You are on page 1of 4

Korosi retak tegang terjadi di lingkungan korosif khususnya MgCl2 pada suhu di atas 1000C,

peran lingkungan korosif tidak terlepas dari kehadiran oksigen dan keberadaan ion asing
klorida . Peran beban luar yang bekerja pada material cukup penting karena peningkatan
tegangan luar akan mengurangi waktu material untuk patah. Minimal tidak boleh melebihi
70% tegangan luluh suatu material. Namun di lapangan korosi retak teganga dapat terjadi di
bawah tegangan luluh. Tegangan luar dapat berupa tegangan langsung, tegangan sisa, dan
tegangan akibat termal.
Faktor metalurgi juga berperan dalam terjadinya korosi retak tegang. Kerentanan korosi ini di
pengaruhi oleh komposisi kimia bulk, orientasi butir-butir, komposisi, dan distribusi
presipitasi, dan dislokasi. Faktor metalurgi lainnya yaitu keberadaan krom karbida di batas
butir. Baja tahan karat tipe austenitik mempunyai kerentanan terhadap proses sensitasi.
Sensitasi adalah proses pembentukan senyawa baru di batas butir antara suhu 580 8150C
sehingga dapat memberikan efek korosi batas butir jika di dalam larutan korosif. Daerah
kekurangan krom (chrom depleted zone) akan mengalami korosi sebagai anoda sehingga sifat
ketahanan korosi berkurang karena tidak bisa mampu memulihkan secara cepat lapisan
protektif krom oksida (Cr2O3). Lingkungan MgCl2 kan menyerang daerah kurang lapisan
protektif. Adanya beban luar dan tegangan sisa di material AISI 304 akan memberikan efek
bersama terjadinya retakan di batas butir.

Pengendalian Korosi Retak Tegang Pengendalian korosi retak tegang


dapat dilakukan dengan mengeliminasi salah satu dari tiga faktor berikut, yaitu :
tegangan tarik, lingkungan kritis dan paduan yang rentan terhadap korosi. (1)
Mengeliminasi tegangan tarik yang terjadi pada bagian kritis komponen atau
peralatan dapat dilakukan dengan re-disain. Selain itu penurunan tegangan tarik
sisa pada logam dapat dilakukan dengan perlakuan panas anil. (2)
Pengontrolan lingkungan dapat dilakukan dengan cara menurunkan agent
oksidasi (yang membuat oksigen terlarut), menghindarkan adanya unsur-unsur
kritis yang terdapat pada larutan, serta memberi unsur penghambat di larutan
(inhibitors). Pelapisan (coating) juga merupakan salah satu cara untuk
membatasi interaksi logam yang dilindungi dengan lingkungannya, namun cara
ini kurang efektif karena tidak dapat menahan zat kimia yang agresif. (3) Memilih
paduan yang memiliki ketahanan korosi terhadap lingkungan tertentu
merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan. Selain itu merubah proporsi
elemen pemadu pada paduan logam, sehingga memiliki kekuatan yang lebih
tinggi atau merubah struktur metalurginya dapat meningkatkan ketahanan
logam tersebut terhadap korosi retak tegang. (4) Penerapan proteksi katodik
juga dapat dilakukan untuk pengendalian korosi retak tegang, namun cara ini
dapat mempercepat terjadinya hydrogen induced cracking. Oleh karena itu
penerapan proteksi katodik hanya efektif dilakukan pada paduan yang memilki
tegangan tinggi dan mengalami retak oleh mekanisme anodik.

Stress corrosion cracking


Korosi retak tegang (SCC) adalah peristiwa pembentukan dan perambatan retak dalam logam
yang terjadi secara simultan antara tegangan tarik yang bekerja pada bahan tersebut dengan
lingkungan korosif. Proses korosi retak tegang (SCC) dapat terjadi dalam beberapa menit jika
berada pada lingkungan korosif atau beberapa tahun setelah pemakaiannya. Hal ini terjadi
karena adanya serangan korosi terhadap bahan. Korosi retak tegang (SCC) merupakan
kerusakan yang paling berbahaya, karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya.

Gambar 3. macam-macam stress corosi cracking


Dalam kondisi kombinasi antara tegangan (baik tensile, torsion, compression, maupun
thermal) dan lingkungan yang korosif maka Stainless Steel cenderung lebih cepat mengalami
korosi.
Karat yang menyebabkan berkurangnya penampang luas efektif permukaan Stainless Steel
menyebabkan tegangan kerja (working stress) pada Stainless Steel akan bertambah besar.
Korosi ini meningkat jika bagian yang mengalami tekanan (stress) berada di lingkungan
dengan kadar klorida tinggi.
Pada tahun 1998, Zhang [6] melakukan penelitian tentang pengaruh ion borate terhadap
korosi retak tegang pada material stainless steel 304 (UNS30400) yang disensitisasi pada
sodium borate (Na2B4O7) cair, pada temperatur 950 C yang diamati pada percobaan Slow
Strain Rate Testing (SSRT) dengan menggunakan sistem observasi dinamik. Pengaruh
inhibitor dari ion borate (B4O72-) pada pemicu retak dihasilkan dari efek penahanan, pada
saat pengasaman lokal membentuk lapisan pelindung. Konsentrasi (B4O72-) yang tersedia

