You are on page 1of 160

B AB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

egagalan operasi sebuah sistem ataupun komponen tidak


hanya berpengaruh terhadap komponen/sistem tersebut serta
keberlangsungan

dari

proses

produksi

dimana

sistem/komponen tersebut dioperasikan. Lebih jauh lagi,

kegagalan tersebut dapat berpengaruh terhadap keselamatan operator maupun


lingkungan sekitar dimana proses produksi tersebut dilakukan. Sebagai sebuah
ilustrasi, kegagalan sistem penggerak utama di kapal yang meliputi motor induk,
sistem poros propeler serta sistem penunjang kerja motor induk itu sendiri akan
mengakibatkan terhentinya kerja motor penggerak. Hal ini akan mengakibatkan
kapal gagal beroperasi, muatan kapal tidak sampai ditujuan seperti yang
direncanakan, dan jika kejadian berlangsung di tengah laut, hal ini bisa
mengakibatkan kapal terbawa arus, karam, kebocoran tangki bahan bakar jika
kapal menabrak batu karang, tumpahan minyak ke laut, pencemaran lingkungan
dan seterusnya. Dengan demikian, efek dari kegagalan dari satu komponen kecil
di dalam sistem akan dapat mengakibatkan kerugian yang besar baik materi
maupun jiwa manusia serta lingkungan.

Beberapa pertanyaan mendasar akan muncul dalam kaitannya dengan


keandalan sistem. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi:
(1) Seberapa andal dan amankah sebuah sistem dalam rentang umur
operasinya?
(2) Berapakah peluang sistem tidak akan gagal pada rentang operasi
tertentu?
(3) Berapa tahun lagikah umur sistem jika sistem tersebut dioperasikan
secara kontinyu?

(4) Mampukah sistem yang dianalisa menjamin tingkat produksi yang


diharapkan jika kondisi sistem tersebut seperti pada saat dianalisa?
(5) Jika sistem yang dianalisa memiliki kondisi tertentu, bagaimanakah
seharusnya sistem tersebut dirawat?
(6) Bisakah kinerja sistem saat ini menjamin keselamatan pengoperasian
sistem dalam operasi 10 tahun mendatang, dan bagaimana upaya yang
harus dilakukan dalam kaitan dengan operasi dan perawatan untuk
memberikan jaminan tersebut?
(7) Dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak lain adalah pertanyaan yang berkaitan
dengan peluang sistem akan mampu beroperasi/menunjukkan kinerja yang
diharapkan dalam rentang waktu tertentu serta dalam kondisi operasi tertentu
pula. Peluang ini yang sering disebut dengan indeks keandalan. Indeks
keandalan sebagai fungsi waktu memiliki kisaran nilai mulai 0 (nol) hingga 1
(satu). Indeks keandalan bernilai 0 (nol) berarti bahwa bahwa pada waktu yang
ditentukan, peluang gagal sistem adalah 100% (absolut gagal) dan indeks
keandalan bernilai 1 (satu) berarti peluang kegagalan sistem adalah 0% atau
peluang suksesnya adalah 100% (absolut sukses). Jika peluang sukses di
simbolkan dengan P(s) dan peluang gagal disimbolkan dengan P(f), maka:

P(s) + P(f)=1..................................................................................................11

Perkembangan teknik atau metoda evaluasi keandalan pada awalnya digagas


oleh industri penerbangan dan militer. Selanjutnya aplikasinya berkembang pesat
hingga pada industri nuklir yang memang membutuhkan tingkat keandalan dan
keselamatan yang tinggi dalam

operasinya, industri listrik dan transmisinya

untuk menjamin suplai energi listrik yang kontinyu, pabrik bahan kimia mengingat
tingginya resiko jika kagagalan terjadi, industri transportasi serta industri-industri
lainnya.
Beberapa kecelakaan besar membuat pengembangan evaluasi keandalan dan
penilaian resiko makin berperan dalam bidang rekayasa, diantaranya adalah

kecelakaan pesawat ulang-alik Callenger, kebocoran pada reaktor nuklir


Chernobyl, black out suplai listrik di New York, radiasi akibat kecelakaan pabrik
kimia bhopal, dsb. Saat ini, organisasi dunia sudah sedemikian responsif
terhadap hal-hal yang menyangkut isu keselamatan, keamanan dan lingkungan.
Setiap kejadian kecelakaan selalu direspon dengan peraturan baru yang
dimaksudkan untuk menjamin agar kejadian serupa bisa di hindari.
Kerap kali masyarakat memiliki kesulitan dalam membedakan bahaya dan resiko.
Bahaya dapat dikelaskan berdasarkan tingkat dampak yang ditimbulkannya
(severity) akan tetapi tidak memasukkan faktor peluang terjadinya sebagai
pertimbangan. Sementara itu, resiko (risk) mempertimbangkan baik konsekuensi
maupun peluang terjadinya kejadian tersebut. Dalam hal ini, teknik evaluasi
keandalan dapat menjembatani kita dalam melakukan penilaian terhadap resiko,
dengan menghubungkan antara konsekuensi dari sebuah kejadian dan
peluangnya.

