You are on page 1of 16

KONSERVASI MANGROVE DAN PERLINDUNGANNYA DI INDONESIA

Disusun oleh : Kelompok Satu (1)


Cornelia Coraima Lazaren

1314511009

Jajang Nuryana

1314511038

I Dewa Gede Alit Sujana1314511039


I Made Raditya Putra

1314511042

Ni Kadek Dian Prinasti

1314511048

I Kadek Dedy Antara Putra

1314511050

Luh Putu Priyandayani

1314511052

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIERSITAS UDAYANA
2016

ABSTRAK
Hutan mangrove pada ekosistem pesisir merupakan zona peralihan antara ekosistem darat dan laut,
sehingga kewenangan pengelolaan mengharuskan pendekatan multi sektoral/instansi. Tujuan dari kajian ini
adalah
untuk
mengkaji
kondisi
mangrove
di
Indonesia
terkait
dengan
kondisi
konservasi/perlindungan/pengelolaan saat ini serta solusi yang akan dilakukan kedepannya terhadap mangrove di
Indonesia.
Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan sebagai mediator
dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai
pelaksana yang mampu mengambil inisiatif.
Kondisi konservasi, perlindungan, serta pengelolaan mangrove di Indonesia saat ini mengalami tumpang
tindih. Kewenangan atas hutan mangrove ada di Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Kehutanan melalui Undang-Undang Kehutanan dan UU No
5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya memandang mangrove sebagai hutan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tugas dan fungsi menyangkut sumber daya pesisir, di antaranya
hutan mangrove. Adapun Kementerian Lingkungan Hidup ikut karena kerusakan mangrove menjadi kriteria
baku kerusakan ekosistem. Beberapa UU terkait hutan mangrove adalah UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU
No 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Untuk mengatasi tumpang tindih tersebut pemerintah Indonesia harus meletakkan perspektif atau
paradigma yang nantinya akan dijadikan pijakan dalam berpikir dan bertindak seperti melibatkan sejumlah
keputusan-keputusan pemerintah yang berkenaan dengan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan
mangrove. Pemerintah juga diharapkan untuk mengkolaborasikan dua instansi atau lebih guna untuk
mengkoordinasikan langkah pengelolaan dan pemanfaatan hutan/ekosistem mangrove. Serta diperlukan kajian
yang lebih komprehensif tentang pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang diatasnya terdapat hutan mangrove.
Kata kunci: Mangrove, konservasi, pengelolaan, solusi.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan
panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Gunarto, 2004). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove
dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove
Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia (Gunarto, 2044). Namun demikian, kondisi mangrove
Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data tahun 1984,
Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpretasi
citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Kusmana, 1993); dan berdasarkan data Ditjen RRL (1999),
luas hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar
kawasan). Mangrove merupakan kelompok tumbuhan berkayu yang tumbuh di sekelilinh garis pantai dan
memiliki adaptasi yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian.
Selain itu mangrove juga memiliki fungsi yang sangat penting baik dalam fungsi fisik, fungsi ekonomi dan
fungsi biologi. Kondisi mangrove adalah sebuah pernyataan yang menggambarkan dan dapat menganalisa suatu
keadaan mangrove sehingga dapat mengambil keputusan berdasarkan hasil kondisi yang telah diseleksi dan
menyimpulkan kategori. Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata
dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan.
Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga 2003 baru terealisasi seluas
7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004), namun tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Data ini
menunjukkan laju rehabilitasi hutan mangrove hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Di samping itu, masyarakat juga
tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove, dan bahkan dilaporkan adanya kecenderungan

gangguan terhadap tanaman mengingat perbedaan kepentingan. Serta didapatkan tekanan yang berlebihan
terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa menginahkan kaidah-kaidah pelestarian
alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis (Priyono, 2007).
Konservasi seperti yang kita ketahui merupakan sebuah upaya pengelolaan sumber daya alam secara
bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian. Yang mana dari kondisi mangrove di Indonesia yang
dikatakan lebih dari setengah hutan mangrove dalam kondisi rusak parah, maka dari itu diperlukan sebuah
tindakan perlindungan yang mana dalam topik yang dibahas ini ialah tindakan konservasi (Snedaker, 1978).
Konservasi bagi hutan mangrove ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya yang sangat
penting; misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati
lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan
identitas budaya. Selain peranan tersebut pentingnya konservasi bertujuan (a). Melestarikan contoh-contoh
perwakilan habitat dengan tipe-tipe ekosistemnya. (b). Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang
terancam punah. (c). Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai ekonomi.
(d). Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata, pendidikan dan penelitian. (e). Sebagai
tempat untuk melakukan pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam. (f). Sebagai tempat pembanding
bagi kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap lingkungannya (Tomlinson, 1994).
Kondisi demikian telah tergambar dari semakin rusaknya hutan mangrove hampir di seluruh pesisir
Indonesia. Sebagai contoh dalam kasus penanganan hutan mangrove di Delta Mahakam telah terjadi konversi
hutan mangrove dari 0% menjadi 80% dari total luas hutan mangrove yang ada (Khazali dan Suryandiputra,
1999) menjadi kawasan pertambakan (budidaya udang) hanya dalam kurun waktu 15 tahun (1986 2001)
bahkan ada kecenderungan pelaksanaan aturan untuk green belt tidak diindahkan (Irawan dan Sari 2004). Dalam
aspek perlindungan mangrove juga didukung pada peraturan peraturan yang lebih mengatur mengenai
pengelolaannya serta pemanfaat mangrove, agar dapat digunakan seefisien mungkin.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil antara lain :
1.Bagaimanakah kondisi mangrove di Indonesia ?
2.Bagaimanakah kondisi konservasi, perlindungan serta pengelolaan mangrove di Indonesia ?
3.Apakah solusi kedepannya mengenai kondisi konservasi mangrove yang terjadi di Indonesia ?
1.3 Tujuan
1.Mengetahui kondisi mangrove di Indonesia.
2.Mengetahui kondisi konservasi, perlindungan serta pengelolaan mangrove di Indonesia.
3.Memberikan solusi kedepannya mengenai kondisi konservasi mangrove yang terjadi di Indonesia.

