You are on page 1of 22

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS


A. Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan
gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis dapat
berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau tanpa pengobatan yang
memadai sehingga neonatus dapat meninggal dalam waktu 24 sampai 48 hari.
(Bobak, 2004).
Sepsis neonatorum adalah semua infeksi pada bayi pada 28 hari pertama
sejak dilahirkan. Infeksi dapat menyebar secara nenyeluruh atau terlokasi hanya
pada satu orgaN saja (seperti paru-paru dengan pneumonia). Infeksi pada sepsis
bisa didapatkan pada saat sebelum persalinan (intrauterine sepsis) atau setelah
persalinan (extrauterine sepsis) dan dapat disebabkan karena virus (herpes, rubella),
bakteri (streptococcus B), dan fungi atau jamur (candida) meskipun jarang ditemui.
(John Mersch, MD, FAAP, 2009). Sepsis dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Sepsis dini :terjadi 7 hari pertama kehidupan. Karakteristik : sumber organisme
pada saluran genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya fulminan dengan
angka mortalitas tinggi.
2. Sepsis lanjutan/nosokomial : terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan
didapat dari lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak
langsung atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan
tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis neonatorum
Faktor- factor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal
dari tiga kelompok, yaitu (Arief, M.2008) :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang.
Mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak
diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin
nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi kulit
hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu
(kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun).
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD) dan Prosedur selama persalinan.
2. Faktor Neonatatal
1

a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor
resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan
lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui
plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir,
konsentrasi

imunoglobulin

serum

terus

menurun,

menyebabkan

hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan


kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik,
khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA
tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat.
Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3
serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida.
Kombinasi antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik,
bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar
penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat
kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor Lingkungan
a. Pada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering
memerlukan prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan di rumah
sakit lebih lama. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi
parenteral merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang
luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko
pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas,
sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan
resisten berlipat ganda.
c. Kadang-kadang di ruang

perawatan

terhadap

epidemi

penyebaran

mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling


sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan
dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi
oleh E.colli.
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus
melalui beberapa cara, yaitu (Muscari E. Mary, 2008):
2

a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir. Pada masa antenatal kuman dari ibu
setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk dalam tubuh bayi melalui
sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat
menembus plasenta antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki,
hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini, antara lain
malaria, sipilis, dan toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi saat persalinan terjadi
karena yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion.
Akibatnya, terjadi amniotis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui
umbilikus masuk dalam tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan
amnion yang sudah terinfeksi akan terinhalasi oleh bayi dan masuk dan
masuk

ke

traktus

digestivus

dan

traktus

respiratorius,

kemudian

menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain cara tersebut di atas infeksi
pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre lain saat bayi
melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman. Beberapa kuman yang
melalui jalan lahir ini adalah Herpes genetalis, Candida albican,dan
N.gonorrea.
c. Infeksi paska atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran
umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim
(misal melalui alat- alat : penghisap lendir, selang endotrakhea, infus, selang
nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut
menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomil. Infeksi
juga dapat terjadi melalui luka umbilikus (Wong, L. Donna,2009).
C. Etiologi
Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu
menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau
jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah kepada terjadinya sepsis.
Dalam kajian ini, saya hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri oleh
kerana keterbatas waktu. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar
negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang
sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata
menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Penyebab paling sering dari
sepsis ialah Escherichia coli dan SGB (dengan angka morbiditas sekitar 50 70

%. Diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan


streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, Candida alibicans, virus herpes
simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis,
influenza dan parotitis (Bobak,2004).
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang H teladiteliti
oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di
empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan
Gambia. Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering
ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus
pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada
meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri gram negatif terutama
Klebsiella sp dan E. coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri gram negatif
juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita
di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp. biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah

Pseudomonas, Enterobacter, dan

Staphylococcus aureus

(Muscari E. Mary, 2008).


