You are on page 1of 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Kanker Rongga Mulut


Kanker atau Neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Suatu

neoplasma, sesuai definisi Willis, adalah massa abnormal jaringan yang


pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan
jaringan normal secara terus menerus walaupun rangsangan yang memicu
perubahan tersebut telah berhenti. Hal dasar tentang neoplasma adalah hilangnya
responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal(Kumar et al.,
2012).
Dalam penggunaan istilah kedokteran yang umum, neoplasma disebut
sebagai tumor, dan ilmu tentang tumor disebut onkologi ( dari oncos yaitutumor
dan logos adalah ilmu). Dalam onkologi, pembagian neoplasma menjadi
kategori jinak dan ganas yang didasarkan pada penilaian tentang kemungkinan
perilaku klinis neoplasma (Kumar et al., 2012).
Suatu tumor dikatakan jinak (benign) apabila gambaran mikroskopik dan
makroskopiknya mengisyaratkan bahwa tumor tersebut tetap akan terlokalisasi,
tidak dapat menyebar ke tempat lain, dan pada umumnya dapat dikeluarkan
dengan tindakan bedah lokal; pasien umumnya selamat. Namun, tumor jinak
dapat menimbulkan kelainan yang lebih dari sekedar benjolan lokal dan kadangkadang tumor jinak menimbulkan penyakit serius (Kumar et al., 2012).
Tumor ganas (maligna) secara kolektif disebut kanker, yang berasal dari
kata Latin untuk kepiting, tumor melekat erat ke semua permukaan yang
dipijaknya, seperti seekor kepiting. Ganas, apabila diterapkan pada neoplasma,
menunjukan lesi dapat menyerbu dan merusak struktur di dekatnya dan menyebar
ke tempat jauh (metastasis) serta menyebabkan kematian (Kumar et al., 2012).
Sehingga kanker rongga mulut merupakan suatu pertumbuhan sel kanker yang
dapat mengenai rongga mulut, meliputi bibir dan mukosa bibir, lidah, palatum,
gingival, dasar mulut dan mukosa pipi ( Lee et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.2.

Epidemiologi

2.2.1. Frekuensi
Rongga mulut merupakan 1 dari 10 lokasi tersering terkenanya kanker di
dunia. Tiga per empat kasus mengenai masyarakat di negara berkembang. Kanker
rongga mulut menduduki kanker urutan pertama di Negara Sri Lanka, India,
Pakistan, dan Bangladesh. Sementara itu, di India kanker rongga mulut memiliki
insiden lebih dari 50% dari semua kanker (Scully et al., 2013).
Sedangkan di negara maju, kanker rongga mulut kurang populer, tetapi
tetap menduduki urutan ke-8, contohnya di Francis bagian utara, kanker ini
merupakan kanker paling sering terjadi pada laki-laki. Diketahui pada tahun 1980
lebih dari 32.000 kasus

kanker rongga mulut terdiagnosis di wilayah Eropa

(Scully et al., 2013).


Prevalensi kanker dalam rongga mulut (intraoral) semakin meningkat di
banyak negara, khususnya kalangan kaum muda, sedangkan prevalensi kanker
bibir menurun. Ini terjadi didaerah Eropa bagian tengah dan bagian timur (Scully
et al., 2013).
Hampir semua kanker rongga mulut adalah karsinoma sel squamosa.
Hampir semuanya mudah diakses untuk biopsi dan didiagnosis secara dini tetapi
sekitar separuhnya menyebabkan kematian dalam lima tahun dan mungkin telah
bermetastasis saat lesi primer ditemukan (Kumar et al., 2012).
Tiga tempat asal karsinoma rongga mulut yang predominan adalah (sesuai
dengan urutan frekuensi) (1) batas vermilion tepi lateral bibir bawah, (2) dasar
mulut, dan (3) batas lateral lidah yang bergerak (Kumar et al., 2012).
2.2.2 Mortalitas dan Morbiditas
Tingkat kematian untuk oral squamous cell carcinoma (OSCC) telah
meningkat, terutama di negara-negara Eropa Timur (Scully et al., 2013).

