam mengalami banyak kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para
pakar pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam harus
mengadakan pembaharuan-pembaharuan secara komprehensif agar terwujud pendidikan Islam
ideal yang mencakup berbagai dimensi. Pada dimensi pengembangan terdapat kesadaran bahwa
cita-cita mewujudkan pendidikan Islam ideal itu baru bisa dicapai bila ada upaya membangun
epistemologinya.35[5]
Epistemologi pendidikan Islam ini, meliputi; pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk
pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam,
34[4] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2008, Hal
270-350
35[5] Ibid., Hal 249

sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam,
sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya. Dalam pembahasan
ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat
dipakai membangun ilmu pendidikan Islam, daripada komponen-komponen lainnya, karena
komponen metode tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik
secara konsepteual maupun aplikatif.
Epistemologi pendidikan Islam ini perlu dirumuskan secara konseptual untuk menemukan
syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Syarat-syarat itu
merupakan kunci dalam memasuki wilayah pendidikan Islam, tanpa menemukan syarat-syarat
itu kita merasa kesulitan mengungkapkan hakekat pendidikan Islam, mengingat syarat
merupakan tahapan yang harus dipenuhi sebelum berusaha memahami dan mengetahui
pendidikan Islam yang sebenarnya. Setelah ditemukan syarat-syaratnya, langkah selanjutnya
untuk dapat menangkap misteri pendidikan Islam adalah dengan menyiapkan segala sarana
dan potensi yang dimiliki para ilmuan atau pemikir, dalam kapasitasnya sebagai penggali
khazanah dan temuan pendidikan Islam.36[6]
Oleh karena itu, epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi
solusi, penemu dan pengembang. Melalui epistemologi pendidikan Islam ini, seseorang pemikir
dapat melakukan : Pertama, teori-teori atau konsep-konsep pendidikan pada umumnya maupun
pendidikan yang diklaim sebagi Islam dapat dikritisi dengan salah satu pendekatan yang
dimilikinya. Kedua, epistemologi tersebut bisa memberikan pemecahan terhadap problemproblem pendidikan, baik secara teoritis maupun praktis, karena teori yang ditawarkan dari
epistemologi itu untuk dipraktekkan. Ketiga, dengan menggunakan epistemologi, para pemikir
dan penggali khazanah pendidikan Islam dapat menemukan teori-teori atau konsep-konsep baru
tentang pendidikan Islam. Selanjutnya, yang keempat, dari hasil temuan-temuan baru itu
kemudian dikembangkan secara optimal.37[7]
Mengingat epistemologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar, dan terlebih
lagi sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam, maka ada
benarnya pendapat yang mengatakan Problem utama pendidikan Islam adalah problem
epistemologinya. Sekiranya terjadi kelemahan atau kemunduran pendidikan Islam, maka
epistemologi sebagai penyebab paling awal harus dibangun lebih dulu, dan melalui epistemologi
36[6] Ibid., Hal 229
37[7] Ibid., Hal 250

juga, jika kita berkeinginan mengembangkan pendidikan Islam. Kekokohan bangunan


epistemologi melahirkan ketahanan pendidikan Islam menghadapi pengaruh apapun, termasuk
arus budaya Barat, dan mampu memberi jaminan terhadap kemajuan pendidikan Islam serta
bersaing dengan pendidikan-pendidikan lainnya.38[8]
Untuk mewujudkan ilmu islami diperlukan upaya membangun paradigm filosofis ilmu yang
islami. Bangunan paradigm keilmuan islam tersebut didasarkan pada tiga elemen dasar, yaitu
asumsi dasar, postulasi, serta tesis-tesis tentang filsafat ilmu.
Pertama, adalah tataran asumsi. Asumsi dasar yang dipakai adalah pandangan realisme
metaphisik yaitu filsafat yang di samping mengakui adanya realitas yang tidak sensual empiric
juga mengakui adanya keteraturan alam semesta, karena keteraturan tersebut adalah milik Allah
SWT. Kedua, adalah tataran postulasi. Postulasi dimaksud adalah pada tataran ontologisnya,
yaitu bahwa keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran yang tunggal. Dalam tataran
aksiologisnya digunakan dalam kerja reorientasi ilmu menjadi islami, berupa semua cabang ilmu
yang bisa mempertebal keimanan dan menumbuhkan akhlak karimah. Alasan dari tataran
aksiologisnya adalah ilmu itu bersifat normative, dan oleh karenanya harus diorientasikan pada
nilai (value), baik nilai insaniah (yang dapat dilihat panca indra) ataupun nilai Ilahiyah (yang
diwahyukan). Ketiga, tataran tesis. Tesis dimaksud adalah tesis epistemologis. Ada beberapa tesis
epistemologis, yaitu: 1) bahwa wahyu adalah merupakan kebenaran mutlak. 2) akal budi manusia
adalah dlaif. 3) bahwa ujud kebenaran yang dicapai dapat berupa eksistensi sensual, logik, etik
atau transsendental.
Substansi wahyu sebagai kebenaran mutlak tidak dapat dikenal secara keseluruhan.
Kebenaran mutlak tersebut yang hanya dapat diketahui adalah kebenaran yang diwahyukan dan
yang bersifat empirik. Adapun rentang epistemologinya adalah dari aql sampai fuad, sehingga
bukti kebenaran tersebut berupa bukti empirik (factual), logis, etis, dan hikmah.
Adapun substansi ilmu dalam filsafat ilmu mengacu pada moralitas ketauhidan dan
pencarian ridha Allah. Penjabaran ridha Allah adalah pengembangan watak dan sifat yang
mengacu pada asmaul-husna. 39[9]

38[8] Ibid., Hal 521


39[9] Ismail SM dkk, Paradigma Pendidikan Islam, pustaka pelajar, Semarang, 2001,
hal.100

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Epistemologi merupakan ilmu pendidikan islam yang menekankan pada upaya, cara, atau
langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan islam. Jelaslah bahwa aktifitas
berfikir dalam epistemology adalah aktifitas yang paling mampu mengembangkan kreatifitas
2.

keilmuan disbanding ontology dan aksiologi.


Metode Epistemologi Pendidikan Islam, meliputi Metode Rasional (Manhaj Aqli), Metode
Intuitif (manhaj Zawqi), Metode Ideologis (Manhaj Jadali), Metode Komparatif (Manhaj

3.

Maqaran), Metode Kritik (Manhaj Naqdi)


Upaya mewujudkan epistemologi ilmu pendidikan islam. Pertama, adalah tataran asumsi.
Kedua, adalah tataran postulasi. Postulasi dimaksud adalah pada tataran ontologisnya, yaitu
bahwa keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran yang tunggal. Ketiga, tataran tesis.
Tesis dimaksud adalah tesis epistemologis. Ada beberapa tesis epistemologis, yaitu: 1) bahwa
wahyu adalah merupakan kebenaran mutlak. 2) akal budi manusia adalah dlaif. 3) bahwa ujud
kebenaran yang dicapai dapat berupa eksistensi sensual, logik, etik atau transsendental.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Diposkan oleh siti fitriana di 07.24


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Hakikat Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam

Oleh : Mahariah
Ketika suatu pembicaraan masuk kepada wilayah hakikat, maka bisa dipastikan pembicaraan
tersebut akan terasa begitu sulit, karena tidak ada yang bisa menangkap hakikat secara substantif karena
sesungguhnya hakikat hanya bisa dipahami dari ciri-cirinya saja. Lebih-lebih hakikat epistemologi, tentu
akan terasa lebih sulit lagi. Epistemologi sesungguhnya berkaitan erat dengan bagaimana sebuah proses
pengetahuan menjadi ilmu. Epistemologi itu sendiri terbentuk dengan berpijak pada bagaimana cara
pandang terhadap dunia (worldview)40[1] yang kemudian membentuk paradigma. 41[2] Paradigma lebih
spesifik merujuk pada pengertian dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang
merupakan awal terbentuknya epistemologi.