D. Patofisiologi
Bila paparan kuman pada kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah,
akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh.
Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran
gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis
yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian
antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat
beratnya penyakit. Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen
dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan
selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung

dari mikroorganisme

penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme


penyebab. Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat

protein spesifik dalam plasma yaitu

lipoprotein binding protein

(LPB).

Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor
4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag
(Wong, L. Donna,2009).
Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yaitu dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Super antigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam
jumlah yang

sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan

eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik
melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif. Kedua kelompok
organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator
inflamasi sepsis.
Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag.
Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi
akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang meliput i
monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral dengan
membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di membran
monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan sistem
imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi menjadi
sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin
proinflamasi seperti

tumor necrosis factor

(TNF), interferon

(IFN-

),

interleukin 1- (IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan
sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi
dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin
proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman
penyebab (Wong, L. Donna,2009).
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta
kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi
proses inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi

organ vital dapat berjalan dengan baik. Sitokin proinflamasi juga dapat
mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui
mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, Platelet Activating Factor
(PAF), prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag
terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta
pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.Aktivasi
endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk
melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel
ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan
jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul
antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi
pada otot polos pembuluh darah (Wong, L. Donna,2009).
E. Tanda dan gejala
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala
klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan
respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita
takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar
rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti
hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia, tampak tidak
sehat dan malas minum (Prawirohardjo, 2007).
Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ
tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk,
menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan
dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, bradikardi,
pucat, sianosis, dingin dan

clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan

kelainan hematologik (ikterus, splenomegali, petekie, dan pendarahan), kelainan


gastrointestinal (distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare dan hepatomegali),
ataupun gangguam respirasi (apnea, dispnea, takipnea, napas cuping hidung,
merintih dan sianosis) (Prawirohardjo, 2007).
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood
Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum
6

Berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini: laju napas > 60
kali per menit, retraksi dada yang dalam, cuping hidung kembang kempis,bayi
merintih, ubun- ubun besar membonjol, bayi mengalami kejang, keluar pus dari
telinga, kemerahan disekitar umbilikus yang melebar ke kulit, suhu >37,7C (atau
akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin), letargi atau tidak
sadar, penurunan aktivitas atau gerakan, tidak dapat minum,tidak dapat melekat
pada payudara ibudan tidak mau menetek (Prawirohardjo, 2007)..
Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti
pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.
F. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk
menyusun kriteria sepsis neonatorum ini baik berdasarkan anamnesis (termasuk
adanya faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis ini berbeda tergantung pada karakteristik
kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman ini. Kriteria sepsis
juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya (William, 2004).
Bagi pemeriksaan penunjang dilakukan berbagai pemeriksaan termasuk
pemeriksaan darah rutin untuk memeriksa hemoglobin (Hb), leukosit, trombosit,
laju endap darah (LED), Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase(SGOT), dan
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase(SGPT). Analisa kultur urin dan cairan
sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat mendeteksi kuman. Laju endah
darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya inflamasi.
Tetapi sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil
biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari
jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah dapat
dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut.
G. Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain ialah meningitis, neonatus dengan
meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia
periventrikular,hipoglikemia, asidosis metabolik, koagulopati, gagal ginjal,
disfungsi miokard, perdarahan intrakranial dan pada sekitar 60 % keadaan syok
7

