You are on page 1of 11

PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI CANGKANG KULIT BUAH

KARET (Hevea brasilliensis)

Rananda Vinsiah, Andi Suharman, Desi


(Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sriwijaya)
Email : rananda_vinsiah@yahoo.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi dan daya serap
karbon aktif yang dibuat dari cangkang buah karet. Proses karbonisasi karbon aktif
dilakukan dengan menggunakan alat furnace dengan variasi suhu yaitu 300C, 400C,
500C dan 600C. Kemudian direndam selama 24 jam dengan larutan H3PO4 dengan
konsentrasi 7 %. Adapun hasil karakterisasi yang didapat adalah kadar air dan volatite
matter terendah dimiliki sample dengan suhu furnace 600C sebesar 1,584694 % dan
20,31735 %. Lalu untuk kadar abu terendah dimiliki oleh sampel suhu furnace 300C
yakni sebesar 1,793984%. Kemudian untuk daya serap maksimum terhadap metilen
blue dan iodin adalah sampel suhu furnace 500C dan 600C yakni 592,8590 mg/g dan
14,1301 mg/g. Kondisi optimum pembuatan karbon aktif dalam penelitian ini adalah
karbon aktif yang dibuat pada suhu 600C, dimana karbon pada suhu ini memiliki
kadar air sebesar 1,584694 % ; kadar abu 4,530752 % ; volatile matter 20,31735 % ;
daya serap iodium 500,6268 mg/g ; dan daya serap metilen biru sebesar 14,1301 mg/g.
Abstract: This research is purposed to determine the characteristic and adsorbtion
ability of activated carbon which is made from rubber fruit shell. The carbonisation
process was carried on different temperature i.e. 300C, 400C, 500C and 600C.
Then a resulted 4 samples was soaked in 7 % H3PO4 liquid for 24 hours. As the result
of characterisation, the lowest water degree and volatile matter degree with the value
1,584694 % and 20,31735 % respectively were from sample 4. And the lowest ash
degree was from sample 1 which is furnaced by 300C, about 1,793984 %. Then the
maximum adsorbtion of Iodine and Metilene Blue were fro sample 3 and 4, about
592,8590 mg/g and 14,1301 mg/g. Activated carbon which is produced in temperature
600C had an optimum result in water degree, ash degree, volatile matter degree, and
adsorbtion of iodine and metilene blue with respectively the value 1,584694 %;
4,530752 %; 20,3i735 % ; 500,6288 mg/g for and 14,1301 mg/g.
Key words: Rubber fruit shells, activated carbon, chemistry activation, carbon
characterisation, iodium, and metilene blue.

189

PENDAHULUAN
Karet merupakan salah satu jenis
tanaman HTI (Hasil Tanaman Industri) yang
cukup banyak ditanam dan berhasil
dikembangkan khususnya dalam dunia
industri. Di Indonesia, karet merupakan satu
dari sepuluh komoditi strategis agroindustri
(Utomo dkk. 2012:1).
Sumatera Selatan
(Sumsel) merupakan salah satu dari 33
provinsi yang ada di Indonesia yang dikenal
sebagai penghasil karet (lateks) dalam jumlah
yang cukup banyak. Di sekitar 11 wilayah
Kabupaten Sumsel, pohon karet dapat dengan
mudah ditemukan, misalnya di hutan-hutan,
perkebunan dan pedesaan, hanya saja
kebaradaannya belum terorganisir.
Berdasarkan informasi yang diperoleh
dari Direktorat Jenderal Industri dan Kimia
Departemen
Perindustrian
mengenai
pemanfaatan pohon karet (Suroso, dkk
2012:9), diketahui bahwa cangkang buah karet
belum termanfaatkan secara optimal bahkan
kadangkala menjadi suatu limbah yang tidak
memiliki nilai jual. Padahal bahan tersebut
memiliki potensi untuk diolah menjadi produk
yang lebih bermanfaat dan bernilai jual,
misalnya karbon aktif. Selain itu, Detnom dan
Mazzoni dalam Roimah (2006:1) menyatakan
bahwa karbon aktif dapat dibuat dari hampir
semua bahan yang mengandung karbon. Salah
satunya adalah dari tumbuhan, khususnya
tumbuhan-tumbuhan yang mengandung lignin
atau zat kayu seperti batang pohon atau bagian
tumbuhan yang lain yang mengandung lignin.
Berdasarkan hal ini peneliti tertarik
untuk memaksimalkan pemanfaatan cangkang
buah karet untuk diolah kembali menjadi suatu
produk karbon aktif agar dapat digunakan
sebagai adsorben sekaligus menaikkan nilai
ekonominya dengan rumusan masalah yakni
bagaimana karakter karbon aktif yang
terbentuk dari cangkang buah karet, sehingga
dapat diketahui sifat fisik dan kimia karbon
aktif cangkang buah karet dapn proses-proses
kimia yang terjadi. Oleh karena itu, pada
penelitian ini digunakan cangkang kulit buah