BAB II
METODOLOGI
2.1 Jenis Penelitian
Penelitian menggunakan pola deskriptif. Yang dimaksud pola deskriptif menurut Best (sebagaimana
dikutip oleh Sukardi), adalah metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek
sesuai dengan apa adanya (Sukardi, 2009).
Jenis penelitian ini adalah dimana data yang berkaitan dengan masalah penelitian yang berasal dari
serta sumber lainnya yang mendukung penelitian. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi literatur
dengan mencari referensi teori yang relevan dengan konservasi mangrove. Referensi teori yang diperoleh
dengan jalan penelitian studi literatur dijadikan sebagai fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian
ditengah lapangan.
2.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan oleh peneliti menggunakan teknik purposive sampling dengan maksud
penentuan sumber data diambil dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini
digunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperlukan untuk mendukung hasil penelitian
berasal dari literatur, artikel, dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
2.3 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari
jurnal, buku dokumentasi, dan internet.
2.3.1 Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode untuk mencari dokumen atau data-data yang dianggap
penting melalui artikel, jurnal, pustaka, buku dokumentasi serta melalui media elektronik yaitu
internet, yang ada kaitannya dengan diterapkannya penelitian ini.
2.3.2 Studi Pustaka
Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber
yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian. Studi literatur bisa didapat
dari berbagai sumber, jurnal, buku dokumentasi, internet dan pustaka.

Studi Pustaka

Dokumen Tertulis

Jurnal
Artikel

Media Elektronik

Internet

Gambar 1. Flowchart studi pustaka


2.4 Metode Analisis Data
Data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Metode
analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan
analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya.

2.5 Cara-cara mengkaji dan mengumpulkan hasil kajian.


Setelah mengatahui sumber-sumber bahan bacaan, langkah-langkah selanjutnya mengkaji dan
mengumpulkan hasil kajian, dua hal yang kami rangkumkan adalah membaca dan mencatat, serta mengenal
kepustakaan.
a. Membaca dan mencatat
Membaca dan mencatat adalah bagian terpenting dalam kajian teks/pustaka. Membaca adalah
melakukan kegiatan studi pustaka yang mempunyai fungsi dan kegunaan memperoleh pengetahuan dan
metodologi serta data-data yang relevan dengan rencana penelitian yang akan dilakukan. Membaca
dalam arti sekedarnya saja tentu mudah dilakukan, namun membaca untuk memperoleh dalil, konsep,
variable, hasil-hasil penelitian dan lain sebagainya yang dibutuhkan dalam membuat rencana penelitian
tentu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Dalam menyusun kutipan Supardi juga mengutib tulisan
Moh. Nazir dapat melakukannya dalam berbagai bentuk yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Quotasi, adalah mengutib secara langsung tanpa mengubah satu katapun dari kata-kata pengarang.
Dalam hal ini harus digunakan dua tanda kutib.
2. Paraphrase, adalah mengutib seluruh isi bacaan dengan menggunakan kata-kata si peniliti atau si
pembaca sendiri.
3. Summary atau Ikhtisar, adalah mencatat sinopsis atau kependekan dari keseluruhan pemikiran yang
ada dalam bacaan dengan menggunakan kata-kata sendiri.
4. Precis (baca: praisi), adalah kependekan isi yang lebih padat dari summary, dengan memilih secara
hati-hati materi yang akan dipendekkan dengan menggunakan kata-kata sendiri yang tidak lari dari
rencanna orisinal artikel.
b. Studi Kepustakaan (library research)
Yaitu dengan mendatangi perpustakaan dan mencari buku-buku literatur yang sesuai dengan masalah
yang diangkat, buku-buku yang dimaksud berupa buku elektronik dan informasi yang didapat digunakan
untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan prosedur pemberian kredit. Data yang diperoleh
melalui studi kepustakaan adalah sumber informasi yang telah ditemukan oleh para ahli yang kompeten
dibidangnya masing-masing sehingga relevan dengan pembahasan yang sedang diteliti, dalam
melakukan studi kepustakaan ini penulis berusaha mengumpulkan data sebagai berikut:
1. Mempelajari konsep dan teori dari berbagai sumber yang berhubungan dan mendukung pada
masalah yang sedang diteliti.
2. Mempelajari materi kuliah dan bahan tertulis lainnya.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi
sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan), Riau dan Sumatera Selatan. Meskipun
wilayah hutan mangrove yang luas tersebut ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok
mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000
ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh. Pada beberapa puluh tahun di akhir Abad 20, hutan mangrove
dunia mengalami penurunan drastis. Badan PBB yang mengurusi lingkungan (UNEP), juga memperkirakan
industri tambak udang telah menghancurkan seperempat hutan mangrove dunia. Penelitian terbaru pada tahun
2010 dari Peta Mangrove Dunia (WMA) menyebutkan seperlima ekosistem mangrove dunia telah hilang sejak
tahun 1980. Perkiraan luas mangrove di seluruh dunia adalah 1519,9 juta hektar (Belukap Mangrove Club,
2012).
Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi
sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar
200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar
dan sebagainya (Dahuri (2002). Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial
(2001) dalam Gunarto (2004) dalam Syakur (2009) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 1999
diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar akan tetapi sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data
FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari
luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).

