You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN
Edema otak merupakan salah satu penyebab peningkatan tekanan intrakranial
yang terjadi karena banyak causa antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, stroke, iskemia serebral, meningitis, dan tentu
saja cidera.
Dalam prinsip penatalaksanaan stroke iskemik, mencegah perburukan neurologis
yang berhubungan dengan stroke harus dilakukan. Perburukan klinis dapat disebabkan
oleh edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Masalah ini umumnya
terjadi pada infark yang luas. Edema otak umumnya mencapai puncaknya pada hari ke 3
sampai 5 setelah onset stroke dan jarang menimbulkan masalah dalam 24 jam pertama.
Komplikasi letal dari stroke adalah edema cerebral yang menyertai stroke
iskemik luas dan stroke hemoragik. Pada unit stroke, di mana komplikasi (emboli paru
dan abnormalitas jantung) dapat dihindari, edema serebri muncul sebagai penyebab
utama dari kematian.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar
darah otak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema.
Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan pada akhirnya
meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak (ADO),
iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PCO2), dan kerusakan SDO
lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema
bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan intervensi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Edema otak merupakan akumulasi cairan secara abnormal di dalam jaringan otak yang
kemudian menyebabkan pembesaran secara volumetrik. Dapat terjadi peningkatan
volume intraseluler (lebih banyak di daerah substansia grisea) maupun ekstraseluler
(daerah substansia alba), yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.

2.2 Etiologi
Edema otak dimanifestasikan dengan adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial,
yaitu:
Traumatic Brain Injury (TBI)
Disebut juga sebagai Trauma Cedera Otak. Penyebab paling umum dari TBI termasuk
jatuh, kecelakaan kendaraan, dipukul dengan obyek atau menabrak obyek, dan serangan.
Cedera awal dapat menyebabkan jaringan otak membengkak. Selain itu, bisa
menyebabkan pembuluh darah pecah di bagian kepala. Respon tubuh terhadap cedera
juga dapat meningkatkan pembengkakan. Terlalu banyak pembengkakan dapat
mencegah cairan meninggalkan otak.
Stroke Iskemik
Stroke iskemik adalah jenis yang paling umum dari stroke dan disebabkan oleh
gumpalan darah atau penyumbatan di otak atau bagian terdekat dari otak. Otak tidak
dapat menerima darah dan oksigen yang dibutuhkan untuk berfungsi. Akibatnya, sel-sel
otak mulai mati. Karena tubuh merespon, pembengkakan terjadi.
Stroke Hemoragik

Hemorrhagic Stroke adalah jenis yang paling umum dari pendarahan otak. Dapat terjadi
ketika pembuluh darah mana saja di otak pecah. Sebagai respon dari tubuh akibat adanya
kebocoran darah, tekanan menjadi meningkat di dalam otak. Tekanan darah tinggi
diperkirakan menjadi penyebab paling sering dari jenis stroke. Perdarahan di otak bisa
karena cedera kepala, obat-obatan tertentu, dan kelainan ini tidak diketahui sejak lahir.
Infeksi
Penyakit yang disebabkan oleh organisme menular seperti virus atau bakteri dapat
menyebabkan pembengkakan otak. Contoh penyakit ini antara lain:
1. Meningitis
Adalah terjadinya infeksi di mana selaput otak menjadi meradang. Hal ini dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, organisme lain, dan beberapa obat.
2. Ensefalitis
Adalah infeksi di mana otak itu sendiri menjadi meradang. Hal ini paling sering
disebabkan oleh sekelompok virus dan menyebar biasanya melalui gigitan serangga.
Kondisi serupa disebut ensefalopati.
3. Toksoplasmosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit. Toksoplasmosis paling sering mempengaruhi janin,
bayi

muda,

dan

orang

dengan

sistem

kekebalan

tubuh

rusak.

4. Empyema Subdural.
Empiema Subdural mengacu pada area otak menjadi bengkak atau penuh dengan nanah,
biasanya setelah penyakit lain seperti meningitis atau infeksi sinus. Infeksi dapat
menyebar dengan cepat, menyebabkan pembengkakan dan memblokir cairan lain
meninggalkan otak.

Tumor.
Perkembangan tumor di otak dapat menyebabkan pembengkakan. Sebagai akibat tumor
berkembang, dapat menekan area lain dari otak. Tumor di beberapa bagian otak dapat
menghalangi cairan cerebrospinal mengalir keluar dari otak. Pembuluh darah baru yang
tumbuh di dekat tumor juga bisa menyebabkan bengkak.