Di Jerman, Republik Ceko, dan Hungaria, kematian akibat kanker mulut


hampir meningkat menjadi 10 kali lipat dalam pada pria berusia 35-44
tahun terjadi dalam satu generasi.

Universitas Sumatera Utara

Analisis sistematis data kematian kanker untuk 28 negara Eropa


menunjukkan tren yang meningkat dalam kematian akibat kanker mulut
pada orang berusia 35-64 pada tahun 1955-1989.

Hasil observasi

tingkat kematian berdasarkan usia mengungkapkan

peningkatan yang cukup besar pada usia muda di sebagian besar negaranegara Eropa. Ini mengindikasikan adanya efek besar ke depannya yang
akan menyebabkan peningkatan jumlah kasus kanker mulut pada laki-laki
selama beberapa dekade mendatang.
2.2.3. Ras
Prevalensi kanker lidah secara tetap ditemukan lebih tinggi (sekitar 50%)
pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih di dalam wilayah yang
sama di negara Amerika Serikat. Prevalensi kanker mulut juga umumnya lebih
tinggi di etnis minoritas di negara-negara maju lainnya (Tomar et al., 2004).
2.2.4. Jenis Kelamin
Kanker rongga mulut pada laki-laki lebih sering daripada perempuan,
meskipun rasio tersebut nyaris sama. Di dunia, Insiden pada laki-laki sebanyak
2.7% dibanding perempuan (IARC, 2012).
2.2.5. Umur
Kanker rongga mulut sering ditemukan pada umur dewasa muda dan
orang tua (Scully et al., 2013). Kanker ini jarang sebelum usia 40 tahun (Kumar et
al., 2012).

2.3.

Etiologi Kanker Rongga Mulut


Penyebab kanker rongga mulut adalah multifaktorial. Tidak satu pun

penyebab kanker rongga mulut ditemukan secara pasti, tetapi kedua faktor
ekstrinsik dan intrinsik mungkin berhubungan. Faktor ekstrinsik terdiri dari
kebiasaan merokok, minuman alkohol, infeksi sifilis, dan terpapar sinar matahari
(hanya kanker bibir). Faktor intrinsik terdiri dari penyakit sistemik, seperti anemia
defisiensi besi. Keturunan tidak menjadi faktor penyebab utama dari kanker
rongga mulut. Selain itu, beberapa kasus kanker rongga mulut berhubungan
dengan lesi prakanker, khususnya leukoplakia (Neville et al., 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.4.

Faktor Risiko Kanker Rongga Mulut


Menurut Neville et al. (2002) terdapat berbagai macam faktor risiko untuk

terjadinya kanker rongga mulut, yaitu:


2.4.1

Merokok
Kebiasaan menghisap rokok memiliki hubungan secara tidak langsung

dengan perkembangan sel kanker di rongga mulut. Risiko paling tinggi ditemukan
didaerah India dan Amerika Selatan yang memiliki kebiasaan yang disebut
reverse smoking, yaitu memasukkan sisa puntung rokok ke dalam rongga mulut,
kebiasan ini menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya kanker rongga mulut
khususnya terjadi di palatum durum sebanyak 50%.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Taiwan pada tahun 2007-2012
dengan sampel sebanyak 599 pasien, laki-laki sebanyak 577 menderita kanker
rongga mulut dan perempuan 22 orang dengan kebiasaan merokok yang lama,
menyirih, dan mengonsumsi alkohol. Risiko untuk terjadinya kanker rongga
mulut pada pasien dengan kebiasaan merokok sebanyak 85.3% sedangkan pada
grup kontrol risikonya mencapai 39.2% (Chou et al., 2014).
Menurut Petti et al. (2013) tingginya risiko terjadinya kanker rongga
mulut dengan faktor risiko kebiasaan merokok mencapai 3.6%, mengonsumsi
alkohol sebanyak 2.2%, menyirih sebanyak 7.9%, dan kombinasi ketiganya
sebanyak 40.1%, ini terjadi di Asia Tenggara.
Menurut Lin et al. (2013) dalam penelitiannya membuktikan bahwa
adanya hubungan dengan kode genetik ICAM-1 rs5498 pada masyarakat Taiwan
dengan kebiasaan merokok terhadap kejadian kanker rongga mulut.
2.4.2. Mengunyah Tembakau
Kebiasaan mengunyah tembakau dalam jangka waktu yang lama
ditemukan di budaya barat yang meningkatkan risiko kanker rongga mulut
sebanyak empat kali. Selain itu, penelitian lain dilakukan pada pekerja wanita di
sebuah perusahaan tekstil yang memiliki kebiasaan mengunyah tembakau berisiko
0,5 kali lebih besar dibanding pekerja laki-laki.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Madani et al. (2012) adanya hubungan yang kuat kebiasaan


mengunyah tembakau dengan meningkatnya risiko terjadinya kanker rongga
sebanyak 8.3%.
Menurut Bhisey (2012), pada masyarakat di India yang memiliki
kebiasaan mengunyah tembakau yang cukup banyak terbukti meningkatkan
insiden kanker rongga mulut. Selain penggunaan tembakau mereka juga
menggunakan bahan-bahan lain seperti khaini, betel quid, kharra, mainpuri, dan
gutkha.
2.4.3. Menyirih
Betel quid adalah suatu kebiasaan mengunyah tanaman alami seperti buah
pinang, daun tembakau, dan slaked lime, hal ini dilakukan untuk mencapai efek
psikostimulan. Slaked lime memiliki daya absorbs molecular tinggi dibanding
tanaman lainnya. Diantara pengguna di Asia risiko terbentuknya kanker rongga
mulut sebesar 8%. Kebiasaan ini juga berhubungan dengan perkembangan lesi
prakanker, seperti leukoplakia.
Menurut Shah et al. (2012), salah satu bentuk betel quid yaitu areca nut
tanpa mengandung tembakau meningkatkan risiko untuk terjadinya kanker rongga
mulut di Taiwan.
Menurut Lee et al. (2012), hubungan kebiasaan menyirih dengan risiko
timbulnya lesi preneoplastik selama 1 tahun di 6 negara di Asia yaitu Taiwan,
China, Nepal, Srilanka, Malaysia, dan Indonesia cukup tinggi yaitu dengan odds
ratio 8-51,3 .
2.4.4. Alkohol
Konsumsi alkohol dan penyalahangunaannya belum terbukti dalam
pembentukan awal kanker rongga mulut. Kebiasaan ini akan menjadi faktor
penyebab yang signifikan jika dikombinasikan dengan penggunaan tembakau.
Penelitian membuktikan meningkatnya risiko kanker mulut bergantung pada dosis
yang digunakan dan lamanya penggunaan serta kombinasi mengkonsumsi alkohol
dan tembakau dalam jangga waktu yang lama.

Universitas Sumatera Utara

Penelitiaan ini membuktikan bahwa sepertiga dari pasien laki-laki yang


menderita kanker rongga mulut adalah pengguna alkohol berat. Selain itu, kurang
dari 20% diantara mereka menderita sirosis hati.
Menurut Anantharaman et al. (2014), dalam studinya membuktikan
kebiasaan mengonsumsi alkohol meningkatnya risio terjadinya kanker mulut
sebanyak 1.67 kali dibanding yang tidak mengonsumsi alkohol.
Percobaan pada tikus dengan pemberian ethanol sebanyak 8% selama 16
minggu masih bisa ditolerirnya, tetapi dapat meningkatkan risiko terjadinya oral
squamous cell carcinoma jika ditingkatnya dosis mencapai 20-43% (Guo et al.,
2011).
2.4.5. Phenol
Penelitian terbaru mengatakan risiko terjadinya kanker rongga mulut
meningkat pada pekerja lama di industri kayu, ini disebabkan karena terpaparnya
suatu bahan kimia karsinogenik yaitu phenoxyacetic acid. Terlepas dari kanker
mulut, phenol

