You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Upaya pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan pada
hakikatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Seperti
halnya di negara berkembang lainnya, di Indonesia kekurangan gizi
merupakan masalah utama yang diketahui dapat menghambat laju
pertumbuhan nasional. FAO memperkirakan tahu 1999 sekitar 790 juta
penduduk dunia kelaparan. Sekitar 30% penduduk dunia yang terdiri dari
bayi, anak remaja, dewasa, dan manula menderita kurang gizi. Sekitar 50%
kematian pada bayi berkaitan dengan masalah kurang gizi (Devi, 2010).
Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Terdapat faktor
langsung dan tidak langsung. Faktor langsung adalah penyakit infeksi dan
konsumsi makanan. Salah satu faktor langsung adalah kejadian infeksi
penyakit (morbiditas) yang erat kaitannya dengan pelayanan kesehatan.
Status

gizi

selalu

dikaitakan

dengan

berbagai

faktor

yang

mempengaruhinya yaitu : faktor konsumsi makanan, penyakit infeksi,


sosiodemografi, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan (Hidayat dan
Jahari, 2011).
Status

gizi

balita

merupakan

salah

satu

indicator

yang

menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Status gizi balita dapat

diukur secara antropometri. Indeks antropometri yang sering digunakan,


yaitu : berat badan terhadap umur (BB/U dan berat bdan terhadap tinggi
badan (BB/TB). Tetapi indeks BB/U merupakan indicator paling umum
digunakan karena memiliki kelebihan yaitu lebih mudah dan lebih cepat
dimengerti oleh masyarakat umum, baik yang mengatur status gizi akut
dan kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitive terhadap
perubahan kecil, dan dapat mendeteksi kegemukan (over weight)
(Anggraeni dan Indrarti, 2010).

1.2

Rumusan Masalah
1 Apa definisi dan etiologi dari status gizi?
2. Bagaimana cara melaukan penilaian status gizi?
3. Bagaimana klasifikasi status gizi pada anak?
4. Bagaimana gejala gizi buruk pada anak?
5. Bagaimana penatalaksanaan gizi buruk pada anak?

1.3

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dan etiologi dari status gizi pada anak
2. Untuk mengetahui cara penilaian status gizi pada anak.
3. Untuk mengetahui klasifikasi status gizi pada anak.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis, penyebab, dan tata laksana anak
dengan gizi buruk.
5. Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan akibat gizi buruk pada
anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi dan Etiologi


Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang
dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis
seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan
kesehatan, dan lainnya. (Suyatno, 2009). Status gizi juga dapat
3

merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang


dimasukkan ke dalam tubuh (nutrien input) dengan kebutuhan tubuh
(nutrien output) akan zat gizi tersebut (Supariasa. 2002).
Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi
kesehatan. Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang
mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas
maupun kuantitasnya, dalam pelajaran ilmu gizi biasa disebut triguna
makanan yaitu, makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun dan
zat pengatur. Apabila terjadi kekurangan atas kelengkapan salah satu zat
gizi tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi
serupa dari makanan yang lain. Jadi makan makanan yang beraneka
ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat
pembangun dan zat pengatur.
Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang
dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Bila kekurangan
itu ringan, tidak akan dijumpai penyakit defisiensi yang nyata, tetapi
akan timbul konsekwensi fungsional yang lebih ringan dan kadangkadang tidak disadari kalau hal tersebut karena faktor gizi. (Ari Agung,
2002).
Menurut Supariasa (2002), status gizi terbagi pada dua macam, yaitu:
1.

Status Gizi Normal


Keadaan

tubuh

yang

mencerminkan

kesimbangan

antara

konsumsi dan penggunaan gizi oleh tubuh (adequate).

2.

Malnutrisi
Keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif
maupun absolut satu atau lebih zat gizi:
a. Under nutrition kekurangan konsumsi pangan secara relatif
atau absolut untuk periode tertentu
b. Specific deficiency kekurangan zat gizi tertentu, misalnya
kekurangan iodium, F, dll
c. Over nutrition kelebihan konsumsi pangan untuk periode
tertentu
d. Imbalance keadaan disproporsi zat gizi, misalnya tinggi
kolesterol karena tidak imbangnya kadar LDL, HDL dan VLD.

2.2 Cara penilaian status gizi


Penilaian status gizi secara langsung menurut Supariasa (2001)
dapat dilakukan dengan cara :
1.

