You are on page 1of 4

ISLAM DAN KOMUNIS

Oleh : Yandi Fauzi

Sebanyak 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam., sudah semestinya umat ini
memegang peran penting dalam kehidupan bangsa. Sudah hampir seribu tahun, di pesisiran
Nusantara bertaburan pusat kebudayaan madani Islam yang cergas berniaga. Umat Islam jugalah
yang memelopori perlawanan terhadap penjajahan Portugis dan Belanda serta menjadi perintis
perjuangan kemerdekaan nasional dengan pembentukan Sarekat Islam. Namun, umat Islam
Indonesia menderita serba kekurangan sepanjang zaman penjajahan, sampai-sampai oleh seorang
pengamat pernah dijuluki sebagai "kelompok mayoritas yang bermentalitas kelompok
minoritas".

Walaupun jumlahnya 90 persen dari penduduk, dalam kehidupan politik, umat Islam
Indonesia seakan-akan "minder". Pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia, tokoh dari
partai Islam menjadi seorang pemimpin negara atau Presiden, Maka dapat diharapkan, umat
mayoritas ini akan menempati kembali kedudukan terkemuka yang layak dalam kehidupan
bangsa, tapi sangat disayangkan realisasi harapan ini masih dirintangi oleh kekurangan
solidaritas di dalam umat Islam sendiri. Nyatanya, umat mayoritas inilah yang paling keras
bereaksi terhadap prakarsa Presiden Abdurrahman Wahid untuk memeriksa kembali Ketetapan
Nomor XXV/MPRS/1966. Mungkin tokoh partai Islam lain berat menyaingi kepopuleran Gus
Dur di dalam dan di luar negeri, maka dilihatnya kasus ketetapan MPRS ini sebagai
"kesempatan". Beradu pendapat secara bebas itu memang satu asas demokrasi, tapi segalanya itu
harus dalam kerangka pembelaan keutuhan wadah demokrasi dan negara hukum itu sendiri.

Sedangkan yang menjadi ukuran adalah apakah kritik tertentu itu konstruktif akan
mencegah satu kekeliruan, atau destruktif - semata-mata akan menjatuhkan saingan politik. Para
tokoh partai-partai Islam adalah para cendekiawan yang paham akan mahal bidang politik
modern dalam tatanan demokrasi. Argumentasi Gus Dur mengenai ketetapan MPRS yang amat
gamblang itu pasti mereka pahami pula. UUD 1945 tidak memberi peluang untuk melarang satu
ideologi, tapi hanya sekadar untuk melarang satu partai -- itu pun tentu hanya setelah memenuhi
prosedur hukum yang sah.

Dasar syak wasangka umat Islam terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah karena
komunisme itu ateis. Sebenarnya, orang PKI pun ada yang beragama, sedangkan orang ateis di
Indonesia ada yang tak berhubungan dengan PKI, bahkan ada yang bermusuhan dengan PKI.
Jadi, kalau memang ateisme yang dilawan, malah melesetlah jika yang disasari itu khusus
komunisme. Pemojokan orang komunis dengan dalih bahwa mereka anti-Tuhan itu asalnya satu
taktik zaman penjajahan yang bertujuan memecah-belah gerakan kemerdekaan nasional dulu.
Pokok ajaran komunis itu bukan ateisme, melainkan teori perjuangan kelas.

Agama oleh Karl Marx dipandang sebagai alat kelas penindas untuk meninabobokan
kelas tertindas, maka ditentangnya. Marx ternyata keliru. Agama bisa juga memihak kaum
tertindas , kita ingat peran mazhab Protestan di Eropa dan agama Islam di Indonesia dalam
perjuangan melawan feodalisme pada abad ke-15 dan ke-16. Lihatlah juga kasus "teologi
pembebasan" di Amerika Latin pada abad ke-20. Akhirnya, sikap komunis terhadap agama ini-
itu sekadar taktik, seperti partai memilih akan berkoalisi dengan siapa. Keberatan hakiki terhadap
komunisme sejak dulu bukan ateismenya, melainkan teori perjuangan kelas dengan
penumbangan negara lama dan penegakkan "diktatur proletariat". Tapi PKI dulu saja sudah akur
dengan "sosialisme ala Indonesia" rumusan Sukarno, yang mereka anggap akan menuju tatanan
sosialis mereka tanpa perlu menumbangkan negara RI.

Memang Karl Marx merumuskan teori perjuangan kelasnya di zaman antagonisme kelas
abad ke-19, waktu gerakan "kelas proletar" tidak mendapat akses ke proses pemerintahan.
Dalam abad ke-20, gerakan buruh di negeri industri disertakan sebagai salah satu sokoguru
negara, sehingga tidak lagi antagonis. Setelah Uni Soviet roboh dan perang dingin berakhir, isu
"diktatur proletariat" di kalangan komunis sedunia sudah sangat sepi. Dulu sajapun, orang
komunis cuma berbahaya ketika dilarang dan dipaksa bergerak di bawah tanah. Tidak
nyenyaklah orang tidur, menduga-duga mereka gelap-gelap lagi berbuat apa.