Gambar 2.

Upaya konservasi mangrove untuk mengurangi dampak kerusakan mangrove di Indonesia telah dilakukan
di berbagai daerah dengan persebaran mangrove yang luas maupun di daerah dengan persebaran mangrove yang
relative sempit. Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan satu
dari areal yang terluas di dunia, yang sampai saat ini tidak mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi
penggunaan lain. Namun pada beberapa wilayah lain terjadi penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis,
terutama di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir. Sebagai
akibat dari konversi untuk penggunaan-penggunaan lain terutama pengembangan tambak akibat booming harga
udang pada tahun 80-an dan 90-an (Belukap Mangrove Club, 2012). Karena pentingnya ekosistem mangrove
bagi kehidupan manusia, maka dibutuhkan kesadaran dalam menjaga keseimbangan kelestarian ekosistem
mangrove. Untuk itu dibutuhkan strategi yang efektif dalam rangka perencanaan dan pengelolaan pembangunan
ekosistem hutan mangrove. Hal ini sudah menjadi konsekuensi terhadap responsibility pemerintah dan
masyarakat untuk melestarikan potensi kekayaan laut. Adapun strategi konservasi yang ditawarkan yaitu dengan
menggunakan metode "6R". Di bawah ini adalah tahap atau perencanaan pembangunan konservasi ekosistem
mangrove terdiri dari:

a) Restorasi, dimaksudkan sebagai upaya untuk menata kembali kawasan mangrove sekaligus melakukan
aktivitas penghijauan. Untuk melakukan restorasi perlu memperhatikan pemahaman pola hidrologi, perubahan
arus laut, tipe tanah, dan pemilihan spesies.
b) Reorientasi, dimaksudkan sebagai sebuah perencanaan pembangunan yang berparadigma berkelanjutan
sekaligus berwawasan lingkungan. Sehingga motif ekonomi yang cenderung merusak akan mampu
diminimalisasi.
c) Responsivitas, dimaksudkan sebagai sebuah upaya dari pemerintah yang peka dan tanggap terhadap
problematika kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini dapat ditempuh melalui gerakan kesadaran pendidikan
dini, maupun advokasi dan riset dengan berbagai lintas disiplin keilmuan.
d) Rehabilitasi, gerakan rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembalikan peran ekosistem
mangrove sebagai penyangga kehidupan biota laut. Salah satu wujud kongkrit pelaksanaan rehabilitasi yaitu
dengan menjadikan kawasan mangrove sebagai area konservasi yang berbasis pada pendidikan (riset) dan
ekowisata.
e) Responsibility, dimaksudkan sebagai upaya untuk menggalang kesadaran bersama sekaligus meningkatkan
partisipasi masyarakat. Wujud kongkritnya yaitu mengoptimalkan Kelompok Tani Mangrove. Contoh Kelompok
Tani Mangrove "Sidodadi Maju" (KTMSM).
f) Regulasi, Kabupaten Rembang memiliki Perda No. 8 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil di Kabupaten Rembang. Akan tetapi implementasi Perda tersebut tidak berjalan secara efektif
masih banyak pengambilan terumbu karang maupun perusakan kawasan mangrove yang diperuntukkan bagi
pembangunan pemukiman. Oleh sebab itu dalam kerangka pembuatan kebijakan hendaknya memperhatikan
efektifitas keberlakuan hukum antara lain substansi, kultur, dan aparatur.
3.2 Kondisi Konservasi/Perlindungan/Pengelolaan Mangrove di Indonesia
Sebagai akibat dari adanya kerusakan hutan tersebut, banyak kalangan di Indonesia dan di negara-negara
berkembang lainnya yang kemudian mengajukan konsep pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat atau
yang sering disebut dengan community-based forest management (Mirsa, 1982; Webb, 1982; Wiersum, 1990).
Konsep tersebut kemudian lebih populer di kalangan rimbawan dan ilmuan sosial-humaniora sebagai community
forestry (kehutanan masyarakat) atau social forestry (hutan kemasyarakatan). Konsep kehutanan masyarakat
merupakan salah satu wujud kesadaran dari beberapa pihak yang peduli terhadap nasib kehutanan setelah
berbagai masalah muncul akibat eksploitasi hutan (termasuk mangrove) yang berlebihan. Namun kesadaran
tersebut nampaknya belum diikuti perasaan insyaf sehingga belum bisa memperlakukan hutan mangrove secara
arif dan bijaksana. Buktinya, setelah hampir satu dasawarsa konsep hutan kemasyarakatan disosialisakan di
Indonesia, hasilnya tetap saja tidak bisa menahan laju kerusakan hutan. Sementara itu, masyarakat di sekitar
hutan kehidupan dan perekonomiannya kian terpuruk.
Semangat kehutanan masyarakat dan kolaborasi pengelolaan kawasan mangrove sudah mulai dirintis oleh
Departemen Kehutanan antara lain dengan mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre) di
Denpasar Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara) yang selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan
pelatihan, penyusunan dan sebagai pusat informasi. Untuk ke depan sedang dikembangkan Sub Centre Informasi
Mangrove di Pemalang Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai Sulawesi Selatan (untuk wilayah
Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), di Langkat Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan).
Hutan mangrove pada ekosistem pesisir merupakan zona peralihan antara ekosistem darat dan laut,
sehingga kewenangan pengelolaan mengharuskan keterlibatan multi sektoral/instansi. Hal tersebut tergambar
dari banyaknya pihak yang berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama dalam hal pemanfaatan hutan
mangrove sehingga memicu munculnya konflik yang tidak kunjung selesai. Sektor-sektor tersebut antara lain,
yaitu sektor perikanan, perhubungan, industri dan perdagangan, pertambangan, kehutanan, permukiman dan
pariwisata (Saparinto, 2007) yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kecenderungan
banyaknya instansi yang berwenang dalam mengelola hutan mangrove menimbulkan masalah baru yaitu
terjadinya tumpang tindihnya kebijakan, mempertajam konflik sektoral dan saling lempar tanggung jawab.
Kondisi demikian telah tergambar dari semakin rusaknya hutan mangrove hampir di seluruh pesisir
Indonesia. Sebagai contoh dalam kasus penanganan hutan mangrove di Delta Mahakam telah terjadi konversi
hutan mangrove dari 0% menjadi 80% dari total luas hutan mangrove yang ada (Suripno dkk, 2004), menjadi
kawasan pertambakan (budidaya udang) hanya dalam kurun waktu 15 tahun (1986 2001) bahkan ada
kecenderungan pelaksanaan aturan untuk green belt tidak diindahkan (Irawan dan Sari 2004). Banyak peraturan