1.2

Konteks sistem dan kegagalan

Secara umum sistem didefinisikan sebagai kumpulan sejumlah sub-sistem atau


komponen yang berhubungan satu sama lain guna menjalankan fungsi tertentu.
Sistem rekayasa (engineering systems) pada buku ini diterjemahkan sebagai
berbagai jenis sistem yang ada dalam proses rekayasa. Karena itu, pengertian
sistem rekayasa adalah multi-disipliner, meliputi sistem elektrik, sistem mekanik,
sistem pneumatik, sistem hidrolik, sistem dalam proses kimia dsb.
Klasifikasi sistem menjadi sangat bervariasi tergantung konteks sistem yang
dicakup. Pada buku ini sistem cenderung dikelompokkan menjadi dua kelompok
yakni mission orinted systems (MOS) dan continuous operated system (COS).
MOS memiliki karakter bahwa sistem yang terus beroperasi secara kontinyu
selama rentang waktu yang menjadi misinya. Kegagalan komponen dalam
sistem ini tidak akan menyebabkan terhentinya kerja sistem. Komponen yang
ada didalam sistem ini akan dioperasikan kontinyu sampai komponen tersebut
mengalami kegagalan. Jika gagal, maka komponen akan di perbaiki atau diganti
dalam konteks repairable systems atau komponen tersebut akan dibiarkan gagal

karena tidak akan menyebabkan kegagalan fungsi sistem dalam konteks


nonrepairable systems.
MOS itu sendiri dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni:
(1) Sistem dimana pola operasinya dimulai dari kondisi sistem diketahui
beroperasi melalui pengecekan. Sebagai contoh, pesawat terbang
adalah salah satu sistem yang dapat dikelompokan dalam kelas ini.
Pesawat terbang akan diterbangkan jika setelah di cek semua sistem
didalamnya berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, pesawat terbang
diharapkan dapat beroperasi hingga misinya berakhir tanpa kegagalan,
atau dengan peluang terjadinya kegagalan dibawah tingkat yang dapat
diterima. Gambar 1-1 berikut memberikan ilustrasi sistem ini. Misi
dikatakan sukses jika waktu melakukan misi (TM) lebih kecil dari waktu
kegagalannya (time to failure TF)

operasi

gagal
TM

TF

waktu

Gambar 1.2-1 Mission Operated System (MOS) tanpa periode idle

(2) Sistem dimana terdapat periode idle diantara waktu dimana sistem
dalam keadaan beroperasi. Seperti terlihat pada Gambar 1-2, sistem
diharapkan berfungsi hingga waktu TM setelah periode idle TI . Dengan
demikian sistem akan dapat gagal pada periode idle tersebut atau gagal
pada saat beroperasi. Sebagai contoh, sistem alarm memiliki karakter
seperti ini, dimana sistem akan berada pada posisi idle hingga nantinya
berfungsi saat terjadi penyimpangan dari toleransi operasional yang

diijinkan. Kegagalan sistem bisa terjadi saat sistem idle ataupun saat
sistem harus beroperasi namun gagal difungsikan.

operasi

idle

gagal
TI

TM

TF

waktu

Gambar1.2-2 Mission Operated System (MOS) dengan periode idle

COS memiliki karakteristik bahwa sistem mengalami kondisi down dalam waktu
yang relatif kecil jika dibandingkan dengan waktu operasinya. Pada saat down
maka perbaikan (repair) atau penggantian komponen (replacement) dapat
dilakukan dan penentuan dalam jadwal serta proses perbaikan ini menjadi
sangat esensial dalam analisa. Sistem suplai listrik merupakan salah satu sistem
dengan karakter seperti ini, dimana sistem memiliki peluang gagal beroperasi
karena pengaruh cuaca buruk dan baru akan berfungsi kembali setelah proses
perbaikan, seperti terlihat pada Gambar 1-3.

operasi

gagal
waktu

Gambar1.2-3 Continuous Operated System (COS)

Kegagalan pada konteks keandalan rekayasa memiliki pengertian yang sedikit


berbeda dengan kegagalan pada umumnya yang dipahami oleh masyarakat.
Dalam konteks keandalan rekayasa, sistem dikatakan gagal jika tidak dapat
menjalankan fungsinya sesuai dengan persyaratan diminta. Sebuah pompa
dengan debit harapan sebesar 5 m3/jam dikatakan gagal jika hanya mampu
mensuplai air pada debit 4 m3/jam saja. Kegagalan dalam konteks keandalan
rekayasa juga tidak selalu dikotomis. Sistem jaringan pompa dikatakan 100%
gagal jika seluruh pompa dari 4 pompa yang harus beroperasi secara paralel
gagal beroperasi, dan dikatakan 50% gagal jika hanya 2 pompa saja yang
beroperasi serta sebailknya 100% sukses jika semua pompa beroperasi normal.
Dengan demikian pompa dikatakan gagal bukan hanya berarti bahwa pompa
tersebut rusak dan tidak dapat dipergunakan sama sekali.

1.3

Penilaian Kualitatif dan Kuantitatif

Diawal pengembangannya, rekayasa keandalan lebih banyak didekati dengan


pendekatan kualitatif, dimana disain, operasi, analisa kegagalan lebih banyak
dianalisa

dengan

menggunakan

acuan

atas

pengalaman-pengalaman

sebelumnya atau lebih sering disebuit dengan istilah engineering judgement.


Pendekatan kualitatif ini menjadi tidak cocok ketika kita harus melakukan
perbandingan antara dua disain dengan konfigurasi komponen yang berbeda
atau ketika kita melakukan analisa ekonomi terhadap dua disain tersebut.
Keandalan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah sistem atau produk,
dengan demikian parameter disain dan proses evaluasinya haruslah merupakan
proses integral dari proses disainnya. Agar ini dapat terpenuhi, maka tidak ada
jalan lain kecuali mengekspresikan keandalan dalam terminologi kuantitatif. Hal
ini bukanlah konsep yang unik mengingat hampir semua parameter aspek
rekayasa adalah berbasiskan numerik dan penilaian dilakukan dengan
membandingkan secara kuantitatif baik itu disain maupun parameter operasinya.
Sehingga ekspresi sistem ini tidak akan gagal, atau sistem ini sangat andal,
sistem ini lebih andal dibandingkan sistem lainnya menjadi tidak terlalu
bermakna karena sulit menentukan indikator keandalannya.