tidak menunjukkan pengaruh inhibitor pada kecepatan retak (CF). Ion hidroksil (OH-) juga
memicu retak dengan mengikuti distribusi probabilitas eksponen dan kecepatan retak diikuti
distribusi probabilitas Weibull.
Stainless steel ada 5 jenis, di antaranya adalah Austenitic Stainless Steel dan Duplex
Stainless Steel. Austenitic SS mengandung sedikitnya 16% Chrom dan 6% Nickel (grade
standar untuk 304), sampai ke grade Super Autenitic SS seperti 904L (dengan kadar Chrom
dan Nickel lebih tinggi serta unsur tambahan Mo sampai 6%). Molybdenum (Mo), Titanium
(Ti) atau Copper (Co) berfungsi untuk meningkatkan ketahanan terhadap temperatur serta
korosi. Austenitic cocok juga untuk aplikasi temperature rendah disebabkan unsur Nickel
membuat SS tidak menjadi rapuh pada temperatur rendah. Sedangkan Duplex SS seperti
2304 dan 2205 (dua angka pertama menyatakan persentase Chrom dan dua angka terakhir
menyatakan persentase Nickel) memiliki bentuk mikrostruktur campuran austenitic dan
Ferritic. Duplex ferritic-austenitic memiliki kombinasi sifat tahan korosi dan temperatur
relatif tinggi atau secara khusus tahan terhadap Stress Corrosion Cracking. Meskipun
kemampuan Stress Corrosion Cracking-nya tidak sebaik ferritic SS tetapi ketangguhannya
jauh lebih baik (superior) dibanding ferritic SS dan lebih buruk dibanding Austenitic SS.
Sementara kekuatannya lebih baik dibanding Austenitic SS (yang di annealing) kira-kira 2
kali lipat. Sebagai tambahan, Duplex SS ketahanan korosinya sedikit lebih baik dibanding
304 dan 316 tetapi ketahanan terhadap pitting coorrosion jauh lebih baik (superior)
dubanding 316. Ketangguhannya Duplex SS akan menurun pada temperatur dibawah 50oC
dan diatas 300oC (Nugroho, 2008).
Materi utama pada konstruksi untuk alat proses dalam industri Farmasetika dan Bioteknologi
adalah stainless steel austenit tipe 316L. Stainless steel tipe 316L mempunyai mikrostruktur
yang terdiri dari fase austenit dan sedikit volume fase ferrit. Hal ini dapat dicapai dengan
penambahan cukup nikel pada campuran untuk menstabilkan fase austenit. Komposisi Nikel
pada SS 316L rata-rata adalah 10-11%. Stainless steel duplex memilki komposisi kimia yang
disesuaikan untuk menghasilkan mikrostuktur yang fase ferrit dan austenitnya sama banyak.
Baru-baru ini, muncul pula duplex stainless steel tipe 2205 sebagai material industri, yang
merupakan stainless steel dengan pengurangan kandungan nikel 5% dan menyesuaikan
penambahan Mangaan dan Nitrogen untuk menghasilkan ferrit kira-kira 40-50% (Fritz,
2011).
Jenis korosi yang paling umum terjadi pada stainless steel dalam aplikasi farmasi dan
bioteknologi adalah korosi sumuran pada lingkungan bantalan-klorida. Peningkatan kadar Cr,
Mo dan N di stainless steel duplex 2205 secara substansi lebih tahan terhadap korosi pitting
dan korosi celah daripada 316 L. Resistensi pitting relatif dari stainless steel dapat ditentukan
dengan mengukur suhu yang diperlukan untuk menghasilkan pitting (pitting suhu kritis)
dalam larutan uji standar seperti besi klorida 6%. Stainless steel duplex 2205 memiliki suhu
kritis pitting (CPT) di antara tipe 316 L dan Super austenitik stainless steel 6% Mo. Perlu
dicatat bahwa pengukuran CPTs dalam larutan klorida memberikan peringkat yang dapat
diandalkan dari ketahanan pitting klorida relatif, tetapi seharusnya tidak digunakan untuk
memprediksi suhu pitting kritis dalam lingkungan bantalan-klorida lainnya (Fritz, 2011).

Pada suhu di atas 150oF (60oC) kombinasi dari tegangan tarik dan klorida dapat dengan
mudah memecahkan kelas 316L. Mode katastropik serangan disebut korosi stres retak klorida
dan harus dipertimbangkan ketika memilih bahan untuk proses stream panas. 316L tipe yang
harus dihindari untuk aplikasi yang melibatkan klorida dan suhu 150oF dan lebih tinggi. 2205
duplex stainless steel tahan SCC (Stress Corrosion Cracking) dalam larutan garam sederhana
sampai dengan suhu minimal 250 F (Fritz, 2011).
Perbandingan properti mekanik antara stainless steel duplex 2205 dengan austenit 316L:

Kesimpulan
Pitting Corrosion dan Stress corrosion cracking sering terjadi pada material pabrikasi industri
farmasi yang terbuat dari stainless steel. Ketahanan jenis stainless steel jenis austenit dan
duplex terhadap 2 jenis korosi tersebut dipengaruhi oleh kandungan/bahan penyusun stainless
steel tersebut, dan juga lingkungan (seperti suhu dan pH).

You might also like