sudah diketahui meningkatkan risiko nasal carcinoma dan

nasopharingeal carcinoma.
2.4.6. Radiasi
Radiasi ini meningkatkan risiko terjadinya kanker pada bibir, ini
ditemukan pada laki-laki berkulit putih di Amerika Serikat dengan insiden 4 per
100.000 penduduk sebelum abad ke-20. Seiring bertambahnya waktu, risiko
terhadap kanker ini berkurang karena berkurangnya paparan sinar matahari akibat
sedikitnya pekerjaan/aktivitas diluar rumah.
2.4.7. Defisiensi Zat Besi
Defisiensi besi khususnya dalam keadaan berat dan kronis yang juga
dikenal dengan Plummer-Vinson atau Paterson-Kelly Syndrome. Diketahui dapat
meningkatkan risiko squamous cell carcinoma pada esofagus, orofaring, dan
mulut bagian posterior. Keganasan ini berkembang pada lebih dini dibanding pada
pasien tanpa anemia defisiensi besi. Seseorang yang mengalami defisiensi besi
juga memiliki ganguan sel imunitas. Selain itu, besi juga penting dalam
membantu fungsi sel epitel saluran pencernaan bagian atas, sehingga sel epitel
berkembang menjadi lebih cepat dan menjadi atropi atau mukosa menjadi imatur.

Universitas Sumatera Utara

2.4.8. Defisiensi Vitamin A


Defisiensi vitamin A menyebabkan proses keratinisasi yang berlebihan
pada kulit dan membran mukosa. Vitamin A juga memiliki fungsi protektif dan
preventif terjadinya prakanker mulut dan kanker mulut. Jumlah kandungan retinol
dalam darah dan jumlah kandungan beta-karoten pada makanan dipercayai dapat
mengurangi risiko leukoplakia dan squamous cell carcinoma pada mulut.
Lecithin Retinol Acyltranferase (LRAT) dalam meregulasi metabolisme
retinol (vitamin A) dengan cara mengesterifikasi retinol, pada orang-orang dengan
defisiensi enzim ini yang ditemukan pada orang dengan penyakit kanker di kepala
dan leher dan meningkatkan risiko untuk terjadinya kanker rongga mulut (Liu et
al., 2010).
2.4.9. Infeksi Sifilis
Infeksi sifilis di tingkat tersier sudah dibuktikan memiliki hubungan yang
kuat dengan berkembangnya kanker lidah di bagian dorsal. Penelitian ini
menyebutkan risiko relatifnya mencapai empat kali. Selain itu, seseorang yang
menderita karsinoma lidah memiliki risiko lima kali untuk hasil yang positif pada
pemeriksaan serologi terhadap antigen sifilis dibanding pada pasien yang tidak
memiliki kanker lidah. Terlepas dari itu, infeksi sifilis yang disertai memiliki
keganasan pada rongga mulut jarang karena infeksi tersebut telah terdiagnosa
sekaligus terobati sebelum onset ditingkat tersier.
2.4.10. Infeksi Candida
Hiperplastik kandidiasis sering menjadi kondisi prakanker di rongga
mulut. Oleh karena lesi ini seperti plak berwarna putih yang tidak bisa diangkat,
ini juga dikenal sebagai candidal leukoplakia. Namun, sulitnya dalam
membedakan klinis dan histopatologi hiperplastik kandidiasis dengan leukoplakia
yang disebabkan oleh kandidiasis. Sebuah penelitian eksperimen menunjukkan
bahwa beberapa jenis Candida albicans menyebabkan lesi hiperkeratosis pada
lidah pada bagian dorsal tikus tanpa disertai faktor-faktor lainnya.
Walaupun Candida spp. secara umum menyebabkan perkembangan
kanker mulut dan esofagus, namun petogenesis dan patomekanisme masih belum
dapat dijelaskan dengan pasti. C. albicans merupakan mikroorganisme yang