perundang-undangan terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove yang telah diterbitkan yaitu : UU No. 5
tahun 1965 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok
Kehutanan, UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 11 tahun 1974 tentang
Pengairan, UU No. 5 tahun 1979 Pemerintah Desa, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 9 tahun 1990 tentang Pariwisata, UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, UU No. 23 tahun 1997 tentang Ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Otonomi Daerah, UU No. 25 tahun 1999 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah dan UU
No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam rentang waktu (1965 1999) tersebut ada 6 instansi yang
berwenang dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu Badan Pertanahan, Departemen Kehutanan, Departemen
Dalam Negeri, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pariwisata.
Dalam implementasinya pengelolaan hutan mangrove pengelolaan berada di bawah wewenang
Departemen Kehutanan UU No. 5 tahun 1967; UU No. 5 tahun 1990 tentang; UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan dan UU No. 19 tahun 2004; Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985. Terbitnya UU No. 31 tahun
2004 dan UU No.27/2007 menambah daftar jumlah undang-undang yang memuat tentang pengelolaan hutan
mangrove dan menambah daftar panjang instansi yang berwenang mengelola wilayah pesisir khususnya hutan
mangrove.
3.2.1 Dasar Kewenangan Pengelolaan Mangrove
1. Undang-Undang No. 5 tahun 1990
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Pasal 3).
2. Undang-Undang No. 41 tahun 1999
Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan: a.
perencanaan kehutanan, b. pengelolaan hutan, c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,
serta penyuluhan kehutanan, dan d. Pengawasan (Pasal 10 ayat 2).
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan: a. tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan, c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d. perlindungan hutan dan konservasi alam Pengawasan
(Pasal 21).
3. Undang-Undang No.27/2007
Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara
Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup
wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai
(Pasal 2).
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud Pasal 5 wajib melakukan
dengan cara mengintegrasikan kegiatan : a. Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah b. AntarPemerintah Daerah c. Antar sektor d. Antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; e. Antara
ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. Antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
terdiri atas : a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K). b. Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RAPWP-3- K). (Pasal 7 ayat 1).
3.2.2 Dasar Kewenangan Pemanfaatan Mangrove
1. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan : a.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; b. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa
liar (Pasal 26).
Pamanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian
fungsi kawasan (Pasal 27).
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi,
daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (Pasal 28).

2. Undang-Undang No. 41 tahun 1999


Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (Pasal 38 ayat 1).
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah
fungsi pokok kawasan hutan (Pasal 38 ayat 2).
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam
pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan (Pasal 38 ayat 3).
3. Undang-Undang No.27/2007
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari
perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu (Pasal 1 ayat 18). Pemanfaatan perairan
pesisir diberikan dalam bentuk HP-3 (Pasal 16 ayat 1). HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16
ayat 2). HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu (Pasal 17 ayat 1). Pemberian HP-3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi
kapal asing (Pasal 17 ayat 2). HP-3 dapat diberikan kepada: a. Orang perseorangan warga negara
Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c. Masyarakat Adat
(Pasal 18).
3.2.3