2.3 Klasifikasi dan Patofisiologi


Vasogenic edema
Pada vasogenic edema, terdapat peningkatan volume cairan ekstrasel yang berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas kapiler. Vasogenic edema ini disebabkan oleh faktor
tekanan hidrostatik, terutama meningkatnya tekanan darah dan aliran darah dan oleh
faktor osmotik. Ketika protein dan makromolekul lain memasuki rongga ekstraseluler
otak karena kerusakan sawar darah otak, kadar air dan natrium pada rongga ekstraseluler
juga meningkat.
Vasogenic edema ini lebih terakumulasi pada substansia alba cerebral can cerebellar
karena perbedaan compliance antara substansia alba dan grisea. Edema vasogenic ini
juga sering disebut edema basah karena pada beberapa kasus, potongan permukaan
otak nampak cairan edema.
Tipe edema ini terlihat sebagai respon terhadap trauma, tumor, inflamasi fokal, dan
stadium akhir dari iskemia cerebral.
Edema Sitotoksik
Pada edema sitotoksik, terdapat peningkatan volume cairan intrasel, yang berhubungan
dengan kegagalan dari mekanisme energi yang secara normal tetap mencegah air
memasuki sel, mencakup fungsi yang inadekuat dari pompa natrium dan kalium pada
membran sel glia. Neuron, glia dan sel endotelial pada substansia alba dan grisea
menyerap air dan membengkak. Pembengkakan otak berhubungan dengan edema
sitotoksik yang berarti terdapat volume yang besar dari sel otak yang mati, yang akan
berakibat sangat buruk. Edema sitotoksik ini sering diistilahkan dengan edema kering.

Edema sitotoksik ini terjadi bila otak mengalami kerusakan yang berhubungan dengan
hipoksia, iskemia, abnormalitas metabolik (uremia, ketoasidosis metabolik), intoksikasi
(dimetrofenol, triethyl itin, hexachlorophenol, isoniazid) dan pada sindroma Reye,
hipoksemia berat.
Edema Interstisial
Edema interstisial adalah peningkatan volume cairan ekstrasel yang terjadi pada
substansia alba periventrikuler karena transudasi cairan serebrospinal melalui dinding
ventrikel ketika tekanan intraventrikuler meningkat.
2.4 Gejala Klinis
Pada edema serebri, tekanan intrakranial meningkat, yang menyebabkan meningkatnya
morbiditas dan menurunnya cerebral blood flow (CBF). Peningkatan tekanan intrakranial
menyebabkan tekanan tambahan pada sistem, memaksa aliran yang banyak untuk
kebutuhan jaringan. Edema serebri dapat menyebabkan sakit kepala, penurunan
kesadaran dan muntah, pupil edema. Herniasi dapat menyebabkan kerusakan yang
berhubungan dengan tekanan kepada jaringan yang bersangkutan dan tanda-tanda dari
disfungsi struktur yang tertekan.
Gejala efek massa di antaranya adalah:
1. Herniasi tentorial (lateral)
Akibat meluasnya lesi desak ruang midlateral menimbulkan herniasi
tentorial/uncal pada bagian medial lobus temporal melalui hiatus tentorial karena
proses peningkatan tekanan intrakranial terus berlanjut dengan gejala:
a. Hemianopsia homonim jika a. serebri posterior tertekan
b. Gangguan kesadaran jika formasio retikularis tertekan
c. Hemiparese ipsilateral
d. Ptosis
2. Herniasi tentorial (sentral)
Akibat lesi midline atau edema difus hemisfer serebri sehingga terjadi dorongan
vertikal (tegak lurus) pada midbrain dan diensefalon melalui hiatus tentorial

