You are on page 1of 28

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN
ACUTE TRANSVERE MYELITIS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners
Departemen Medikal di Ruang 27 RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang

OLEH:
Anggara Novananta Putra
NIM. 150070300113010

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016

1.1.

ACUTE MIELITIS TRANSVERSALIS


Mielitis transversalis (MT) merupakan proses inflamasi akut yang

mengenai suatu area di medulla spinalis. Penyakit ini secara klinis mempunyai
karakteristik tanda dan gejala disfungsi neurologis pada sistem motorik, sensorik,
otonom, dan traktus saraf di medulla spinalis yang berkembang secara akut atau
subakut. Gejala dapat berkembang secara cepat dalam beberapa menit sampai
beberapa jam pada beberapa pasien, atau dapat berkembang dalam beberapa
hari sampai minggu. Ketika level maksimal dari deficit neurologis telah tercapai,
sekitar 50% pasien kehilangan pergerakan pada kedua tungkai, disfungsi
kandung kemih, dan 80-94% pasien mengalami kebas-kebas, parestesia atau
band-like disestesia. Gejala otonom terdiri dari inkontinensia urin, inkontinensia
alvi, kesulitan untuk miksi, dan konstipasi1.
MT merupakan penyakit yang jarang dengan insidensi 1-4 kasus baru per
1 juta penduduk per tahun. MT dapat mengenai individu pada semua umur
(6 bulan-88 tahun) dengan insidensi tertinggi antara umur 10-19 tahun dan 30-39
tahun. Tidak ada faktor jenis kelamin atau keluarga sebagai faktor predisposisi
MT1.
Sekitar 1/3 pasien MT sembuh dengan sedikit sampai tidak ada sekuele
setelah serangan pertama, 1/3 pasien sembuh dengan disabilitas permanen
derajat sedang, dan 1/3 lainnya tidak mengalami penyembuhan dan mengalami
disabilitas berat1.
Beberapa tampilan klinis seperti progresi cepat dari gejala klinis, adanya
nyeri punggung bawah, dan adanya syok spinal menjadi indikator prognosis yang
buruk untuk kesembuhan. Hilangnya konduksi sentral pada evoked potential
testing dan terdapatnya protein 14-3-3 di dalam CCS selama fase akut juga
diprediksikan memiliki prognosis yang buruk1.
2.1. Definisi
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang
mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya
perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis
pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis 2.
Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus,
traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior3.

Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris


mengenalkan terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap
suatu kasus komplikasi mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse
menggambarkan secara klinis adanya band-like area horizontal perubahan
sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif
karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis.
Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan
potensial menimbulkan kerusakan2.
2.2. Epidemiologi
Mielitis transversalis adalah suatu sindrom yang jarang dengan insiden
antara satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk pertahun 2.
Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada umur berapapun, kasus terbanyak
terjadi pada umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Insidensi meningkat sebanyak
24,6 juta kasus per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses demielinisasi
yang didapat, khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari
myelitis transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat
penyakit dalam keluarga4.
2.3. Etiologi
Etiologi MT merupakan gabungan dari beberapa faktor. Namun, pada
beberapa kasus, sindroma klinis MT merupakan hasil dari rusaknya jaringan
saraf yang disebabkan oleh agen infeksius atau oleh sistem imun, ataupun
keduanya. Pada beberapa kasus lainnya, MT disebabkan oleh infeksi mikroba
langsung pada SSP. 30-60% pasien MT dilaporkan menderita infeksi dalam 3-8
minggu sebelumnya dan bukti serologis infeksi akut oleh rubella, campak, infeksi
mononucleosis, influenza, enterovirus, mikoplasma atau hepatitis A, B, dan C.
Patogen lainnya yaitu virus herpes (CMV, VZV, HSV1, HSV2, HHV6, EBV),
HTLV-1, HIV-1 yang langsung menginfeksi medulla spinalis dan menimbulkan
gejala klinis MT. Borrelia burgdorferi (Lyme neuroborreliosis) dan Treponema
pallidum (sifilis) juga dikaitkan dengan infeksi langsung SSP dan MT1.
MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES.
Beberapa

pasien

dilaporkan

mempunyai

vaskulitis

spinal

fokal

yang

berhubungan dengan gejala LES yang aktif .

