You are on page 1of 28

REFERAT

RETINOBLASTOMA

Disusun Oleh:

Fila Apriliawati
Itqan Ghazali
Hernowo Setyo U
Mira Rizki Ramadhan
Gabriella Diandra N

G99142114
G99142115
G99142116
G99142117
G99142118

Pembimbing:
dr. Sulistyani K, M.Sc., Sp. Rad
BAGIAN ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Retinoblastoma adalah tumor intraokuler maligna primer masa anak yang
paling sering . Retinoblastoma terjadi pada kira-kira 1 dalam 18.000 bayi. Sekitar
250-300 kasus

baru terdiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat. Pada retino

blastoma terdapat pola transmisi herediter dan non-herediter (Chang et al, 2006).
Tumor dapat terjadi bilateral pada 25-35 % kasus. Umur rata-rata saat
diagnosis untuk tumor bilateral adalah 12 bulan. Sedangkan untuk kasus tumor
yang terjadi unilateral rata-rata terdiagnosis saat usia 21 bulan. Retinoblastoma
disebabkan oleh mutasi gen RB1 yang terletak pada lengan panjang kromosom 13
pada lokus 14 (13q14) yang mengkode protein pRB (Isidro et al. 2013) Gen
retinoblastoma normal yang terdapat pada semua orang adalah suatu gen supresor
atau antionkogen. Retinoblastoma terdiri atas dua tipe, yaitu retinoblastoma yan
terjadi karena mutasi genetik gen RB1 dan retinoblastoma sporadik.
Manifestasi klinik retinoblastoma bervariasi tergantung pada stadium saat
tumor

terdeteksi.

Tanda

permulaan

pada

kebanyakan

penderita

adalah

ditemukannnya reflek pupil putih (leukokoria). Leukokoria terjadi karena reflek


cahaya oleh tumor yang putih. Tanda kedua yang paling sering adalah strabismus.
Tanda lain diantaranya meliputi pseudohipopion (sel tumor yang terletak inferior di
depan iris), disebabkan oleh benih tumor di kamera inferior mata, hifema (darah
yang terdapat di depan iris) akibat neovaskularisasi iris, perdarahan vitreus, atau
tanda selulitis orbita. Pada pemeriksaan, tumor tampak sebagai massa putih,
kadang-kadang kecil dan relatif datar, kadang-kadang besar dan menonjol. Massa
tumor mungkin tampak nodular (Pandey, 2013)
Secara umum, semakin dini penemuan tumor maka, semakin besar pula
kemungkinan untuk menyelamatkan organ penglihatan dan

mengurangi resiko

metastase yang lebih luas. Semakin majunya perkembangan teknologi kedokteran


akan sangat membantu penemuan penyakit ini lebih dini. Anak-anak dengan
retinoblastoma yang mendapat perawatan medis modern akan mempunyai prognosis
yang lebih baik dengan angka keselamatan hidup mencapai lebih dari 95%. Pada

negara berkembang penderita retinoblastoma sering kali datang dengan keadaan


tumor yang cukup parah karena keterlambatan diagnosis (Chang et al , 2006)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI
1. Anatomi Retina
Retina memiliki sekitar 65 juta sel fotoreseptor pada setiap mata,
yang terdiri dari 3.2 juta sel kerucut dan 60 juta sel batang. Terdapat 5
regio : makula, parafovea, perifovea, fovea, dan foveola. Densitas
fotoreseptor semakin berkurang dari fovea menuju perifer. Macula lutea
(bintik kuning) merupakan bagian retina posterior yang mengandung
pigmen xanthophyll, berada pada bagian temporal dari diskus optikus.
Makula memiliki 2 atau lebih dari lapisan sel ganglion. Diameter makula
berukuran 5-6 mm, berada di tengah antara arkade vaskular temporalis.
Fovea sentralis merupakan bagian tengah dari makula, letaknya sedikit
inferior dari diskus optikum di retina, berdiameter 1.5 mm dan berfungsi
pada tajam penglihatan dan penglihatan warna. Lapisan fovea lebih
cekung dari daerah sekitarnya.
Bagian sentral fovea dengan ukuran 500 m tidak memiliki
vaskularisasi sehingga disebut dengan FAZ (Foveal Avascular Zone).
Sentral fovea memiliki bagian yang paling cekung (central depression),
disebut dengan foveola yang memiliki diameter 0,35 mm dan hanya
terdapat sel-sel kerucut. Cekungan yang kecil disebut dengan umbo. Di
sekeliling fovea merupakan cincin yang berukuran 0.5 mm, yang disebut
daerah parafoveal. Sementara cincin yang memiliki lebar kurang lebih
1.5 mm disebut dengan zona perifoveal.
Gambar 1 menunjukkan gambaran lapisan retina dan gambaran
skematik fovea. LSS adalah lapisan serat saraf, LSG adalah lapisan sel
ganglion, LID merupakan lapisan inti dalam, LPE adalah lapisan
pleksiformis eksterna, LIL adalah lapisan inti luar, SL adalah segmen
luar, EPR adalah epitel pigmen retina. Terlihat bahwa terdapat perbedaan
lapisan pada bagian retina perifer dan pada daerah fovea. Lapisan yang

terdapat pada bagian tengah fovea adalah EPR, lapisan fotoreseptor,


membrana limitans eksterna, LIL, beberapa inti sel yang tersebar dari
LID, dan membrana limitans interna.