karet sebagai bahan baku membuat karbon


aktif.
a. Karet (Hevea brasilliensis Wild)
Karet atau memiliki nama latin Hevea
brasilliensis merupakan tanaman asli dari
lembah Sungai Amazon, Brazil, Amerika
Selatan. Tanaman dapat tumbuh baik di
daerah daratan rendah yakni hingga ketinggian
200 m dari permukaan laut dengan kebutuhan
sinar matahari minimum 5 7 jam perhari.
Karet mampu tumbuh hingga mencapai
ketinggian 15 25 m. Dalam dunia tumbuhan,
karet memiliki taksonomi sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Sub Famili : Mimosoidae
Genus
: Hevea
Species
: Hevea brasilliensis
(Wild) Muell. Agr
Secara fisik cangkang buah karet
memiliki ciri ini sebagai tumbuhan yang
berlignin. Konstruksi cangkang yang keras
mengindikasi bahwa cangkang buah karet ini
mengandung senyawa aktif berupa lignin.
Selain pemanfaatannya yang masih kurang
optimal, jika dibandingkan dengan bagian
buah lainnya, bagian cangkang termasuk
bagian yang mengandung lignin yang cukup
banyak, sehingga bagian ini cukup potensial
untuk diolah menjadi produk karbon aktif
yang sangat bermanfaat dan bernilai jual yang
tinggi. Hal ini akan membuat cangkang buah
karet menjadi lebih termanfaatkan.
Tabel 1. Komposisi Kimia yang
Terkandung dalam Cangkang Karet (Pari
dalam Esih Susi Safitri, 2003)
Komponen
Penyusun
Selulosa
Lignin
Pentosan
Kadar Abu

Presentase
(%)
48,64
33,54
16,81
1,25

190

Kadar Silika

b.

0,52

Karbon dan Karbon Aktif


Arang atau dalam kimia biasa disebut
karbon merupakan salah unsur yang cukup
mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Tryana dan Srama dalam Fauziah
(2009), arang atau karbon merupakan residu
hitam berbentuk padatan berpori yang
mengandung 85-95 % karbon yang nantinya
akan dihasilkan dengan menghilangkan
kandungan air dan komponen volatile dari
bahan-bahan yang mengandung karbon melalui
pemanasan pada suhu tinggi. Kendati
demikian, masih terdapat sebagian pori
pori yang tetap tertutup dengan hidrokarbon,
ter dan senyawa organik lain.
Kualitas karbon aktif juga dipengaruhi
oleh kesempurnaan dalam proses karbonisasinya.
Menurut Tutik M dan Faizah H dalam Elly
(2008 : 98), karbonisasi merupakan proses
penguraian selulosa menjadi karbon pada
suhu berkisar 275C. Proses ini sangat
dipengaruhi oleh suhu dan akan menentukan
kualitas dari karbon yang dihasilkan.
Banyaknya karbon yang dihasilkan ditentukan
oleh komposisi awal biomassa yang
digunakan. Bila dalam proses karbonisasi
kandungan zat menguap semakin banyak
maka akan semakin sedikit karbon yang
dihasilkan karena banyak bagian yang terlepas
ke udara.
Menurut R. Sudrajat dalam Elly (2008),
proses karbonisasi memiliki 4 tahapan tertentu,
yaitu:
1. Pada suhu 100 - 120C penguapan air
akan berlangsung, selanjutnya saat suhu
mencapai 270C mulai terjadi penguapan
selulosa. Destilat yang dihasilkan akan
mengandung asam organik dan sedikit
metanol.
2. Pada suhu 270 - 310C reaksi eksotermik
berlangsung. Pada suhu ini selulosa akan
mengalami penguraian secara intensif
menjadi larutan pirolignat, gas kayu, dan
sedikit ter. Asam pirolignat merupakan
asam organik dengan titik didih rendah

seperti asam cuka dan metanol,


sedangkan gas kayu terdiri atas CO dan
CO2.
3. Pada suhu 310 - 510C lignin mulai
mengalami penguraian sehingga akan
dihasilkan lebih banyak ter. Larutan
pirolignat akan menurun dan produksi
gas CO2 pun ikut menurun. Namun hal
berbeda terjadi pada gas CO, CH4, dan
H2 yang jumlahnya meningkat.
4. Pada suhu 500 - 1000C merupakan tahap
terjadinya
pemurnian
arang
atau
peningkatan kadar karbon.
Berdasarkan Fauziah (2009 : 6) penilaian
kualitas karbon dapat dilakukan berdasarkan :
1. Ukuran, misalnya berupa batangan,
serbuk halus, atau pecahan.
2. Sifat fisik, misalnya berupa warna, bunyi,
nyala, kekerasan, kerapuhan, nilai kalor,
dan berat jenis.
3. Analisa karbon, mencakup beberapa
analisa seperti analisa kadar air, kadar abu,
karbon sisa, dan zat mudah menguap.
4. Suhu maksimum karbonisasi dan
kemurnian karbon
Dalam proses pembuatan karbon aktif, arang
atau karbon merupakan produk setengah jadinya.
Sedangkan, karbon aktif merupakan karbon yang
diproses sedemikian rupa sehingga memiliki
daya serap atau adsorbsi yang tinggi terhadap
bahan lain yang umumnya berbentuk larutan atau
uap. Perbedaan strukturnya dengan karbon biasa
terletak pada persilangan rantai karbonnya dan
ketebalan lapisan (microcrystalin).