Universitas Sumatera Utara

normal dalam rongga mulut dan bisa menjadi agen penyebab suatu penyakit
apabila terganggunya ekosistem dalam rongga mulut (Bakri et al., 2010).
Sebuah studi menunjukkan adanya hubungan riwayat terjadinya kanker
leher dan kepala dengan kejadian kanker rongga mulut dan adanya hubungan
dengan kebersihan mulut seseorang khususnya penyakit kandidiasis di rongga
mulut (Radoi et al., 2013).
2.4.11. Virus Onkogen
Virus onkogen memiliki peranan penting dalam berbagai macam kanker
walaupun tidak ada virus yang pasti menyebabkan kanker rongga mulut. Virus ini
bersifat imortal di dalam sel pejamu, dengan cara demikian mereka mengalami
transformasi menjadi ganas. Beberapa contoh virus yaitu retrovirus, adenovirus,
Herpes Simpleks Virus (HSV), dan Human Papilloma Virus (HPV) memiliki
hubungan terbentuknya sel kanker pada mulut. Walaupun demikian, HPV adalah
satu-satunya yang masih memiliki hubungan tidak hanya pada kanker rongga
mulut tetapi juga pada kanker di tempat lain seperti tonsil faringeal, laring,
esofagus, serviks uterin, vulva, dan penis. HPV dengan subtipe 16, 18, 31, dan 33
yang memiliki hubungan erat dengan displasia dan squamous cell carcinoma.
Kanker sel squamous rongga mulut menduduki peringkat ke-6 terganas di
dunia. Di Bangladesh dilakukan sebuah studi dan membuktikan terdapatnya
hubungan kanker rongga mulut dengan kejadian infeksi human papiloma virus
sebanyak 15-20% (Akhter et al., 2013).
Tersebarnya human papiloma virus (HPV) di rongga mulut pada pasien
yang positif mengidap penyakit infeksi HPV terdapat lokasi-lokasi yang
predominan, yaitu perbatasan vermilion bibir, sudut bibir, dan palatum durum.
Lokasi-lokasi ini cenderung untuk terjadinya lesi mulut dan berpotensi untuk
terjadinya keganasan (Mravak-Stipetic et al., 2013).
2.4.12. Imunosupresi
Imunosupresi memiliki peranan dalam terbentuknya beberapa keganasan
pada saluran pencernaan bagian atas. Pada pasien Acquired Immunodeficiency
Syndrome

(AIDS)