2.4. Patogenesis
Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang
berat dengan demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear, terutama limfosit
T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi
sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior
horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses
autoimun yang berkembang menjadi MT5.
MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik myelitis transversalis, terdapat adanya
keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata
parainfeksi telah digunakan untuk injuri neurologis yang diakibatkan oleh infeksi
mikroba langsung dan injuri yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba
langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang
asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf.
Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan myelitis, dan mungkin menjadi
penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya,
seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla
spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai
akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari system imun yang berada
pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang
terbatas pada suatu focus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien
MT5.
Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem
saraf sengat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi Campilobakter
jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya
GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside
moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas
gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C.
jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan
gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan

berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi


saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan
autoantibody sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya5.
Microbial superantigen-mediated inflammation
Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA
yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen
merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi
sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi.
Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen
mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen
konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen
dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya
ssperbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang
bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen
sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang
menyebabkan terbentuknya lubang pada limfosit T selama beberapa saat
setelah aktivasi5.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun
dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan
ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang
menunjukkan adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang
diaktivasi oleh superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan
dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat,
superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus
eksperimen. Pada manusia, pasien dengan ensefalomyelitis diseminata akut dan
mielopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang
menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin5.
Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem
humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan self dan nonsel. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen

lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke


medulla spinalis. Antibody yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun
dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis5.

2.5. Manifestasi Klinis


Mielitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama dengan
penyakit lain. Mielitis transversalis dikatakan akut bila tanda dan gejala
berkembang dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan sub akut
gejala klinis berkembang lebih dari 12 minggu. Simptom myelitis transversalis
berkembang cepat dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Sekitar 45%
pasien mengalami perburukan secara maksimal dalam 24 jam2.
Diagnostik pada penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis
berkembangnya tanda dan gejala dari disfungsi neurologi pada saraf motorik,
sensoris dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis baik akut maupun
subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras ini dan
menyebabkan hadirnya simptom umum dari myelitis transversalis2.
Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif
cepat, dimulai dari kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan
tangan. Kelemahan mungkin yang pertama dicatat dengan adanya tanda
gambaran keterlibatan traktus piramidal yang berlangsung perlahan-lahan pada
minggu kedua setelah OS sakit2.
Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada semua kasus.
Nyeri dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia
merupakan tanda awal yang paling umum myelitis transversalis pada orang
dewasa dan tidak pada anak-anak. Sensasi berkurang di bawah level

keterlibatan medula spinalis pada sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan
suhu2.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency,
inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang
tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat
keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih
dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam
10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis
bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari2.
2.6. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat
pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak
ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan
dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga
memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi6.
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis
Inclusion criteria
1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the
spinal cord
2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)
3) Clearly-defined sensory level
4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or
myelography; CT of spine not adequate)
5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or
elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory
kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2
and 7 days after symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms
(if patient awakens with symptoms, symptoms must become more
pronounced from point of awakening)

Exclusion criteria

1)

History of previous radiation to the spine within the past 10 years

2)

Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the


anterior spinal artery

3)

Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM

4)

Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis,


Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue
disorder, etc.)a

5)

CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma,


other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6,
enteroviruses)a
(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa
(b) History of clinically apparent optic neuritisa

AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous


system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,EpsteinBarr
virus; HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell
leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS,
multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude diseaseassociated acute transverse myelitis.
(Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed
diagnostik kriteria and nosology of acute transverse myelitis. Neurology 2002; 59:
499-5
2.7.