Antropometri
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Sedangkan
antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dan tingkat
umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan

2.

untuk melihat keseimbangan asupan protein dan energi.


Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode untuk menilai status
gizi berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi, seperti kulit,
mata, rambut, dan mukosa oral atau organ yang dekat dengan
permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
5

3.

Biokimia
Penilaian

status

gizi

dengan

biokimia

adalah

pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang


dilakukan pada berbagai macam jaringan. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain darah, urine, tinja dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti hati dan otot.
4.

Biofisik
Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode
penentuan status gizi dengan melibat kemamapuan fungsi dan
melihat perubahan struktur dari jaringan.

Penilaian status gizi secara tidak langsung menurut Supariasa,


IDN (2001) dapat dilakukan dengan cara:
1. Survey Konsumsi Makanan
Survey konsumsi makanan adalah metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan
jenis zat dan gizi yang dikonsumsi. Kesalahan dalam survey
makanan bisa disebabkan oleh perkiraan yang tidak tepat
dalam menentukan jumlah makanan yang dikonsumsi
balita, kecenderungan untuk mengurangi makanan yang
banyak dikonsumsi dan menambah makanan yang sedikit
dikonsumsi (The Flat Slope Syndrome), membesarbesarkan konsumsi makanan yang bernilai sosial tinggi,

keinginan melaporkan konsumsi vitamin dan mineral


tambahan kesalahan dalam mencatat (food record).
Statistik Vital
Yaitu dengan menganalisis data beberapa statistik

2.

kesebatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka


kesakitan dan kematian karena penyebab tertentu dan data
lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil

3.

interaksi antara beberapa faktor fisik, biologis dan


lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat
tergantung dan keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi,
dan lain-lain.
2.3 Macam Penilai Status Gizi
1. Klasifikasi Status Gizi
Tabel II.1
Klasifikasi Status Gizi menurut Depkes RI 2002 :
Indeks
Berat

Status Gizi
Badan

menurut Gizi lebih baik

Umur (BB/ U)

Berat

Badan

- 2 SD sampai + 2 SD

Gizi kurang

< - 2 SD sampai - 3 SD

Gizi buruk

< - 3 SD

Pendek (stunted)
menurut Gemuk

Tinggi Badan (BB/ TB)

> + 2 SD

Gizi baik

Tinggi Badan menurut Normal


Umur (TB/ U)

Ambang Batas

2 SD
< - 2 SD
> + 2 SD

Normal

- 2 SD sampai + 2 SD

Kurus (wasted)

< - 2 SD sampai - 3 SD

Kurus sekali

< - 3 SD

Sumber : Depkes RI, 2002


2. Klasifikasi di atas berdasarkan parameter antropometri dapat dibedakan
atas:
a. Berat Badan / Umur
Status gizi ini diukur sesuai dengan berat badan terhadap umur
dalam bulan yang hasilnya kemudian dikategorikan sesuai dengan
tabel klasifikasi status gizi.
b. Tinggi Badan / Umur
Status gizi ini diukur sesuai dengan tinggi badan terhadap umur
dalam bulan yang hasilnya kemudian dikategorikan sesuai dengan
tabel klasifikasi status gizi.
c. Berat Badan / Tinggi Badan
Status gizi ini diukur sesuai dengan berat badan terhadap tinggi badan
yang hasilnya kemudian dikategorikan sesuai dengan tabel klasifikasi
status gizi.
d. Lingkar Lengan Atas / Umur
Lingkar lengan atas (LILA) hanya dikategorikan menjadi 2 kategori
yaitu gizi kurang dan gizi baik dengan batasan indeks sebesar 1,5
cm/tahun.
e. Parameter Berat Badan / Tinggi Badan banyak digunakan karena
memiliki kelebihan:
1) Tidak memerlukan data umur
2) Dapat membedakan proporsi badan ( gemuk, normal, kurus)
f. Menurut Depkes RI (2005) Parameter berat badan / tinggi badan
berdasarkan kategori Z-Score diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:
1) Gizi Buruk ( Sangat Kurus) : < - 3 SD
2) Gizi Kurang (Kurus) : - 3 SD s/d < - 2SD
3) Gizi Baik (Normal) : - 2 SD s/d + 2SD
4) Gizi Lebih (Gemuk) : > + 2 SD
2.4 Gizi Buruk
Marasmus: bentuk malnutrisi energi protein terutama disebabkan oleh
karena kekurangan kalori berat dalam jangka lama, terutama terjadi selama