Namun demikian bukan berarti bahwa penilaian kualitatif harus serta merta
digantikan oleh penilaian kuantitatif. Penilaian kualitatif akan sangat berfungsi
manakala kita mencoba untuk melakukan analisa proses kegagalan sebuah
sistem, konsekuensi dari kegagalan, penilaian resiko, serta manakala kita
menghubungkan kualitas sistem dengan analisa ekonomi atau investasi.
Lebih jauh lagi, penilaian kuantitatif dapat digunakan untuk melakukan evaluasi
terhadap kinerja terdahulu sebuah sistem (past performance) serta memprediksi
perilaku atau kinerja sistem dimasa mendatang. Fungsi pertama yang diesbutkan
diatas sudah sangat lumrah dilakukan oleh oranisasi yang mengoperasikan
proses apapun. Akan tetapi fungsi yang kedua diatas membutuhkan dukungan
data-data dari pengoperasian sistem sebelumnya, yang kemudian dengan
menggunakan teori statistik untuk dapat memprediksi perilaku sistem dimasa
yang akan datang.
Penilaian terhadap past performance menjadi sangat bermanfaat dalam rangka
untuk dapat: mengidentifikasi kelemahan disain yang mungkin membutuhkan
modifikasi, mengidentifikasi perubahan perilaku (trend ) keandalan sistem,
menentukan indeks keandalan saat ini sebagai acuan dalam penilaian keandalan
di periode berikutnya, memungkinkan kita untuk membandingkan kinerja
terdahulu dengan kondisi operasi yang sebenarnya serta dasar dalam memonitor
respon jika dilakukan perubahan-perubahan terhadap disain sistem.
Sementara itu, penilaian terhadap kinerja sistem di periode berikutnya (future
system performance) menjadi penting karena memungkinkan kita untuk
memprediksi: bagaimana perilaku sistem dimasa yang akan datang, bagaimana
efek dari kebijakan pemeliharaan dan operasional yang baru, bagaimana
perilaku sistem jika dilakukan perubahan disain, hubungan antara keandalan
terhadap biaya, manfaat, dan indikator kinerja sistem lainnya.

1.4

Definisi keandalan, indeks dan parameter keandalan

Berbagai literatur memberikan definisi yang beragam terhadap keandalan.


Namun demikian, ada beberapa kesamaan di dalam definisi tersebut, khususnya

parameter tetap yang terkandung dalam definisi tersebut. Parameter tersebut


adalah peluang, sistem/komponen, tidak gagal, waktu, dan kondisi operasi.
Jika kita berbicara keandalan kuantitatif, maka kita berbicara dalam konteks
peluang (probability). Peluang yang merepresentasikan indeks keandalan
memiliki

rentang

nilai

(nol)

sampai

dengan

(satu).

Keandalan

sistem/komponen bernilai 0 berarti memiliki peluang sukses (tidak gagal) 0% dan


keandalan sistem/komponen bernilai 1 memiliki peluang sukses 100%. Nilai
keandalan ini adalah fungsi waktu, artinya keandalan sebuah sistem/komponen
akan bervariasi sesuai dengan waktu dimana evaluasi keandalan tersebut
dilakukan. Sistem/komponen yang sama dan diukur saat waktu operasi yang
sama akan mungkin memiliki keandalan yang berbeda jika kondisi operasi kedua
sistem/komponen sejenis tersebut berbeda.
Pengertian keandalan yang sampai saat ini sering digunakan adalah:
Probabilityof a device performing its purpose adequately for the period of time
intended and under the operating conditions encountered. Atau dengan kata lain,
Peluang suatu sistem/komponen untuk dapat beroperasi sesuai dengan
fungsinya dalam rentang waktu dan kondisi operasi tertentu.
Penilaian kinerja sistem/komponen berdasarkan indeks keandalan ini tidak dapat
didekati dengan pendekatan deterministik, namun lebih pada pendekatan
stokastik mengingat indeks keandalan tersebut adalah fungsi dari waktu yang
bersifat random. Namun demikian, penilaian terhadap proses stokastik inipun
tidak cukup dilakukan hanya dengan mengetahui konsep probabilitas, namun
lebih jauh lagi, penilaian keandalan sistem/komponen mewajibkan kita untuk
mengetahui dengan jelas karakteristik kerja dari sistem/komponen yang akan
dianalisa termasuk pola operasi, pola perawatan, pola kegagalan dan pengaruh
kondisi operasi terhadap kinerja sistem/komponen tersebut. Hal ini bisa dilihat
dari 5 parameter dari kenadalan yang disebutkan di atas. Hanya parameter
peluang saja yang yang dalam konteks probability, sementara empat parameter
lainnya adalah dalam konteks parameter rekayasa (engineering parameters).
Karena

itu,

penilaian

keandalan

tidak

hanya

cukup

dilakukan

oleh

seorang/sekelompok orang ahli matematika atau statistika, namaun keterlibatan


engineer, teknisi dan operator sistem mutlak diperlukan.