Gambar 1. Perbedaan Struktur Grafit dan


Karbon Aktf (Suhartana, 2007)
Menurut Purnomo (2010:2), karbon aktif
adalah suatu bahan mengandung karbon amorf

191

yang memiliki permukaan dalam (internal


surface) sehingga memiliki daya serap tinggi.
Sedangkan menurut Austin (1996:134), karbon
aktif adalah karbon amorf yang telah mendapat
perlakuan dengan uap dan panas sampai
mempunyai afinitas yang kuat sekali untuk
menyerap (absorbsi) berbagai bahan. Karbon
aktif dapat dihasilkan dari bahan-bahan
organik yang mengandung karbon atau dari
arang yang telah mendapatkan perlakuan
khusus agar permukaannya menjadi lebih luas.
Dalam pembuatan karbon aktif, tidak hanya
bahan bakunya saja yang yang perlu
diperhatikan. Tapi juga proses aktivasinya,
karena aktivasi merupakan hal penting yang
turut berpengaruh dalam pembuatan karbon
aktif.
Karbon aktif merupakan karbon atau
arang yang telah mengalami perbesaran pori
atau luas permukaan sehingga dapat menyerap
zat-zat lain yang ada di sekitarnya. Karbon
aktif umumnya banyak digunakan sebagai zat
penyerap (adsorben) zat-zat pengotor yang
terkandung di dalam air dan sebagai norit
(obat diare) dalam dunia medis. Karbon aktif
juga memiliki kelebihan lain yakni mudah
untuk dibuat, sebab proses pembuatannya
termasuk proses yang cukup sederhana.
Dalam pembuatan karbon aktif, tidak
hanya bahan bakunya saja yang perlu
diperhatikan, juga proses aktivasinya. Karena
merupakan hal penting yang turut berpengaruh
dalam pembuatan karbonaktif. Proses aktivasi
merupakan suatu perlakuan terhadap karbon
agar karbon mengalami perubahan sifilt,
baik fisik maupun kimia, dimana luas
permukaannya meningkat tajam akibat
terjadinya penghilangan senyawa tar dan
senyawa sisa-sisa pengarangan.
Menurut Elly (2008:99), ada dua metode
aktivasi yang dapat digunakan dalam
pembuatan karbonaktif, yakni :
1. Aktivasi kimia yakni pengaktifan arang
atau karbon dengan menggunakan bahanbahan kimia sebagai activating agent

2.

yang dilakukan dengan cara merendam


arang dalam larutan kimia, seperti ZnCl2,
KOH, HNO3, H3PO4, dan sebagainya.
Aktivasi fisika yakni pengaktifan arang
atau karbon dengan menggunakan
panas, uap, dan CO2 dengan suhu tinggi
dalam sistem tertutup tanpa udara sambil
dialiri gas inert.

Dari kedua jenis proses aktivasi yang


ada, menurut Suhendra dan Gunawan
(2010:23), cara aktivasi kimia memiliki
berbagai keunggulan tertentu dibandingkan
dengan cara aktivasi fisik, diantaranya adalah :
1. Dalam proses aktivasi kimia, zat kimia
pengaktif sudah terdapat dalam tahap
penyiapannya sehingga proses karbonisasi
dan proses aktivasi karbon terakumulasi
dalam satu langkah yang umumnya disebut
one-step activation atau metode aktivasi
satu langkah.
2. Dalam proses aktivasi kimia, suhu yang
digunakan umumnya lebih rendah
dibanding pada aktivasi fisik.
3. Efek dehydrating agent pada aktivasi
kimia dapat memperbaiki pengembangan
pori di dalam struktur karbon.
4. Produk yang dihasilkan dalam aktivasi
kimia lebih banyak dibandingkan dengan
aktivasi fisik.
Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas
dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat
adsorpsinya selektif, tergantung pada besar
atau volume pori-pori dan luas permukaan.
Struktur pori ini erat kaitannya dengan daya
serap karbon, dimana semakin banyak poripori pada permukaan karbon aktif maka daya
adsorpsinya juga semakin meningkat. Dengan
demikian kecepatan adsorpsinya akan
bertambah. Penggunaan karbon aktif yang
telah dihaluskan otomatis akan meningkatkan
kecepatan adsorpsinya.
Luas permukaan karbon aktif berkisar
antara 600 2000 m2/g (Sugiyarto, 2001:8.5).
Umumnya zat ini banyak digunakan sebagai
zat penyerap (adsorben) zat-zat pengotor yang

192

terkandung di dalam air dan bahkan telah


digunakan secara komersil dalam dunia
industri. Menurut Purnomo (2010:2), karbon
aktif merupakan suatu bahan yang mengandung
karbon amorf yang memiliki permukaan dalam
(internal surface) sehingga memiliki daya serap
tinggi. Selain fungsinya sebagai adsorben,
karbon aktif juga dapat digunakan dalam dunia
pengobatan sebagai norit (obat diare). Di
samping itu, karbon aktif juga memiliki
kelebihan lain yakni mudah untuk dibuat,
sebab proses pembuatannya termasuk proses
yang cukup sederhana. Kualitas karbon aktif
dapat dinilai berdasarkan persyaratan (SNI)
063730-1995 pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar Karbon Aktif (SNI) 06
3730-1995
Jenis Persyaratan
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Zat Menguap
Kadar Karbon Terikat
Daya Serap Terhadap Yodium
Daya Serap Terhadap Benzena

Parameter
Mak. 15 %
Mak. 10 %
Mak. 25 %
Min. 65 %
Min. 750 mg/g
Min. 25 %

METODE PENELITIAN
1.