Istilah epistemologi pertama kali diperkenalkan oleh J.F. Ferrier dalam tulisannya yang bertajuk
Isntitute of Metaphysics.42[3] Epistemologi yang didalam bahasa Arab disebut dengan nazariyyah alma`rifah 43[4] itu sendiri merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan batasan40[1] Worlview dalam diskursus filsafat merujuk pada pengertian pandangan hidup, filsafat hidup
atau prinsip-prinsip hidup. Sumber-sumber world view meliputi agama, budaya, filsafat, aliran
kepercayaan, tata nilai bahkan arus informasi. Sayyid Quthb menyebut pandangan hidup Islami (Islamic
worldwiew) dengan istilah tasawwur al-Islami. Menurutnya seorang Muslim yang memiliki tasawwur alIslami akan terdapat di dalam benaknya sekumpulan keyakinan dasar tentang gambaran wujud dan apa
yang ada dibalik wujud itu. Pemahaman tentangnya akan mempengaruhi cara berpikir, perasaan dan
tindakan. Pandangan hidup Islam merupakan akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam
pikiran dan hati setiap Muslim. Lihat Mohammad Sayyid Quthb, Muqawamat at-Tasawwur al-Islami,
(Kairo: Dar al-Suruq, t.th.), h.40
41[2] Paradigma merupakan mode of thought atau mode of inquiry tertentu yang akan
membentuk mode of knowing tertentu. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi,
(Bandung : Mizan, 1998), h.327
42[3] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (New Jersey : Adams and Company, 1971),
h.94
43[4] Abd al-Fattah Imam di dalam bukunya Madhkal ila al-Falsafah menerangkan bahwa
istilah nazariyyah al-ma`rifah mempunyai dua pengertian yakni pengertian luas yang mengandungi
seluruh perbahasan falsafah yang penting serta mempunyai hubungan dengan ilmu pengetahuan seperti
ilmu-ilmu psikologi, biologi, sosiologi, sejarah dan sebagainya. Kemudia pengertian yang sempit yaitu

batasan dan dasar-dasar pengetahuan, sumber, metode serta validitas pengetahuan. Dengan demikian,
epistemologi dalam paradigma sains, sebenarnya merupakan cabang filsafat yang secara khusus diminati
di Barat sejak abad ke-17 M. Ketika memasuki abad ke-20 ini epistemologi mengalami perkembangan
yang pesat dan beragam, searah dengan tumbuhnya cabang-cabang ilmu pengetahuan secara terus
menerus tanpa henti.44[5]
Pengaruh epistemologi Barat terhadap terhadap dunia pendidikan yang berkembang dihampir
semua negara dirasakan begitu kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam, sehingga sistem
pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan. Ini karena paradigma epistemologi pendidikan yang
dibangun oleh para pemikir Barat yang bercorak sekuler dan berpusat pada manusia (antroposentris) sama
sekali berbeda dengan epistemologi pendidikan Islam yang berasaskan tauhid (teosentris).
Berkembangnya epistemologi pendidikan ala Barat didalam dunia pendidikan Islam inilah yang menjadi
semacam batu sandungan dalam merekonstruksi bangunan pendidikan Islam yang sejak lama kehilangan
fondasinya.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para pemikir dan pakar pendidikan Islam harus
mengadakan pembaruan secara komprehensip agar terwujudnya pendidikan Islam ideal yang mencakup
berbagai dimensi. Pada dimensi pengembangan terdapat kesadaran bahwa cita-cita mewujudkan
pendidikan Islam ideal sesungguhnya baru bisa dicapai jika struktur fondasinya digubah, fondasi tersebut
tidak lain adalah epistemologi pendidikan Islam itu sendiri. Epistemologi pendidikan Islam ini perlu
dirumuskan kembali secara konseptual untuk menemukan syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan
berdasarkan ajaran Islam. Dengan demikian epistemologi pendidikan Islam sangat berperan dalam
membuka jalan bagi temuan-temuan khazanah pendidikan Islam yang terumuskan secara teoritis dan
konseptual. Upaya pengembangan pendidikan Islam hanya bisa berjalan secara kondusif, apabila
epistemologi pendidikan Islam telah benar-benar dikuasai oleh para penggiat pendidikan Islam. 45[6]
Berdasarkan uraian tersebut, jika kemudian pembicaraan mengenai epistemologi pendidikan
Islam dikerucutkan kepada epistemologi ilmu pendidikan Islam, maka wilayah kajiannya akan
dipersempit kepada kajian mengenai seluk beluk ilmu pendidikan Islam yang menyangkut tentang ruang

ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan, dasarnya, batasannya, sumbernya, syaratnya,
dan definisinya. Lihat Abd al-Fattah Imam, Madhkal ila al-Falasifah, (Kairo : Dar al-Falsafah, t.th),
h.146
44[5] C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia, 1991), h.ix
45[6] Mujami Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta : Erlangga, 2005), h.249-250

lingkup ilmu pendidikan Islam, dasar-dasar ilmu pendidikan Islam, sumber ilmu pendidikan Islam,
metode serta validitas ilmu pendidikan Islam.
Secara khusus, ilmu pendidikan Islam seringkali dihadapkan dengan pendidikan secara umum
ketika sedang membahas hakikatnya. Hakikat ilmu pendidikan Islam sesungguhnya sulit dirumuskan
secara jelas, karena merupakan masalah transenden maka yang dapat diungkap hanyalah sifat atau ciricirinya. Pendidikan Islam pada dasarnya merupakan pendidikan yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam
yang tertuang dalam Al-quran serta dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadis. hal ini tidak bisa serta merta
dipertentangkan dengan akal, karena wahyu sendiri juga menghendaki penggunaan akal dalam proses
perenungannya. Bahkan hampir seluruh filsuf muslim kecuali Al-Razi dan Ibnu Rawandi
menyelaraskan hubungan akal dengan wahyu dalam hubungan yang harmonis. Oleh karena itu dari segi
orientasinya, sesungguhnya ruh dari ilmu pendidikan Islam adalah untuk meumbuhkan integrasi iman,
ilmu, amal dan akhlak. Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lain, sehingga mampu
mewujudkan manusia muslim paripurna.46[7]
Salah satu bidang kajian epistemologi yang paling pokok adalah ruang lingkup atau batasan ilmu
pengetahuan. Atas dasar ini, maka pembicaraan mengenai epistemologi ilmu pendidikan Islam akan
dimulai dengan mengurai ruang lingkup ilmu pendidikan Islam itu sendiri. Secara sederhana, ilmu
pendidikan Islam merupakan ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Islam berisikan seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, ajaran
tersebut berdasar dan bersumber pada Al-quran, hadis serta akal. Oleh karena itu teori dalam ilmu
pendidikan Islam haruslah dilengkapi dengan ayat-ayat Al-quran dan hadis bahkan argumen (akal) yang
menjamin keabsahan teori tersebut.47[8]
Yang perlu dipahami kemudian adalah sekalipun terdapat kata Islam dalam ilmu pendidikan
Islam, namun ilmu pendidikan Islam bukanlah Al-quran, atau setara dengan Al-quran. Bagaimanapun
sempurnanya, ilmu pendidikan Islam tetaplah sebuah hasil ijtihad yang tidak luput dari kesalahan. Namun
demikian, ilmu pendidikan Islam bukan pula ilmu sekular yang bebas nilai. Ilmu pendidikan Islam lebih
merupakan hasil ijtihad yang dibimbing oleh ajaran Islam yang bersumber pada Al-quran dan hadis.
Bimbingan tersebut antara lain terlihat pada adanya nilai-nilai ajaran Al-quran yang menjadi prinsip
pengembangan ilmu pendidikan Islam.48[9]
46[7] Ibid., h.259
47[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), h.12
48[9] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner : Normatif
Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan,