Kebijakan Negara dan Kebijakan Kehutanan


Pengembangan kebijakan kehutanan nasional secara umum terpusat pada kebutuhan dan persyaratan bagi
implementasi pengelolaan hutan secara berkesinambungan. Indonesia menyadari kebutuhan bagi pengelolaan
hutan berkesinambungan, untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional dan keuntungan bagi
penduduk lokal. Ada beberapa permasalahan penting dalam kebijakan pembangunan kehutanan antara lain
penebangan hutan, degradasi hutan, illegal logging, pembukaan lahan perkebunan, devolusi dan desentralisasi
pengelolaan hutan, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kehutanan, dan konservasi. Sebuah contoh dari
pengutamaan kebijakan kehutanan nasioanl adalah proses program hutan nasional yang dilaksanakan melalui
Keputusan Presiden No 80/2000. Pada Juli 2007 berlangsung dialog antar stakeholder yang beragam dalam
dukungan proses tersebut yang diadakan di tiga daerah (Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara). Kunci
penting dari program hutan nasional Indonesia adalah perlindungan, produksi, dan partisipasi. Isu-isu utama
yang diangkat antara lain memerangi illegal logging, pencegahan kebakaran dan perusakan hutan,
merestrukturisasi industri berbasis kehutanan, penanaman hutan kembali dan reboisasi, dan desentralisasi sektor
kehutanan.
3.2.4 Kebijakan yang Saling Bertentangan
Pada umumnya banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya seperti satu atau lebih
departemen pemerintah (nasional, negara, dan lokal), masyarakat adat, dan pihak-pihak yang memiliki izin legal
dalam pengelolaan sumber daya. Konflik kebutuhan biasa terjadi pada agen-agen yang berbeda dalam satu
pemerintah. Agen-agen lingkungan dan taman-taman nasional mencoba untuk melindungi lingkungan dan
spesies yang terancam kelestariannya. Departemen Kehutanan, Pertanian, dan Perikanan mencoba mendapatkan
dana untuk menjalankan program-program tersebut. Kerjasama antar berbagai pihak tersebut, dapat mencegah
adanya konflik yang disebabkan oleh pengelolaan sumber daya. Konsorsium, forum, kelompok-kelompok
penasihat, komite atau wadah-wadah apa pun namanya mungkin diperlukan untuk menemukan cara yang terbaik
dalam pengelolaan sumber daya dengan memilah kebijakan-kebijakan yang berbeda.
Secara ekologis, pertanian di hulu dan perikanan di muara saling tergantung. Kesehatan terumbu karang,
tanaman bakau, dan rumput laut saling berhubungan satu sama lain. Penangkapan ikan secara liar dapat merusak
terumbu karang. Kerusakan terumbu karang dan hutan bakau juga mengurangi perikanan. Konsultasi antara
agen-agen kehutanan dan perikanan dapat memberikan jalan melalui metode-metode kehutanan yang dapat
mengurangi jumlah erosi dan sedimentasi di sungai-sungai yang mengalir ke laguna, muara, dan terumbu
karang.