Gambar 1. Lapisan retina.

2. Vaskularisasi Retina
Retina mendapat dua vaskularisasi. Lapisan luar retina, yaitu
epitel pigmen retina hingga lapisan pleksiform luar mendapat
vaskularisasi dari koriokapiler yang terdapat di koroid secara difusi.
Lapisan bagian dalam retina mulai dari lapisan inti dalam hingga
membrana limitans interna sementara itu mendapat vaskularisasi dari
arteri retina sentral yang merupakan percabangan dari arteri oftalmika
sebagai cabang pertama dari arteri karotis interna. Pembuluh darah arteri
dan vena berjalan menembus membrana limitans interna hingga lapisan
serat saraf. Berubah setelah itu menjadi arteriol dan venula hingga
membentuk dua jaringan mikrovaskular, yaitu kapiler superfisial di
lapisan sel ganglion dan lapisan serat saraf, dan kapiler yang lebih padat
serta lebih dalam di lapisan inti dalam. Arteri terlihat berwarna merah
terang, sementara vena berwarna merah gelap. Arteri lebih kecil daripada
vena dengan perbandingan kirakira 3:4.

Gambar 2. Anatomi Retina

3. Lapisan Retina
Retina memiliki sepuluh lapisan. Lapisan tersebut antara lain
(dari bagian dalam vitreus, ke arah posterior): membrana limitans
interna, lapisan serat saraf, lapisan sel ganglion, lapisan pleksiform
interna, lapisan inti dalam, lapisan pleksiform eksterna, lapisan inti luar,
membrana limitans eksterna, lapisan fotoreseptor, epitel pigmen retina.
Membrana limitans interna retina terbentuk oleh bagian akhir dari sel
Mller dan berhubungan dengan bagian membran/lamina basalis,
membentuk batas terdalam dari retina. Membrana limitans interna
merupakan permukaan dalam retina yang membatasi vitreus humor,
dengan demikian fungsinya ialah membentuk sawar di antara neuroretina
dan cairan vitreus. Sel Mller, sel astrosit, dan sel mikroglial merupakan
sel neuroglial yang berfungsi untuk menyediakan struktur dan sokongan
serta berperan dalam reaksi jaringan saraf bila mengalami kerusakan atau
infeksi.8
Sel Mller adalah sel neuroglial besar yang memanjang pada
sebagian besar retina. Sel ini berperan dalam menyediakan struktur.

Bagian apeks dari sel Mller berada di lapisan fotoreseptor, sementara


bagian basal berada di permukaan dalam retina. Sel astrosit merupakan
sel berserat yang berbentuk bintang yang ditemukan pada bagian dalam
retina. Sel astrosit ini berkontribusi pada membrana limitans interna dan
memiliki fungsi yang sama dengan sel Mller. Sel mikroglial merupakan
sel fagositik yang tersebar (wandering), dapat ditemukan di seluruh
retina. Jumlahnya meningkat bila terdapat inflamasi dan kerusakan.
Lapisan serat saraf terdiri dari akson sel ganglion. Berjalan sejajar
dengan permukaan retina lalu dari serat optik menuju ke diskus optikus
dan akhirnya keluar dari mata melalui lamina kribosa sebagai saraf optik.
Lapisan sel ganglion merupakan lapisan sel tunggal yang tebal,
kecuali di bagian makula. Lapisan ini dipisahkan oleh proses sel glial
Mller. Jumlah sel ganglion berkurang dan lapisan serat saraf menipis ke
arah ora serrata. Sel ganglion dapat berupa bipolar atau multipolar.
Ukuran sel bervariasi. Klasifikasi berdasarkan lapisan badan genikulatum
lateralis yaitu sel ganglion P1, P2, dan tipe-M. Lapisan pleksiform
interna terdiri dari koneksi sinaptik antara akson sel-sel bipolar dan
dendrit sel ganglion. Lapisan inti dalam terdiri dari badan sel horizontal,
sel bipolar, sel amakrin, neuron interpleksiform, sel Mller, dan beberapa
sel ganglion yang berpindah. Inti sel horizontal dekat dengan lapisan
pleksiform eksterna. Inti sel amakrin terletak di sebelah lapisan
pleksiform interna. Sel bipolar memiliki dendrit di lapisan pleksiform
eksterna dan akson di lapisan pleksiform interna.
Neuron interpleksiform menerima input dari lapisan pleksiform
interna dan diproyeksikan ke lapisan pleksiform eksterna. Sel horizontal
berfungsi untuk mentransfer informasi dengan arah horizontal secara
paralel dengan permukaan retina. Sel horizontal memiliki prosesus atau
akson yang panjang. Sel bipolar merupakan orde kedua neuron pada jalur
visual. Dendrit sel bipolar bersinaps dengan sel fotoreseptor dan sel
horizontal. Akson sel bipolar bersinaps dengan sel ganglion dan sel
amakrin. Sel bipolar menyampaikan informasi dari sel horizontal,