Diagnosis Banding
Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis
Inflamasi

Kompresi

Non-Inflamasi
Penyakit Demielinisasi

Osteofit

sklerosis multiple

Diskus

optik neuromyelitis

Metastasis

ensefalomyelitis diseminata

trauma

akut

myelitis transversalis akut


idiopatik

Tumor

Infeksi

Virus: coxsackie, mumps,

varicella, CMV

Tuberculosis

Mikoplasma
Penyakit inflamasi

Sindrom Paraneolastik

Lupus eritematosus sistemik

Neurosarkoidosis
(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of
Acute Transverse Myelitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 20
November 2011])
2.8. Pemeriksaan Penunjang

MRI
Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan apakah ada
penyebab structural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau
spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus
dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi6.

CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan
struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternative selanjutnya, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis6.

Punksi Lumbal
Jika

tidak

terdapat

penyebab

structural,

punksi

lumbal

merupakan

pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan myelopati inflamasi


ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan
glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa6.

Kultur CSF, PCR, titer antibodi


Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik
konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromise (AIDS atau
penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi
terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster,
atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti
ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibody
harus dilakukan6.

10

Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit
inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,
sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,
pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro),
SS-B (La), antibody antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan
level komplemen6.
Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis
Kemungkinan Penyebab

Infeksi

Pemeriksaan Penunjang
Serologi darah; kultur, serologi, dan
PCR

CSF;

Foto

Thorax

dan

pemeriksaan imaging lainnya dengan


Autoimun

Sistemik

atau

Penyakit

Inflamasi

indikasi
Pemeriksaan

Fisik;

pemeriksaan

serologi;

Thorax

dan

Foto

Sendi;

pemeriksaan imaging lainnya dengan


Paraneoplastik

indikasi
Foto Thorax, CT scan, PET; antibody

paraneoplastik serum dan CSF


Acquired CNS Demyelinating Disease MRI otak dengan kontras gadolinium;
(sklerosis multiple, optic neuromyelitis)

CSF rutin; pemeriksaan visual evoked

Post infeksi atau post vaksinasi

potential; serum NMO-IgG


Anamnesis
riwayat
infeksi
vaksinasi
serologi

sebelumnya;
adanya

infeksi;

dan

konfirmasi
eksklusi

penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New
England Journal of Medicine 2010;363:564-72)

11

Gambar 2.1. Alur Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut6


2.9. Penatalaksanaan
Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat
progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga
dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini
pertama. Sekitar 50-70% pasien

mengalami perbaikan parsial atau komplit.

Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya

12

selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada
kasus pasien myelitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Efek yang
tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia,
nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan
elektrolit4.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon
dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,
trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter,
dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini4.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi
sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan
fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan
siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demielinisasi, imunomodulator
long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko
serangan berulang4.
Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla
spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan
regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan
penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang
lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas
respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa
pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah
memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian
feeding tube diperlukan atau tidak4.
Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian

heparin

low-moleculer

weigth

sebagai

profilaksis

untuk

thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan


posisi

yang

sering

ketika

duduk

atau

saat

tidur

dapat

membantu

mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien.


Kolaborasi dengan fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi
multidisiplin dapat dimulai secepatnya. Sustained-release potassium-channel
blocker dan 4-aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan
meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis,
mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian,

13

studi tentang efek agen ini pada pasien myelitis transversalis belum diteliti secara
khusus4.
Abnormalitas Tonus
Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock),
tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan
(spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik).
Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive,
memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled
trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi
untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis4.
Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah
serangan myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf (nyeri
neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis),
spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon
baik

dengan

agen

antikonvulsan,

obat-obatan

anti-depressan

(tricyclic

antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS,


dan narkotik4.
Malaise
Pergerakan

yang

terbatas,

obat-obatan,

nyeri,

dan

faktor

lainnya

berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan myelitis. Data


dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi
malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi
terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah
digunakan untuk terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah
episode myelitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan
myelitis belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials4.
Disfungsi Usus dan Genitourinari
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama myelitis transversalis pada
fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya
muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan
persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan
pemberian antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi
untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk

14

menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk


menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor 1-adrenergik dapat
membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan
hiperaktivitas

sfingter,

tetapi

beberapa

pasien

memerlukan

kateterisasi

intermitten untuk mengosongkan kandung kemih4.