Alat dan Bahan :


a. Alat: Spektrofotometer
serapan
atom, ayakan 100 mesh, neraca
analitik, alat furnace, oven,
buret, erlenmeyer, corong,
kertas saring, kurs porselen,
gelas ukur, labu ukur, pipet
tetes, kertas lakmus, tabung
sentrifugasi, shaker, pengaduk
magnetik.
b. Bahan: Cangkang buah karet, larutan
standar H3PO4 7%, aquadest,
larutan iodin 0,1 N, larutan
tiosulfat 0,1 N, larutan amilum
1%, dan larutan metilen biru.

2.

Prosedur Kerja
a. Persiapan Sampel dan Pembuatan
Arang (Karbon)
Cangkang buah karet dikeringkan lalu

dikarbonisasi dalam furnace dengan


variasi suhu 300C, 400C, 500C, dan
600C selama 1 jam. Karbon yang
dihasilkan dihaluskan lalu diayak
dengan ayakan 100 mesh.
b. Pembuatan Karbon Aktif
Karbon direndam dalam larutan
aktivator H3PO4 7% selama 24 jam
dengan ratio perbandingan 1:4. Setelah
itu, karbon dicuci dan disaring, lalu
dikeringkan pada suhu 100C untuk
mengurangi jumlah pelarutnya. Karbon
aktif
yang didapat selanjutnya
dianalisa.
3.

Metode Analisa
a. Uji Kadar
1. Kadar Air
Timbang 1 gram sampel dalam
cawan yang telah diketahui
beratnya, kemudian dioven pada
suhu 110C hingga beratnya
konstan, kemudian didinginkan
dalam eksikator lalu ditimbang.
2. Kadar Zat Menguap (Volatile)
Timbang 1 gram sampel dalam
cawan yang telah diketahui
beratnya, kemudian dioven pada
suhu 900C selama 7 menit.
Setelah penguapan selesai, cawan
dimasukkan ke dalam eksikator
hingga
suhu
konstan
dan
selanjutnya ditimbang.
3. Kadar Abu
Timbang 1 gram sampel dalam
cawan
yang telah diketahui
beratnya, kemudian diabukan di
dalam furnace hingga seluruh
sampel menjadi abu, kemudian
didinginkan dalam eksikator hingga
suhu konstan lalu ditimbang.
b. Uji Daya Serap
1. Uji Daya Serap Terhadap Larutan
Iodium
Timbang sampel sebanyak 0,5 gr
lalu masukkan ke dalam erlenmeyer

193

lalu tambahkan 50 ml larutan


iodium 0,1 N. Kemudian shaker
campuran selama 15 menit pada
suhu
kamar.
Selanjutnya,
campuran dipindahkan ke tabung
sentrifugal untuk disentrifugasi
hingga sampel mengendap di dasar.
Lalu cairan dipipet sebanyak 10 ml
dan dititer dengan larutan tiosulfat
0,1 N. Jika warna kuning pudar,
tambahkan larutan kanji 1 %
sebagai indikator.
Lalu titrasi
kembali hingga warna biru hilang.
Untuk perbandingan digunakan
larutan iodin blanko dengan cara
yang sama.
2. Uji Daya Serap Terhadap Larutan
Metilen Biru
Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gr
kemudian dimasukan ke dalam
erlenmeyer.
Selanjutnya
tambahkan 50 ml larutan metilen
biru dan kocok selama 30 menit.
Filtrat kemudian dipipet sebanyak 5
ml lalu dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 ml, lalu diencerkan
dengan aquadest hingga larutan
menjadi 100 ml. Ukur daya
serapnya pada panjang gelombang
serapan maksimum.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Karbonisasi
Karbonisasi adalah proses yang penting
dalam penelitian ini. Tujuannya adalah untuk
mengubah bahan baku yang digunakan, yakni
cangkang buah karet, diubah menjadi karbon
yang selanjutnya akan diaktifasi menjadi
karbon aktif. Proses karbonisasi merupakan
suatu proses pembakaran yang akan mengubah
suatu material menjadi karbon. Menurut
Fessenden (1982), pembakaran adalah reaksi

