Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN PENDAHULUAN
ACUTE TRANSVERE MYELITIS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners
Departemen Medikal di Ruang 27 RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang
OLEH:
Anggara Novananta Putra
NIM. 150070300113010
1.1.
mengenai suatu area di medulla spinalis. Penyakit ini secara klinis mempunyai
karakteristik tanda dan gejala disfungsi neurologis pada sistem motorik, sensorik,
otonom, dan traktus saraf di medulla spinalis yang berkembang secara akut atau
subakut. Gejala dapat berkembang secara cepat dalam beberapa menit sampai
beberapa jam pada beberapa pasien, atau dapat berkembang dalam beberapa
hari sampai minggu. Ketika level maksimal dari deficit neurologis telah tercapai,
sekitar 50% pasien kehilangan pergerakan pada kedua tungkai, disfungsi
kandung kemih, dan 80-94% pasien mengalami kebas-kebas, parestesia atau
band-like disestesia. Gejala otonom terdiri dari inkontinensia urin, inkontinensia
alvi, kesulitan untuk miksi, dan konstipasi1.
MT merupakan penyakit yang jarang dengan insidensi 1-4 kasus baru per
1 juta penduduk per tahun. MT dapat mengenai individu pada semua umur
(6 bulan-88 tahun) dengan insidensi tertinggi antara umur 10-19 tahun dan 30-39
tahun. Tidak ada faktor jenis kelamin atau keluarga sebagai faktor predisposisi
MT1.
Sekitar 1/3 pasien MT sembuh dengan sedikit sampai tidak ada sekuele
setelah serangan pertama, 1/3 pasien sembuh dengan disabilitas permanen
derajat sedang, dan 1/3 lainnya tidak mengalami penyembuhan dan mengalami
disabilitas berat1.
Beberapa tampilan klinis seperti progresi cepat dari gejala klinis, adanya
nyeri punggung bawah, dan adanya syok spinal menjadi indikator prognosis yang
buruk untuk kesembuhan. Hilangnya konduksi sentral pada evoked potential
testing dan terdapatnya protein 14-3-3 di dalam CCS selama fase akut juga
diprediksikan memiliki prognosis yang buruk1.
2.1. Definisi
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang
mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya
perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis
pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis 2.
Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus,
traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior3.
pasien
dilaporkan
mempunyai
vaskulitis
spinal
fokal
yang
2.4. Patogenesis
Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang
berat dengan demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear, terutama limfosit
T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi
sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior
horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses
autoimun yang berkembang menjadi MT5.
MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik myelitis transversalis, terdapat adanya
keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata
parainfeksi telah digunakan untuk injuri neurologis yang diakibatkan oleh infeksi
mikroba langsung dan injuri yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba
langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang
asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf.
Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan myelitis, dan mungkin menjadi
penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya,
seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla
spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai
akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari system imun yang berada
pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang
terbatas pada suatu focus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien
MT5.
Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem
saraf sengat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi Campilobakter
jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya
GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside
moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas
gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C.
jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan
gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan
keterlibatan medula spinalis pada sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan
suhu2.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency,
inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang
tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat
keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih
dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam
10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis
bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari2.
2.6. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat
pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak
ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan
dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga
memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi6.
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis
Inclusion criteria
1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the
spinal cord
2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)
3) Clearly-defined sensory level
4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or
myelography; CT of spine not adequate)
5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or
elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory
kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2
and 7 days after symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms
(if patient awakens with symptoms, symptoms must become more
pronounced from point of awakening)
Exclusion criteria
1)
2)
3)
Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM
4)
5)
Diagnosis Banding
Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis
Inflamasi
Kompresi
Non-Inflamasi
Penyakit Demielinisasi
Osteofit
sklerosis multiple
Diskus
optik neuromyelitis
Metastasis
ensefalomyelitis diseminata
trauma
akut
Tumor
Infeksi
varicella, CMV
Tuberculosis
Mikoplasma
Penyakit inflamasi
Sindrom Paraneolastik
Neurosarkoidosis
(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of
Acute Transverse Myelitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 20
November 2011])
2.8. Pemeriksaan Penunjang
MRI
Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan apakah ada
penyebab structural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau
spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus
dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi6.
CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan
struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternative selanjutnya, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis6.