Kelima parameter yang dijelaskan diatas juga jelas sekali tercermin pada setiap
ekspresi matematis keandalan. Sebagai contoh, salah satu ekspresi matematis
dari indeks keandalan (jika waktu kegagalan terdistribusi eksponensial) adalah:

R(t ) = e .t .................................................................................................12

Indeks keandalan sistem/komponen R(t) memiliki rentang nilai 0 sampai dengan


1 yang tidak lain adalah peluang sistem untuk tidak akan gagal. Sementara itu
parameter kondisi operasi diwakili oleh nilai (laju kegagalan/failure rate) yang
memiliki nilai yang berbeda (sekalipun pada komponen sejenis) tergantung pada
kondisi operasi komponen tersebut.
Indeks keandalan yang dijelaskan diatas bukanlah satu-satunya indeks
keandalan yang umum digunakan dalam sistem rekayasa. Indeks lainnya adalah:
(1) Jumlah harapan kegagalan dalam rentang waktu tertentu.
(2) Waktu rata-rata diantara dua kegagalan.
(3) Waktu rata-rata sistem tidak beroperasi karena perbaikan.
(4) Besaran hilangnya pendapatan karena kegagalan sistem.
(5) Besaran hilangnya output karena kegagalan sistem.
(6) Dll.
Seperti yang telah diuraikan diatas, penilaian terhadap kendalan bisa dengan
pendekatan deterministik maupun probabilistik. Indikator kinerja sistem dan
tingkat kinerja yang dapat diterima ditentukan secara deterministik (seperti
terlihat pada Gambar 1-4. Selanjutnya, kedua nilai ini dibandingkan. Jika
indikator kinerja Lp lebih rendah dari kinerja aktual Ls, atau dengan kata lain jika
beban yang diterima sistem lebih rendah dari kekuatan sistem itu sendiri, maka
sistem akan berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi ini tentunya terlalu
menyederhanakan

masalah

karena

sebenarnya

beban

dan

kekuatan

penahannya adalah sangat bervariasi.


Aplikasi teori probabilitas terhadap penilaian keandalan memungkinkan variasi
hubungan antara probabilistik dan stokastik. Ada dua kondisi dalam konteks ini.

Kondisi pertama pada indikator kinerja terdapat variasi probabilistik akan tetapi
level yang dapat diterima ditentukan secara deterministik, seperti terlihat pada
Gambar 1-5. Indikator kinerja ditunjukkan oleh fungsi probabilitas Lp dan level
yang dapat diterima ditunjukkan oleh Lc. Pada kasus ini, peluang kegagalan di
tunjukkan oleh daerah arsiran. Jika Lp adalah beban pada struktur mekanis dan
Lc adalah kekuatan struktur mekanis itu sendiri, maka daerah arsiran pertama (a)
adalah daerah kegagalan dimana beban melebihi kekuatan.

Lp

Ls

Gambar 1.4-1 Deterministic Load/strength


F(x)
Lp

Lp

(b)

(a)

Lc

Lc

Gambar 1.4-2 Probabilistik Lp dan Deterministik Lc

F(x)
Lc

Lp
(a)

Lc

Lc

Gambar 1.4-3 Probabilitik Lp dan Lc

10

Sementara itu jika Lp adalah daya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit dan Lc
adalah beban yang harus disuplai, maka daerah arsiran pada gambar kedua (b)
adalah daerah kegagalan.
Konsep seperti terlihat pada Gambar 1-5 menjadi tidak sesuai jika baik beban
maupun kekuatan tidak dapat ditentukan secara deterministik. Jika keduannya
ditunjukkan oleh fungsi probabilitas seperti terlihat pada Gambar 1-6, maka
daerah kegagalan akan terjadi pada arsiran antara kedua kurva.
Dari ketiga gambar tersebut, ide dasarnya adalah mengurangi daerah kegagalan
pada level tertentu yang sering disebut dengan kriteria akseptabilitas (criterion for
accepatability) dengan cara menaikkan kekuatan atau dengan menurunkan
beban. Kedua solusi ini akan masing-masing menimbulkan biaya dan pemilihan
salah satu dari keduanya akan sangat tergantung pada pertimbangan ekonomi
dan operasional.

1.5

Keandalan (reliability) dan Ketersediaan (availability)

Terminologi

keandalan

(reliability)

dan

ketersediaan

(availability)

sering

diinterpretasikan tidak tepat, walaupun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki


perbedaan yang sangat mendasar, khususnya menyangkut obyek yang
dibahas/dianalisa. Penejelasan matemati dari kedua terminologi tersebut akan
disampaikan pada Bab III buku ini.
Pada sub bab sebelumnya pengertian kenadalan telah disampaikan dengan jelas,
termasuk lima parameter yang ada didalamnya. Pengertian tersebut menyangkut
kemampuan sistem/komponen untuk dapat berfungsi tanpa kegagalan dalam
rentang waktu tertentu, atau dengan kata lain kemampuan sistem/komponen
untuk dapat menyelesaikan misinya secara memuaskan. Dengan demikian,
penilaian keandalan tepat untuk mengkuantifikasi kemampuan sistem/komponen
untuk mission oriented system (MOS). Atau, dengan kata lain, keandalan adalah
peluang komponen/sistem tetap berada pada kondisi beroperasi (operating state)
tanpa kegagalan.
Dengan demikian, pada kasus continuous operated system (COS), penilaian
keandalan akan menjadi kurang tepat, karena COS bisa mentolerir kegagalan.

11

Penilaian untuk sistem dengan karakter COS adalah ketersediaan (availability)


yakni peluang sistem/komponen berada pada kondisi operasi (operating state)
atau peluang sistem ditemukan dalam kondisi operasi pada waktu tertentu.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa tidak ada penilaian yang dapat berlaku
universal. Beberapa penilaian yang lain adalah repairability dan maintainability,
yang menunjukkan kemampuan atau peluang sistem untuk dapat dirawat atau
diperbaiki.