Menurut Mohammad Quthb, paradigma ilmu, termasuk ilmu pendidikan Islam, adalah suatu
kerangka teoritis berupa konsep, teknis, proses dan prosedur yang dibangun oleh para Mujtahid
pendidikan Islam. Berdasarkan nilai-nilai Islam (Al-quran dan hadis) dengan memakai lensa ijtihad
basyari (observasi). Karena itu, tegaknya sistem pendidikan merupakan kawasan ijtihad, yang
memerlukan revisi dan perbaikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan observasi yang lebih benar
adalah observasi yang dipandu oleh wahyu. 49[10]
Sementara itu, objek kajian ilmu pendidikan Islam itu sendiri tentu saja manusia dalam
kedudukannya sebagai makhluk pendidikan. Akan tetapi, karena luasnya jangkauan pendidikan Islam
terhadap manusia menyebabkan ruang lingkup ilmu pendidikan Islam menjadi cukup luas dan kompleks.
Mengacu pada pendapat Abuddin Nata bahwa ilmu pendidikan Islam memiliki ruang lingkup sebagai
berikut:
1. Teori-teori dan konsep-konsep yang diperlukan bagi perumusan desain pendidikan Islam dengan
berbagai aspeknya, seperti visi dan misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan
seterusnya. Teori-teori dan konsep-konsep tersebut dibangun dari hasil kajian yang ilmiah dan
mendalam terhadap sumber ajaran Islam yang terdapat dalam Al-quran dan hadis.
2. Teori-teori dan konsep-konsep yang diperlukan untuk kepentingan praktik pendidikan, yaitu
mempengaruhi peserta didik agar mengalami perubahan, peningkatan, dan kemajuan dalam
segala aspeknya. 50[11]
Sebagai sebuah disiplin ilmu terapan, perkembangan teori ilmu pendidikan Islam berasal dari
pemikiran-pemikiran

filsafat,

teoretis,

penelitian

empiris

dalam

praktik

pendidikan.

Untuk

mengembangkan ilmu pendidikan Islam diperlukan landasan yang berbasis filsafat sebagai dasar dalam
menyusun paradigma bagi pengembangan ilmu pendidikan Islam. Filsafat yang akan dijadikan
pengembangan tersebut harus pula filsafat yang berdasarkan Islam.
Selain itu ilmu pendidikan Islam memiliki logika ilmu yang berlaku pada kebanyakan ilmu sosial
dan psikologi, yang telah berkembang menjadi beberapa aliran dalam filsafat. Ilmu pendidikan Islam
memiliki karakteristik tersendiri yang tidak dapat didekati hanya degan pendekatan yang bersifat
monolitik. Ilmu pendidikan Islam yang memiliki khazanah sumber inspirasi dari Al-quran dan hadis
Politik, Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo, 2008), h.
49[10] Saifullah, Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam Perskpektif Mohammad Quthb dalam
http:// jainul-dzamri.blogspot.com/2010/03/hakikat-dan-tujuan-pendidikan-islam.html diakses pada 25
Oktober 2014.
50[11] Nata, Ilmu., h.22-23

seharusnya mengembangkan berbagai model institusional dan kurikulum pendidikan yang solutif dan
akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Ilmu pendidikan Islam didasari atas pemikiran bahwa ilmu adalah milik Allah, ilmu yang
diberikan kepada manusia hanya secuil saja. Atas dasar ini maka pendidikan Islam juga berasal dari Allah.
Sandarasn teologis yang menginspirasi pandangan ini misalnya dengan banyak ayat Al-quran
menggunakan kata rabb yang juga berarti pendidik yang menjelaskan keagungan Allah swt. Seperti
didalam QS. Al-fatihah: 2 dan QS. Al-baqarah: 31. Oleh sebab itu, dalam pendidikan Islam manusia
bukanlah asal-usul pertama pendidikan. Manusia hanya menjadi perumus teori-teori pendidikan, bekal
yang dipakai untuk merumuskan teori tersebut berasl dari Allah yang termaktub didalam wahyunya yang
tertulis dan di alam raya sebagai sunnatullah.51[12]
Oleh karena itu, sumber yang menjadi titik berangkat dalam pengembangan ilmu pendidikan
Islam tidak lain adalah sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-quran dan hadis. Karakteristik dasar
pemikiran Islami mengenai pendidikan Islam, cenderung bersifat organik, sistematik dan fungsional
dengan akar paradigma mengacu pada Al-quran dan hadis serta sejarah Islam. Kedudukan Al-Quran
sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dilihat pada QS. an-Nahl: 64 dan QS. Shad: 29. Di sana
terungkap bahwa pada hakikatnya Al-quran itu merupakan khazanah yang penting untuk kehidupan dan
kebudayaan manusia terutama bidang kerohanian. Al-quran merupakan pedoman pendidikan
kemasyarakatan, moral dan spiritual (kerohanian). Secara empiris ilmu pendidikan Islam tidak bisa
dikembangkan dengan acuan diluar hadis dan sejarah Rasulullah khususnya, sebab figur pendidik ideal
dalam Islam adalah Rasulullah. Jika dilihat dari wacana dan teorisasi keilmuan Islam, maka semakin
jelaslah bahwa Al-quran dan hadis merupakan dua unsur yang paling pokok dalam posisinya sebagai
sumber ilmu pengetahuan Islam (normative resource).
Kemudian, sebagai sebuah bangunan dari ilmu peng

etahuan yang selanjutnya membentuk

teori-teori dan konsep maka ilmu pendidikan Islam juga memiliki metode dalam menggali, menyusun
dan mengembangkan pendidikan Islam. Karena memiliki kesamaan yang cukup dekat dengan metode
epistemologi pendidikan, maka dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud untuk masuk kedalam
penjelasan untuk membedakan keduanya, atas dasar itu untuk sementara penulis menyamaartikan
keduanya. Metode epistemologi pendidikan Islam digunakan dalam kaitannya untuk memperoleh
pengetahuan tentang pendidikan Islam. Metode ilmu pendidikan Islam atau metode epistemologi
pendidikan Islam berlandaskan pada sandaran teologis, inspirasi pesan-pesan Islam, atau pengalaman para
ilmuan muslim. Mengacu paca tulisan Qomar, bahwa dalam tradisi ilmu pendidikan Islam setidaknya ada