Punksi Lumbal
Jika
tidak
terdapat
penyebab
structural,
punksi
lumbal
merupakan
10
Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit
inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,
sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,
pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro),
SS-B (La), antibody antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan
level komplemen6.
Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis
Kemungkinan Penyebab
Infeksi
Pemeriksaan Penunjang
Serologi darah; kultur, serologi, dan
PCR
CSF;
Foto
Thorax
dan
Sistemik
atau
Penyakit
Inflamasi
indikasi
Pemeriksaan
Fisik;
pemeriksaan
serologi;
Thorax
dan
Foto
Sendi;
indikasi
Foto Thorax, CT scan, PET; antibody
sebelumnya;
adanya
infeksi;
dan
konfirmasi
eksklusi
penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New
England Journal of Medicine 2010;363:564-72)
11
12
selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada
kasus pasien myelitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Efek yang
tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia,
nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan
elektrolit4.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon
dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,
trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter,
dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini4.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi
sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan
fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan
siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demielinisasi, imunomodulator
long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko
serangan berulang4.
Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla
spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan
regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan
penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang
lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas
respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa
pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah
memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian
feeding tube diperlukan atau tidak4.
Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian
heparin
low-moleculer
weigth
sebagai
profilaksis
untuk
yang
sering
ketika
duduk
atau
saat
tidur
dapat
membantu
13
studi tentang efek agen ini pada pasien myelitis transversalis belum diteliti secara
khusus4.
Abnormalitas Tonus
Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock),
tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan
(spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik).
Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive,
memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled
trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi
untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis4.
Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah
serangan myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf (nyeri
neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis),
spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon
baik
dengan
agen
antikonvulsan,
obat-obatan
anti-depressan
(tricyclic
yang
terbatas,
obat-obatan,
nyeri,
dan
faktor
lainnya
14
sfingter,
tetapi
beberapa
pasien
memerlukan
kateterisasi
kasus
inkontinensia
yang
biasanya
disebabkan
gangguan
Terapi
15
Rujukan
1) The new England Journal of
Medicine (NEJM) 2010 . (5)
Imunoterapi awal
Hasil terapi pemberian imunoterapi
selama fase akut myelitis adalah
menghambat progresif dan permulaan
resolusi lesi inflamasi sumsum tulang dan
mempercepat pemulihan klinis.
Kortikosteroid merupakan pengobatan
standard lini pertama. Sekitar 50-70 %
mengalami pemulihan sebagian atau
lengkap.
Plasma exchange
Terapi plasma pengganti mungkin
menguntungkan bagi pasien yang tidak
berespon pada pemberian kortikosteroid.
Hati-hati terhadap pemberian plasma
exchange karena dapat menyebakan
hipotensi, koagulopati, trombositopenia,
elektrolit tidak seimbang.
Penanganan gejala dan komplikasi ATM
Bantuan pernapasan dan orofaringeal
Myelitis dapat menyebabkan kegagalan
pernafasan dengan melibatkan sumsum
tulang belakang bagian atas dan batang
otak stem, sehingga penilaian ulang
secara regular fungsi pernapasan dan
oropharyngeal diperlukan selama proses
perubahan myelitis. Intubasi untuk
ventilasi mekanik diperlukan untuk
beberapa pasien.
Kelemahan motorik dan Komplikasi
Imobilisasi
Pemberian heparin berat molekul rendah
untuk profilaksis terhadap trombosis vena
disarankan untuk semua pasien dengan
immoblitas. Kolaborasi dengan tim
kedokteran fisik harus dipertimbangkan
sehingga multidisiplin neurorehabilitasi
dapat dimulai sejak dini.
Kelainan tonus otot
Myelitis yang parah dapat berhubungan
dengan hipotonia pada fase akut (selama
syok spinal ), tapi ini biasanya diikuti oleh
munculnya peningkatan resistensi
terhadap gerakan (tonik spastisitas),
bersama dengan kejang otot tak sadar
(spastik phasic). Data dari percobaan
terkontrol mendukung manfaat baclofen,
Tizanidine, dan benzodiazepin untuk
pengobatan pasien dengan spastik yang
16
2.10. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien
menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan
mungkin terjadi cepat selama 36 minggu setelah onset dan dapat berlanjut
walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada
penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi2.