1.6

Teknik-teknik Penilaian Keandalan (reliability)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, indeks keandalan dapat ditentukan


dengan menggunakan teori probabilitas. Namun demikian, tidak ada satu formula
pun yang dapat mewakili semua kasus dalam penilaian keandalan. Pendekatan
yang digunakan dan formula yang dihasilkannya pun sangat tergantung pada
permasalahan serta asumsi-asumsi yang digunakan.
Hal ini sangat umum pada penyelesain permasalahan dalam bidang yang lain
yang melibatkan pendekatan probabilitas maupun statistik. Namun demikian,
satu hal umum yang bisa dipakai adalah bahwa validitas dari penilaian dan
evaluasi keandalan dari sebuah sistem secara langsung tergantung pada
validitas model yang digunakan untuk mewakili sistem tersebut. Distribusi
kegagalan tertentu pada kondisi tertentu dapat dengan tepat digunakan dalam
analisa, namun kesalahan kerap muncul pada proses simplifikasi yang
berlebihan terhadap sistem pada model yang mewakilinya.
Selain itu, aspek yang paling penting dalam melakukan penilaian keandalan
sistem adalah pengertian yang komprehensif dan menyeluruh terhadap implikasi
rekayasa dari sistem yang dianalisa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
teori probabilitas adalah hanya sebuah alat (tool) yang memungkinkan mereka
yang melakukan penilaian keandalan untuk mentransformasikan perilaku sistem
yang sudah ada saat ini menjadi prediksi terhadap perilaku sistem dimasa
mendatang. Dengan kata lain, pengertian terhadap perilaku sistem adalah
sayarat mutlak dalam menentukan teknik penilaian keandalan yang sesuai.
Secara garis besar, penilaian keandalan dilakukan dalam proses umum berikut:

12

(1) Mengertikan dengan seksama bagaimana pola operasi sistem


(2) Mengidentifikasi proses sistem menjadi gagal
(3) Menguraikan konsekuensi dari kegagalan tersebut
(4) Membuat model yang dapat mewakili karakteristik diatas
(5) Memilih teknik penilaian keandalan yang sesuai.
Teknik penilaian keandalan secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yakni
dengan pendekatan analitis dan dengan pendekatan simulasi. Pendekatan
analitis menggunakan model matematis untuk melakukan penilaian indeks
keandalan sistem. Pendekatan simulasi dalam menentukan indeks keandalan
mensimulasikan proses aktual dan perilaku acak (random behaviour), salah
satunya dengan menggunakan simulasi Monte Carlo. Pendekatan simulasi ini
membutuhkan waktu komputasi yang relatif lebih panjang dibandingkan dengan
pendekatan matematis, dan sering dijadikan sebagai opsi kedua jika pendekatan
analitis susah dilakukan.
Validitas hasil penilaian keandalan, dengan demikian akan sangat tergantung
pada validitas model, validitas asumsi, ketepatan teknik yang dipergunakan serta,
yang terpenting, kualitas dari input data yang dimasukkan ke model. Teknik
penilaian keandalan secara matematis dan simulasi akan diuraikan pada Bab IV.

1.7

Perbaikan Keandalan Sistem

Pada dasarnya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keandalan
sistem (meningkatkan indeks keandalan). Cara pertama adalah memperbaiki
kualitas, dalam hal ini adalah kualitas dari komponen penunjang sistem. Cara
yang kedua adalah redundansi (redundancy).
Perbaikan kualitas tidak hanya ditentukan oleh kualitas material dari komponen
yang dipakai di dalam sistem, namun juga termasuk kualitas proses manufaktur,
kalibrasi, transportasi, instalasi dan operasi. Proses ini tentunya melibatkan
unsur manusia didalamnya. Sehingga faktor manusia (human faktor), lingkungan
kerja, dan ergonomi akan menjadi sangat dominan dalam melakukan penililaian
keandalan sistem. Namun demikian faktor-faktor tersebut memiliki tingkat
kesulitan yang lebih tinggi dalam penilaiannya dibandingkan dengan penentuan

13

indeks keandalan secara matematis. Berbagai riset telah dilakukan hingga saat
ini untuk dapat melakukan penilaian yang lebih akurat terhadap faktor-faktor
tersebut.
Sementara itu, konsep redundansi didasarkan atas kenyataan bahwa sistem
dapat gagal kapan saja. Dengan demikian pada komponen tertentu yang
dianggap kritis akan dibutuhkan komponen cadangan (backup) yang akan
berfungsi jika komponen utama gagal. Komponen yang gagal bisa tetap pada
kondisi gagal pada nonrepairable system ataupun akan diperbaiki/diganti pada
repairable system.
Jenis redundansi ada dua yakni redundansi aktif dan redundansi standby.
Redundansi aktif memiliki pengertian bahwa kerja sistem pada fungsi tertentu
dilakukan oleh lebih dari satu komponen secara bersamaan, dan jika salah satu
komponen gagal, maka komponen aktif lainnya akan mengambil alih fungsi kerja
tersebut. Redundansi aktif ini sering disebut parallel redundancy. Sementara itu
standby redundancy memiliki komponen yang jumlahnya lebih dari satu pada
fungsi tertentu, dan satu atau lebih komponen aktif sementara komponen lainnya
akan bekerja jika komponen aktif tersebut gagal melalui sebuah proses switching.