Pada fase akut dan kronik myelitis transversalis, disfungsi usus dicirikan
dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada
beberapa

kasus

inkontinensia

yang

biasanya

disebabkan

gangguan

pemrograman usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi4.


Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari myelitis transversalis.
Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya
kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia4.
Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang
pada pasien myelitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya,
seperti nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan,
sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog4.

Ada beberapa literature merujuk


pada penatalaksanaan ATM :

Terapi

15

Rujukan
1) The new England Journal of
Medicine (NEJM) 2010 . (5)

Imunoterapi awal
Hasil terapi pemberian imunoterapi
selama fase akut myelitis adalah
menghambat progresif dan permulaan
resolusi lesi inflamasi sumsum tulang dan
mempercepat pemulihan klinis.
Kortikosteroid merupakan pengobatan
standard lini pertama. Sekitar 50-70 %
mengalami pemulihan sebagian atau
lengkap.
Plasma exchange
Terapi plasma pengganti mungkin
menguntungkan bagi pasien yang tidak
berespon pada pemberian kortikosteroid.
Hati-hati terhadap pemberian plasma
exchange karena dapat menyebakan
hipotensi, koagulopati, trombositopenia,
elektrolit tidak seimbang.
Penanganan gejala dan komplikasi ATM
Bantuan pernapasan dan orofaringeal
Myelitis dapat menyebabkan kegagalan
pernafasan dengan melibatkan sumsum
tulang belakang bagian atas dan batang
otak stem, sehingga penilaian ulang
secara regular fungsi pernapasan dan
oropharyngeal diperlukan selama proses
perubahan myelitis. Intubasi untuk
ventilasi mekanik diperlukan untuk
beberapa pasien.
Kelemahan motorik dan Komplikasi
Imobilisasi
Pemberian heparin berat molekul rendah
untuk profilaksis terhadap trombosis vena
disarankan untuk semua pasien dengan
immoblitas. Kolaborasi dengan tim
kedokteran fisik harus dipertimbangkan
sehingga multidisiplin neurorehabilitasi
dapat dimulai sejak dini.
Kelainan tonus otot
Myelitis yang parah dapat berhubungan
dengan hipotonia pada fase akut (selama
syok spinal ), tapi ini biasanya diikuti oleh
munculnya peningkatan resistensi
terhadap gerakan (tonik spastisitas),
bersama dengan kejang otot tak sadar
(spastik phasic). Data dari percobaan
terkontrol mendukung manfaat baclofen,
Tizanidine, dan benzodiazepin untuk
pengobatan pasien dengan spastik yang

16

berhubungan dengan gangguan otak dan


saraf tulang belakang.
Nyeri
Nyeri adalah umum selama dan setelah
serangan myelitis dan dapat disebabkan
oleh cedera saraf langsung (nyeri
neuropatik), faktor ortopedi (misalnya,
nyeri karena