cepat suatu senyawa dengan senyawa oksigen


yang disertai dengan pembebasan kalor (panas)
dan cahaya. Namun pada pembentukan karbon
proses karbonisasi yang digunakan adalah
pembakaran tak sempurna. Pembakaran tak
sempurna adalah proses pembakaran dengan
persediaan oksigen terbatas yang akan
menghasilkan CO atau karbon dalam bentuk
arang atau jelaga (Fessenden,1982).
Reaksi pembakaran tidak sempurna :
CnH2n+2 + O2 nCO + (n+1) H2O
CnH2n+2 + O2 nC + (n+1) H2O
(Linawati,
2001)
Pada proses karbonisasi cangkang buah
karet, suhu karbonisasi yang digunakan adalah
300C, 400C, 500C dan 600C. Dasar
pemilihan dari variasi suhu ini adalah teori
mengenai keunggulan aktivasi kimia menurut
Suhendra dan Gunawan (2010 : 23), yakni
dalam proses aktivasi kimia suhu yang
digunakan relatif lebih rendah dibandingkan
dengan aktivasi fisika. Menurut Amalia
(2001), suhu aktivasi yang terlalu tinggi
beresiko terjadinya oksidasi lebih lanjut pada
karbon sehingga dapat merusak ikatan C-C
karbon. Selain itu juga pemilihan suhu juga
didasari oleh teori Sudrajat dalam Elly (2008)
yang menyatakan bahwa proses karbonisasi
terdiri atas 4 tahap tertentu, yakni penguapan
air, penguapan selulosa, penguapan lignin dan
terakhir pemurnian karbon.
Berdasarkan
alasan ini maka dipilih rentang suhu pada
tahap penguapan lignin yang merupakan tahap
sebelum proses pemurnian karbon yakni suhu
300C dan 400C dan tahap pemurnian karbon
yakni suhu 500C dan 600C untuk melihat
bagaimana kualitas karbon yang nantinya akan
dihasilkan. Adapun data rendemen karbonisasi
yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

194

Tabel 3 Data Rendemen Karbonisasi Sampel


Keterangan

1.

Massa Sebelum
furnace
Massa Setelah
furnace
Massa Hilang
% Rendemen
% Yang Hilang

300C

2.
3.
4.
5.

50,10 gr

46,43 gr

39,60 gr

62,39 gr
58,4067 %
41,5933 %

99,90 gr
33,4000 %
66,6000 %

103,57 gr
30,9533 %
69,0467 %

110,40 gr
26,4000 %
73,6000 %

Hasil Uji Kadar


Pada proses analisa kadar air, kadar abu
dan kadar zat terbang (volatile matter) metode
yang digunakan adalah metode gravimetrik
yakni dengan menghitung kuantitas atau
jumlah sampel berdasarkan perhitungan
selisiih berat zat.

Presentase Kadar Air (%)

3.40051 2.92796 2.70675


9
8
7

600C

87,61 gr

2.

Karbonisasi Bahan Baku Pada Suhu


400C
500C
150 gr

1.58469
4

1
0
Sampel I Sampel II Sampel III Sampel IV
(300C) (400C) (500) (600C)
Sampel Karbon

bebas yang terikat pada karbon terlepas dan


membentuk fase gas. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Sjostrom dalam Nailul
Fauziah (2011) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi suhu maka semakin meningkat
pula proses dehidrasi dalam karbon sehingga
air yang terkandung semakin banyak yang
menguap dan kadarnya akan semakin rendah.
Kadar air yang semakin tinggi akan
menyebabkan daya serap karbon semakin
berkurang.
Presentase Abu
(%)

No.

3.090394.53075
1.793981.85085 5
2
4
1
4
2
6

0
Sampel Sampel
I (300C)
Sampel
II (400C)
Sampel
III (500C)
IV (600C)
Sampel Karbon

Gambar 2. Grafik Kadar Air Karbon Aktif


Gambar 3. Grafik Kadar Abu Karbon Aktif
Berdasarkan Gambar 2 kadar air yang
dihasilkan berkisar antara 3,5 % - 1,5 %.
Sesuai SNI 06 3730 1995, semua sampel
karbon telah memenuhi standar kadar air.
Kadar air tertinggi dimiliki oleh sampel karbon
yang dikarbonisasi pada suhu 300C yakni
sebesar 3,40052 %. Sedangkan kadar air
terendah dimiliki oleh sampel karbon yang
dikarbonisasi pada suhu 600C yakni sebesar
1,584694 %.
Kadar air ini mengalami
penurunan seiring dengan naiknya suhu
karbonisasi yang digunakan. Secara kimia
H2O mulai mengalami perubahan fase menjadi
gas pada saat telah mencapai titik didihnya,
yakni pada suhu 100C. Pada titik itu, H2O

Berdasarkan data tabel 3, semua sampel


karbon yang diuji memiliki kadar abu yang
telah memenuhi standar SNI. Suhu 300C
merupakan karbon aktif dengan kadar abu
terendah yakni sebesar 1,793984 %.
Sedangkan kadar abu tertinggi dimiliki oleh
karbon aktif yang dikarbonisasi pada suhu
600C yakni sebesar 4,597352 %. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai kadar abu bertambah
seiring dengan naiknya suhu yang digunakan
dalam proses karbonisasi. Pada suhu 300C,
karbon aktif yang dihasilkan masih memiliki
sisa-sisa bahan organik yang belum sempat
menguap yang kadarnya lebih banyak