Redundansi aktif

Redundansi standby

Gambar 1.7-1 Redundansi aktif dan redundansi standby

Konsep lain yang sering dipergunakan adalah diversity, yakni konsep redundansi
dengan menggunakan komponen yang tidak sejenis. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan jika komponen utama telah diketahui memiliki kelemahan yang
bisa dikompensasi dengan menggunakan komponen yang melakukan fungsi
yang sama namun memilki karakteristik kerja yang lebih unggul.
Konsep perbaikan keandalan sistem lainnya adalah penyediaan suku cadang
dan perawatan pencegahan (preventive maintenance). Penyediaan suku cadang
ini tentunya membutuhkan pertimbangan bukan hanya teknis saja, namun juga

14

ekonomis dimana lewat proses optimasi bisa ditentukan jumlah suku cadang
yang paling optimum untuk menjamin kelangsungan kerja sistem pada tingkat
biaya yang paling minimum. Perawatan pencegahan harus dilakukan jika
komponen sudah memasuki masa akhir dari fungsi operasi optimumnya atau
saat kegagalan tertentu mulai dialami oleh komponen tersebut. Waktu optimum
melakukan perawatan pencegahan ini membutuhkan proses yang agak panjang
dan susah dilakukan. Karena itu, umumnya dilakukan secara reguler dalam
interval tertentu. Beberapa studi kasus model perawatan preventif akan diberikan
pada BAB V.

1.8

Penilaian Keandalan Pada Tahap Disain

Keandalan hendaknya sudah menjadi salah satu pertimbangan dalam tahap


disain sebuah sistem. Penilaian keandalan setelah sistem dibuat akan sangat
tidak ekonomis. Kita juga sadari bahwa setiap produk atau sistem memiliki apa
yang disebut dengan inherent reliability (keandalan bawaan). Inherent reliability
sangat ditentukan oleh kontrol kualitas sejak proses manufaktur produk tersebut,
atau dengan kata lain, kontrol kualitas yang jelek akan sangat menurunkan
inherent reliability, sekalipun kontrol kualitas yang terjamin pun tidak akan
keandalan melebihi inherent reliability. Dengan demikian inherent reliability dan
kontrol kualitas sangat terkait satu sama lain.
Keterlibatan pertimbangan keandalan dalam tahap disain dapat dilihat pada
Gambar 1-8. Proses pada gambar tersebut adalah iteratif, dimana review disain
dilakukan beberapa kali sebelum sampai pada disain akhir. Tujuan disain system
(system objectives) harus benar-benar dimengerti diawal, untuk menjamin
ketepatan parameter disain dan spesifikasinya. Pada praktiknya, spesifkasi ini
diterjemahkan oleh sekelompok orang yang diluar organisasi yang akan
memproduksi, seperti keinginan konsumen dll. Kunci dari proses tersebut adalah
review

diasain

dari

bermacam-macam

aspek

seperti

aspek

rekayasa,

pengalaman, manufaktur, konstruksi, ergonomi, operasi, dll.


Aplikasi konsep keandalan pada proses disain seperti pada gambar tersebut
diterjemahkan melalui pengalaman-pengalaman disain sistem yang sejenis dan
operasinya. Beberapa aktivitas di dalamnya meliputi:

15

System
Objectives

System design
specifications

Feedback
from
operation

Standard

Design
Checklist

Final
Design
Review

System design
and
development

Reliability prediction,
failure mode, effect and
criticallity analysis,
maintainability analysis

Intermediate
design Review

Gambar 1.8-1 Tahapan konseptual pada disain sistem

(1) Mengidentifikasi kelemahan disain


(2) Membandingkan konfigurasi sistem dengan alternatif lainnya
(3) Membandingkan pendekatan terhadap konseptual disain
(4) Mengidentifikasi kebutuhan akan redundansi
(5) Menentukan kebutuhan akan informasi hasil pengujian
(6) Menentukan jenis pengujian yang perlu dilakukan
(7) Mengestimasi kebutuhan redundansi, standby, suku cadang, dll
(8) Mengidentifikasi
mitigasinya.

1.9

permasalahan

potensial

yang

ada

dan

usaha

Reliability Economics

Seperti yang telah disampaikan diawal keandalan sangat terkait dengan biaya
dan faktor-faktor ekonomi lainnya. Sistem akan menjadi lebih andal jika
komponen-komponen kritis pada sistem diberi redundansi. Namun ini secara
langsung akan menyebabkan biaya investasi sistem, biaya pemeliharaan serta
biaya operasinya juga akan menjadi lebih mahal. Komponen pada sistem dengan

16

tingkat keandalan yang baik akan lebih mahal dibandingkan dengan komponen
sejenis yang memiliki tingkat keandalan dibawahnya, seperti terlihat pada
Gambar 1-9. Namun, komponen dengan tingkat keandalan yang baik tentunya
diharapkan lebih lama waktu operasinya atau lebih jarang gagal sehingga biaya
perawatannya atau biaya downtime serta biaya yang muncul akibat sistem tidak
beroperasi akan menjadi lebih rendah. Gambar 1-10 menunjukkan bahwa biaya
total didapatkan dengan menjumlahkan biaya investasi dan biaya perawatan dan
biaya terendah yang dihasilkannya bida dijadikan sebagai acuan dalam
penetapan indeks keandalan optimum.
Pertanyaan mendasar yang muncul berkaitan dengan faktor ekonomi ini adalah
seberapa besarkah investasi harus dilakukan terhadap sistem untuk mendapat
keuntungan peningkatan indeks keandalan yang diharapkan?. Tentunya ini
adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab khususnya untuk sistem yang
kompleks dengan berbagai opsi disain dan alternatif komponen yang ada.
Dari uraian diatas jelas bahwa keandalan dan faktor-faktor ekonomi merupakan
pertimbangan yang terintegrasi satu sama lain di dalam proses pengambilan
keputusan. Gambar 1-9 juga menunjukkan bahwa rasio tingkat pertambahan
indeks keandalan terhadap tingkat pertambahan biaya investasinya (R/C)
dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan apakah investasi
layak dilakukan untuk mendapatkan perbaikan unjuk kerja sistem. Analisa lebih
jauh bisa dilakukan dengan membandingkan investasi yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat perbaikan unjuk kerja (reliability cost) dengan keuntungan yang
didapatkan oleh pemakai atau pelanggan (reliability worth).