2.10. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien
menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan
mungkin terjadi cepat selama 36 minggu setelah onset dan dapat berlanjut
walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada
penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi2.
2.11. Komplikasi
Sequelae

dari

mielitis

transversa

adalah

variabel,

bahkan

setelah

kelumpuhan parah. Sepertiga dari pasien sembuh sepenuhnya, sepertiga tidak


meningkatkan dari titik nadir mereka, dan sepertiga memiliki beberapa derajat
gejala sisa (Lipton dan Teasdall 1973; Roper dan Poskanzer 1978; Berman et al
1981; Dunne et al 1986). Pasien dengan beberapa mielitis parsial akut sclerosis
seperti memiliki prognosis jangka pendek yang lebih baik dan lebih mungkin
untuk pulih dibandingkan pasien dengan mielitis transversa lengkap akut.
Kekambuhan yang tidak biasa di mielitis transversa akut dibandingkan dengan
multiple sclerosis (Tippett et al 1991; Jeffery et al 1993). Beberapa pasien telah
berlangsung keluhan motorik, sensorik, atau urologi. gejala urogenital persisten
termasuk detrusor hyperreflexia, detrusor-sfingter eksternal dyssynergia, dan
disfungsi ereksi (Berger et al 1990).
Fitur berikut meningkatkan risiko mengembangkan multiple sclerosis: (1)
parsial, bukan lengkap, myelopathy melintang dan lebih dari satu kabel lesi; (2)
tengkorak MRI sugestif dari multiple sclerosis setelah myelopathy melintang,
terutama dengan beberapa lesi, plak infratentorial, beban tinggi penyakit, dan
pengembangan lesi otak baru di scan berulang (ini menunjukkan mielitis

17

bukanlah episode pertama demielinisasi); (3) CSF IgG atau IgM band oligoclonal;
(4) yang abnormal visual atau sensorik potensi membangkitkan (kurang
bermanfaat daripada MRI); (5) HLA-DR2 Status positif (Bashir dan Whitaker
2000); dan (6) riwayat keluarga multiple sclerosis.
Sebuah lesi hemicord atau lesi disebarluaskan memodifikasi prognosis.
Dalam mielitis parsial akut, kabel lesi unilateral tidak lengkap atau tambal sulam.
Tampaknya menjadi sebuah entitas yang terpisah dari mielitis transversa akut
lengkap. Dalam sedikit lebih dari 3 tahun, 12 dari 15 (80%) pasien dengan
myelitis parsial akut dikembangkan multiple sclerosis (Ford et al 1992). Dalam
sebuah studi yang sebanding sindrom kabel parsial akut, 14 dari 38 pasien
mengembangkan multiple sclerosis dalam waktu 18 bulan (Miller et al 1989); 13
ini telah disebarluaskan lesi MRI pada awal mielitis. Empat belas dari 25 memiliki
band oligoclonal positif di awal; 10 ini dikembangkan multiple sclerosis, tetapi
hanya 1 dari 11 tanpa band oligoclonal berkembang ke multiple sclerosis. Pada
52 pasien dengan mielitis transversa parsial akut, 30 dikembangkan multiple
sclerosis lebih dari 3 tahun (Cordonnier et al 2003). Prediktor multiple sclerosis di
mielitis transversa parsial akut adalah sebagai berikut: Afro-Amerika keturunan
kulit hitam, gejala sensorik awal, lesi-lateral posterior, lesi Gd-positif kabel, MRI
otak yang abnormal, dan CSF positif band oligoclonal.
Dengan MRI normal, akut mielitis transversa parsial jarang menyebabkan
multiple sclerosis, meskipun fakta bahwa jenis lesi (1 segmen panjang, acentric)
khas di multiple sclerosis. Pada seri terbesar, hanya 3 atau 4 dari 30 pasien (10%
sampai 13%) mengembangkan multiple sclerosis lebih dari 5 tahun (Scott et al
2005); 8 dari 13 diuji memiliki band oligoclonal, tetapi hanya 1 ini dikembangkan
multiple sclerosis. Ketika MRI otak tidak normal, namun, kesempatan
mengembangkan multiple sclerosis adalah 80% sampai 90%. Di lain, seri yang
lebih kecil pada tahun 1995 dan satu pada tahun 1997, 8 dari 24 pasien memiliki
band yang positif, dan 4 dikembangkan multiple sclerosis lebih dari 2 tahun
(Scott et al 2005).
Dalam didirikan multiple sclerosis, ketika mielitis transversa akut muncul, hal
ini terkait dengan onset kemudian dan neuritis optik, tetapi dengan batang otak
lebih sedikit, otak, atau gejala cerebellar dan lesi yang lebih sedikit pada MRI
(Fukazawa et al 1990). (Catatan: Ini adalah pasien Jepang A sindrom Devicseperti lebih umum dalam bahasa Jepang dari pada pasien Eropa..) Dalam seri