51[12] Qomar, Epistemologi., h.260

lima metode yang digunakan dalam menggali, menyusun dan mengembangkan bangunan pendidikan
Islam. Kelimanya adalah :
1. Metode rasional (manhaj aqli), yakni metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria kebenaran yang bisa diterima
oleh akal. Metode ini lebih menekankan pada penjelasan-penjelasan yang logis daripada aspek
lainnya.52[13]
2. Metode intuitif (manhaj zawqi), yakni metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan sarana intuisi. Intuisi itu sendiri merupakan pengetahuan yang tiba-tiba
secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali. 53[14]
3. Metode dialogis (manhaj jadali), yaitu upaya menggali pengetahuan pendidikan Islam yang
dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua orang ahli
berdasarkan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 54[15]
4. Metode komparatif (manhaj muqaran), yaitu metode memperoleh pengetahuan pendidikan Islam
dengan cara membandingkan teori dengan praktik pendidikan, baik sesama pendidikan Islam
maupun dengan pendidikan lainnya.55[16]
5. Metode kritik (manhaj naqdi), yaitu metode untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan
Islam dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep, kemudian menawarkan solusi
sebagai alternatif pemecahannya. 56[17]
Masing-masing metode tersebut pada dasarnya disandarkan dari inspirasi wahyu, baik langsung
maupun tidak. Wahyu dengan demikian tidak dijadikan sebagai metode yang berdiri sendiri, tetapi lebih
dari itu wahyu ditempatkan pada posisi terhormat dan proporsional dengan menjadi sandaran bagi semua
metode itu. Wahyu berfungsi sebagai dorongan, pemberi arahan, pembimbing, pemberi kontrol berhadap

52[13] Ibid., h.271


53[14] Ibid., h.296
54[15] Ibid., h.328
55[16] Ibid., h.342
56[17] Ibid., h.350-351

pelaksanaan metode ilmu pendidikan islam sebagai alat untuk mencapai pengetahuan tentang pendidikan
Islam.57[18]
Bidang kajian terakhir dari epistemologi ilmu pendidikan Islam merupakan upaya menjawab
pertanyaan bahwa apakah ilmu pendidikan Islam cukup valid untuk dikatakan sebagai sebuah ilmu
sehinga teori yang dihasilkannya bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena pendidikan Islam ?
Adalah benar, bahwa menurut para ahli setiap temuan ilmu harus didasarkan pada evidensi
empirik, yang berarti dapat diuji keajegan dan kemantapan internalnya. Contoh sederhana untuk
menggambarkan hal ini, jika suatu penelitian telah dilaksanakan dan memperoleh hasil, kemudian
penelitian serupa diulangi menurut langkah-langkah yang sama, maka akan dieperoleh hasil yang
sekurang-kurangnya mendekati keajegan yang sama. Inilah kira-kira yang dimaksud dengan evidensi
empirik.58[19]
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai struktur
kebenaran empirik. Menurut Noeng Muhajir, bahwa kebenaran empirik dapat dibagi menjadi empat
macam, masing-masing adalah empirik sensual, logik, etik dan transendental. Kebenaran empirik sensual
dapat dijangkau dengan ketelitian indera manusia dalam menangkap gejala-gejala alam. Sedangkan
kebenaran empirik logik hanya dapat dijangkau dengan ketajaman pikir dengan menggunakan gejala
empirik sebagai indikatornya. Kebenaran empirik etik hanya dapat ditangkap dengan hati nurani. Dengan
kata lain, hanya akal budi yang terlatihlah yang dapat menjangkau kebenaran empirik etik. Sementara
kebenaran empirik transendental hanya dapat terjangkau oleh hati nurani dan keimanan manusia kepada
Tuhan.59[20] Nah, berdasarkan klasifikasi ini, maka jelaslah bahwa teori-teori yang dirumuskan oleh ilmu
pendidikan Islam, baik yang bersandar pada wahyu maupun yang bukan secara menyeluruh masih berada
dalam lingkup evidensi empirik. Karena metode yang dikembangkan oleh ilmu pendidikan Islam
termasuk kedalam lima klasifikasi kebenaran empirik tersebut.

Daftar Pustaka

57[18] Ibid., h.361


58[19] Djafar Siddik, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Citapustaka Media,
2006), h.10
59[20] Ibid., h.11

Imam, Abd al-Fattah. t.th. Madhkal ila al-Falasifah. Kairo : Dar al-Falsafah

Kuntowijoyo. 1998. Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi. Bandung : Mizan

Nata, Abuddin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner: Normatif Perenialis, Sejarah,
Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum. Jakarta:
Rajagrafindo

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta :
Erlangga

Quthb, Mohammad Sayyid. t.th. Muqawamat at-Tasawwur al-Islami. Kairo: Dar al-Suruq

Runes, Dagobert D. 1971. Dictionary of Philosophy. New Jersey : Adams and Company

Siddik, Djafar. 2006. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media

Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,

Verhaak, C. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia

EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan petunjukNya

sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Shalawat serta salam tidak lupa untuk selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW.
Makalah ini ditulis untuk menyelesaikan tugas matakuliah Strategi
Pembelajaran. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada pembaca yang
telah berkenan untuk membaca makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna sehingga
penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir

kata semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGATAR........................................................................................ 1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................3
A. Latar belakang.........................................................................................3
B. Rumusan masalah...................................................................................3
C. Tujuan Pembahasan................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................4
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.

Konsep Epistimologi................................................................................. 4
Epistimologi Pendidikan Islam.................................................................4
Landasan Epistimologi Pemikiran Pendidikan Islam................................5
Ciri Epistimologi Pendidikan Islam...........................................................6
Implikasi Epistimologi Islam dalam Pendidikan.......................................7
Persoalan Kebenaran (Truth) dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam. 7
Problematika Epistimologi Pendidikan Islam............................................8
Klasifikasi Ilmu (Bukan Dikotomisasi) Ilmu dalam Islam..........................8
BAB III PENUTUP....................................................................................... 9

A. Kesimpulan.............................................................................................. 9
B. Saran....................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................10

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap ilmu pengetahuan seharusnya diinspirasi dari haril kerja epistemologinya. Pendidikan
Islam harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan epistemologi untuk menciptakan pendidikan Islam
yang bermutu dan berdaya saing tinggi untuk bisa bertahan dan memimpin.
Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan efisien, bila
didasarkan epistemologi pendidikan Islam. Sehingga pengembangan pendidikan Islam secara konseptual
maupun secara aplikatif harus dibangun dari epistemologi pendidikan Islam secara menyeluruh.