Sedangkan kalau bergerak legal dalam rangka tatanan demokrasi, mereka malah turut
memikul tanggung jawab negara. Pada 1965-1966, masyarakat umum tidak menggugat ketika
oknum yang diduga sebagai PKI dibantai ratusan ribu orang. Toh itu orang komunis, sangkanya,
Belakangan, giliran orang Islam alim-alim yang menjadi korban di Tanjungpriok, Lampung, dan
juga di Aceh. Adat bunuh-bunuhan yang "dimasyarakatkan" oleh Orde Baru sebagai cara politik
itu adat jahiliyah yang Amat berbahaya untuk nasib bangsa. "Adat" itu mengancam kehidupan
orang Islam dan orang Kristen di Maluku, dan merongrong keutuhan Negara Kesatuan
Republika Indonesia (NKRI). Jika dibiarkan terus, siapa saja bisa menjamin tak mungkin
bersatu saat pengikut Muhammadiyah bunuh-bunuhan dengan Nahdlatul Ulama? Dan lepas dari
soal pembunuhan, kalau sekali boleh sewenang-wenang melarang PKI, apakah besok boleh
melarang PPP atau Golkar? Tidakkah dulu sudah pernah melarang Masyumi dan PSI? Memang
akseptasi terhadap pelanggaran hukum itu serupa jin: sekali boleh menyelinap dari botol, sulit
dibuat masuk kembali.

Sejarah masa kejayaan Islam berlawanan sekali dengan gambaran "minder" dan
"sektaris" yang suka dilekatkan pada umat islam. Ini tidak saja jelas misalnya dari zaman Harun
Al-Rasyid, ketika Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kesenian yang masyhur di
seluruh dunia. Kita ingat riwayat Sultan Salah ad-Din, sampai sekarang dikagumi orang Eropa
yang menamakannya "Saladin". Beliau mengalahkan balatentara kaum Serani dan menyisihkan
mereka dari Palestina, kemudian mempertahankan Jerusalem terhadap serbuan baru dalam
Perang Salib Ke-3. Walaupun demikian, beliau dalam sastra dan pustaka sejarah di Eropa
dilukiskan sebagai penguasa yang arif bijaksana. Dicatatnya juga perlakuan beliau yang begitu
manusiawi terhadap umat non-Islam (terutama Kristen dan Yahudi).

Sejarah Indonesia cukup contohnya akan tokoh Islam yang menjadi teladan. Lihatlah
Syekh Yusuf pada abad ke-17. Tidak saja unggul selama memimpin perlawanan Banten
terhadap VOC, dalam tawanan pun, dalam pengasingan di Tanjung Harapan, beliau tetap
dihormati sebagai pemimpin agama tidak sekadar oleh umatnya sendiri. Orang Eropa di Afrika
Selatan turut hormat kepada beliau (yang mereka sebut "Sheik Joseph") sebagai ulama yang arif
dan berpengetahuan luas. Dalam pergerakan kemerdekaan, tokoh nasional yang dikenal paling
cendekia, paling luas pengetahuannya, mahir delapan bahasa, dan sekaligus tercatat sangat
toleran kepada orang yang berbeda pendiriannya justru seorang tokoh Islam, yaitu Haji Agus
Salim. Walaupun penduduk masih serba kurang pendidikan, tokoh-tokoh Islam yang sempat
bersekolah sejak permulaan pergerakan tidaklah berpandangan sempit. Lihatlah baik Tirto
Adisoerjo maupun Tjokroaminoto., Sarekat Islam menjadi wahana yang luas, sampai-sampai
PKI itu sendiri terjadi dari salah satu bekas fraksi SI! Walaupun pergerakan lalu berurai atas
bunga-rampai arus politik, menghadapi ancaman Perang Dunia II, mereka dapat berpadu
kembali: bertemu Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII) dengan Husni Thamrin (Parindra) dan Amir
Sjarifoeddin (Gerindo) mengorganisasi Rapat Umum GAPI yang memprakarsai Kongres Rakjat
Indonesia 1939, menghayati persatuan Nasasos yang diimingkan oleh Bung Karno.

Kebijakan yang mengandalkan toleransi antara golongan, suku bangsa, dan umat ini
benar-benar "kembali ke asal", menghayati kembali gagasan bapak-bapak kemerdekaan yang
dulu, sambil menjamin prasarana terbangunnya tamadun politik negara demokrasi sekarang.
Bersamaan dengan itu, kebijakan tersebut mencerminkan jiwa kebesaran Islam periode kejayaan
negeri "di atas angin" dan tokoh Islam terkemuka dalam pergerakan nasional negeri "di bawah
angin".

You might also like