tahun pertama kehidupan, yang ditandai dengan retardasi pertumbuhan da


pengurangan lemak bawah kulit dan otot secara progresif, tetapi biasanya
masih ada nafsu makan dan kesadaran mental.
Kwashiorkor: suatu bentuk keadaan malnutrisi energi protein yang
ditimbulkan oleh defisiensu protein yang berat; ini ditandai dengan
hambatan pertumbuhan, perubahan pada pigmen rambut dan kulit, edema,
pembesaran perut, imunodefisiensi, dan perubahan patologik pada hati
termasuk infiltrasi lemak, nekrosis, dan fibrosis.
a.

Etiologi
Marasmus
Intake kalori yang sedikit
Infeksi yang berat dan lama
Kelainan struktur bawaan
Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus
Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan

tambahan yang cukup


Gangguan metabolisme
Tumor hipotalamus
Penyapihan terlalu dini disertai dengan pemberian makanan

yang kurang
Urbanisasi.

Kwashiorkor

b.

Intake protein yang buruk


Infeksi suatu penyakit
Masalah penyapihan

Gejala Klinis

Beberapa tanda- diatas menurut (Gibson, 2005), sebagai


berikut:
Marasmus :
-

Badan nampak sangat kurus


Wajah seperti orang tua
Cengeng dan atau rewel
Kulit tampak keriput, jaringan lemak subkutis
sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat tampak

seperti memakai celana longgar/ baggy pants)


Perut cekung
Iga gambang
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis)
dan diare

Kwashiorkor :
-

Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada

punggung kaki
Wajah membulat (moon face) dan sembab
Pandangan mata sayu
Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut
jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah

rontok
Perubahan status mental, apatis, dan rewel
Pembesaran hati
Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa

pada posisi berdiri atau duduk


Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang
meluas

dan

kehitaman

berubah
dan

warna

terkelupas

menjadi
(crazy

coklat

pavement

dermatosis)

10

Sering disertai penyakit infeksi (akut), anemia dan


diare.

c.

Penatalaksanaan
Tata laksana gizi buruk secara keseluruhan adalah sebagai berikut
(Jatnika, 2011):
1. Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia. Pada hipoglikemia,
anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Jika anak sadar dan
dapat menerima makanan usahakan memberikan makanan
sering/cair 23 jam sekali. Jika anak tidak dapat makan (tetapi
masih dapat minum) berikan air gula dengan sendok.
2. Pengobatan dan pencegahan hipotermia. Hipotermia ditandai
dengan suhu tubuh yang rendah < 36 Celcius. Pada keadaan
ini anak harus dihangatkan dgn cara ibu atau orang dewasa lain
mendekap anak di dadanya lalu ditutupi selimut atau dengan
membungkus anak dengan selimut tebal dan meletakkan lampu
di dekatnya. Selama masa penghangatan dilakukan pengukuran
suhu anak pada dubur setiap 30 menit sekali. Jika suhu anak
sudah

normal

dan

stabil

tetap

dibungkus

dengan

selimut/pakaian rangkap agar tidak jatuh kembali pada keadaan


hipotermia.
3. Pengobatan dan pencegahan kekurangan cairan. Tanda klinis
yang sering dijumpai pada anak KEP berat dengan dehidrasi
adalah ada riwayat diare sebelumnya, anak sangat kehausan,
mata cekung, nadi lemah, tangan dan kaki teraba dingin, anak

11

tidak

buang

air

kecil

dalam

waktu

cukup

lama.

Tindakan yang dapat dilakukan:


- Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan
setiap 1/2jam sekali tanpa berhenti. Jika anak masih
dapat minum, lakukan tindakan rehidrasi oral dengan
memberi minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap 30
menit dengan sendok. Cairan rehidrasi oral khusus KEP
disebut ReSoMal.
- Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat
dapat menggunakan oralit yang diencerkan 2x. Jika anak
tidak dapat minum, lakukan rehidrasi intravena (infus)
RL/Glukosa 5% dan NaCl dgn perbandingan 1:1.
4. Lakukan pemulihan gangguan keseimbangan elektrolit
Pada

semua

KEP

Berat/gizi

buruk

terjadi

gangguan

keseimbangan elektrolit diantaranya :


a. Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma
rendah.
b. Defisiensi

Kalium

(K)

dan

Magnesium

(Mg).