18

lain, 15 dari 16 pasien dengan akut myelopathic multiple sclerosis memiliki


motorik atau sensorik gejala asimetris, tetapi 19 dari 20 pasien myelopathy
melintang akut memiliki kelemahan simetris dan gejala sensorik (Scott et al
1998). NMO-IgG adalah langka dengan lesi kabel pendek di Amerika Serikat;
hanya 1 dari 22 di mielitis transversa parsial akut, tapi 3 dari 4 di penyakit Devic,
dan tak satu pun dari 6 di multiple sclerosis (Scott et al 2006).

19

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
1)

Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok


spinal
2) Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
3) Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut, peristaltik hilang
4) Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut
cemas,
5) gelisah dan menarik diri
6) Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
7) Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
8) Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki,
paralisis flasid,
9) Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil
10) Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah
trauma, dan Mengalami deformitas pada daerah trauma
11) Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
12) Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut y.b.d trauma jaringan syaraf
2. Ansietas y.b.d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan y.b.d. mual, muntah
4. Kerusakan mobilitas fisik y.b.dkelumpuhan
5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan
syarat perkemihan.
C. INTERVENSI
1. Nyeri akut y.b.d trauma jaringan syaraf
a) Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien mampu
mengontrol nyeri
b) kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2) Mengikuti program pengobatan yang diberikan
3) Menunjukan penggunaan teknik relaksasi

20

c)
1)

Intervensi :
Kaji tipe atau luka nyeri. Perhatikan intensitas pada skala 0-10.
Perhatikan respon terhadap obat.
Rasional : Menguatkan indikasi ketidaknyamanan, terjadinya komplikasi
dan evaluasi keefektivan intervensi.
2) motivasi penggunaan teknik menejemen stres, contoh napas dalam dan
visualisasi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan
dapat meningkatkan kemampuan koping, menghilangkan nyeri.
3) Kolaborasi pemberian obat analgesik
Rasional : mungkin dibutuhkan untuk penghilangan
nyeri/ketidaknyamanan.
2.

Nutisi kurang dari kebutuhan tubuh y.b.d mual, muntah


a. Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi pasien
terpenuhi
b. Kriteria hasil:
1) Makanan masuk
2) BB pasien naik
3) Mual, muntah hilang
c. Intervensi:
1) Berikan makan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: memberikan asupan nutrisi yang cukup bagi pasien
2) Sajikan menu yang menarik
Rasional: Menghindari kebosanan pasien, untuh menambah ketertarikan
dalam mencoba makan yang disajikan
3) Pantau pemasukan makanan
Rasional: Mengawasi kebutuhan asupan nutrisi pada pasien
4) Kolaborasi pemberian suplemen penambah nafsu makan
Rasional: kerjasama dalam pengawasan kebutuhan nutrisi pasien selama
dirawat di rumah sakit

3.

Ansietas y.b.d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri


a. Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, klien memiliki
rentang respon adaptif.
b. Kriteria hasil :
1) Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani.
2) Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
3) Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.

21

c. Intervensi :
1) Dorong ekspresi ketakutan/marah
Rasional : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
2) Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah
Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien
melalui penilaian awal juga selama pemulihan
3) Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan
Rasional : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan
membantu klien/orang terdekat menerima situasi lebih efektif.
4) Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan
imajinasi, visualisasi.
Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan
relaksasi, dan meningkatkan penigkatan kemampuan koping.
4. kerusakan mobilitas fisik y.b.dkelumpuhan
a) Tujuan
selama perawatan gangguan mobilisasi bisa di minimalisasi sampai cedera
diatasi dengan pembedahan.
b) Kriteria hasil
tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas
kembali secara bertahap.
c) Intervensi:
1. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.
Rasional memberikan rasa aman
3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.
Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari.
Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan
integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.
Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan spastisitas.
5.