amakrin dan ganglion. Sementara itu, sel bipolar menerima umpan balik
dari sel amakrin. Sel amakrin berperan penting dalam modulasi informasi
yang mencapai sel ganglion. Prosesusnya membentuk sinaps kompleks
dengan akson dan sel bipolar. Neuron interpleksiform ditemukan di
antara lapisan sel amakrin, dan merupakan presinaps dari sel bipolar
batang atau sel bipolar kerucut pada lapisan pleksiform eksterna.
Prosesusnya

meluas

ke

kedua

lapisan

sinaptik,

dan

menyampaikan informasi antar lapisan.Sel fotoreseptor membentuk


sinaps dengan sel bipolar dan sel horizontal pada lapisan pleksiform
eksterna. Bagian yang paling distal dari lapisan pleksiform eksterna
didominasi oleh serat bagian dalam sel fotoreseptor, sementara dendrit
dari sel bipolar dan horizontal, bersama dengan sel Mller terdapat di
bagian paling dalam dari lapisan ini. Lapisan inti luar mengandung badan
sel fotoreseptor batang dan kerucut. Badan sel batang lebih banyak di
bagian perifer, sementara badan sel kerucut lebih banyak di retina bagian
sentral. Lapisan inti luar paling tebal di bagian fovea (50 m, berisi
sekitar 10 baris inti sel kerucut) dan secara progresif menipis di bagian
perifer.
Membrana limitans eksterna terbentuk oleh tautan rapat antara sel
Mller dan sel fotoreseptor segmen dalam. Lapisan ini berfungsi sebagai
sawar diantara ruang subretina sampai segmen dalam dan luar
fotoreseptor, lalu bergabung mendekati lapisan epitel berpigmen di
belakang retina dan neuroretina yang sebenarnya. Lapisan fotoreseptor
tersusun atas segmen luar dan dalam dari sel batang dan kerucut. Segmen
fotoreseptor bagian luar khusus berfungsi menangkap cahaya dan
menerima dukungan fungsional dari sel EPR yang berada langsung di
luar segmen tersebut.
Sel batang dan kerucut merupakan sel yang mengandung fotopigmen
yang berfungsi untuk menyerap foton cahaya. Sel batang aktif dalam
pencahayaan redup sementara sel kerucut aktif dalam kondisi yang cukup
terang. Pigmen visual dalam fotoreseptor diaktifkan pada perangsangan

cahaya. Plasmalema pada sel batang merupakan bagian yang terpisah


dari membrana diskus, kecuali pada bagian dasar dimana invaginasi
membentuk diskus. Pigmen fotosensitif rodopsin terdapat di dalam
membrana diskus. Plasmalema adalah bagian yang menutupi segmen luar
dari fotoreseptor. Plasmalemma sel kerucut berkontinu dengan membran,
membentuk sebagian diskus, sehingga diskus tidak mudah lepas satu
sama lain. Bagian segmen luar lebih pendek dibanding sel batang dan
tidak dapat mencapai lapisan EPR (gambar 3).
Epitel pigmen retina merupakan lapisan tunggal tebal. EPR terdiri
dari selsel heksagonal berpigmen. Sel lebih besar dan lebih kuboid pada
bagian yang dekat dengan ora serrata, merupakan transisi ke epitel
berpigmen dari badan silier. Fungsi utamanya ialah sebagai sawar,
transportasi ion, dan fagositosis. Sel ini mengandung melanosom yang
memanjang dari daerah apikal ke bagian tengah sel, mengaburkan
nukleolus di daerah basal. Bagian apikal terdiri dari mikrovili yang
meluas ke lapisan fotoreseptor.

Gambar 3. Sel fotoreseptor.

Gambar 4. Sel retina dan sinaps-sinapsnya

4. Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata
harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks,
dan sebagai suatu transducens yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di
lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu
impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan, serta saraf retina melalui saraf
optikus dan akhirnya ke konteks penglihatan.Macula bertanggung jawab
untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan
sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Macula terutama digunakan untuk
ketajaman sentral dan warna (fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang
besar terdiridari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan
perifer dan malam (skotopik).

B. PATOFISIOLOGI
Retinoblastoma menunjukkan berbagai macam pola pertumbuhan, yaitu:
1. Pertumbuhan endofitik
Pertumbuhan endofitik terjadi saat tumor menembus internal
limiting membrane dan memiliki gambaran massa berwarna putih

sampai krim yang menunjukkan tidak adanya pembuluh darah


superfisial atau pembuluh darah tumor irregular yang kecil. Pola
pertumbuhan ini biasanya berhubungan dengan vitreous seeding, dimana
fragmen kecil dari jaringan menjadi terpisah dari tumor utama. Pada
beberapa keadaan, viteous seeding dapat meluas menyebabkan sel tumor
terlihat sebagai massa-massa spheroid yang mengapung pada viteous
dan bilik depan mata, menyerupai endoftalmitis atau iridosiklitis dan
mengaburkan massa tumor primer.
2. Pertumbuhan eksofitik
Pertumbuhan eksofitik terjadi pada celah subretinal. Pola
pertumbuhan ini biasanya berhubungan dengan akumulasi cairan
subretinal dan terjadinya sobekan pada retina. Sel tumor menginfiltrasi
melalui membran Bruch ke koroid dan kemudian menginvasi nervus
siliaris.
3. Pertumbuhan infiltrasi difus
Jenis pertumbuhan ini merupakan jenis pertumbuhan yang jarang
dimana hanya 1,5% dari seluruh pola pertumbuhan retinoblastoma.
Pertumbuhan ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi datar pada retina
oleh sel tumor tanpa massa tumor yang tampak jelas. Massa putih yang
biasanya yang terlihat pada jenis pola pertumbuhan retinoblastoma
jarang terjadi.