Pertanyaan yang dikemukakan dalam epistimologi adalah menyangkut apa yang dimaksud
pengetahuan yang benar, apa sumber dan dasarnya, bagaimana cara mengetahui dan sebagainya.
Disebabkan kenyataan bahwa studi epistimologis berkaitan dengan pertanyaan mengenai dasar
pencapaian pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta ketepatan berbagai metode
mencapai kebenaran yang dapat dipercaya, maka epistimologi dan metafisika menduduki posisi sentral
dalam proses pendidikan. Hal ini dikarenakan dunia pendidikan merupakan wahana berlangsungnya
proses pewarisan kebudayaan, utamanya berupa ilmu pengetahuan. Kedudukan epistimologi menjadi
penting artinya mengingat di dalamnya dikaji hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi substansi
pendidikan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dikemukakan bagaimana konsep epistimologi, pengertian epistemologi
pendidikan Islam, landasan epistimologi pemikiran pendidikan Islam, ciri epistemologi pendidikan Islam,
Implikasi epistImologi islam dalam pendidikan Islam, Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam
pendidikan Islam, Problematika Epistimologi pendidikan Islam, dan klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi)
ilmu dalam islam. Hal-hal itulah yang dibahas untuk dijadikan sebagai pertimbangan seberapa jauh
epistimologi pendidikan Islam dapat dinyatakan sebagai kebutuhan yang sangat penting dan mendesak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian epistemologi dan epistimologi pendidikan Islam?
2. Bagaimanakah landasan epistimologi pemikiran pendidikan Islam?
3. Bagaimanakah ciri epistemologi dan implikasinya dalam pendidikan Islam?
4. Bagaimanakah Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam pendidikan Islam?
5. Bagaimanakah Problematika Epistimologi pendidikan Islam?
6. Bagaimanakah klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian epistemologi pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui landasan epistimologi pemikiran pendidikan Islam
3. Untuk mengetahui ciri epistemologi dan implikasinya dalam pendidikan Islam
4. Untuk mengetahui Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam pendidikan Islam
5. Untuk mengetahui Problematika Epistimologi pendidikan Islam
6. Untuk mengetahui klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Epistimologi
Secara etimologi, istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani episteme berarti pengetahuan
dan logos berarti teori. Jadi, epistimologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari
asal mula ataun sumber pengetahuan.
Dalam konteks fisafat Barat, ada dua sumber pengetahuan yang dianggap melahirkan ilmu
pengetahuan yakni rasio dan pengalaman. Yang menjadikan pengalaman sebagai sumber ilmu
pengetahuan melahirkan paham empirisme. Sedangkan yang menjadikan rasio sebagai sumber ilmu
pengetahuan melahirkan paham rasionalisme. Kedua paham inilah yang menjadi cikal bakal ilmu
pengetahuan modern yaitu metode sains (scientific methode). Dari metode ini lahirlah pengetahuan sains
(scientific knowledge)
Empirisme berasal dari bahasa yunani yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini, manusia pada
awalnya tidak memiliki pengetahuan (blank), sesuatu yang blank ini selanjutnya diisi oleh pengalaman
manusia. Pengalaman manusia tersebut adalah hasil kerja indera manusia. Asumsi dasar dari pendapat ini
adalah indera menghubungkan manusia dengan hal-hal kongkrit material. Tokoh aliran ini adalah John
Locke dan David Hume.
Namun, pengalaman yang dihasilkan indera sangat terbatas, gunung dari jauh kelihatan mulus,
padahal penuh dengan pohon dan tebing yang curam. Begitupun bulan terlihat kecil, padahal bumi ini
bias ambruk jika bulan jatuh. Oleh karena itu, pengetahuan inderawi yang merupakan cikal bakal
empirisme ini menuai kritikan. Lalu muncullah paham rasionalisme.
Bagi rasionalisme, akalah adalah gerbang ilmu pengetahuan. Dalam rasionalisme, indera tetap
berfungsi dalam membantu kerja akal menemukan kebenaran dari pengetahuan yang diinginkan. Jadi,
rasionalime adalah aliran yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Tokohnya adalah
Descartes dan Spinioza. Rasionalisme dan empirisme selanjutnya melahirkan

metode ilmiah yaitu

kebenaranyang diperoleh melalui pembuktian ilmiah (sistematis, objektif, empirik, dan logis).
Dalam ajaran islam, di samping indera dan akal, terdapat pula apa yang disebut intuisi dan
wahyu. Intuisi ini disebut bashirah mulhamah, sedang ahli psikologis menyebutnya indera ke enam.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui prosea penalaran tertentu. Seseorang yang
terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indera ke enam ini disebut pula dengan hikmah yang tidak diberikan

kepada rangka sembarang orang melainkan kepada orng-orang tertentu melalui proses penyucian jiwa
dalam taqarrub kepada Allah SWT.
B. Epistimologi Pendidikan Islam
Ketika manusia lahir, keadaannya suci (fitrah) dan tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun.
Kemudian Allah memberinya akal, hati dan indera berupa penglihatan dan pendengaran sebagai alat atau
media untuk memperoleh pengetahuan.
Seperti penjelasan di atas, akal (rasionalisme) mengkritik empirisme, lalu apakah kritik buat
akal?. Ternyata akal juga terbatas (al-aqlu mahduudun). Akal bias mentok, kementokan akal bermula
ketika dikaitkan dengan aspek diluar rasional manusia yaitu supra-rasional. Lebih-lebih dalam ajaran
islam bukan hanya berkaitan dengan sesuatu yang bersifat rasional empiris, tetapi juga iirasional/supra
rasional . Keyakinan terhadap sesuatu yang supra-rasional di atas memiliki implikasi pada desain
epistimologi pendidikan islam. Misalnya keyakinan akan adanya Yang Maha Pencipta yaitu Allah SWT
memberikan gambaran bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah zat yang Maha Alim.
Dalam ajaran islam terdapat wilayah yang ma'qul dan gairu ma'qul. Untuk yang ma'qul, akal dan
indera manusia biasa berfungsi, tetapi bagi yang tidak bias dirasionalisasi dan tidak bias dilihat dengan
kasat mata, maka aspek iman mulai berfungsi. Dan iman itu ada di dalam hati (Qalbun). Oleh karena itu,
secara epistimologis, bias dikatakan bahwa islam menggunakan akal, indera dan hati dalam memperoleh
ilmu pengetahuan.
Lalu, mungkinkah hati itu memperoleh pengetahuan?. Menurut Ma'anZiyadah, kalbu mampu
memperoleh pengetahuan(al-ma'rifah) melalui daya cita rasa (al-zawqiyyah) Bahkan dalam surat Al-Hajj
ayat 46 disebutkan : "Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat
mendengar, karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang ada adalah hati yang ada di
dalam dada. Q.S. Al-Hajj ayat 46"
C. Landsasan Epistimologi Pemikiran Pendidikan Islam
Setiap manusia dilahirkan membawa membawa fitrah serta dibekaliberbagai potensi dan
kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya.
Fitrah atau potensi tersebut selanjutnya digunakan manusia mulai dari sebatas inderawi ( indera
zahir), lalu berpikir dengan akal serta pada tingkatan tertentu manusia bias dengan potensi indera
bathiniahnnya dan di luar logika.

Ada beberapa hal dalam ajaran islam yang bias dijadikan landasan dalam menguak konsep
epistimologi pendidikan islam. Diantaranya adalah :
1.