Reliability, R

R
C

Investment Cost

Gambar 1.9-1 Peningkatan biaya sebagai fungsi keandalan

17

Cost,

investasi

Biaya perawatan

Reliability
Gambar 1-10 Hubungan investasi-biaya perawatan dan keandalan

1.10

Data Keandalan

Dalam konteks keandalan, data menjadi salah satu faktor penting untuk dimiliki
dan salah satu faktor yang paling sulit untuk didapat. Data dapat diperoleh lewat
dua jalan yakni, pengujian/eksperimen (data primer) dan data operasi di
lapangan (data sekunder). Data yang pertama dapat diperoleh untuk komponen
yang sederhana saja yang tidak membutuhkan biaya yang besar dalam
pengujiannya. Data yang kedua juga sering susah didapatkan mengingat tidak
tercatatnya hal-hal penting dari pengoperasian sistem sebelumnya, atau tidak
tercatatnya data dari peralatan sejenis yang bisa dijadikan acuan atau sumber
data peralatan yang kita analisa. Data juga bisa diperoleh dari organisasi tertentu
yang mengumpulkan data perawatan dan operasi peralatan tertentu kemudian
melakukan analisa statistik terhadapnya dan hasilnya dipublikasikan dalam
bentuk data handbook atau data bank. Sumber-sumber tersebut antara lain
adalah:
Data handbook:
(1) US MIL-HDBK 217
(2) HRD3 (British Telecom)
(3) INSPEC DATA Book (IEE/UKAEA)
(4) ANSI/IEEE STD 500
(5) USAF RADC Noneletronic parts handbook

18

(6) CNET (French PTT) data


(7) NRPD, Nonelectronic Reliability Part Data
Data bank:
(1) SRS (AEA Technolgy) data bank
(2) OREDA (Det Norske Veritas) offshore data bank
(3) CEA (Canadian Electrical Association) generation/transmission data
bank
(4) NERC-GADS (North American Electricity Reliability Council) generation
data

19

TEORI DASAR PROBABILITAS


1.1

Konsep Probabilitas

Probabilitas/peluang secara umum dapat diartikan sebagai ukuran matematis


terhadap kecenderungan akan munculnya sebuah kejadian. Secara matematis
peluang memiliki kisaran nilai dari 0 hingga 1. Seperti terlihat pada Gambar 2-1,
nilai peluang 0 berarti bahwa munculnya kejadian tersebut sangat tidak mungkin,
dan nilai peluang 1 berarti kejadian tersebut pasti muncul. Sebagai contoh,
peluang manusia akan hidup selamanya adalah 0 karena tidak ada mahasiswa
yang abadi dan peluang bahwa manusia akan mati suatu saat adalah 1 artinya
manusia pasti akan mati suatu saat.

0,5

0
Absolute
impossibility

1
Absolute
certainty

Pelemparan
koin
Gambar Rentang nilai peluang

Nilai peluang juga bisa berada diantara dua nilai absolut diatas, atau dengan
kata lain nilai peluang akan mucul diantara hasil yang diharapkan dan hasil yang
tidak diharapkan. Dalam konteks sistem rekayasa, dua kondisi absolut tersebut
adalah sistem gagal dan sistem sukses. Dalam konteks ini peluang sukses dan
gagal dapat diartikan sebagai berikut:
P (sukses) =

P (gagal) =

jumlah kejadian sukses


jumlah semua kejadian yang mungkin

jumlah kejadian gagal


jumlah semua kejadian yang mungkin

.....................................

......................................

Jika
s

jumlah kejadian sukses

jumlah kejadian gagal

maka peluang sukses dan peluang gagal berturut-turut adalah:


P (sukses) = p =

P (gagal) = q =

s
s + f ...........................................................................

f
s + f .............................................................................

Dan
p + q = 1 ............................................................................................

Contoh 2,1:
Sebuah koin dengan sisi muka dan sisi belakang. Peluang mendapat sisi muka
pada pelemparan koin tersebut satu kali adalah 1/2 = 0.5
Contoh 2.2:
Sebuah dadu dilempar satu kali. Peluang mendapat sisi dengan gambar 4
adalah 1/6.
Contoh 2.3:
Dua buah dadu dilempar satu kali. Berapakah peluang mendapat jumlah mata
dadu sembilan.
Mata dadu yang memberikan jumlah sembilan adalah:
(3+6), (4+5), (5+4), (6+3) dari 36 kombinasi yang ada, sehingga
peluangnya adalah 4/36 atau 1/9.

1.2

Permutasi dan Kombinasi

Pada tiga contoh diatas, peluang sukses dan gagal dihitung dengan
mengevaluasi semua kejadian yang mungkin secara fisik. Jika jumlah kejadian
yang dimungkinkan semakin besar, maka proses tersebut akan sangat
menyulitkan,

dan

peluang

terjadinya

kesalahan

akan

semakin

besar.