septik akan menimbulkan komplikasi Acute Respiratory Distress Syndrome


(ARDS). Selain itu ada komplikasi

yang berhubungan dengan penggunaan

aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal, komplikasi akibat


gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis

mulai

dari gangguan

perkembangan sampai dengan retardasi mental dan komplikasi kematian (Arief,


M.2008).
H. Penatalaksanaan
Penanganan sepsis dilakukan secara suportif dan kausatif. Tindakan suportif
antara lain ialah dilakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa, koreksi jika
terjadi hipovolemia, hipokalsemia dan hipoglikemia, atasi syok, hipoksia, dan
asidosis metabolik, awasi adanya hiperbilirubinemia dan pertimbangkan nutrisi
parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral. Tidakan kausatif dengan
pemberian antibiotik sebelum kuman penyebab diketahui. Pemberian antibiotik
hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi,
murah, dan mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak atau
dinding kapiler dalam otak yang memisahkan darah dari jaringan otak dan dapat
diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin
atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin atau obat lain sesuai
hasil tes resistensi (Arief, M.2008).
Dosis antibiotik untuk sepsis neonatorum : Ampisislin 200 mg/kgBB/hari,
dibagi 3 atau 4 kali pemberian; Gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2
pemberian; Kloramfenikol 25 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3
pemberian;

Sefalasporin

100

mg/kg

BB/hari,

dibagi

atau 4 kali

dalam

kali

pemberian;Eritromisin500 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis (Arief, M.2008).


I. Prognosis
Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10-40 %. Angka
tersebut berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan penyakit, agen
etiologik, derajat prematuritas bayi, adanya dan keparahan penyakit lain yang
menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit perawatan. Angka kematian pada bayi
BBLR adalah 2 kali lebih besar. Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat,
prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor resiko sepsis
neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat
sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24
kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio

kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40% (pada infeksi SGB pada SAD
adalah 2 30 %) dan pada sepsisawitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi
SGB pada SAL kira kira 2 %) (Nelson, 1999).

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Di dalam memberikan asuhan keperwatan digunakan system atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaanya dibagi menjadi 5 tahap,yaitu
pengkajian diagnosa keperawatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
pproses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
1. Pengumpulan data
a. Biodata
Umur neonatus (0 28 hari)
Jenis kelamin laki-laki
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Panas
2) Riwayat Kehamilan
Demam pada ibu (>37,9C).

Riwayat sepsis GBS pada bayi sebelumnya.


Infeksi pada masa kehamilan.
3) Riwayat Persalinan
Persalinan yang lama.
Ruptur selaput ketuban yang lama (>18 jam).
Persalinan prematur (<37 minggu).
Riwayat atau adanya faktor resiko
Prematuritas/BBLR/BBLSR.
Skor APGAR 5 menit rendah (<6).
Jenis kelamin laki-laki (laki-laki 4 kali lebih sering terkena sepsis
dari pada perempuan).
2. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: malaise
b. Sirkulasi
Tanda: tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal denyut
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

perifer kuat,cepat,takikardia (syok).


Eliminasi
Gejala: diare
Makanan dan Minuman
Gejala: anoreksia, mual, muntah
Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan
Tanda: gelisah, ketakutan
Nyeri / Keamanan
Gejala: abdomiral
Pernafasan
Gejala: tacipnea, infeksi paru, penyakit vital
Tanda: Suhu naik( 39,95OC) kadang abnormal dibawah 39,95OC
Seksualitas
Gejala: puripus perineal
Tanda: magerasi vulvaa pengeringan vaginal purulen
Penyuluhan Pembelajaraan
Gejala: masalah kesehatan kronis riwaayat selenektomi penggunaan

antibiaotik
B. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
2. Hiperthermia berhubungn dengan penyakit.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dipsnea.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
refleks hisap lemah.
5. Resiko terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan

6.

permeabilitas kapiler.
Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.

10

C. Intervensi
No
.
1.

Diagnosa

Tujuan dan kriteria hasil

keperawatan
Resiko
tinggi Setelah
terhadap

(NOC)
dilakukan

tindakan

infeksi keperawatan selama 3 x 24 jam

berhubungan dengan pasien tidak mengalami infeksi


prosedur invasif.

dengan kriteria hasil:


a.

Klien bebas dari


tanda dan gejala infeksi

b.

Menunjukkan
kemampuan
mencegah

untuk
timbulnya

infeksi
c.

Jumlah leukosit
dalam batas normal

d.

Menunjukkan
perilaku hidup sehat

e.