C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda Retinoblastoma yang paling sering dijumpai adalah
leukokoria (white pupillary reflex) yang digambarkan sebagai mata yang
bercahaya, berkilat, atau cats-eye appearance, strabismus dan inflamasi okular.
Gambaran lain yang jarang dijumpai, seperti Heterochromia, Hyphema,
Vitreous Hemoragik, Sellulitis, Glaukoma, Proptosis dan Hypopion. Tanda
tambahan yang jarang, lesi kecil yang ditemukan pada pemeriksaan rutin.

Keluhan visus jarang karena kebanyakan pasien anak umur prasekolah


(America Academy of Ophthalmology, 2008).
Tanda Retinoblastoma: (America Academy of Ophthalmology, 2009)
a. Pasien umur < 5 tahun
-

Leukokoria (54%-62%)

Strabismus (18%-22%)

Hypopion

Hyphema

Heterochromia

Spontaneous globe perforation

Proptosis

Katarak

Glaukoma

Nystagmus

Tearing

Anisocoria

b. Pasien umur > 5 tahun


-

Leukokoria (35%)

Penurunan visus (35%)

Strabismus (15%)

Inflamasi (2%-10%)

Floater (4%)

Pain (4%)

D. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada pasien dengan kecurigaan retinoblastoma, maka perlu dilakukan
anamnesis lanjuan. Perlu ditanyakan onset dan durasi kelainan mata,
terutama leukoria atau strabismus. Kesehatan pasien secara keseluruhan juga
perlu ditanyakan. Pertanyaan tentang penglihatan yang perlu ditanyakan
adalah apakah pasien mengalami gangguan penglihatan, seperti penglihatan

kurang focus, perbedaan gerakan mata kanan dan kiri, atau kesulitan meraih
benda, dan ada atau tidaknya nistagmus. Pertanyaan lain adalah ada tidaknya
riwayat trauma, terutama pada mata, serta riwayat penyakit keluarga dengan
retinoblastoma.
Adanya penurunan berat badan atau selera makan dapat menjadi salah
satu gejala yang perlu diwaspadai. Pemeriksaan keadaan gizi, didapati pada
pasien retinoblastoma pada umumnya masih baik Pasien dengan tumor padat
mempunyai insidens tinggi untuk terjadinya malnutrisi, namun pada anak
dengan leukemia limfoblastik akut risiko rendah, tumor padat tanpa
metastase, dan pasien yang telah mengalami remisi secara umum, pasien
dapat mempertahankan berat badan. Beberapa kasus dapat menjadi obesitas
selama mengikuti pengobatan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pasian yang diduga retinoblastoma harus mendapatkan pemerksaan fisik
dan penunjang lengkap oleh onkologis dan juga dokter mata. Pemeriksaan
mata pada pasien yang tidak kooperatif, dapat dilakukan dengan pengaruh
anestesi (examination under anesthesia) (Ilyas & Yulianti, 2011). Beberapa
hasil pemeriksaan yang dapat ditemui adalah:
a. Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)
Tajam penglihatan pada kasus retinoblastoma umumnya
sangat

menurun

Pemeriksaan
keparahan

dan

ini
dan

tergantung tingkat

dilakukan
tata

laksana

untuk
yang

keparahannya.

menentukan
tepat.

Penulis

tingkat
belum

menemukan jurnal mengenai tajam penglihatan awal sebelum


dilakukan intervensi dan tata laksana (Ilyas & Yulianti, 2011).
b. Cover/uncover test dapat ditemukan adanya strabismus
c. Injeksi
d. Leukokoria
e. Hifema dan hipopion
f. Pada pasien yang kooperatif, dapat dilakukan pemeriksaan slit lamp,
biasanya ditemukan adanya uveitis atau glaucoma

g. Pemeriksaan tekanan bola mata


Bertujuan untuk menilai perubahan pada tekanan bola mata
dengan alat tonometer . Terkadang pasien retinoblastoma datang
dalam stadium berat dengan komplikasi berupa glaukoma sehingga
pengukuran tekanan bola mata penting untuk diagnosis awal (Ilyas &
Yulianti, 2011).
h. Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi bertujuan untuk melihat gambaran
normal atau tidak normal pada bagian dalam mata atau fundus okuli.
Gambaran funduskopi pasien retinoblastoma bermacam-macam
tergantung pada tingkat keparahannya. Stadium awal dengan keluhan
leukokoria menghasilkan gambaran funduskopi berupa daerah retina
yang

tampak

memutih.