2.11. Komplikasi
Sequelae
dari
mielitis
transversa
adalah
variabel,
bahkan
setelah
17
bukanlah episode pertama demielinisasi); (3) CSF IgG atau IgM band oligoclonal;
(4) yang abnormal visual atau sensorik potensi membangkitkan (kurang
bermanfaat daripada MRI); (5) HLA-DR2 Status positif (Bashir dan Whitaker
2000); dan (6) riwayat keluarga multiple sclerosis.
Sebuah lesi hemicord atau lesi disebarluaskan memodifikasi prognosis.
Dalam mielitis parsial akut, kabel lesi unilateral tidak lengkap atau tambal sulam.
Tampaknya menjadi sebuah entitas yang terpisah dari mielitis transversa akut
lengkap. Dalam sedikit lebih dari 3 tahun, 12 dari 15 (80%) pasien dengan
myelitis parsial akut dikembangkan multiple sclerosis (Ford et al 1992). Dalam
sebuah studi yang sebanding sindrom kabel parsial akut, 14 dari 38 pasien
mengembangkan multiple sclerosis dalam waktu 18 bulan (Miller et al 1989); 13
ini telah disebarluaskan lesi MRI pada awal mielitis. Empat belas dari 25 memiliki
band oligoclonal positif di awal; 10 ini dikembangkan multiple sclerosis, tetapi
hanya 1 dari 11 tanpa band oligoclonal berkembang ke multiple sclerosis. Pada
52 pasien dengan mielitis transversa parsial akut, 30 dikembangkan multiple
sclerosis lebih dari 3 tahun (Cordonnier et al 2003). Prediktor multiple sclerosis di
mielitis transversa parsial akut adalah sebagai berikut: Afro-Amerika keturunan
kulit hitam, gejala sensorik awal, lesi-lateral posterior, lesi Gd-positif kabel, MRI
otak yang abnormal, dan CSF positif band oligoclonal.
Dengan MRI normal, akut mielitis transversa parsial jarang menyebabkan
multiple sclerosis, meskipun fakta bahwa jenis lesi (1 segmen panjang, acentric)
khas di multiple sclerosis. Pada seri terbesar, hanya 3 atau 4 dari 30 pasien (10%
sampai 13%) mengembangkan multiple sclerosis lebih dari 5 tahun (Scott et al
2005); 8 dari 13 diuji memiliki band oligoclonal, tetapi hanya 1 ini dikembangkan
multiple sclerosis. Ketika MRI otak tidak normal, namun, kesempatan
mengembangkan multiple sclerosis adalah 80% sampai 90%. Di lain, seri yang
lebih kecil pada tahun 1995 dan satu pada tahun 1997, 8 dari 24 pasien memiliki
band yang positif, dan 4 dikembangkan multiple sclerosis lebih dari 2 tahun
(Scott et al 2005).
Dalam didirikan multiple sclerosis, ketika mielitis transversa akut muncul, hal
ini terkait dengan onset kemudian dan neuritis optik, tetapi dengan batang otak
lebih sedikit, otak, atau gejala cerebellar dan lesi yang lebih sedikit pada MRI
(Fukazawa et al 1990). (Catatan: Ini adalah pasien Jepang A sindrom Devicseperti lebih umum dalam bahasa Jepang dari pada pasien Eropa..) Dalam seri
18
19
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
1)
20
c)
1)
Intervensi :
Kaji tipe atau luka nyeri. Perhatikan intensitas pada skala 0-10.
Perhatikan respon terhadap obat.
Rasional : Menguatkan indikasi ketidaknyamanan, terjadinya komplikasi
dan evaluasi keefektivan intervensi.
2) motivasi penggunaan teknik menejemen stres, contoh napas dalam dan
visualisasi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan
dapat meningkatkan kemampuan koping, menghilangkan nyeri.
3) Kolaborasi pemberian obat analgesik
Rasional : mungkin dibutuhkan untuk penghilangan
nyeri/ketidaknyamanan.
2.
3.
21
c. Intervensi :
1) Dorong ekspresi ketakutan/marah
Rasional : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
2) Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah
Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien
melalui penilaian awal juga selama pemulihan
3) Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan
Rasional : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan
membantu klien/orang terdekat menerima situasi lebih efektif.
4) Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan
imajinasi, visualisasi.
Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan
relaksasi, dan meningkatkan penigkatan kemampuan koping.
4. kerusakan mobilitas fisik y.b.dkelumpuhan
a) Tujuan
selama perawatan gangguan mobilisasi bisa di minimalisasi sampai cedera
diatasi dengan pembedahan.
b) Kriteria hasil
tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas
kembali secara bertahap.
c) Intervensi:
1. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.