Status

imun,

gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas
normal

Intervensi
(NIC)
a. Pertahankan

teknik

aseptif
b. Batasi pengunjung bila
perlu
c. Cuci

tangan

sebelum

dan

setiap
sesudah

tindakan keperawatan
d. Gunakan

baju,

tangan

sebagai

sarung
alat

pelindung
e. Ganti letak IV perifer dan
dressing sesuai dengan
petunjuk umum
f. Gunakan

kateter

intermiten

untuk

menurunkan

infeksi

kandung kencing
g. Tingkatkan intake nutrisi
h. Berikan terapi antibiotik:
i. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
j. Pertahankan

teknik

isolasi k/p
k. Inspeksi

kulit

membran
terhadap

dan
mukosa

kemerahan,

panas, drainase
l. Monitor adanya luka
m. Dorong masukan cairan

11

n. Dorong istirahat
o. Ajarkan

pasien

dan

keluarga tanda dan gejala


infeksi
p. Kaji suhu badan pada
pasien neutropenia setiap
2.

Hipertemia

NOC :

4 jam
NIC :

berhubungan dengan Thermoregulation

Fever treatment

penyakit

Kriteria Hasil :

a. Monitor suhu sesering

a. Suhu tubuh dalam rentang

mungkin
b. Monitor IWL
c. Monitor warna dan suhu

normal
b. Nadi dan RR dalam rentang
normal
c. Tidak ada perubahan warna
kulit dan tidak ada pusing,
merasa nyaman

kulit
d. Monitor tekanan darah,
nadi dan RR
e. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
f. Monitor WBC, Hb, dan
Hct
g. Monitor intake dan output
h. Berikan anti piretik
i. Berikan pengobatan untuk
mengatasi penyebab
j.
k.
l.
m.

demam
Selimuti pasien
Lakukan tapid sponge
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat

paha dan aksila


n. Tingkatkan sirkulasi udara
o. Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya
menggigil
Temperature regulation
a. Monitor suhu minimal tiap
2 jam
b. Rencanakan monitoring
12

suhu secara kontinyu


c. Monitor TD, nadi, dan RR
d. Monitor warna dan suhu
kulit
e. Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
f. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
g. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
h. Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat
panas
i. Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negatif dari
kedinginan
j. Beritahukan tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan
emergency yang
diperlukan
k. Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
yang diperlukan
l. Berikan anti piretik jika
perlu
Vital sign Monitoring
a. Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
b. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
c. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau

13

berdiri
d. Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
e. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
f. Monitor kualitas dari nadi
g. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
h. Monitor suara paru
i. Monitor pola pernapasan
abnormal
j. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
k. Monitor sianosis perifer
l. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
m. Identifikasi penyebab dari
3.

Ketidakseimbangan

perubahan vital sign


NIC :

NOC :

nutrisi kurang dari a. Nutritional Status : food


kebutuhan

tubuh

and Fluid Intake

a. Kaji

berhubungan dengan Kriteria Hasil :


intake

nutrisi yang a. Adanya peningkatan berat

tidak adekuat akibat


mual

dan

makan
menurun.

napsu
yang

Nutrition Management

badan sesuai dengan tujuan


b. Berat badan ideal sesuai

adanya

makanan
b. Kolaborasi
gizi

dengan

untuk

alergi
ahli

menentukan

jumlah kalori dan nutrisi

dengan tinggi badan


yang dibutuhkan pasien.
c. Mampu mengidentifikasi c. Anjurkan pasien untuk
kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda
malnutrisi
e. Tidak terjadi

meningkatkan intake Fe
tanda d. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan

penurunan

berat badan yang berarti

vitamin C
e. Berikan substansi gula
f. Yakinkan
diet
yang
dimakan
tinggi

mengandung
serat
14

untuk

mencegah konstipasi
g. Berikan makanan yang
terpilih

sudah

dikonsultasikan

dengan

ahli gizi)
h. Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan
harian.
i. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
j. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
k. Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
a. BB pasien dalam batas
normal
b. Monitor adanya penurunan
c.