195

80
60
40
20
0

59.2528
3
29.1605 24.2893
20.3173
2
7
5

Sampel Sampel Sampel Sampel


I
II
III
IV
(300C) (400C) (500C) (600C)
Sampel Karbon

Gambar 4 Grafik Kadar Zat Menguap


Karbon Aktif
Berdasarkan gambar 4, suhu karbonisasi
yang tinggi akan menghasilkan karbon dengan
kadar zat menguap yang rendah. Kadar zat
menguap tertinggi dimiliki oleh sampel yang
dikarbonisasi pada suhu 300C yakni sebesar
59,25283 %.
Sedangkan kadar volatile
terendah dimiliki oleh sampel yang
dikarbonisasi pada suhu 600C sebesar
20,3173 %. Penurunan kadar zat menguap ini
terjadi seiring dengan naiknya suhu
karbonisasi karbon yang digunakan. Menurut
Hendra dan Darmawan dalam Nailul Fauziah
(2011), besarnya kadar zat menguap ditentukan
oleh waktu dan suhu pengarangan. Ketika

lama proses karbonisasi dan suhu ditingkatkan


maka zat menguap yang terbuang akan
semakin banyak, sehingga kadar zat menguap
akan semakin rendah. Adanya zat menguap
yang masih menempel pada karbon akan
mempengaruhi daya serap karbon. Semakin
tinggi suhu maka zat menguap yang menutupi
karbon semakin banyak yang menguap,
sehingga permukaan pori karbon yang tadinya
tertutup akan terbuka dan meningkatkan
kemampuan menyerap karbon. Berdasarkan
dari data yang didapat, hanya data karbonisasi
pada suhu 500C dan 600C saja yang
memenuhi standar kadar volatile atau zat
menguap yang sesuai standar ketentuan SNI,
sedangkan untuk data karbonisasi pada suhu
300C dan 400C tidak.

Daya SErap (mg/g)

% Kadar Zat Menguap

dibandingkan kadar abunya. Semakin tinggi


suhu maka kadar abu semakin meningkat.
Menurut Sudrajat dalam Nailul Fauziah
(2011), peningkatan kadar abu dapat terjadi
akibat terbentuknya garam-garam mineral pada
saat proses pengarangan yang bila dilanjutkan
akan membentuk partikel-partikel halus dari
garam mineral tersebut. Ini dapat disebabkan
karena adanya kandungan bahan mineral yang
terdapat di dalam bahan awal biomassa
pembuat karbon. Bahan mineral inilah yang
kemudian akan membentuk menjadi senyawa
abu apabila dilakukan proses okesidasi. Reaksi
pembentukan abu :
2 Ba + O2 2
BaO
2 Ca
+ O2 2 CaO
(Keenan, Kleinefelter dan Wood, 1984:337)

800
600
400

302.986 329.338
5
4

592.859 500.626
8

200
0
Sampel I Sampel II Sampel III Sampel
(300C) (400C) (500C)
IV
(600C)
Sampel Karbon

Gambar 5 Grafik Daya Serap Karbon Aktif


terhadap Iodium
Dari data grafik di atas, pada suhu
300C karbon aktif berhasil menyerap molekul
iodium sebesar 302,9864 mg/g. Kemudian
pada suhu 400C kinerja karbon aktif pada
penyerapan iodium meningkat menjadi
329,3385 mg/g. Nilai tertinggi penyerapan
iodium oleh karbon aktif ini terjadi pada suhu
500C yakni sebesar 592,8590 mg/g. Namun,
setelah mencapai titik 600C penyerapan
iodium oleh karbon aktif tersebut mengalami
penurunan yakni menjadi sebesar 500,6268
mg/g.
Berdasarkan hasil tersebut, terlihat
bahwa semakin tinggi suhu karbonisasi yang

196

pencucian. Hal ini menyebabkan daya serap


karbon menjadi rendah.
Daya Serap (mb/g)

digunakan daya serap karbon aktif semakin


meningkat. Ini dapat dilihat dari semakin
meningkatnya penyerapan karbon dari suhu
300C hingga ke suhu 500C. Penyerapan
maksimum iodium berada pada titik suhu
karbonisasi 500C. Ini terjadi karena pada
suhu karboninasai ini rongga pori yang
dihasilkan masih kecil sehingga ukuran
molekul yang cocok masuk di dalam pori
adalah moleku iodium yang kurang dari 1 nm.
Akan tetapi setelah karbon aktif mencapai titik
optimum penyerapan, daya serapnya terhadap
iodium mengalami penurunan kembali yakni
pada suhu 600C. Hal demikian bisa saja
terjadi karena ukuran pori yang dihasilkan
pada karbonisasi suhu 600C lebih lebar
dibanding pada suhu 500C akibat sudah mulai
terjadinya pengikisan karbon oleh tingginya
suhu. Ini juga ditunjang oleh pendapat Pari dkk
dalam Eliza dan Desnelli (2001) yang
menyatakan bahwa suhu yang tinggi kadang
dapat berpengaruh pada struktur karbon itu
sendiri bahkan dapat membuatnya menjadi
rapuh akibat adanya pengikisan karbon. Akibat
pengikisan tersebut, permukaan rongga pori
pada karbon aktif menjadi lebih dangkal pula
sehingga menyebabkan daya serap menurun.
Ini mengakibatkan ukuran molekul iodium
yang relatif kecil menjadi mudah terlepas dari
pori karbon aktif yang lebar.
Sedangkan pada suhu karbonisasi 300C
dan 400C, penyerapan karbon aktif yang
rendah lebih disebabkan oleh masih banyaknya
kontaminan yang masih menempel pada
permukaan karbon aktif yang masih belum
sempat menguap pada saat proses karboninsasi
berlangsung.
Hal lain yang juga dapat
berpengaruh adalah tidak ikut terlarutnya zat
pengotor yang bereaksi dengan aktivator yang
masih tersisa pada saat proses pencucian. Hal
demikian juga diungkapkan oleh Eliza dan
Desleni dalam Amalia (2001) yang
mengatakan adanya reaksi antara aktivator
dengan logam-logam yang terdapat pada bahan
pembuatan karbon aktif membentuk senyawa
endapan yang tidak larut dalam air sewaktu