Awalnya manusia dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun (Allah hanya memberikan kemampuan
potensial untuk dijadikan aktual). Hal ini dijelaskan dalam surah An-Nahl yang berbunyi : Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahi sesuatu, dan Dia (Allah) member

2.

kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. Q.S An-Nahl ayat 78.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah disebutkan. Ma min
mauluudin illa yuuladu 'alal fitrah fabawaahu yuhawwidaanihi au yunasshiraanihi au
yumajjisaanihi. Menurut Muhaimin, kata fitrah, disamping berarti "suci", fitrah juga berarti potensi dan
beberapa arti lain yang merujuk pada potensi dasar manusia. Kata "fitrah" memiliki beragam makna
diantaranya : (a) Fitrah berarti suci, (b) Fitrah berarti islam, (c) Fitrah berarti mengakui keEsaan Allah,
(d) Fitrah berarti murni, (e) Fitrah berari kopndisi penciptaan manusia yang cenderung menerima
kebenaran, (f) Fitrah berarti potensi dasar manusia, (g) Fitrah berarti ketetapan / kejadian asal manusia,

3.

(h) Fitrah berarti tabiat alami dan (i) Fitrah berarti ghorizah/insting.
Ayat pertama turun adalah Al-'Alaq yang diawali dengan kata iqra' yang berarti perintah membaca,
menelaah, menyelidiki atau mengeksplorasi. Menurut Quraisy Syihab, wahyu pertama itu tidak
menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-qur'qn menghendaki umatnya untuk membaca apa saja

selama bacaan tersebut bismi rabbik, dalam arti bermanfaat bagi kemanusiaan.
4.
Al-Qur'an bukan hanya menjelaskan segala jenis pengetahuan tetapi juga menjelaskan alat untuk
mencapai pengetahuan tersebut seperti akal, indera serta hati manusia seperti yang termaktub dalam surat
5.

An-Nahl (16:78).
Surat Al-Fatihah diawali oleh pujian mutlak (al-istigraqiyyah dalam al-hamdu) kepada Tuhan sebagai
pendidik semesta alam. Tuhan adalah Maha Pendidik bagi semesta alam. Hal ini menunjukkan bahwa

6.

Allah lah sumber ilmu pengetahuan.


Allah SWT memiliki 99 nama atau yang dikenal dengan asmaul huisna, salah satunya adalah yaa 'alim
(Maha Mengetahui). Ini juga petunjuk bahwa Allah lah Yang Maha Alim sebagai sumber setiap ilmu yang

dimilki manusia.
7. Potensi inderawi tersebut dibarengi oleh potensi berpikir melalui akal (al-'aqlu) yang Allah anugrahkan
kepada manusia sebagai media memperoleh pengetahuan.
Untuk menepis kebingungan tentang sumber dan metode/alat untuk memperoleh pengetahuan
terdapat dua kata kunci yang terkadang digunakan secara bergantian dengan makna yang sama atau
berbeda oleh para ahli yaitu kata "sumber" dan kata "alat" untuk memperoleh pengetahuan. Dalam ajaran
islam pada umunya dan pendidikan islam pada khususnya, sumber pengetahuan itu adalah Allah SWT
dengan ayat kauliyah dan kauniyahNya, sedangkan akal sebenarnya "bukan sumber" tetapi alat yang
digunakan untuk menggali pengetahuan dari sumber tersebut.

D. Ciri-Ciri Epistimologi Pendidikan Islam


Dalam konteks epistimologi, epistimologi islam memiliki cirri-ciri khusus yang membedakannya
yang membedakannya dengan epistimologi lainnya, khususnya epistimologi kaum sekuler. Berkaitan
dengan epistimologi islam adalah :
1.

Meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah zat Yang Maha 'Alim yaitu Allah SWT yang bersifat

2.

mutlak kebenarannya.
Meyakini bahwa potensi manusia untuk memperoleh pengetahuan baik itu potensial akal, potensi
inderawi ataupun potensi hati adalah pemberian dari Yang Maha Pencipta Allah SWT. Di sini kebenaran
yang bersumber dari yang maha mutlak sudah dalam wilayah interpretasi manusia sehingga jika
melahikan ilmu pengetahuan (kebenaran relatif), jika melahirkan pengalaman spiritual, kebenarannya

3.

bersifat esoterik dan personal, jika melahirkan pemikiran filsafat, kebenarannya bersifat spekulatif.
Meyakini bahwa potensi yang dianugrahkan tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk iqra' terhadap

4.

Al-Qur'an ataupun fenomena alam.


Pengetahuan yang diperoleh manusia bukanklah sesuatu yang bebas nilai (free of value) tetapi terikat
(value bond) oleh nilai-nilai ilahiyah (divine value) yang penggunaannya tidak boleh lepas dari landasan
konsep penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifatulah fil ardi.
E. Implikasi Epistimologi Islam dalam pendidikan Islam
Epistimologi islam bukan hanya berdasarkan pada akal, indera tetapi juga wahyu. Selanjutnya
pengetahuan dalam ajaran islam adalah pengetahuan yang diperoleh dari kajian atau interpretasi manusia
terhadap ayat-ayat Tuhan baik kauliyah ataupun kauniyah.
Bedasarkan ilustrasi sederhana di atas, secara epistimologis pendidikan islam semestinya:

1.

Pendidikan harus terikat oleh nilai-nilai ilahi yang dalam pendidikan melahirkan prinsip tauhid dengan

2.

karakteristik rabbaniyyah.
Tidak membeda-bedakan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Karena ilmu berasal dari zat Yang

3.

Maha Alim.
Tujuan dunia dan ukhrawi harus dipahami sebagai tujuan yang berkesinambungan, yang sebatas

4.

dibedakan tetapi tidak untuk dipisahkan.


Metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan seperti akal, indera dan harus didasarkan
pada konsep syukur nikmat, yaitu menggunakan akal dan hati sesuai dengan petunjuk ilahi untuk
memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya bukan untuk semakin
menjauhkan diri dari Allah.

5.

Pendekatan tekstual tetap penting tetapi dibarengi dengan pendekatan kontekstual melalui penalaran
logis serta pendekatan imaniyah atau pendekatan zauqiyah (optimalisasi potensi rasa dalam hati melalui
penyucian hati) adalah kombinasi pendekatan yang diharapkan melahirkan generasi yang berilmu,
beriman dan beramal shaleh.
F. Persoalan kebenaran (truth) dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam
Kebenaran adalah sebuah pencarian. Sebagai sebuah pencarian, tingkat kebenaran dari kebenaran
yang dicari sangat tergantung pada siapa yang mencari, dengan apa dia mencari, apa tujuan mencari dan
kemana dia mencari. Berikut jenis-jenis kebenaran yang merupakan kajian spesifik filsafat ilmu yang

1.

beragam tersebut yaitu :


Kebenaran mutlak, kebenaran ini adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu ilahi. Kebenaran wahyu

2.

itu diperoleh melalui pendekatan imani, kebenaran ini juga ditopang oleh kinerja akal.
Kebenaran relatif yaitu kebenaran yang diperoleh melalui rasio/akal pikiran manusia. Kebenaran ini

3.

diperoleh melalui pemikiran logis, empiric dan disertai dengan pembuktian ilmiah.
Kebenaran spekulatif yaitu kebenaran yang berasal dari pemikiran filsafat. Kebenaran ini diperoleh

4.

melalui pemikiran radikal, integral dan universal.