Rasional memberikan rasa aman
3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.
Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari.
Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan
integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.
Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan spastisitas.
5.
22
b)
c)
1.
2.
3.
Kriteria hasil
produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi:
Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil
Intervensi
NOC :
Joint Movement :
Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama.gangguan
mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
Klien meningkat
dalam aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat
Bantu untuk
mobilisasi (walker)
NIC :
Exercise therapy :
ambulation
Monitoring vital sign
sebelm/sesudah latihan
dan lihat respon pasien
saat latihan
Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
rencana
ambulasi
sesuai
dengan
kebutuhan
Bantu klien untuk
menggunakan tongkat
saat
berjalan
dan
cegah terhadap cedera
Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang
teknik
ambulasi
Kaji
kemampuan
pasien
dalam
mobilisasi
Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
Dampingi dan Bantu
23
24
Diagnosa Keperawatan
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil
Intervensi
NOC :
Pain Level,
pain control,
comfort level
Setelah
dilakukan
tinfakan
keperawatan
selama . Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil:
Mampu
mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi
nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri
(skala,
intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan
rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda
vital
dalam
rentang normal
Tidak
mengalami
gangguan tidur
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri
secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga
untuk
mencari
dan
menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
nyeri
seperti
suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
Kurangi faktor presipitasi
nyeri
Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi
Ajarkan tentang teknik
non farmakologi: napas
dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri: ...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang
nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri
akan
berkurang
dan
antisipasi
ketidaknyamanan
dari
prosedur
Monitor
vital
sign
sebelum dan sesudah
pemberian
analgesik
pertama kali
25
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil
Intervensi
NOC :
- Tissue Integrity : Skin
and Mucous Membranes
- Status Nutrisi
- Tissue Perfusion:perifer
- Dialiysis
Access
Integrity
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama.
Gangguan
integritas
kulit
tidak
terjadi dengan kriteria
hasil:
Integritas kulit yang
baik
bisa
dipertahankan
Melaporkan
adanya
gangguan sensasi atau
nyeri pada daerah kulit
yang
mengalami
gangguan
Menunjukkan
pemahaman
dalam
proses perbaikan kulit
dan
mencegah
terjadinya
sedera
26
berulang
Scale, Skala Norton)
Mampu
melindungi Inspeksi kulit terutama
kulit
dan
pada tulang-tulang yang
mempertahankan
menonjol dan titik-titik
kelembaban kulit dan
tekanan ketika merubah
perawatan alami
posisi pasien.
Status nutrisi adekuat
Jaga kebersihan alat tenun
Sensasi dan warna Kolaborasi dengan ahli
kulit normal
gizi untuk pemberian
tinggi protein, mineral dan
vitamin
Monitor serum albumin
dan transferin
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Kerr, D, 2001. Current Therapy in Neurologic Disease: Transverse Myelitis. 6 th
ed. [Diakses 20 November 2011]
2. Tapiheru LA, Sinurat PPO, Rintawan K. 2007. Laporan Kasus: Myelitis
Transversalis. Majalah Kedokteran Nusantara 2007;40;e235 [Diakses 20
November 2011]
3. Al Deeb SM, Yaqub BA, Bruyn GW, Biary NM. 1997. Acute Transverse
Myelitis: A Localized Form of Postinfectious Encephalomyelitis. Brain 1997;
120; 1115-1122 [Diakses 20 November 2011]
4. Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New England
Journal of Medicine 2010;363:564-72. [Diakses 20 November 2011]
5. Kerr DA, Ayetey H. 2002. Immunopathogenesis of Acute Transverse Myelitis.
Current Opinion in Neurology 2002, 15:339347 [Diakses 20 November 2011]
6. Transverse Myelitis Consortium Working Group. 2002. Proposed Diagnostik
Kriteria and Nosology of Acute Transverse Myelitis. Neurology 2002; 59; 499505. [Diakses 20 November 2011]
7. Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute
Transverse Myelitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 20
November 2011]
8. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013.
Available
from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_area
s/transverse_myelitis/about-tm/diagnosis.html
9. Johnson
et
all.
2001.
Transverse
Myelitis.Available
from
http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-withfigures?secret_password=&autodown=pdf
10. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2
. Jakarta.
11. Victor and Adam. 2005. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th
Edition. McGraw-Hill.
28