berat badan
Monitor tipe dan jumlah
aktivitas

yang

dilakukan
d. Monitor interaksi

biasa
anak

atau orang tua selama


makan
e. Monitor

lingkungan

selama makan
f. Jadwalkan
pengobatan
dan tindakan tidak selama
jam makan
g. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
h. Monitor turgor kulit
i. Monitor
kekeringan,
rambut kusam, dan mudah
patah
15

j. Monitor mual dan muntah


k. Monitor kadar albumin,
total

protein,

Hb,

kadar Ht
l. Monitor

dan

makanan

kesukaan
m. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
n. Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
o. Monitor kalori dan intake
nuntrisi
p. Catat
adanya
hiperemik,

edema,
hipertonik

papila lidah dan cavitas


oral.
q. Catat jika lidah berwarna
4.

Pola

nafas

tidak

magenta, scarlet
NIC :

NOC :

efektif berhubungan

a. Respiratory status :

dengan

Ventilation
b. Respiratory status : Airway

sekret

adanya

Airway Management

a.
Buka jalan nafas, guanakan

patency
c. Vital sign Status

teknik chin lift atau jaw


thrust bila perlu.

Kriteria Hasil :

b.

a. Mendemonstrasikan batuk

Posisikan

efektif dan suara nafas

pasien

untuk

memaksimalkan ventilasi.

yang bersih, tidak ada

c.

sianosis

Identifikasi pasien perlunya

(mampu

dan

dyspneu

pemasangan

mengeluarkan

sputum, mampu bernafas


dengan mudah, tidak ada
pursed lips).
b. Menunjukkan jalan nafas

alat

jalan

nafas buatan.

d.
Pasang mayo bila perlu.

e.
Lakukan fisioterapi dada jika
16

yang paten (klien tidak


merasa

tercekik,

irama

nafas, frekuensi pernafasan


dalam
tidak

rentang
ada

suara

normal,
nafas

abnormal).
c. Tanda Tanda vital dalam
rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernafasan)

perlu.

f.
Keluarkan

sekret

dengan

batuk atau suction.

g.
Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan.

h.
Lakukan suction pada mayo.

i.
Berikan bronkodilator bila
perlu.

j.
Berikan

pelembab

Kassa

basah

udara
NaCl

Lembab.

k.
Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.

l.
Monitor respirasi dan status
O2
Terapi Oksigen

a. Bersihkan mulut, hidung


dan secret trakea.
b. Pertahankan jalan nafas

c.
d.
e.
f.

yang paten.
Atur peralatan oksigenasi.
Monitor aliran oksigen.
Pertahankan posisi pasien.
Observasi adanya tanda

tanda hipoventilasi.
g. Monitor
adanya
kecemasan

pasien

17

terhadap oksigenasi.
Vital sign Monitoring

a. Monitor TD, nadi, suhu,


dan RR

b. Catat adanya fluktuasi


tekanan darah

c. Monitor VS saat pasien


berbaring, duduk, atau
berdiri

d. Auskultasi
kedua

TD

pada

lengan

dan

ibandingkan

e. Monitor TD, nadi, RR,


sebelum,

selama,

dan

setelah aktivitas

f. Monitor kualitas dari nadi


g. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan

h. Monitor suara paru


i. Monitor pola pernapasan
abnormal

j. Monitor suhu, warna, dan


kelembaban kulit

18

k. Monitor sianosis perifer


l. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar,

bradikardi,

peningkatan sistolik)

m. Identifikasi penyebab dari


perubahan vital sign
5.

Resiko

terhadap NOC:

kekurangan volume
cairan berhubungan
dengan peningkatan
permeabilitas
kapiler.