Kebenaran intuitif yaitu kebenaran yang bersifat personal yang dimiliki oleh orang-orang tertentu dengan
cara tertentu pula.
G. Problematika Epistimologi Pendidikan Islam
Dari dulu sampai sekarang, persoalan pendidikan pada umumnya tidak lepas dari dua hal yaitu
aspek moral di satu sisi serta asapek intelektual di sisi lain. Jika aspek moral adalah bekal potensial dalam
berprilaku termasuk sebagai filter terhadap tantangan dunia global, maka aspek intelektual adalah bekal

positif dalam rangka hidup di tengah berbagai kompetisi yang menuntut multikompetensi.
Ada beberapa kritik terhadap pendidikan islam yaitu :
1. Islam sulit maju karena pendidikan islam mengedepankan aspek ukhrawi, sehingga aspek duniawi
2.

diabaikan.
Islam sulit maju karena saat ini tidak sedikit pendidikan islam mulai bergaya liberal bahkan sekuler.

3.

Sehingga aspek spritualitas atau nilai transcendental mulai terabaikan.


Pendidikan islam saat ini dalam tataran praktisnya sebenarnya bermasalah pada dua hal di atas, yaitu dari
aspek intelektual dan moral-spiritual. Dari aspek intelektual, pendidikan islam

dengan pendidikan

lainnya dan dari aspek moral pendidikan islam juga mulai kehilangan sentuhan spiritualnya.
Bila ditinjau dari segi epistimologisnya, pendidikanb islam bias melepaskan diri dari tiga kritikan
di atas. Karena gambaran tentang epistimologi pendidikan islam menunjukkan bahwa betapa idealnya
pendidikan islam bila konsep epistimologis tersebut mampu diaplikasikan. Hanya saja, masalah klasik
tetap saja membayangi pendidikan islam yaitu kesenjangan antara idealita dengan realita. Aspek
epistimologis yang ideal tersebut berlabuh hanya di tataran teoritis dan mentok dalam tataran praktisnya.
H. Klasifikasi Ilmu dalam Islam (Bukan Dikotomisasi)

Dalam sejarah pemikiran pendidikan islam klasik, pengetahuan manusia ada yang bersifat
perennial knowledge (ilmu ladunny) yaitu ilmu yang dianugrahkan oleh Allah kepada orang-orang
tertentu tanpa

dipelajari dan ada yang bersifat acquired knowledge (ilmu kasby) yaitu ilmu yang

diberikan Allah melalui usaha manusia dalam menuntutnya berdasarkan potensi-potensi yang Allah
berikan kepada manusia.
Jadi, epistimologi islam adalah epistimologi yang berpijak pada ayat-ayat Tuhan baik qauliyah
dan kauniyah yang diperoleh melalui potensi anugrah dan inspirasi ilahi (indera, akal dan hati) yang
digunakan selalu sesuai kehendak pemberinya yaitu Allah SWT.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Epistimologi islam adalah epistimologi yang berpijak pada ayat-ayat Tuhan baik kauliyah dan
kauniyah yang diperoleh melalui potensi anugrah dan inspirasi ilahi
digunakan selalu sesuai kehendak pemberinya yaitu Allah

(indera, akal dan hati) yang

SWT. Dalam aajaran islam disebut

syukur nikmat. Syukur termanifestasi dalam pengabdian orang yang berakal, berindera dan berhati untuk
dekat dengan Allah dan sayang

dengan

sesamanya.

Dari

tiga

potensi

itulahselanjutnya

bila

dikembangkan, akan muncul menjadi beberapa sumber dalam ilmu pengetahuan yaitu pengalaman
(indera), nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan.
B. Saran
1.

Mahasiswa sebaiknya dalam menempuh pendidikan berusaha untuk mengembangkan olah pikir dan daya

2.

nalar, sehingga dapat bertindak sesuai dengan ilmu yang dimiliki


Para pakar dan para pemegang kendali pendidikan Islam diharapkan selalu untuk memperbaharui metode
atau pendekatan dalam membangun pendidikan Islam secara menyeluruh.

Epistemologi
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Globalisasi cepat atau lambat dipastikan akan dihadapi oleh manusia. Secara logis masalah
yang akan dihadapi manusia semakin kompleks dan transenden serta memerlukan pemecahan
masalah yang sistematis dan kontinuitas. Dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin
kompetitif ini, masih banyak para praktisi muslim memiliki komitmen untuk lebih
memprioritaskan pendidikan religiusitas dibandingkan pendidikan umum lainnya. Sekaligus
mengabaikan dan menolak segala pesan dan invensi perkembangan yang dibawa oleh komuniti
Barat. Sehingga mempermudah mereka untuk menanamkan idealisme sekuleristik terhadap
masyarakat muslim. Moralitas, akhlak, dan nilai-nilai islamiyah menjadi bagian yang tabu dan
tidak lagi membatasi manusia antara kekufuran dan kemaslahatan dan jika dibiarkan berlarutlarut akan mengantarkan Islam pada kemunduran dan kehancuran, Antisipatif problema seperti
ini yang harus direncanakan seoptimal mungkin. Hal ini mengindikasikan bahwa umat muslim
harus mampu mengadopsi serta memfilterisasi setiap budaya dan perkembangan yang masuk.
Upaya pembenahan ini dapat dilakukan melalui pendidikan, yaitu menciptakan sumber daya
manusia yang utuh, yang selalu bertanggung jawab terhadap keberadaannya didunia dan
merencanakan untuk kehidupan akherat. Sehingga keseimbangan antara dunia dan akherat yang
menjadi tujuan terakhir manusia sebagai khalifah Allah SWT dapat di aktualisasikan dengan
maksimal.
Persoalan epistemologi

sangat dipandang serius sehingga filosof Yunani, Aristoteles,

berusaha menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi
secara benar yang hingga sampai sekarang ini masih digunakan. Adanya kaidah itu menjadi
penyebab berkembangnya penangkapan akal yang dapat di pertanggung jawabkan.
Sebenarnya, epistemologi bukanlah permasalahan pertama yang muncul dalam tradisi
pemikiran manusia. Dahulu, aktifitas berfikir manusia, terutama filsafat, dimulai dari wilayah
metafisika. Di antara pertanyaan-pertanyaan metafisika yang muncul waktu itu adalah: Apa itu
Tuhan? Apa yang dimaksud dunia ? Apa itu jiwa ? Mereka mendapatkan berbagai jawaban
tentang pertanyaan- pertanyaan tersebut, masing-masing saling bertentangan. Berawal dari fakta
ini, mereka tidak lagi mengarah pada petanyaan pada dunia luar, tetapi mereka mengarah kepada
aktifitas mengetahui itu sendiri. Di sinilah manusia mulai masuk kedalam ranah epistemologi.60
[1]
B. Rumusan Masalah
60[1]Askin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: Komunitas Kajian Proliman,
2012), 22

1. Apa Pengertian Epistemologi ?


2. Apa obyek dan tujuan Epistemologi ?
3. Bagaimana landasan Epistemologi ?
4. Bagaimana pengaruh Epistemologi ?
5. Bagaimana hubungan antara fislafat ilmu dan Epistemologi ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari Epitemologi.
2. Mengetahui obyek dan tujuan Epistemologi.
3. Mengetahui landasan Epistemologi.
4. Mengetahui pengaruh Epistemologi.
5. Mengetahui hubungan filsafat ilmu dengan Epistimologi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi
Secara linguistik kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata Episteme
dengan arti pengetahuan dan kata Logos berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat
diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah
theory of knowledge.61[2] Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori
pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara
terminology, ada beberapa pendapat yaitu :