Gambaran

lainnya

dapat

neovaskularisasi, hifema, hipopion, atau depresi sklera .

berupa

Gambar 5. Gambaran leukokoria pada pemeriksaan funduskopi


3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Hasil laboratorium mendapatkan anemia ringan baik pada unilateral
atau bilateral. Pada retinoblastoma yang merupakan suatu tumor padat,
anemia sering dijumpai. Anemia merupakan komplikasi yang paling
sering pada keganasan. Penyebab dan mekanisme anemia merupakan
suatu kompleks multifactorial.
Hubungan keganasan dan anemia bukan hanya oleh karena tumor
saja, tapi dapat juga oleh karena produk tumor tersebut, atau berkembang
sebagai hasil pengobatan tumor tersebut. Hasil pemeriksaan leukosit
didapati rerata nilai leukosit lebih besar pada kelompok bilateral
dibanding unilateral sedangkan nilai trombosit pada kedua kelompok
tidak begitu berbeda. Jumlah trombosit meningkat sedikit dari nilai
normal. Trombositopenia pada pasien tumor padat dapat terjadi oleh
karena gangguan sumsum tulang atau oleh karena toksisitas obat
sitostatik, namun jarang dijumpai pada saat kunjungan pertama. Apabila
dijumpai trombositopenia tanpa keluhan klinis dan laboratorium yang
berhubungan, mungkin saja oleh karena proses imunologik. Penelitian
lain menyebutkan bahwa insidens anemia, leukositosis, dan trombositosis

pada tumor padat di Cina, bervariasi tergantung pada jenis keganasannya


(2,1%-29,2%)9.
b. Pemeriksaan Histopatologis
Gambaran histopatologi khas retinoblastoma yang biasanya dijumpai
adanya Flexner-Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes yang
jarang. Keduanya dijumpai pada derajat awal pada diferensiasi sel retina.
Homer-Wright rosettes juga sering dijumpai tapi kurang spesifik untuk
retinoblastoma karena sering juga dijumpai pada tumor neuroblastik lain.
Tumor terdiri dari sel basophilic kecil (Retinoblast), dengan nukleus
hiperkhromotik besar dan sedikit sitoplasma. Kebanyakan Retinoblastoma
tidak dapat dibedakan, tapi berbagai derajat diferensiasi Retinoblastoma
ditandai oleh pembentukan Rosettes, yang terdiri dari 3 tipe:
1. Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen central yang
dikelilingi oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari
lumen.
2. Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan
sel terbentuk mengelilingi masa proses eosinophilik
3. Flerettes adalah fokus sel tumor, yang mana menunjukkan
differensiasi fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan
sitoplasma dan tampak menyerupai karangan bunga (Jack & Bowling,
2007).
c. Ultrasound
Posisi mata manusia yang terletak superfisial dan strukturnya ideal
untuk pemeriksaan USG. USG okular biasanya dilakukan oleh dokter
mata saat anak berada di bawah anestesi umum, tapi USG sebenarnya
cukup mudah dilakukan tanpa bantuan sedasi. Pada Retinoblastoma, USG
menunjukkan

adanya

massa

irregular,

lebih

dibandingkan badan vitreous, dengan disertai .

bersifat

echogenik

Gambar 6. USG menunjukkan tumor hiperechoic yang berada di segmen posterior


dari bola mata. Deposit kalsium terlihat sebagai fokus yang highly reflective
(gambar panah), dimana merupakan patognomonik dari Retinoblastoma pada anakanak.

Secara histologis, terdapat kalsifikasi pada kira-kira 95% tumor.


Kalsifikasi adalah kunci untuk membedakan Retinoblastoma dari lesi lain
pada anak-anak. USG mendeteksi kalsifikasi pada 92-95% kasus dimana
kalsifikasi muncul secara histopatologis (Roth et al, 2001)
Selain itu dapat ditemukan pula retinal detachment. Tumor endofitik
muncul dari lapisan dalam retina dan bertubuh ke arah badan vitreous.
Tumor eksofitik berasal dari lapisan terluar dan tumbuh ke dalam ruang
subretina, dimana kemudian menyebabkan retinal detachment dengan
eksudat subretina (Lemke et al., 2007). Tinggi dan diameter tumor biasanya
diukur

menggunakan

USG,

pengukuran

tersebut

digunakan

untuk

menentukan terapi. Color Doppler dapat digunakan untuk membedakan


massa tumor dengan vaskularisasi dengan efusi echogenic dan untuk
membedakan abnormalitas perkembangan seperti: persistent hyperplastic
primary vitreous (PHPV atau dikenal dengan persistent fetal vasculature,
PFV). USG bukan merupakan pilihan modalitas imaging untuk evaluasi
langsung dari risiko metastasis (Kaste et al, 2000)
d. CT-Scan
Pada CT-Scan, Retinoblastoma biasanya terlihat sebagai massa dengan
densitas lebih tinggi dibandingkan dengan badan vitreous, biasanya

terkalsifikasi dan mengalami enhance setelah pemberian kontras. Deteksi


CT-Scan pada kalsifikasi di Retinoblastoma memiliko sensitifitas sebesar 8196%, dan spesifisitas yang lebih tinggi (Beets-Tan et al., 1994).
Bagaimanapun juga, penggambaran dari jaringan lunak intraokuler
sangat terbatas. Beberapa penelitian menerangkan bahwa CT-Scan dianggap
sebagai pemeriksaan imaging yang harus dilakukan untuk evaluasi
leukokoria. CT-Scan dianggap sebagai pemeriksaan yang paling baik untuk
mendeteksi kalsifikasi intraocular (John Mikolajewski et al,1987;
Olivecrona et al, 1994) .
CT-Scan merupakan modalitas pertama yang digunakan untuk mendeteksi
adanya invasi ke saraf optic dan dianggap dapat mendeteksi penyebaran
tumor secara . Sensitivitas dari CT-Scan dalam mendeteksi adanya invasi ke
saraf optik sangat rendah (Mafee et al, 2003; Apushkin et al, 2005;
Barkovich et al, 2005)