Perubahan pola eliminasi urine y.b.dkelumpuhan syarat perkemihan.


a) Tujuan
pola eliminasi kembali normal selama perawatan

22

b)
c)
1.
2.
3.

Kriteria hasil
produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi:
Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan

Gangguan mobilitas fisik


Berhubungan dengan :
- Gangguan metabolisme
sel
- Keterlembatan
perkembangan
- Pengobatan
- Kurang support
lingkungan
- Keterbatasan ketahan
kardiovaskuler
- Kehilangan integritas
struktur tulang
- Terapi pembatasan gerak
- Kurang pengetahuan
tentang kegunaan
pergerakan fisik
- Indeks massa tubuh diatas
75 tahun percentil sesuai
dengan usia
- Kerusakan persepsi
sensori
- Tidak nyaman, nyeri
- Kerusakan
muskuloskeletal dan
neuromuskuler
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

NOC :
Joint Movement :
Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama.gangguan
mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
Klien meningkat
dalam aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat
Bantu untuk
mobilisasi (walker)

NIC :
Exercise therapy :
ambulation
Monitoring vital sign
sebelm/sesudah latihan
dan lihat respon pasien
saat latihan
Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
rencana
ambulasi
sesuai
dengan
kebutuhan
Bantu klien untuk
menggunakan tongkat
saat
berjalan
dan
cegah terhadap cedera
Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang
teknik
ambulasi
Kaji
kemampuan
pasien
dalam
mobilisasi
Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
Dampingi dan Bantu

23

- Depresi mood atau cemas


- Kerusakan kognitif
- Penurunan kekuatan otot,
kontrol dan atau masa
- Keengganan untuk
memulai gerak
- Gaya hidup yang
menetap, tidak digunakan,
deconditioning
- Malnutrisi selektif atau
umum
DO:
- Penurunan waktu reaksi
- Kesulitan merubah posisi
- Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
langkah pendek)
- Keterbatasan motorik
kasar dan halus
- Keterbatasan ROM
- Gerakan disertai nafas
pendek atau tremor
- Ketidak stabilan posisi
selama melakukan ADL
- Gerakan sangat lambat
dan tidak terkoordinasi

pasien saat mobilisasi


dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
Berikan alat Bantu jika
klien memerlukan.
Ajarkan
pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan
jika
diperlukan

24

Diagnosa Keperawatan

Nyeri akut berhubungan


dengan:
Agen injuri (biologi, kimia,
fisik, psikologis), kerusakan
jaringan
DS:
- Laporan secara verbal
DO:
- Posisi untuk menahan
nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek, sulit
atau gerakan kacau,
menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang
dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan
tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

NOC :
Pain Level,
pain control,
comfort level
Setelah
dilakukan
tinfakan
keperawatan
selama . Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil:
Mampu
mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi
nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri
(skala,
intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan
rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda
vital
dalam
rentang normal
Tidak
mengalami
gangguan tidur

NIC :
Lakukan pengkajian nyeri
secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga
untuk
mencari
dan
menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
nyeri
seperti
suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
Kurangi faktor presipitasi
nyeri
Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi
Ajarkan tentang teknik
non farmakologi: napas
dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri: ...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang
nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri
akan
berkurang
dan
antisipasi
ketidaknyamanan
dari
prosedur
Monitor
vital
sign
sebelum dan sesudah
pemberian
analgesik
pertama kali
25

panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Risiko gangguan integritas


kulit
Faktor-faktor risiko:
Eksternal :
- Hipertermia atau
hipotermia
- Substansi kimia
- Kelembaban udara
- Faktor mekanik
(misalnya : alat yang
dapat menimbulkan
luka, tekanan, restraint)
- Immobilitas fisik
- Radiasi
- Usia yang ekstrim
- Kelembaban kulit
- Obat-obatan
- Ekskresi dan sekresi
Internal :
- Perubahan status
metabolik
- Tulang menonjol
- Defisit imunologi
- Berhubungan dengan
dengan perkembangan
- Perubahan sensasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