NIC :

a. Fluid balance
b. Hydration
c. Nutritional Status : Food
and

Fluid Intake

a. Pertahankan catatan intak


e dan output yang akurat.
b. Monitor status hidrasi
( kelembaban membran

Setelah dilakukan tindakan

mukosa, nadi

keperawatan selama 3 x 24 jam


defisit

volume

cairan

teratasi dengan kriteria

output
usia

ortostatik ), jika
diperluka.
c. Monitor hasil lab yang

hasil:
a. Mempertahankan

adekuat, tekanan darah

urine

sesuai

sesuai dengan

cairan

dan

BB,

dengan

retensi

BJ

(BUN , Hmt , osmolalitas

urine normal,
b. Tekanan darah, nadi, suhu

urin, albumin, total protei

tubuh
dalam batas normal .
c. Tidak ada tanda tanda
dehidrasi,

Elastisitas

turgor kulit baik,


d. membran
mukosa
lembab,tidak
ada rasa haus yang berleb
ihan.

n)
d. Monitor vital sign setiap
15menit 1 jam
e. Kolaborasi pemberian cai
ran IV .
f. Monitor status nutrisi
g. Berikan cairan oral.
h. Berikan
penggantian
nasogatrik sesuai output
(50 100cc/jam) .
i. Dorong keluarga untuk m

19

e. Orientasi terhadap waktu

embantu pasien makan K

dan
tempat baik
f. Jumlah
dan
irama

olaborasi

pernapasan
dalam batas normal.
g. Elektrolit, Hb, Hmt dalam
batas
normal .
h. pH urin dalam batas norm
al.
i. Intake oral dan intravena

tanda

dokter

cairan

jika

berlebih

muncul
meburuk
j. Atur kemungkinan tranfu
si .
k. Persiapan untuk tranfusi
l. Pasang kateter jika perl
m. Monitor intake dan urin o
utput setiap 8 jam

adekuat
6.

Risiko

terhadap NOC :

NIC :

kerusakan integritas

a. Tissue Integrity : Skin and Pressure Management

kulit

Mucous
b. Membranes
c. Wound Healing : primer d

berhubungan

dengan imobilitas

menggunakan

pakaian

yang longgar .
b. Hindari kerutan pada tem

an sekunder
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan

selama..

kerusakan

pat tidur.
c. Jaga kebersihan kulit
agar tetap bersih dan keri

integritas kulit pasien teratasi


dengan
Integritas kulit yang baik
bisa

dipertahankan

(sensasi,

elastisitas,

temperatur,

ng.
d. Mobilisasi pasien (ubah
posisi pasien) setiap dua

kriteria hasil:
a.

a. Anjurkan pasien untuk

hidrasi,

jam sekali.
e. Monitor kulit akan adany
a kemerahan .
f. Oleskan
lotion

atau

minyak/baby

pada

oil

pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada kul

derah yang tertekan ..


g. Monitor aktivitas dan mo

it.
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukkan pemahaman

bilisasi pasien.
h. Monitor status nutrisi pas

dalam

proses

perbaikan

kulit

dan

mencegah

terjadinya sedera berulan.


e. Mampu melindungi kulit

ien.
i. Memandikan pasien deng
an sabun dan air hangat.
j. Kaji lingkungan dan
peralatan

yang

20

dan

mempertahankan

kelembaban
kulit dan perawatan alami.
f. Menunjukkan terjadinya
proses penyembuhan luka

menyebabkan tekanan.
k. Observasi luka : lokasi,
dimensi, kedalaman luka
karakteristik,warna
cairan,

granulasi,

jaringan nekrot
tandatanda infeksi lokal,
formasi traktur.
l. Ajarkan pada keluarga te
ntang luka dan perawatan
luka.
m. Kolaburasi ahli gizi pem
berian diae TKTP,vitami
n.
n. Cegah kontaminasi feses
dan urin.
o. Lakukan tehnik perawata
n luka dengan steril.
p. Berikan posisi yang men
gurangi tekanan pada
luka.

21

DAFTAR PUSTAKA
Arief, M. 2008. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC
Muscari E. Mary. 2008. Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol. 2. Jakarta : EGC
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. Jakarta : Bina Pustaka
Wilkinson, M. Judith. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan NIC NOC Jakarta :
EGC
William, M. Scwartz. Pedoman Klinis Pediatrik. Jakarta: EGC, 2004.
Wong, L. Donna. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Jakarta: EGC, 2009.

22

You might also like