Gambar 7. CT Scan dari kalsifikasi Retinoblastoma bilateral ( Roarty JD, 2006)


e. MRI
Evaluasi diagnostik dari suspek retinoblastoma menggunakan MRI
membutuhkan lebih dari sekedar pemeriksaan MRI rutin. High-resolution
contrast-enhanced MRI merupakan pilihan teknik dan sebaiknya
digunakan untuk mengevaluasi sebuah massa intraocular dan untuk

menentukan seberapa jauh penyebaran telah terjadi. MRI telah terbukti


merupakan teknik dengan sensitifitas paling tinggi untuk mengevaluasi
Retinoblastoma, terutama mengenai infiltrasi tumor ke saraf optik,
penyebaran ekstraokular, dan intracranial (Brisse et al, 2007; de Graaf et
al, 2005;Lemke et al, 2007; Schueler et al, 2003).

Gambar 8. Transaxial T2-weighted (TR/TE, 3,460/116 ms) (a) T1-weighted


(TR/TE, 374/14 ms) precontrast (b) dan postcontrast (c)
Gambaran MRI dari Retinoblastoma yang berkembang secara
exofitik dengan retinal detachment sekunder. Retinoblastoma biasanya
memiliki intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan badan vitreous.
Klasifikasi Retinoblastoma
Golongan
I
-

Tumor soliter/multiple kurang dari 4 diameter papil.

Terdapat pada atau dibelakang ekuator

Prognosis sangat baik

II
Satu atau beberapa tumor berukuran 4-10 diameter papil
III
Tumor ada didepan ekuator atau tumor soliter berukuran >10
diameter papil
-

Prognosis meragukan

IV
-

Tumor multiple sampai ora serata

Prognosis tidak baik

V
-

Setengah retina terkena benih di badan kaca

Prognosis buruk

Terdapat tiga stadium dalam retinoblastoma:


Stadium
Penjelasan
Tenang
Pupil lebar, dipupil tampak refleks kuning yang disebut automatic
cats eye.
Glaukoma
Oleh karena tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan
intraokular meninggi.
Ekstraokuler
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabakan
eksoftalmus kemudian dapt pecah kedepan sampai keluar dari
rongga orbita disertai nekrose diatasnya

Tahapan retinoblastoma menurut Wong (2009), adalah:


Kelompok 1:
Sangat Jinak
Tumor tunggal, kurang dari 4 disc diameter (DD), pada atau
dibelakang ekuator. Tumor multiple, tidak lebih dari 4 DD, semua
pada atau dibelakang ekuator
Kelompok 2:
Jinak
Tumor tunggal, 4-10 DD, pada atau dibelakang ekuator. Tumor
multiple 4-10 DD, di belakang ekuator.
Kelompok 3:
Tidak Terlalu Jinak
Setiap lesi anterior sampai ekuator tumor tunggal lebih besar dari
10 DD, di belakang ekuator.
Kelompok 4:
Ganas
Tumor multiple, beberapa lebih besar dari 10 DD. Sedikit lesi
memanjang dari anterior sampai ora serrata.
Kelompok 5:
Sangat Ganas
Tumor massive melibatkan lebih dari bagian retina, vitreous
seeding.

E. PENATALAKSANAAN

Tujuan

utama

dari

penatalaksanaan

Retinoblastoma

adalah

menyelamatkan hidup pasien, sedangkan kembalinya fungsi visual mata


merupakan tujuan sekunder (Reddy dan Hanofar, 2008).
Penatalaksanaan

Retinoblastoma

melibatkan

tim

dari

berbagai

multidisiplin, yaitu disiplin ilmu onkologi mata, onkologi pediatrik, onkologi


radiasi, onkologi psikis, genetika, dan onkopatologi oftalomologi. Strategi
manajemen

tata

laksana

Retinoblastoma

tergantung

dengan

tingkat

keparahannya, seperti intraokular Retinoblastoma, Retinoblastoma dengan


karakteristik

risiko

tinggi,

orbital

Retinoblastoma,

dan

metastasis

Retinoblastoma (Pandey, 2013).