menimbulkan kerusakan jaringan otak dan iskemik sekunder akibat regangan


mikrovaskuler.
a. Gangguan gerakan bola mata
b. Gangguan kesadaran
c. Diabetes insipidus jika hipofisis dan hipotalamus terdorong ke bawah
3. Subfalcine midline shift
Terjadi awal, karena lesi desak ruang unilateral sering tanpa gejala walaupun
sudah terjadi oklusi a. serebri anterior ipsilateral.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
CT Scan
Pada iskemia fokal serebri, edema dapat terlihat karena pengurangan radiodensitas pada
jaringan pada daerah infark dan karena ada midline shift dan desakan serta distorsi
ventrikular.
2.6 Tatalaksana
1. Posisi Kepala dan Leher. Posisi kepala harus netral dan kompresi vena jugularis harus
dihindari. Fiksasi endotracheal tube (ETT) dilakukan dengan menggunakan perekat
yang kuat dan jika posisi kepala perlu diubah harus dilakukan dengan hati-hati dan
dalam waktu sesingkat mungkin. Untuk mengurangi edema otak dapat dilakukan
elevasi kepala 30.
2. Analgesik, Sedasi, dan Zat Paralitik. Nyeri, kecemasan, dan agitasi meningkatkan
kebutuhan metabolisme otak, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial. Oleh karena
itu, analgesik dan sedasi yang tepat diperlukan untuk pasien edema otak. Pasien yang
menggunakan ventilator atau ETT harus diberi sedasi supaya tidak memperberat TIK.
Obat sedasi yang sering digunakan untuk pasien neurologi diantaranya adalah opiat,
benzodiazepin, dan propofol.
3. Ventilasi dan Oksigenasi. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia harus dihindari karena
merupakan vasodilator serebral poten yang menyebabkan penambahan volume darah
otak sehingga terjadi peningkatan TIK, terutama pada pasien dengan perneabilitas
kapiler yang abnormal. Intubasi dan ventilasi mekanik diindikasikan jika ventilasi atau
oksigenasi pada pasien edema otak buruk.

4. Penatalaksanaan Cairan. Osmolalitas serum yang rendah dapat menyebabkan edema


sitotoksik sehingga harus dihindari. Keadaan ini dapat dicegah dengan pembatasan
ketat pemberian cairan hipotonik.
5. Penatalaksanaan Tekanan Darah. Tekanan darah yang ideal dipengaruhi oleh
penyebab edema otak. Pada pasien stroke dan trauma, tekanan darah harus dipelihara
dengan cara menghindari kenaikan tekanan darah tiba-tiba dan hipertensi yang sangat
tinggi untuk menjaga perfusi tetap adekuat. Tekanan perfusi serebral harus tetap
terjaga di atas 60-70 mmHg pasca trauma otak.
6. Pencegahan Kejang, Demam, dan Hiperglikemi. Kejang, demam, dan hiperglikemi
merupakan faktor-faktor yang dapat memperberat sehingga harus dicegah atau
diterapi dengan baik bila sudah terjadi. Penggunaan antikonvulsan profilaktik
seringkali diterapkan dalam praktek klinis. Suhu tubuh dan kadar glukosa darah
kapiler harus tetap diukur.
7. Terapi Osmotik
Terapi osmotik menggunakan manitol dan salin hipertonik.
Manitol
Manitol dilaporkan bisa menurunkan edema serebri, ukuran infark dan defisit
neurologi pada beberapa contoh experimental dari stroke iskemik, walaupun
pertama kali diberikan dalam waktu 6 jam setelah onset stroke.
Edema serebri pada manusia diterapi dengan manitol yang diketahui bisa
menurunkan tekanan intrakranial beberapa penyakit dan diketahui bisa menurunkan
case falality pada edema serebri berhubungan dengan gagal hepatik. Pada penelitian
stroke arteri teritori serebri media, modalitas terapi osmotic pada awalnya efektif
tetapi kontrol tekanan intrakranial tetap dilakukan pada sejumlah kecil pasien.
Komplikasi paling biasa dari terapi manitol ialah ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, edema kardiopulmonal dan rebound edema serebri. Manitol juga bisa
menyebabkan gagal ginjal pada dosis terapetik dan reaksi hipersensitivitas bisa
terjadi. Walaupun ada beberapa laporan yang tidak dapat membuktikan efek yang
menguntungkan dari manitol pada stroke iskemik/hemoragik. American Heart
Assosiation merekomendasikan penggunaan manitol secara luas digunakan pada
stroke akut di seluruh dunia. Hampir 70% dari dokter di Cina menggunakan manitol