dan

orang-orang

yang

sedang

mendapatkan

terapi

imunosupresif karena keganasan atau transplantasi organ meningkatkan risiko

Universitas Sumatera Utara

terhadap squamous cell carcinoma rongga mulut dan keganasan di kepala dan
leher, apalagi memiliki kebiasaan menghisap tembakau dan mengonsumsi
alkohol.
Menurut Leurenco et al. (2011), pada orang-orang yang terinfeksi HIV
positif dan sebelum diberikan obat anti retrovirus membuktikan tingginya insiden
untuk terjadinya lesi di rongga mulut.
2.4.13. Onkogen dan Tumor Suppresor Genes
Onkogen dan tumor supresor gen adalah komponen-kromosom yang bisa
teraktivasi oleh berbagai agen penyebab. Apabila teraktivasi mereka akan
menstimulasi produksi material-material genetik dalam jumlah yang besar melalui
amplification atau over expression pada gen terkait. Onkogen ini mungkin akan
mengalami progresi pada berbagai macam neoplasma termasuk squamous cell
carsinoma rongga mulut.
Di lain pihak, tumor supresor gen bisa memproduksi tumor secara tidak
langsung ketika mereka dalam keadaan inaktivasi atau mutasi. Beberapa contoh
abnormalitas dari ras, myc, c-erbb, p53, pRb, dan E-cadherin sudah teridentifikasi
pada kanker rongga mulut walaupun hubungan sebab dan akibatnya belum bisa
dibuktikan.
Menurut Chu et al. (2012) dalam studinya membuktikan adanya hubungan
pada gen miRNA499 polimorfisme dengan proses terjadinya kanker mulut dan
interaksi dari gen miRNA499 dengan lingkungan dengan tingginya risiko kanker
mulut meningkatkan kejadian kanker rongga mulut pada masyarakat di Taiwan.
2.5. Klasifikasi Kanker Rongga Mulut
Menurut Regezi et al. (2008) Berdasarkan lokasinya kanker rongga mulut
dibagi atas beberapa lokasi, yaitu :
1.

Karsinoma di bibir, sebanyak 25-30% pada kanker rongga mulut dan


tersering di bibir bawah. Menurut Neville et al. (2002) hampir 90% lesi
terdapat di bibir bawah.

2.

Karsinoma di lidah, insiden ini sebanyak 25-40% dan menurut Neville et


al. (2002), karsinoma ini merupakan lokasi tersering pada kejadian kanker
rongga mulut yang biasanya terletak di bagian postero-lateral, permukaan

Universitas Sumatera Utara

ventral lidah (20%) dan 4% di dorsal. Kejadian karsinoma lidah sebanyak


lebih dari 50% dari kanker rongga mulut di Amerika Serikat.
3.

Karsinoma di dasar lidah, karsinoma ini menduduki urutan kedua tersering


pada karsinoma rongga mulut sebanyak 15-20% dan menurut Neville et
al. (2002), dasar lidah paling sering di jumpai pada laki-laki, dan dewasa
ini meningkat juga pada perempuan. Karsinoma di dasar lidah memiliki
jumlah 35% pada bagian dalam rongga mulut, dan lokasi terseringnya di
garis tengah lidah dekat dengan frenulum

4.

Karsinoma di mukosa bukal dan gingiva, lesi mukosa bukal bersamaan


dengan lesi gingiva memiliki insiden 10% pada squamous cell carcinoma
rongga mulut.

5.

Karsinoma di gingiva, lesi mukosa bukal bersamaan dengan lesi gingiva


memiliki insiden 10% pada squamous cell carcinoma rongga mulut.

6.

Karsinoma di palatum, kanker ini memiliki insiden sebanyak 10-20% pada


karsinoma rongga mulut. Namun, kejadian kanker di palatum durum
masih sangat jarang dibanding palatum molle.

2.6.

Gejala Klinis Kanker Rongga Mulut


Lesi dapat menimbulkan nyeri lokal atau kesulitan menelan tetapi banyak

yang asimtomatik sehingga lesi diabaikan. Akibatnya banyak yang terdiagnosis


sampai tahap lanjut yang tidak dapat diobati lagi (Kumar et al., 2012).
Menurut Wood dan Sawyer (1997), gejala kanker rongga mulut sebagai
berikut:

Plak

Eritroplakia (merah)

Leukoplakia (putih)

Eritroleukoplakia (merah dan putih)

Eksofitik

Merah

Putih

Merah jambu

Universitas Sumatera Utara

Kombinasi banyak warna

Ulserasi

Non-ulserasi

Krusta

Lesi hitam atau kecoklatan

Blep

Permukaan yang kasar

Nyeri atau tidak nyeri

Perdarahan

Maloklusi

Bengkak di leher

Susah menelan

Perubahan rasa kecap

Perubahan suara

Universitas Sumatera Utara

You might also like