Konflik antara agen-agen yang berbeda sering menjadi permasalahan utama bagi pihak pengelola sumber
daya. Itulah sebabnya mengapa beberapa rencana pengelolaan gagal. Departemen Pariwisata memiliki
kepentingan kuat pada lingkungan yang belum rusak, dengan pendapatan yang didapat dari pariwisata yang
sering lebih besar daripada kehutanan dan perikanan. Pariwisata adalah industri yang berkembang paling cepat
di berbagai negara.
Departemen Kelautan dan Perikanan juga dapat terkena dampak besar dengan terjadinya pendangkalan air
yang dialami ekosistem pesisir berdataran tinggi. Kebijakan yang ada sering berdampak pada muara dan pantai,
dan undang-undang penangkapan serta keberadaan environmental flows (tempat dimana perairan secara bebas
diberikan untuk membantu perikanan), membutuhkan pertimbangan. Demikian juga, pengelolaan kehutanan
dataran tinggi yang dapat berdampak luas pada kelestarian hutan bakau, karena hutan bakau sangat bergantung
pada pasokan air tawar. Departemen Perindsutrian memiliki kebijakan yang mempengaruhi polusi industri dan
pembuangan limbah yang penting bagi pengelola pesisir.
Departemen yang lain seperti Pertambangan dan Energi, Departemen Transportasi, Departemen
Pertahanan (khususnya Angkatan Laut), Departemen Kesehatan, serta Sekretarian Negara seringkali mempunyai
peranan koordinatif. Apabila memungkinkan, disarankan untuk bekerja melalui Sekretariat Negara pada area
pengelolaan yang lebih luas. Departemen yang penting lainya adalah departemen yang berhubungan dengan hakhak masyarakat pribumi. Negara Kamboja, misalnya, telah membuat sebuah departemen yang mengurusi
masalah koordinasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan (PMCR-Participatory Management of
Coastal Resources Agency).
Koordinasi antar departemen dan antar pihak diharapkan dapat menghindari terjadinya disefisiensi dan
konflik sehingga pengelolaan sumber daya dapat mencapai tujuan pemanfaatan yang maksimal secara
berkesinambungan. Sebagai contoh, Departemen Pertanian dan Departemen Perikanan mestinya berkoordinasi
berupaya mengurangi dampak-dampak yang ada. Metode-metode pertanian ditingkatkan untuk mengurangi
pengikisan sedimen.
3.2.5 Konflik Antartingkat Pemerintah yang Berbeda
Kebijakan nasional berlaku di seluruh negeri, namun peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah
sesungguhnya lebih efektif dalam mengendalikan kegiatan yang sifatnya merusak sumber daya pesisir. Peraturan
daerah dibentuk agar memudahkan untuk menentukan batas-batas pengelolaan dan menunjuk pihak yang
berwenang atas pengelolaan sumber daya. Pemerintah yang bijak akan menyadari nilai peraturan daerah dan
mendukung pemerintah daerah serta masyarakat untuk mengawasi sumber daya lokal mereka. Di Indonesia,
otonomi daerah telah memberikan kesempatan untuk membuat dan mengimplementasikan programprogram atas
inisiatif pemerintah lokal, dan juga menjamin pertisipasi masyarakat dalam legal drafting dan proses
implementasinya.
Dalam hal kebijakan dalam konteks banyak kepentingan seperti ini yang harus diingat adalah bahwa
seberapa pun kuatnya sistem kebijakan, konflik akan tetap selalu ada. Tidak ada sistem kebijakan yang
sempurna. Karenanya peraturan sekuat apa pun hendaknya cukup fleksibel agar bisa mengakomodasi banyak
kepentingan. Sebagai catatan, kebijakan-kebijakan yang benarbenar kuat dan bermanfaat adalah yang didukung
oleh masyarakat dari mayoritas stakeholder.
3.2.6 Kebijakan dan Konvensi Internasional
Pada tahun 1980-an, negara-negara di dunia ini telah menyadari fakta bahwa di samping kemajuan
pembangunan juga terjadi degradasi lingkungan hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul waktu itu, mengapa
sudah ada berbagai aturan dengan ancaman hukuman tinggi tetapi masih terjadi perusakan lingkungan yang
antara lain dilakukan masyarakat sendiri, dan bagaimana sebagainya pembangunan itu disempurnakan. Dalam
Sidang Umum PBB 1983 disepakati membentuk suatu komisi untuk mempelajari tantangan lingkungan dan
pembangunan serta cara-cara menanggulanginya. Sekjen PBB di tahun 1984 mengangkat Nyonya Gro Harlem
Brundtland (Perdana Menteri Norwegia) sebagai Ketua Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (the
World Commission on Environment and Development); salah seorang anggotanya, Prof. Emil Salim. Sidang
kerja pertama Komisi ini justru dilakukan di Jakarta (Maret 1985) berupa dialog langsung dengan pemerintah,
pengusaha dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Tahun 1987, Komisi membuat laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama),
yang juga dikenal sebagai The Brundtland Report. Komisi menyimpulkan, a.l. dalam praktek tidak adanya
keterpaduan antara pertimbangan pembangunan dengan pertimbangan ekologi, tidak adanya keterpaduan antar
instansi, dan hukum yang ada pada umumnya merupakan hukum yang tidak didukung oleh masyarakat. Untuk

mendapatkan dukungan masyarakat, Komisi merekomendasikan pembaharuan hukum di mana cara yang paling
baik menurut Komisi adalah melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang hidup
masyarakat setempat; dan melalui pemberian suara yang efektif pada masyarakat itu mengenai penggunaan
sumberdaya tersebut.
Jadi, peraturan dan konvensi internasional awalnya berasal dari agen-agen PBB, selanjutnya berasal dari
kerjasama regional (antara satu atau dua negara). Pemerintah bisa menandatangani perjanjian dan
mengesahkannya, kecuali hal tersebut merupakan legislasi internasional pada kebijakan nasional mereka sendiri,
maka tidak bersifat mengikat.
Kebijakan internasional dan konvensi merupakan kekuatan penting dalam membantu menjaga kelestarian
ekosistem dan pemanfaatannya secara berkesinambungan. Agen-agen internasional sering menyebarkan
informasi yang baik dan ratifikasi, yang mengindikasikan keinginan pemerintah untuk memberikan pengaruh
pada pengelola sumber daya, publik, dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Berikut daftar kebijakan dan
konvensi internasional yang dapat digunakan oleh pengelola mangrove di Indonesia:
United Nations Conference on Environment and Development (UNCED): Konferensi internasional di Rio
de Janeiro pada tahun 1992 memberikan resolusi untuk melindungi lingkungan yang disebut Agenda 21. Bab 17
dokumen ini mengupas sceara spesifik tentang lingkungan kelautan.
World Heritage Convention: konvensi untuk perlindungan warisan budaya dan alam dunia pada tahun
1972 didesain untuk melindungi warisan budaya (seperti Candi Borobudur) dan situs-situs khusus alam yang
bernilai tinggi (seperti Great Barrier Reef-Australia atau Ha Long Bai-Vietnam). Konvensi ini adalah
perlindungan tertinggi dunia yang melindungi situs kelautan dan hanya digunakan bagi situs-situs yang bernilai
besar dengan persetujuan penuh dari pemerintah nasional.
The International Convention on Wetlands (Ramsar): konvensi ini diadakan di Ramsar, Iran pada tahun
1971 dan umumnya dikenal dengan Konvensi Ramsar. Lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia,
menandatangani konvensi ini untuk mendukung penggunaan lahan basah (berlumpur) yang dikenal dengan
sustainable use, termasuk di dalamnya hutan Mangrove. Ada dua situs Ramsar yang terletak di Indonesia, yaitu
Danau Sentarum di Kalimantan (tidak terdapat tanaman bakau) dan sebuah kawasan mangrove di Sumatera
Selatan. Dibandingkan dengan negara lain, seperti Kanada, Indonesia hanya memiliki sedikit lahan basah yang
dirancang sebagai Situs Ramsar, padahal Kanada mempunyai 143 Situs Ramsar. Ini satu indikasi bahwa
kurangnya perhatian pemerintah Indonesia untuk menominasikan dan mengajukan lokasi-lokasi penting lahan
basah untuk dilindungi berdasarkan Konvensi Ramsar.
The Convention on Biological Diversity: konvensi ini mendukung integrasi konservasi keanekaragaman
hayati dengan kegiatan sektoral seperti perikanan dan penggunaan sumber daya lainnya. Hal ini bertujuan untuk
melindungi sumber daya keanekaragaman hayati yang besar. Terumbu karang adalah salah satunya.
3.2.7 Implikasi Terbitnya UU No.27/2007 terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove
Pengelolaan mangrove
Penjelasan atas UU No.27/2007 Pasal 2 menyatakan bahwa : Ruang lingkup pengaturan dalam UndangUndang ini meliputi Wilayah Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan
ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan perairan sekitarnya yang
merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya,
lingkungan, dan masyarakat. Dalam implementasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12 (dua belas) mil diukur
dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sedangkan ke arah
daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan untuk kewenangan provinsi. Kewenangan kabupaten/kota ke
arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pasal 2 tersebut mengamanatkan bahwa kewenangan Departemen Kelautan dan Perikanan dalam
pengelolaannya mencakup ekosistem mangrove, hal tersebut diperkuat oleh definisi wilayah pesisir (UU
No.27/2007 pasal 1 ayat 2) yang dinyatakan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan habitat hidup mangrove berada pada kawasan pesisir.
Apabila dipadukan dengan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan mangrove maka Departemen Kehutanan memiliki kewenangan atas dasar pengelolaan hutan, hal
tersebut tergambar dalam pasal Pasal 1 ayat 2 tentang definisi hutan, Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 21, maka akan
terlihat bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan (UU No.27/2007) berwenang mengelola hutan/ekosistem
hutan mangrove berdasarkan kawasannya atau ekosistemnya (wilayah pesisir) sedangkan Departemen