10.40928 14.13009
6
6

15
7.757218

10
5

3.391522

0
Sampel I Sampel II Sampel III Sampel IV
(300C) (400C) (500C) (600C)
Sampel Karbon

Gambar 6 Grafik Daya Serap Karbon Aktif


Terhadap Metilen Biru
Berdasarkan grafik hasil pengujian daya
serap karbon, penyerapan terendah dicapai
oleh suhu 300C daya serap metilen biru
adalah sebesar 3,391522 mg/g. Sedangkan
penyerapan tertinggi dicapai oleh suhu 600C
yakni
sebesar
14,130096
mg/g
dan
dimungkinkan penyerapan masih dapat
meningkat lagi pada karbonisasi yang lebih
tinggi. Hal ini dapat terjadi karena pada suhu
600C ini rongga pori yang dihasilkan telah
mengalami pelebaran, namun rongga yang
mengalami pelebaran masih terbilang sedikit
sehingga hanya sedikit molekul metilen biru
yang dapat masuk ke dalam rongga. Menurut
Pari dalam Hasan Hardiansyah (1999 : 9),
terdapat kecenderungan semakin tinggi suhu
aktivasi maka luas permukaan karbon aktif
semakin besar. Oleh karena itu, penyerapan
metilen biru masih bisa mengalami
peningkatan sebab pada penyerapan metilen
biru grafik yang dihasilkan masih merangkak
naik.
Faktor
lain
yang
juga
dapat
mempengaruhi penyerapan adalah sifat polar
atau non polar molekul adsorbat yang terdapat
dalam sistem larutan. Iodium yang merupakan
senyawa non polar akan teradsorpsi baik
dengan senyawa non polar juga (Adnan dalam
Poedji dan Riyanti, 2006 : 47). Berbeda halnya
dengan senyawa metilen biru yang memiliki

197

massa molekul relatif yang besar (Mr = 320,5


gr/mol) umumnya memiliki sifat kepolaran
yang lebih tinggi sehingga akan mempengaruhi
penyerapan. Menurut Poedji dan Riyanti
(2006 : 47), karbon aktif yang dibuat dengan

aktivator H3PO4 akan menghasilkan karbon


aktif dengan kepolaran rendah sehingga
penyerapannya
terhadap
iodium
akan
berlangsung lebih baik dibanding terhadap
metilen biru.

Tabel 4 Perbandingan Hasil Pengujian Karbon Aktif Cangkang Buah Karet dengan SNI
Data Uji
Kadar Air
Kadar Abu
Volatile
Matter
Daya Serap
Iodium
Daya Serap
Metilen Biru

300C
3,400519 %
1,793984 %
59,25283 %

Sample Karbon Aktif Karbonisasi Suhu


400C
500C
2,927968 %
2,706757 %
1,850851 %
3,090395 %
29,16052 %
24,28937 %

Standar SNI
600C
1,584694 %
4,530752 %
20,31735 %

Max. 15 %
Max. 10 %
Max. 25 %

302,9864 mg/g

329,3385 mg/g

592,8590 mg/g

500,6268 mg/g

Min. 750 mg/g

3,3915 mg/g

7,75721 mg/g

10,4092 mg/g

14,1301mg/g

Min. 120 mg/g


(SII)

Berdasarkan Tabel 4 di atas, pemilihan


sampel yang paling baik dari seluruh sampel
dilakukan dengan membandingkan parameter
uji yang diperoleh dari tiap sampel dengan
standar khusus mutu SNI. Berdasarkan hasil
perbandingan tersebut, dipilihlah karbon aktif
dengan suhu furnace 600C memiliki kualitas
karbon aktif yang paling baik diantara sampel
lainnya dengan kadar air 1,584694 %, kadar
abu
4,530752
%,
kadar
zat
zat
menguap20,31735 % dengan penyerapan iodin
sebesar 500,6268 mg/g
dan penyerapan
metilen blue sebesar 14,1301mg/g. Ada pun
keterangan pemilihan sebagai berikut : (1)
Data sampel dengan suhu furnace 600C
memiliki daya serap terhadap metilen biru
yang paling optimum dibandingkan sampel
lainnya, yakni sebesar 14,1301 mg/g,
walaupun sebenarnya belum memenuhi
kualitas SII yakni sebesar 120 mg/g. (2)
Berdasarkan kadar zat menguap yang standar
SNI yakni maksimum 25%, sampel dengan
suhu furnace 600C memiliki nilai batas paling
minimum dibanding sampel karbon yang
lainnya yakni sebesar 20,31735 % (3)
Berdasarkan kadar airnya, karbon aktif dengan
suhu furnace 600C memiliki nilai kadar air
paling minimum diantara tiap sampel yang
dihasilkan. Namun untuk daya serap karbon