NOC :
- Tissue Integrity : Skin
and Mucous Membranes
- Status Nutrisi
- Tissue Perfusion:perifer
- Dialiysis
Access
Integrity

NIC : Pressure Management


Anjurkan pasien untuk
menggunakan
pakaian
yang longgar
Hindari kerutan padaa
tempat tidur
Jaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan kering
Mobilisasi pasien (ubah
posisi pasien) setiap dua
jam sekali
Monitor kulit akan adanya
kemerahan
Oleskan
lotion
atau
minyak/baby oil pada
derah yang tertekan
Monitor aktivitas dan
mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi
pasien
Memandikan
pasien
dengan sabun dan air
hangat
Gunakan pengkajian risiko
untuk memonitor faktor
risiko pasien (Braden

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama.
Gangguan
integritas
kulit
tidak
terjadi dengan kriteria
hasil:
Integritas kulit yang
baik
bisa
dipertahankan
Melaporkan
adanya
gangguan sensasi atau
nyeri pada daerah kulit
yang
mengalami
gangguan
Menunjukkan
pemahaman
dalam
proses perbaikan kulit
dan
mencegah
terjadinya
sedera

26

Perubahan status nutrisi


(obesitas, kekurusan)
Perubahan pigmentasi
Perubahan sirkulasi
Perubahan turgor
(elastisitas kulit)
Psikogenik

berulang
Scale, Skala Norton)
Mampu
melindungi Inspeksi kulit terutama
kulit
dan
pada tulang-tulang yang
mempertahankan
menonjol dan titik-titik
kelembaban kulit dan
tekanan ketika merubah
perawatan alami
posisi pasien.
Status nutrisi adekuat
Jaga kebersihan alat tenun
Sensasi dan warna Kolaborasi dengan ahli
kulit normal
gizi untuk pemberian
tinggi protein, mineral dan
vitamin
Monitor serum albumin
dan transferin

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Kerr, D, 2001. Current Therapy in Neurologic Disease: Transverse Myelitis. 6 th
ed. [Diakses 20 November 2011]
2. Tapiheru LA, Sinurat PPO, Rintawan K. 2007. Laporan Kasus: Myelitis
Transversalis. Majalah Kedokteran Nusantara 2007;40;e235 [Diakses 20
November 2011]
3. Al Deeb SM, Yaqub BA, Bruyn GW, Biary NM. 1997. Acute Transverse
Myelitis: A Localized Form of Postinfectious Encephalomyelitis. Brain 1997;
120; 1115-1122 [Diakses 20 November 2011]
4. Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New England
Journal of Medicine 2010;363:564-72. [Diakses 20 November 2011]
5. Kerr DA, Ayetey H. 2002. Immunopathogenesis of Acute Transverse Myelitis.
Current Opinion in Neurology 2002, 15:339347 [Diakses 20 November 2011]
6. Transverse Myelitis Consortium Working Group. 2002. Proposed Diagnostik
Kriteria and Nosology of Acute Transverse Myelitis. Neurology 2002; 59; 499505. [Diakses 20 November 2011]
7. Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute
Transverse Myelitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 20
November 2011]
8. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013.
Available
from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_area
s/transverse_myelitis/about-tm/diagnosis.html
9. Johnson

et

all.

2001.

Transverse

Myelitis.Available

from

http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-withfigures?secret_password=&autodown=pdf
10. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2
. Jakarta.
11. Victor and Adam. 2005. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th
Edition. McGraw-Hill.

28

You might also like