Kehutanan (UU No. 41/1999) memiliki wewenang pengelolaan terhadap hutannya. Walaupun pada Pasal 1 ayat
3 UU No. 41/1999 menyatakan bahwa hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta
jasa yang berasal dari hutan. Fakta ini menunjukkan adanya dua instansi yang berwenang dalam mengelola
wilayah/ekosistem yang sama.
Sehubungan dengan kewenangan pengelolaan kawasan pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan
berdasarkan UU No.27/2007, maka departemen ini berhak atas Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yaitu : Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RSWP-3- K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K), Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K). (Pasal 7 ayat 1).
Adanya kewenangan Departemen Kehutanan dalam Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (UU No. 5/1990), Kewenangan Menteri Lingkungan Hidup (UU No.23/1997 tentang),
Kewenangan setingkat Menteri yang ditunjuk sebagai koordinator oleh Presiden (UU No. 26/2007), UU No. 5
tahun 1974, dan Kewenangan Menteri Pekerjaan Umum (UU No. 11 tahun 1974) dalam pengelolaan hutan
mangrove maka dirasakan semakin mendesak adanya kebijakan pemerintah dalam pengaturan pengelolaan
tersebut. Sampai saat ini belum ada pejabat setingkat menteri yang mengkoordinasikan pengelolaan Hutan
Mangrove antar departemen maupun non depertemen.
Pemanfaatan hutan mangrove
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Pasal 38 ayat 1, 2 dan 3 memberikan kewenangan
Departemen Kehutanan dalam pemanfaatan hutan (khususnya hutan mangrove) dan kewenangann dalam
pemberian izin lokasi pertambangan (UU No. 19/2004). Adanya kewenangan pengelolaan wilayah pesisir yang
diamanatkan UU No.27/2007 pada Pasal 5 dan Pasal 7 ayat (1) kepada Departemen Kelautan dan Perikanan
maka departemen ini memiliki pula wewenang dalam pemanfaatan wilayah pesisir khususnya hutan mangrove.
Implikasi dari kewenangan tersebut adalah kewenangan pemberian HP-3 (Pasal 1 ayat 18, Pasal 16 ayat (1) dan
(2), Pasal 17 ayat (1) dan (2), dan Pasal 18 UU No.27/2007).
3.3 Solusi Kedepannya Mengenai Kondisi Konservasi Mangrove di Indonesia
Pemerintah Indonesia harus menggeser paradigma dalam mengelola sumber daya alam sebagai
konsekuensi logis diratifikasinya Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pergeseran paradigma tersebut antara lain
meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Memandang kawasan yang dilindungi yang semula semata-mata sebagai kawasan perlindungan
keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang mempunyai fungsi
sosial-ekonomi jangka panjang yang mendukung pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.
2. Penentuan kebijakan yang semula topdown menjadi bottom-up.
3. Pengelolaan berbasis pemerintah menjadi pengelolaan berbasis multi stakeholders dan atau berbasis
masyarakat lokal.
4. Pelayanan pemerintah dari birokratis normatif menjadi profesional-responsif fleksibel-netral; tata
pemerintahan dari sentralistik menjadi disentralistik; serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler
dan fasilitator.
5. Beban pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama antara pemerintah dan
penerima manfaat.
Dalam melaksanakan pengelolaan kawasan mangrove perlu meletakkan perspektif atau paradigma yang
nantinya akan dijadikan pijakan dalam berpikir dan bertindak. Adapun perspektif pengelolaan kolaboratif dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Pengelolaan hutan mangrove pada tingkat lokal dengan cara-cara yang sesuai dengan cara-cara lokal.
2. Melibatkan sejumlah keputusan-keputusan pemerintah yang berkenaan dengan pelibatan masyarakat lokal
dalam pengelolaan hutan mangrove.
3. Pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam kawasan yang
sama.
4. Pengelolaan hutan mangrove yang mengkaitkan secara simultan tujuan-tujuan lingkungan, ekonomi, dan
sosial budaya.