Tata laksana untuk intraokular Retinoblastoma meliputi enukleasi,
external

beam

radiation

therapy

(EBRT),

laser

photocoagulation,

thermotherapy, brachytherapy dengan iodine 125 atau ruthenium 106 plaques,


dan systemic chemotherapy. Sedangkan untuk tata laksana ekstraokular
Retinoblastoma diberi terapi lebih lanjut (Lin & Obrien, 2009)
1. Enukleasi
Enukleasi merupakan pilihan tata laksana untuk intraokular unilateral
Retinoblastoma dengan klasifikasi grup E yang melibatkan neovaskularisasi
dari iris, glaukoma sekunder, tumor invasif anterior chamber, tumor >75%
volum vitreous, tumor nekrosis dengan inflamasi sekunder orbital, tumor
terkait hifema atau perdarahan vitreous, dimana karakteristik tumor tidak
bisa dilihat, dan melibatkan satu mata (unilateral) (Pandey, 2013). Metode
enukleasi dilakukan dengan mengangkat penuh mata hingga ke nervus
optikus, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologinya.
2. External beam radiation therapy (EBRT)
EBRT merupakan pilihan tata laksana untuk Retinoblastoma bilateral
tingkat lanjut, dimana ditemukannya bercak difus pada vitreous, pada pasien
yang menolak dilakukannya tindakan enukleasi setelah gagalnya bentuk
terapi konservatif lainnya. Akan tetapi, EBRT mempunyai kelemahan
karena dapat memicu efek komplikasi lokal dan dapat mengakibatkan

kanker sekunder pada daerah sekitar radiasi setelah retinoblastoma sembuh


(Othman, 2012)
3. Laser photocoagulation
Laser photocoagulation merupakan pilihan tata laksana untuk tumor
posterior kecil dengan diameter basal 4mm dan ketebalan 2mm. Tujuan
terapi ini untuk regresi tumor dan mengkoagulasikan suplai aliran darah
menuju tumor dengan menggunakan laser. Komplikasi dapat berupa
lepasnya retina sementara, oklusi vaskuler retina, retina bolong, traksi
retina, dan fibrosis preretinal (Pandey, 2013).
4. Thermotherapy
Thermotherapy merupakan pilihan tata laksana untuk tumor kecil
dengan diameter 4mm dan ketebalan 2mm. Metodenya dengan melakukan
radiasi sinar inframerah level subfotokoagulasi pada jaringan untuk
menginduksi nekrosisnya tumor dan mencegah rusaknya pembuluh darah
retina. Regresi tumor secara komplit dapat mencapai 85% setelah
dilakukannya 3-4 kali thermotherapy (Pandey, 2013).
5. Brachytherapy dengan plak I-125 atau Ro-106
Plaque brachytherapy menggunakan zat radioaktif (umumnya I-125
atau Ro-106) yang diimplantasikan pada sklera. Tujuannya adalah untuk
radiasi tumor secara transsklera. Kelebihannya adalah radiasi fokal tumor
sehingga tidak menyebabkan rusaknya jaringan normal di sekitar tumor
(Pandey, 2013)
6. Systemic chemotherapy
Chemotherapy merupakan pilihan tata laksana pada pasien dengan
tujuan mengurangi volum tumor sampai ukuran dimana terapi laser bisa
diberikan (chemoreduction). Terapi ini juga efektif untuk kelainan vitreous
dan subretinal, dan ekstraokular maupun metastasis Retinoblastoma.
Chemotherapy dilakukan sebanyak enam sesi selama 3-4 minggu. Dua
regimen obat untuk systemic chemotherapy adalah carboplatin dan
etoposide (Othman, 2012)

F. PROGNOSIS
Prognosis dan survival rate untuk anak yang menderita retinoblastoma
tegantung dari beberapa faktor diantaranya jenis tumor, stadium tumor saat
ditemukan, terapi yang dipilih dan respon masing-masing individu terhadap
terapi. Anak dengan retinoblastoma yang penyebarannya hanya terbatas pada
intraocular retinoblastoma memiliki prognosis yang lebih baik daripada
retinoblastoma yang sudah menyebar ekstraocular. Sedangkan menurut stadium,
penderita retinoblastoma dengan stadium awal, misalkan pada grade I memiliki
kemungkinan penglihatannya kembali jauh lebih besar (American Cancer
Society. 2011). Penelitian lain menyebutkan anak anak dengan retinoblastoma
intraocular yang mendapat perawatan medis modern mempunyai prognosis yang
baik untuk bertahan hidup mencapai 95%. Kebanyakan faktor risiko penting yang
sering dikaitkan dengan kematian afalah tumor yang sudah meluas ekstraokular,
secara langsung melalui sclera atau yang lebih sering dengan invasi ke nervus
optikus (Chang et al, 2006)

DAFTAR PUSTAKA
America Academy of Ophthalmology. 2008. Pediatric Ophthalmology and
Strabismus in Basic and Clinical Science Course. Section 6. pg. 390-99
2.
American academy of opthalmology. 2009. Ophthalmic Pathology and
Intraocular tumors, section 4. pg.285-302

American Cancer Society. 2013. How is Retinoblastoma Diagnosed.