aktif terhadap iodium sampel tersebut masih


berada di bawah angka daya serap karbon aktif
terhadap iodium pada suhu furnace 500C.
Selain itu, juga karbon aktif suhu furnace
600C juga memiliki kadar abu yang paling
tinggi diantara yang lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
cangkang buah karet dapat dioptimalkan
sebagai karbon aktif. Untuk nilai kadar air dan
kadar abu, semua sampel karbon rata-rata telah
memenuhi kualitas standar SNI 06 3730
1995. Kadar air terendah dimiliki sampel
karbon aktif dengan suhu furnace 600C dan
kadar abu terendah dimiliki sampel karbon
aktif dengan suhu furnace 300C. Sedangkan
untuk kadar zat terbang hanya 2 sampel yang
memenuhi standar ketentuan batas maksimum
SNI 06 3730 1995, yakni sampel karbon
aktif suhu 500C dan 600C. Sedangkan karbon
aktif dengan daya serap iodium tertinggi
dimiliki oleh karbon aktif dengan suhu
furnace 500C yakni sebesar 592,8590 mg/g,
Dan karbon aktif dengan daya serap metilen
blue tertinggi dimiliki oleh karbon aktif dengan

198

suhu furnace 600C yakni sebesar 14,130096


mg/g.
Kualitas karbon aktif terbaik dicapai
oleh karbon aktif dengan suhu furnace 600C
dengan keterangan kadar air 1,584694%, kadar
abu 4,597352%, kadar zat volatile 20,31735%
dengan penyerapan iodin sebesar 500,6268
mg/g dan penyerapan metilen blue sebesar
14,130096 mg/g.
Saran
Perlu dilakukan uji penyerapan karbon
aktif dari cangkang kulit buah karet melalui
aplikasinya sebagai adsorben terhadap limbah
cair dan penelitian lanjutan menggunakan
variasi variabel untuk mendapatkan karbon
aktif yang memiliki kualitas tinggi yang sesuai
standar SNI, baik variasi suhu, ukuran karbon,
lama perendaman, jenis aktivator maupun
variasi konsentrasi senyawa aktivator.

DAFTAR PUSTAKA
Eliza dan Desnelli. 2001. Pemanfaatan Pohon
Gelam (Melaleuca leucadendron Linn)
Dalam Pembuatan Arang Aktif Untuk
Pengolahan Air Rawa. Laporan
Penelitian. Inderalaya
:
FMIPA
Universitas Sriwijaya.
Fauziah, N. 2009. Pembuatan Arang Aktif
Secara Lagsung dari Kulit Acasia
mangium Wild dengan Aktivasi Fisika
dan Aplikasinya Sebagai Adsorben.
Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: IPB.
Fessenden, J. dan J.S. Fessenden. 1982. Kimia
Organik. Terjemahan oleh Pudjaatmaka,
A. Hadyana. Jakarta: Erlangga.

Gunawan, E. R dan D. Suhendra. 2010.


Pembuatan Arang Aktif dari Batang
Jagung Menggunakan Aktivator Asam
Sulfat dan Penggunaannya pada
Penjerapan Ion Tembaga (II). Makara
Sains, 14 (1): 22--26.
Keenan,C.W, D.C. Kleinfelter, & J.H. Wood.
1984. Kimia Untuk Universitas.
Terjemahan oleh Pudjaatmaka, A.
Hadyana. Jakarta: Erlangga.
Linawati. 2001.
Pengaruh Temperatur
Karbonisasi Dan Konsentrasi H2SO4
Terhadap Pembuatan Karbon Aktif dari
Kotak Biji Karet (Hevea brasiliensis
L).
Skripsi
tidak
diterbitkan.
Inderalaya: Universitas Sriwijaya
Purnomo, S. E. 2010. Pembuatan Arang Aktif
dari Kulit Biji Kopi dan Aplikasinya
sebagai Adsorben Zat Warna Methylene
Blue (Kation dan Naphthol Yellow
(Anion). Skripsi tidak diterbitkan.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Riyanti, F. Dan Poedji Loekitowati. 2006.
Optimasi Pembuatan Karbon Aktif dari
Kulit Biji Kepayang (Pengium edule
Reinw) Dan Aplikasinya Untuk
Menyerap H2S dan NH3 Dari Limbah
Karet. Jurnal Penelitian Sains, 19 (4):
42--51.
Standar Nasional Indonesia. 1995. Arang Aktif
Teknis (SNI 06-370-1995). Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional Indonesia,
Utomo, T Pratondo , Udin Hasanudin & Erdi
Suroso. 2012. Agroindustri Karet
Indonesia. Jakarta: PT. Sarana Tutorial
Nurani Sejahtera.

199

You might also like