Ketidakmampuan elektrolit ini memicu terjadinya edema


dan untuk pemulihan keseimbangan elektrolit diperlukan
waktu minimal 2 minggu. Berikan makanan tanpa diberi
garam/rendah garam, untuk rehidrasi, berikan cairan oralit 1
liter yang diencerkan 2x (dengan pe+an 1 liter air) ditambah
4 gr kecil dan 50 gr gula atau bila balita KEP bisa makan
berikan bahan makanan yang banyak mengandung mineral
bentuk makanan lumat
12

5. Lakukan pengobatan dan pencegahan infeksi. Pada KEP berat


tanda yang umumnya menunjukkan adanya infeksi seperti
demam seringkali tidak tampak. Pada semua KEP berat secara
rutin diberikan antibiotik spektrum luar.
6. Pemberian makanan, balita KEP berat. Pemberian diet KEP
berat dibagi 3 fase:
a. Fase Stabilisasi (12 hari)
Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan yang sangat
hati-hati, karena keadaan faali anak yang sangat lemah dan
kapasitas homeostatik berkurang, Pemberian makanan
harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk
memenuhi metabolisme basal saja, Formula khusus seperti
formula WHO 75/modifikasi/modisko yang dilanjutkan
dan jadual pemberian makanan harus disusun agar dapat
mencapai prinsip tersebut dengan persyaratan diet sbb:
porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa, energi
100 kkal/kg/hari, protein 11,5 gr/kgbb/hari, cairan 130
ml/kg BB/hari (jika ada edema berat 100 ml/kg
bb/hari),bila anak mendapat ASI teruskan, dianjurkan
memberi formula WHO 75/pengganti/modisco dengan
gelas, bila anak terlalu lemah berikan dengan sendok/pipet,
Pemberian formula WHO 75/pengganti/modisco atau
pengganti dan jadual pemberian makanan harus sesuai
dengan kebutuhan anak.
13

Perhatikan

masa

tumbuh

kejar

balita

Fase ini meliputi 2 fase: transisi dan rehabilitasi :


b. Fase Transisi (minggu II)
- Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara
perlahan untuk menghindari resiko gagal jantung, yang
dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
-

jumlah banyak secara mendadak.


Ganti formula khusus awal (energi 75 kal dan protein
0.9 1.0 gr/100 ml) dengan formula khusus lanjutan
(energi 100 kkal dan protein 2.9 gr/100 ml) dalam
jangka waktu 48 jam . Modifikasi bubur/mknn keluarga
dapat digunakan asal kandungan energi dan protein

sama.
Naikkan dengan 10 ml setiap kali sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30

ml/kg bb/kali pemberian (200 ml/kg bb/hari).


c. Fase Rehabilitasi (Minggu IIIVII)
Formula WHO-F 135/pengganti/modisco 1 dengan
-

jumlah tidak terbatas dan sering.


Energi : 150220 kkal/kg bb/hari.
Protein : 46 gr/kgbb/hari.
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI, ditambah
dengan makanan formula karena energi dan protein ASI

tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar.


- Secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga.
7. Lakukan penanggulangan kekurangan zat gizi mikro
Semua pasien KEP berat mengalami kurang vitamin dan
mineral, walaupun anemia biasa terjadi, jangan tergesa-gesa
memberikan preparat besi (Fe). Tunggu sampai anak mau
14

makan dan BB nya mulai naik (pada minggu II). Pemberian Fe


pada masa stabilisasi dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari :
- Tambahan multivitamin lain.
- Bila BB mulai naik berikan zat besi dalam bentuk tablet
-

besi folat/sirup besi.


Bila anak diduga menderita cacingan berikan pirantel

pamoat dosis tunggal.


Vitamin A oral 1 kali.
Dosis tambahan disesuaikan dgn baku pedoman

pemberian kapsul vitamin A


8. Berikan
stimulasi
dan
dukungan

emosional

Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental


dan perilaku, karenanya diberikan:
- Kasih sayang.
- Ciptakan lingkungan menyenangkan.
- Lakukan terapi bermain terstruktur 15-330 menit/hari.
- Rencanakan aktifitas fisik setelah sembuh.
- Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan,
memandikan, bermain).
9. Persiapan untuk tindak lanjut di rumah bila BB anak sudah
berada di garis warna kuning anak dapat dirawat di rumah dan
dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas/bidan di desa.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang
dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis
15

seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan


kesehatan, dan lainnya. (Suyatno, 2009).
Menurut Supariasa (2002), status gizi terbagi pada dua macam,
yaitu:
1. Status Gizi Normal
Keadaan tubuh yang mencerminkan kesimbangan antara konsumsi
dan penggunaan gizi oleh tubuh (adequate).
2. Malnutrisi
Keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif
maupun absolut satu atau lebih zat gizi
Penilaian status gizi secara langsung menurut Supariasa (2001)
dapat dilakukan dengan cara :