61[2] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 53

1. Dagobert D.Runes dalam bukunya Dictionary of Philisophy,mengatakan Epistemologi


sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian,struktur,mode,dan
validitas pengetahuan.
2. Harun Nasution dalam bukunya Filsafat Agama,mengatakan bahwa Epistemologi
adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana memperolehnya.
3. Fudyartanto,mengatakan bahwa Epistemologi adalah ilmu filsafat tentang pengetahuan
atau dengan kata lain filsafat pengetahuan.
4. Anton Suhono, Epistemologi adalah teori mengenai refleksi manusia atas kenyataan.
5. The Liang Gie, Epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan
sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan,pra anggapan-pra anggapan dan dasardasarnya serta reabilitas umum dari tuntutan akan pengetatuan.
Epistemologi adalah sangat diperlukan, sebuah kepastian dimungkinkan oleh suatu
keraguan. Terhadap keraguan ini epistemologi merupakan suatu obatnya. Apabila epistemologi
berhasil mengusir keraguan ini kita mungkin akan menemukan kepastian yang lebih pantas
dianggap sebagai pengetahuan.62[3]
Filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat
pengetahuan. Maksud dari filsafat pengetahuan adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang
secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan keshahihan pengetahuan.
Jadi objek material epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat
pengetahuan itu. Jadi sistematika penulisan epistemologi adalah arti pengetahuan, terjadinya
pengetahuan, jenis-jenis pengetahuan dan asal-usul pengetahuan.
Menurut Conny Semiawan dkk., epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan
tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan. Epistemologi memfokuskan pada
maknapengetahuan yang dihubugkan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis
pengetahuan, dan sebagainya.63[4]

62[3] P. Hardono Hadi, Epistemolog Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius,


1994), 13-18
63[4] Susanto, Filsafat Ilmu, (jakarta : Bumi Aksara, 2011), 102

Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan,


Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab
pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan
manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen
untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan
masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam
epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara
satu ilmu dengan ilmu lainnya.
B.

Obyek dan Tujuan Epistemologi


Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan
dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat,
sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan
hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki
hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali
digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.
Suriasuamantri berupa segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan. Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu
merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu
sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi
tidak terarah sama sekali.64[5]
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain
mengatakan, tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan,
apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu.hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan
kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika
pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita
64[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1990), 105

puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk
memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif,
sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.65[6] Keadaan pertama
hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses.
Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentakan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang
yang mengetahui hasilnya acapkali tidak mengetahui prosesnya. Contoh, seorang guru dapat
mengajarkan kepada siswanya bahwa empat kali lima sama dengan dua puluh (4 X 5 = 20) dan
siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, bagi siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan
pengetahuan da hafalannya itu. Dia akan mengejar bagaimana prosesnya, empat kali lima sama
dengan dua puluh. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci
dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan
perkalian angka-angka lain. Dengan demikian, seseorang tidak sekedar mengetahui sesuatu atas
informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian kontektual melalui proses
itu.
C. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam
menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum
dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada
metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan,
yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini
telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah
pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah
keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn
65[6] Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), 7

pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles,
karena dirintis oleh Aristoteles.66[7]
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik
menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada
pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar
berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan
premis minor yang merupakan bagia dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan
deduktif. Dismping itu, pendekatan rasiaonal ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam
menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita berpedoman
bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang paling
meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria
penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan yang benar menurut alur
pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi
belum tentu mampu menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan teoriteorinya. Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang benar
Karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka memunculkan aliran
empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin mampu membuat
kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mau engumpulkan fakta melalui pengamatan
langsung, maka dia mengenalkan metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagi
implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak
didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan.
D. Pengaruh Epistemologi
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang
terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan
ilmu pengetahuan yang kemudian.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teoriteori yang ada. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat
membantu seseorang dalam melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang
diajukan orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan
relatig mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
66[7] Ibid, 10

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban


sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan
sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa
pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi
jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan
epistemology.67[8]
E.

Hubungan antara Fislafat Ilmu dan Epistemologi


Filsafat dan ilmu merupakan dua kata yang saling terkait baik secara substansial, maupun
historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, begitu pula sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat itu sendiri. Filsafat telah berhasil mengubah
pola pemikiran Bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi
logosentris. Sebelum kita mencari hubungan antara filsafat ilmu dengan epistemologi, alangkah
baiknya kita mengenal beberapa pendapat para ahli tentang pengertian filsafat ilmu, yaitu
sebagai berikut.
Menurut A.Cornelius Benjamin berpendapat, That philosopic disipline which is the
systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang
pengetahuan filsafat yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metodemetodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka
umum cabang-cabang pengetahuan intelektual).
Robert Ackerman berpendapat Philosophy of science in one aspect as a critique of
current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science
is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice. (Filsafat ilmu dalam suatu
segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dengan perbandingan terhadap
pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka kriteria-kriteria yang
dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara actual).
Menurut May Brodbeck berpendapat, Philosophy of science is the ethically and
philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science. (Analisis yang
netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan landasan ilmu).
67[8] Ibid, 27

Michael V. Berry The study of the inner logic if scientific theories, and the relations
between experiment and theory, i.e. of scientific methods. (Penelaahan tentang logika interen
dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah).
Berdasarkan pendapat di atas, diperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi
ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian
dari epistemologi yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu.
Filsafat ilmu adalah cabang dari epistemologi. Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani
Kuno, yaitu episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya teori (Anonym, 2007).
Secara etimologi berarti teori tentang pengetahuan. Menurut Langeveld (1961) Epistemologi
membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur dan susunan berbagai jenis pengetahuan,
pangkal tumpuannya yang fundamental, metode-metode dan batasannya (Anonym, 2009).
Sebagai cabang dari filasafat ilmu, epistemologi dapat menyangkut masalah-masalah filosofikal
yang mengitari teori ilmu pengetahuan atau bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar,
sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan
sebuah model filsafat. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta atau kenyataan dari sudut
pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat dibuktikan kembali kebenarannya.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat ilmu yang mengkaji
dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan
kebenaran ilmu, serta pengetahuan manusia. Sedangkan filsafat ilmu merupakan suatu bidang
pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbalbalik dan saling berpengaruh antara filsafat dan ilmu. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat
ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Sehubungan dengan pendapat tersebut bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan
filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap
saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan
pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan
baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan
(sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam
bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori
mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada
metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan,
yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Epistemologi juga membekali daya
kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada.
filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai
hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Sebagai
cabang dari filasafat ilmu, epistemologi dapat menyangkut masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan atau bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifatsifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan
sebuah model filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, P. Hardono, Epistemolog Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 1994)


S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,
1990)
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
Susanto, Filsafat Ilmu, (jakarta : Bumi Aksara, 2011)
Wijaya, Askin, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: Komunitas Kajian Proliman, 2012)
Qomar, Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik,
( Jakarta: Erlangga 2005)
http://runasa.blogspot.com/2012/12/makalah-perspektif-epistimologi.html
http://sadhumafia.wordpress.com/2013/06/10/hubungan-antara-filsafat-ilmu-denganepistemologifilsafat-dan-ilmu/

You might also like