LSM cukup strategis dalam mengambil peran membentuk media atau forum yang representatif di tingkat
masyarakat yang dapat menjamin tersalurkannya aspirasi masyarakat lokal. Berikut ini adalah bagan dari proses
koordinasi untuk pembentukan wadah bersama.

Gambar 3. Bagan dari proses koordinasi untuk pembentukan wadah bersama


Sebagaimana diuraikan di atas, wadah tersebut harus dibangun di atas pondasi (konsep dasar) yang kuat.
Jika demikian adanya, maka pengelolaan kawasan mangrove yang dapat mendatangkan manfaat bagi bersama
tidak mustahil akan tercapai. Proses ini ibarat sebuah rumah, dibangun mulai dari bawah (pondasi), lalu bagian
tubuh yang mewadahi beragam kepentingan, dan terakhir atap yang dapat menaungi dan bermanfaat bagi mereka
yang hidup di dalamnya, seperti nampak dalam gambar di atas ini.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
1.Adanya dua instansi yang berwenang mengelola, memanfaatkan, melaksanakan penyidikan dan
kewenangan pemberian sanksi, maka sangat mendesak untuk segera mengoptimalkan pelaksanaan amanah
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan menunjuk pejabat setingkat menteri untuk
mengkoordinasikan langkah pengelolaan dan pemanfaatan hutan/ekosistem mangrove.
2.Perlunya kajian yang lebih komprehensif tentang pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang diatasnya terdapat
hutan mangrove.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.456/ Menhut-II/2004 Tentang 5
(Lima) Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan Dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia
Bersatu, Departemen Kehutanan, Jakarta.
FAO. 2007. The Worlds Mangroves 19802005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food
and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau. Jurnal Litbang Pertanian, hlm 23.
Irawan A, dan L.I. Sari. 2004. Potret degradasi lingkunan pesisir Kaltim, apa yang harus Kita Lakukan ?.
Samarinda Pos. Senin, 8 November 2004
Kusmana, C. 1993. A study on mangrove forest management based on ecological data in easter Sumatra,
Indonesia. Ph.D. Disertation. Faculty of Agriculture, Kyoto University, Japan. Unpublish.
Marsono, D., E.P. Rahayu, dan Udiono, 1995. Peran Rehabilitasi mangrove terhadap keanekaragaman biota
(Studi kasus di pantai Pemalang).
Martodiwirjo, S., 1994. Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove dalam Pelita VI. Bahan
Diskusi Panel Pengelolaan Hutan Mangrove, Mangrove Center, Denpasar, 26-28 Oktober 1994 (tidak
diterbitkan)
Melana, D.M., J. Atchue III, C.E. Yao, R. Edwards, E.E. Melana, and H.I. Gonzales. 2000. Mangrove
Management Handbook. Departemen of Environment and Natural Resources, manila, Philippines through
the Coastal Resource Management Project, Cebu Citu, Philippines.
Noor Y.R, M. Khazali dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. Ditjen PKA
dan Wetlands Internasional Indonesia Program. Bogor.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Priyono, A. 2007. Laporan Proyek Konservasi dan Pemulihan Kualitas Lingkungan. KeSEMaT, CV. Mitra Adhi
Pranata dan Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Kota Semarang. Semarang.
Saenger, P., E. J. Hegeri, J. D. S. David. 1983. Status of Mangrove Ecosystems. IUCN. Commission on Ecology.
Snedaker, S.C. 1978. Mangrove; Their Value's and Perpetuation, National Resources
Snedaker, S.C., 1978. Mangroves: their value and perpetution. Nature and Resources 14: 6-13.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabet,
2010), hlm. 300
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm.
157.
Suparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang.
Tomlinson, P. B. 1994. The Botany of Mangrove. Cambridge Univercity Press. New York.
Tomlinson, P.B., 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. Turner, R.E., 1977. Intertidal
vegetation and commercial yields of penaeid shrimp. Trans. Am. Fish. Soc. 106: 411-416. XII
Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan. Undang-Undang No. 5 tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang.
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Webb, L. J., 1982. The Human Face in Forest Management. Dalam E. G. Hallsworth (ed.). Social-economic
Effects and Constraints in Tropical Forest management. John Wiley & Sons. Singapore.
Wiersum, K. Freek. 1990. International Experiences in Social Forestry. Dalam Social Forestry in Indonesia.
Food and Agriculture Organization of the United nations. Bangkok.

You might also like