Antropometri
Klinis
Biokimia
Biofisik

Penilaian status gizi secara tidak langsung menurut Supariasa, IDN


(2001) dapat dilakukan dengan cara:

Survey Konsumsi Makanan


Statistik Vital
Faktor Ekologi
Menurut World Health Organization(WHO) 2006, obesitas

didefenisikan

sebagai

kumpulan

lemak

berlebih

yang

dapat

mengganggu kesehatan dengan Body Mass Index(BMI) 30 kg/m2.


Diet dan pengaturan pola makan merupakan proses tata laksana
untuk menangani obesitas pada anak

16

Gizi buruk dibagi menjadi 2 jenis yaitu marasmus dan


kwarsiorkor.
Marasmus: bentuk malnutrisi energi protein terutama disebabkan
oleh karena kekurangan kalori berat dalam jangka lama, terutama
terjadi selama tahun pertama kehidupan, yang ditandai dengan
retardasi pertumbuhan dan pengurangan lemak bawah kulit dan otot
secara progresif, tetapi biasanya masih ada nafsu makan dan
kesadaran mental.
Kwashiorkor: suatu bentuk keadaan malnutrisi energi protein yang
ditimbulkan oleh defisiensu protein yang berat; ini ditandai dengan
hambatan pertumbuhan, perubahan pada pigmen rambut dan kulit,
edema, pembesaran perut, imunodefisiensi, dan perubahan patologik
pada hati termasuk infiltrasi lemak, nekrosis, dan fibrosis.
Perbaikan intake makanan seperti optimalisasi pemberian
protein, vitamin dan karbohidrat yang cukup dapat mengidarkan anak
dari resio terjadinya gizi buruk. Selain itu mengindari kemungkinan
terjadinya gizi buruk juga dapat dilakukan dengan menghindari anak
dari resiko peyakit infeksi lewat pemberian vaksin.

3.2 Saran
1.
Bagi Petugas Kesehatan
Disarankan petugas kesehatan dapat memberikan penyuluhan dan
sosialisai terkait tentang gizi anak kepada masyarakat
2. Bagi Masyarakat

17

Masyarakat dapat menjadikan makalah ini sebagai referensi tentang


penilaian status gizi pada anak.

DAFTAR PUSTAKA
Agung, Ari. 2009. Pengaruh Perbaikan Gizi Kesehatan terhadap Produktivitas
Kerja. Semarang: Universitas Diponegoro.
Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anggraeni, r., & indrarti, a. (2010). Klasifikasi Status Gizi Balita Berdasarkan
Indeks Atropometri (BB/U) Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan. 14.
Aritonang, E. (2004). Kurang Energi Protein (Protein Energy Malnutrition) .
USU digital library , 8.
Atikah, F D. 2007. Efek Intervensi Diit Dan Aktifitas Fisik Terhadap Profil Lipid
Anak Dengan Obesitas. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

18

Budiyati. 2011. Analisis Faktor Penyebab Obesitas Pada Anak Usia Sekolah Di
SD Islam Al-Azhar 14 Kota Semarang. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan
Program Magister Ilmu Keperawatan.
Bluher, S., Kiess W., Marcus C., Wabitsc M., .2004. Type 2 Diabetes Mellitus in
Children and Adolescents: The European Perspectiv. Basel : Karger AG.
Hal 170-180
Devi, M. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi
Balita Di Pedesaan . 184.
Depkes RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi
Masyarakat. 2002. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta : Depkes.
Depkes RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi
Masyarakat. 2004. Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Mewujudkan
Keluarga Cerdas dan Mandiri. Jakarta : Depkes.
Dietz, W.H., Suskind, R.M, Suskind, L.L. 1993. Chilhood Obesity. Dalam
testbook of pediatric nutritin, IInd ed. Ney York : Raven Press. Hal : 279
84.
Dorland. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Vol. 29). Jakarta: EGC Medical
Publisher.
Ebbeling, CB, et all. 2002. Childhood Obesity: Public-Health Crisis, Common
Sense

Cure.