atau gliserol secara rutin pada stroke akut dan manitol digunakan secara rutin pada
stroke akut pada beberapa negara Eropa.
Teknik Pemberian
Diuretik osmotik (Manitol 20%)
Dosis : 0,5 -1 gr/kg BB diberikan dalam 30 detik
Untuk mencegah rebound diberikan ulangan manitol setelah 6 jam dengan dosis
0,25-0,5 gr/kg BB dalam waktu 30 detik.
Bukti-bukti telah diperoleh bahwa terapi glycerol baik per oral (1,5 g/Kg/BB sehari),
maupun per infus sebagai larutan glycerol dalam larutan garam fisiologik (500 cc
sehari dalam 5-6 jam) memperbaiki CBF dan juga metabolisme serebral di kawasan
yang iskhemik. Keuntungan yang didapatkan disertai perbaikan dan lonjakan
pemakaian O2 sehingga meniadakan produksi asam laktat yang cepat
mengakibatkan timbulnya edema serebri regional. Juga restorasi fosfat anorganik
telah terbukti dipercepat oleh glycerol, sehingga terjadi sintesis fosfolipid di dalam
kawasan iskhemia serebri. Pada penderita diabetes yang mengidap stroke, glycerol
memberikan keuntungan lebih besar, oleh karena glycerol merupakan sumber
karbohidrat yang menimbulkan hiperglikemia/glukosuria. Bagi penderita stroke
yang hipertensif dan mempunyai gangguan ginjal, glycerol bertindak sebagai
diuretikum. Manfaat glycerol tersebut di atas tidak atau jarang disertai efek samping
yang berbahaya. Cara penggunaannya adalah sebagai berikut :
Penggunaan per oral :
Dosis : 1,5 gram/kgBB sehari diberi dalam 3 atau 4 angsuran
Cara pemberian : 25-30 cc glyserol dilarutkan dalam 200 cc air dan diminum
sekaligus atau dicicil asal habis dalam sampai 1 jam, tiga kali sehari, selama 10
hingga 15 menit.
Penggunaan per infus:
Dosis : 500 cc 10% glyserol sehari.
Cara pemberian : Infus tetes, 30 tetes per menit sehingga habis dalam 5-6 jam.
Diberikan 500 cc setiap hari, selama 5 hari berturut-turut, kemudian pemberian infus
dihentikan selama 2 hari dan selanjutnya dapat diteruskan selama 5 hari lagi secara
berturut-turut.

Dengan pemberian glyserol per os tidak dijumpai efek samping. Pemberian per
infus, adakalanya menimbulkan hemoglobinuria. Cara mengatasinya ialah sebagai
berikut: encerkan glyserol 10% itu dengan larutan garam fisiologik melalui
penampung yang menerima tetesan baik dari botol glyserol 10% maupun dari botol
larutan garam fisiologik tambahan. Perbaikan fungsi serebral dapat disaksikan
setelah pemberian infus glycerol pertama. Jika setelah pemberian infus kelima sudah
diperoleh perbaikan yang sempurna, maka orangsakit tidak diberikan infus lagi.
Dalam hal ini orangsakit dapat dipulangkan setelah 5-7 hari rawatan rumah sakit.
Jika perbaikan lebih lanjut masih diharapkan, maka infus glycerol diteruskan sampai
orangsakit menerima 10 kali. Menurut pengalaman pemberian infus lebih dari 10
kali tidak efektif, oleh karena kalau dengan 10 kali infus glycerol tidak lagi didapati
kemajuan, pemberian-pemberian berikutnya hanya berarti penghamburan uang.
Salin Hipertonik
Cairan salin hipertonik (NaC1 3%) juga dapat digunakan sebagai alternatif
pengganti manitol dalam terapi edema otak. Mekanisme kerjanya kurang lebih sama
dengan manitol.
8. Steroid
Steroid dapat dicoba, steroid diharapkan dapat mengurangi edema vasogenik, steroid
dapat meredakan edema serebri yang mengelilingi infark atau daerah dimana sel
membran tidak sepenuhnya rusak, termasuk akibat manipulasi pembedahan. Efikasi
steroid meragukan; peningkatan resiko perdarahan, infeksi dan eksaserbasi diabetes
dilaporkan ketika steroid digunakan pada pasien stroke. Pada kasus-kasus tertentu
seperti anak muda, ada edema yang sangat impressive melaporkan zona infarknya
masih kecil. Pada kasus-kasus jarang seperti ini, steroid dapat menolong. Namun,
steroid tidak berguna untuk mengatasi edema sitotoksik.
Dosis steroid yang diberikan adalah 8-10 mg IV, diikuti 4 mg/6 jam im untuk 10 hari.
Tappering off (penyusutan bertahap dosis sampai berhenti sama sekali) dilakukan
sekitar 7 hari.
Deksametason paling disukai karena aktivitas mineralokortikoidnya yang sangat
rendah. Dosis awal adalah 10 mg IV atau per oral, dilanjutkan dengan 4 mg setiap 6
jam. Dosis ini ekuivalen dengan 20 kali lipat produksi kortisol normal yang fisiologis.
Responsnya seringkali muncul dengan cepat namun pada beberapa jenis tumor
hasilnya kurang responsif. Dosis yang lebih tinggi, hingga 90 mg/hari, dapat diberikan
pada kasus yang refrakter. Setelah penggunaan selama berapa hari, dosis steroid harus
diturunkan secara bertahap (tappering off) untuk menghindari komplikasi serius yang
mungkin timbul, yaitu edema rekuren dan supresi kelenjar adrenal.
Deksametason kini direkomendasikan untuk anak > 2 bulan penderita meningitis
bakterialis. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari

pertama pengobatan disertai dengan terapi antibiotik. Dosis pertama harus diberikan
sebelum atau bersamaan dengan terapi antibiotik.
Kortikosteroid diberikan pada kasus selektif, terutama pada kasus cedera kranio
serebral-berat. Pemberian kartikosteroid untuk cedera kranioserebral ini masih
kontroversial. Ada yang mengatakan tidak ada gunanya dan ada yang mengatakan
boleh saja diberikan tetapi efek yang jelas memang terlihat dan berguna bila diberikan
untuk cedera spinal.
Dari penelitian pada binatang percobaan (kucing) didapatkan adanya pengurangan
edema otak dengan pemberian dexametason sedang pada tikus didapatkan hasil
perbaikan motorik dengan pemberian metil prednisolon.
Pemberian deksametason dengan rangkaian jangka pendek (5 hari) atau panjang (8
hari) sebagai berikut :
Hari ke

1 : bolus 10 mg IV, dilanjutkan 5 mg/3 jam IV


2 : 5 mg/4 jam IV
3 : 5 mg/6 jam IV
4 : 5 mg/8 jam IV/im
5 : 5 mg/12 jam im
6 : 5 mg/12 jam im
7 : 5 mg/24 jam im

Dosis metilpredmisolon : 3 x 250 mg IV selama 5 hari.


9. Hiperventilasi
Sasaran pCO, yang diharapkan adalah 30-35 mmHg agar menimbulkan
vasokonstriksi serebral sehingga menurunkan volume darah serebral.
10.Barbiturat
Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial secara efektif pada pasien
cedera kepala berat dengan hemodinamik yang stabil. Terapi ini biasanya
digunakan pada kasus yang refrakter terhadap pengobatan lain maupun
penanganan TIK dengan pembedahan.
11.Furosemid
Terkadang dikombinasikan dengan manitol. Terapi kombinasi ini telah terbukti
berhasil pada beberapa penelitian. Furosemid dapat meningkatkan efek
manitol, namun harus diberikan dalam dosis tinggi, sehingga risiko terjadinya
kontraksi volume melampaui manfaat yang diharapkan. Peranan asetazolamid,

10

penghambat karbonikanhidrase yang mengurangi produksi CSS, terbatas pada


pasien high-altitude illness dan hipertensi intrakranial benigna.
Induksi hipotermi telah digunakan sebagai intervensi neuroproteksi pada
pasien. dengan lesi serebral akut. Dosis : 40 mg/hari.

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Price AS. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC. 2006
2. Panitia Lulusan Dokter 2002-2003 FKUI, Update In Neuroemergencies, Balai
Penerbit FKUI Jakarta, 2002. 24-26.
3. Caplan, Louis R. Stroke. A Clinical Approach, 2nd Edition. British Library
Cataloguing-in- Publication Data. 1993. 179-180.
4. Harsono. Buku Anjar Neurologi Klinis, Yogyakarta; UGM Press, 2005
5. Campbel, WW. The Neurologic Examination. Lippincott Willems and Wilkens 530
Walnut Street, Philadelphia, 2005. 600-6001.
6. Millikan HC, dkk. Stroke. Lea and Febiger, Philadelphia. 1987; 35-37.
7. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2003.
8. Sidharta, P. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat 2004.
9. Puri, Patna, Bihar. 2003. Cerebral Oedema and its Management. MJAFI : 59 (4).
10. Raslan, Ahmed. Bhardwaj, Anish. 2007. Medical Management of Cerebral Oedema.
Neurosurg Focus 22 (5) : E12.

12

You might also like