http://www.cancer.org/cancer/retinoblastoma/detailedguide/retinoblasto
ma- diagnosis (19 Februari 2016)
Apushkin MA, Apushkin MA, Shapiro MJ, et al. 2005. Retinoblastoma and
simulating lesions: role of imaging. Neuroimaging Clin N Am 15:4967
Barkovich AJ. 2005. Pediatric neuroimaging. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia
Bechard LJ,Duggan C. 2008. Cancer Treatment. Dalam: Duggan C, Watkins
JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in Pediatrics. Edisi ke-4. BC
Decker;.h.607-16.
Beets-Tan RG, Hendriks MJ, Ramos LM, et al. 1994. Retinoblastoma: CT
and MRI. Neuroradiology 36:5962
Brisse HJ, Guesmi M, Aerts I, et al. 2007. Relevance of CT and MRI in
retinoblastoma for the diagnosis of postlaminar invasion with normalsize optic nerve: a retrospective study of 150 patients with histological
comparison. Pediatr Radiol 37:649656
Chintagumpala MP, Chevez-Barrios EA, Paysse SE, Hurwitz R. 2007.
Retinoblastoma: Review of Current Management. The Oncologist, 12:
1237-46
Chung EM, Specht CS, Schroeder JW. 2007. From the archives of the AFIP:
Pediatric orbit tumors and tumorlike lesions: neuroepithelial lesions of
the ocular globe and optic nerve. Radiographics 27:11591186
de Graaf P, Barkhof F, Moll AC, et al. 2005. Retinoblastoma: MR imaging
parameters in detection of tumor extent. Radiology 235:197207
Galluzzi P, Hadjistilianou T, Cerase A, et al. 2009. Is CT still useful in the
study protocol of retinoblastoma? AJNR Am J Neuroradiol 30:1760
1765
Gizewski ER, Wanke I, Jurklies C, et al. 2005. T1 Gd-enhanced compared
with CISS sequences in retinoblastoma: superiority of T1 sequences in
evaluation of tumour extension. Neuroradiology 47:5661

Ilyas S, Yulianti SR. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Ed. 4. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Isidro

MA,

Roy

H.

2012.

Retinoblastoma.

http://emedicine.medscape.com/article/1222849-overview (19 Februari


2016)
Jack KJ, Bowling B. 2007.

Sixth Nerve in Clinical Ophthalmology A

Systematic Approach. 6th ed.pg. 542-50


Jacquemin C, Karcioglu ZA. 1998. Detection of optic nerve involvement in
retinoblastoma with enhanced computed tomography. Eye (Lond)
12:179183
James SH, Halliday WC, Branson HM (2010) Best cases from the AFIP:
Trilateral retinoblastoma. Radiographics 30:833837
John-Mikolajewski V, Messmer E, Sauerwein W, et al. 1987. Orbital
computed tomography. Does it help in diagnosing the infiltration of
choroid, sclera and/or optic nerve in retinoblastoma? Ophthalmic
Paediatr Genet 8:101104
Kaste SC, Jenkins JJ III, Pratt CB, et al. 2000. Retinoblastoma: sonographic
findings with pathologic correlation in pediatric patients. AJR Am J
Roentgenol 175:49550
Khasraw M, Faraj H, Sheikha A. 2010. Thrombocytopenia in solid tumors.
EJCMO; 2:89-92.
Lemke AJ, Kazi I, Mergner U, et al. 2007. Retinoblastoma MR appearance
using a surface coil in comparison with histopathological results. Eur
Radiol 17:4960
Lin P, Obrien JM, 2009. Frontiers in the Management of Retinoblastoma.
American Journal of Ophthalmology, 148(2): 193-200.
Mafee MF, Mafee RF, Malik M, et al. 2003. Medical imaging in pediatric
ophthalmology. Pediatr Clin North Am 50:259286
Olivecrona H, Agerberg PA, Huaman A. 1994. CT diagnosis of
retinoblastoma with histopathologic correlations. Eur Radiol 4:307313

Othman IS. 2012. Retinoblastoma Major Review with Updates on Middle


East Management Protocols. Saudi Journal of Ophthalmology, 26: 163175
Pandey AN. 2013.

Retinoblastoma: An Overview. Saudi Journal of

Ophthalmology, 11(1): 1-6.


Parulekar MV. 2010. Current Treatment and Future Direction. Early Human
Development (Elsevier), 86: 619-625
Qiu MZ, Xu RH, Ruan DY, Li ZH, Luo HY, Teng KY, Wang ZQ, Li YH,
Jiang WQ. 2010. Incidence of anemia, leukocytosis, and thrombocytosis
in patients with solid tumors in China. Tumor Biol.31:633-41
Reddy VAP, Honavar SG. 2008. Retinoblastoma Advanced in
Management. Apollo Medicine, 5(3): 183-9
Roarty

JD.

2006.

Chapter

75:

Retinoblastoma.

http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v6/v6c07
5.html (19 Februari 2016)
Rodriguez-Galindo C, Wilson MW. 2010. Clinical Features, Diagnosis, and
Pathologu. In: Retinoblastoma. London: Springer
Roth DB, Scott IU, Murray TG et al (2001) Echography of retinoblastoma:
histopathologic correlation and serial evaluation after globe-conserving
radiotherapy or chemotherapy. J Pediatr Ophthalmol Strabismus 38:136
143
Saba HI. 1998. Anemia in cancer patient: Introduction and overview. Cancer
Control

Journal

Maret/April

1998

Suplement.

http://www.moffittapps//ccj/v5ns/article 1.html.
Schueler AO, Hosten N, Bechrakis NE, et al. 2003, High resolution magnetic
resonance imaging of retinoblastoma. Br J Ophthalmol 87:330335
Soni H C, Patel S B, Goswami K G, Gohil Y. 2006. Pictorial essay: USG of
retinoblastoma. Indian J Radiol Imaging;16:657-68

You might also like