HYPERLINK

"http://stem.convergeus.com/assets/Childhood-ObesityArticle.pdf"

http://stem.convergeus.com/assets/Childhood-Obesity-

Article.pdf . Diakses tanggal 30 November 2014.


Freedman, D.S., Kiess W., Marcus C., Wabitsch M. 2004. Childhood Obesity and
Coronary Heart Disease. Dalam Obesity in Childhood and Adolescence.
Bael : Karger AGG. Hal : 160-9.
Gallaher M.M., Hauck F. R., YangOshida M, Serdula M. K. 2001. Obesity
among Mescalero preschool children: Association with maternal obesity
and birth weight. Am J Dis Child. Hal : 145:1262-5.
Gibson, R.S. 2005. Principles Of Nutrition Assesment. New York. Oxford,
University Press.
19

Hedi Rosmiati, Wardani BP. 1986. Penanggulangan kegemukandengan obatobatan. Kegemukan Masalah dan Pengobatannya. Jakarta; FKUI. Hal. 4552
Heird, W.C. 2002. Parental Feeding Behavior and Childrens Fat Mass. Am J
Clinn Nutr.
Hidayat, T. S., & Jahari, A. B. (2011). Perilaku Pemanfaatan Posyandu
Hubungannya. 2.
Huh, Susanna Y. 2001. Pediatrics Risiko Obesitas dalam Mediaupdate. Edisi
April 2001. Hal : 48.
Jatnika, S. (2011). 10 Langkah Tata Laksana Gizi Buruk . Puskesmas Banjarsari.
Kopelman, G.D. 2000. Obesity as a Medical Problem, NATURE, Hal ; 404:63543.
Lee, YS. 2009. Consequences of Childhood Obesity. Ann Acad Med Singapore
HYPERLINK

2009;38:75-81.

"http://www.annals.edu.sg/pdf/38volno1jan2009/v38n1p75.
pdf"

http://www.annals.edu.sg/pdf/38volno1jan2009/v38n1p75.pdf

Diakses tanggal 30 November 2014.


Lichtenstein AH, Kennedy E, Barrier P. 1998. Dietary Fat Consumption and
Health. Nutrition Reviews. Hal ; 56:23-8.
Maffeis, C., Schutz, Y., Grezzani, A., Provera, S., Plancentini, G., Tato, I. 2001.
Meal-induced thermogenesis and obesity: Is a fat meal a risk factor for fat
gain in children?. J Clin Endocrinol Metab. Hal ; 86(1):214-9.
Neonatus, A. K. (t.thn.). Gangguan Gizi Bayi Marasmus Kwashiorkor. Sehat
Online .
Pingkan, Palilingan. 2010. Apakah Anak Anda Obesitas?. Better health Tahun II/
Edisi

3/

Triwulan/

September

2010

online.

Avaible

at

http://www.ekahospital.com/uploads/bulletins/final/%/20/draf.pdf\.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Soedibyo S, Firmansyah A, Djer MM. 1993. Prevalence and influencing factors
of obesity in elementary school pupils. Pediatric Indonesia. Hal ; 38:193204.
20

Supariasa, IDN, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.


Supariasa. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Suyatno. 2009. Antropometri Sebagai Indikator Status Gizi. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Syarif, D.R. 2002. Obesitas pada anak dan permasalahannya. Dalam Trihono P.P.,
Purnamawati, S., Syarif, D.R., dkk. Hot Topics in Pediatrics II. PKB IKA
XLV FK Universitas Indonesia. RS.DR Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Syarif, D.R. 2002. Obesitas pada anak dan permasalahannya. Dalam Trihono P.P.,
Purnamawati, S., Syarif, D.R., dkk. Hot Topics in Pediatrics II. PKB IKA
XLV FK Universitas Indonesia. RS.DR Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Syarif, D.R. 2003. Childhood Obesity : Evaluation and Management, Dalam
naskah lengkap National Obesity Symposium II, Editor : Adi S., dkk.
Surabaya. Hal ; 123-139.
Vanitallie, T.E. 1998. Predicting obesity in children. Nutrition Reviews.
Hal;56:154-5.
Wallace, S.L., Harris, R. 1982. Gout, Pseudogout and Osteoarthritis. In :
Geriatric Medicine the Treatment of Disease in Elderly. Hal : 121-6
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva:
WHO Technical Report Series.

21

You might also like