Dibandingkan dengan secara fisik mengkalkulasi semua peluang yang ada,

maka akan lebih sederhana dan efektif jika konsep persamaan 2-1 dipergunakan
untuk mengkelompokkan peluang sukses dan gagal melalui konsep permutasi
dan kombinasi. Permutasi memperhitungkan susunan masing-masing kejadian,
sementara kombinasi tidak memperhitungkan susunan di dalamnya.
Jumlah PERMUTASI dari n item yang berbeda adalah jumlah susunan yang
berbeda yang dimungkinkan dari item-item tersebut. Jika semua item digunakan
dalam susunan, maka permutasi di tuliskan dengan nPn. Jika sebagian item saja
(r) yang disusun dari n jumlah item yang ada (r<n) maka permutasinya dituliskna
dengan nPr.
Contoh 2.4:
Permutasi 3 buah buku A, B dan C dimana semua buku yang ada dipergunakan
adalah: ABC, ACB, BAC, BCA, CAB dan CBA. Dengan demikian 3P3 adalah 6.
Dengan kata lain, posisi pertama dapat diisi oleh 3 buah Buku, posisi kedua
dapat diisi oleh 2 buah buku (mengingat buku yang sudah terambil tidak bisa
dipakai lagi), serta posisi ketiga diisi oleh 1 buah buku.
Karena itu 3P3 adalah 3 x 2 x 1 = 3! = 6
Dengan demikian permutasi n item jika n item dipergunakan adalah n!, dan
permutasi n item jika hanya r item yang dipergunakan adalah
n

Pr =

n!
.....................................................................................
(n r )!

Dimana nilainya adalah n! Jika n=r, sebab nilai 0! adalah sama dengan 1.
Contoh 2.5:
Dalam berapa cara 3 buku dapat disusun dari 7 buku yang tersedia?

P3 =

7!
7! 1x 2 x3 x 4 x5 x6 x7
= =
= 5 x6 x7 = 210
(7 3)! 4!
1x 2 x3x 4

Persamaan 2-6 hanya dapat dipergunakan pada beberapa kondisi yakni:


(1) Semua item berbeda
(2) Tidak ada batasan dalam menentukan posisi item yang ada

(3) Tidak ada item yang bisa dipergunakan lebih dari satu kali.
Contoh 2.6:
Ada berapa bilangan dalam 3 digit yang bisa disusun dari angka 0~9 jika setiap
angka dapat dipakai lebih dari satu kali dan jika angka hanya bisa dipakai satu
kali saja?
Jika angka bisa dipakai lebih dari satu kali, maka pada digit pertama hanya bisa
diisi oleh 9 angka (0 tidak bisa), digit kedua bisa diisi 10 angka dan digit ketiga
bisa diisi 10 angka. Dengan demikian susunan yang dimungkinkan adalah
9x10x10 buah susunan yaitu 900 susunan.
Jika angka tidak bisa diulang maka digit pertama bisa diisi oleh 9 angka, digit
kedua bisa diisi oleh 9 angka dan digit ketiga bisa diisi oleh 8 angka. Dengan
demikian susunan yang dimungkinkan adalah 9x9x8 buah susunan yaitu 648
susunan.
Contoh 2.7:
Berapa susunan yang berbeda yang dapat dibuat dari 12 bola yang terdiri dari 3
bola biru, 2 bola merah dan 7 bola hijau?
Jika semua bola memiliki warna yang berbeda maka susunan yang mungkin
adalah 12! Atau sama dengan 479,001,600 susunan. Jika r item dapat disusun
dalam r! Susunan maka dengan demikian akan terdapat 3! susunan bola biru, 2!
susunan bola merah dan 7! susunan bola hijau. Dengan demikian jumlah
susunan yang dimungkinkan dalam dari ketiga warna bola tersebut adalah
12!
= 7920 susuanan
3!2!7!

Dengan demikian susunan yang dimungkinkan dari n item yang terdiri dari r1 item
sejenis, r2 item sejenis, hingga rk item sejenis adalah
permutasi =

n!
.........................................................................
r1! r2 !...rk !

Jumlah KOMBINASI dari n item yang berbeda adalah jumlah susunan dari r item
yang berbeda tanpa memperhitungkan susunan dari item-item tersebut.
Kombinasi r item dari n item yang ada dituliskan dengan nCr .

n Cr

n Cr

r!

n(n 1)...(n r + 1)
n!
=
r! (n r )!
r!

...........................................

Contoh 2.8:
Dari 6 siswa laki-laki (L) dan 5 siswa perempuan (P) akan dibentuk sebuah
panitia yang terdiri dari 6 anggota dimana panitia tersebut paling sedikit harus
terdiri dari 3 perempuan. Berapa jumlah panitia yang berbeda yang mungkin
dibentuk?
Panitia dengan syarat seperti di atas mungkin terdiri dari 3 P dan 3 L, 4 P dan 2 L
serta 5 P dan 1 L. Dengan demikian masing-masing perbandingan jumlah panitia
Laki dan Perempuan tersebut dapat tersusun dari:
5CP3 . 6CL3 + 5CP4 . 6CL2 + 5CP5 . 6CL1

= 281 panitia yang berbeda

Contoh 2.9:
4 bola diambil dari sebuah kotak yang terdiri dari 10 bola hitam dan sepuluh bola
putih. Berapakah peluang mendapat bola yang semuanya berwarna hitam?,
peluang mendapat bola dengan warna yang sama?, peluang mendapat bola
hitam jika setiap bola yang terambil dikembalikan sebelum melakukan
pengambilan berikutnya?
Jumlah kejadian yang mungkin 4 bola hitam yang dapat diambil dari 20 bola
yang ada adalah

20C4

= 4845. Jumlah kejadian yang mungkin 4 bola hitam

terambil dari 10 bola hitam dan 10 bola putih yang ada adalah

10CH4=210.

Dengan demikian peluang mendapat 4 bola hitam adalah 210/4845 = 0.043344.


Jumlah kejadian mendapat 4 bola dengan warna yang sama tentunya adalah
penjumlahan jumlah kejadian mendapat 4 bola hitam dan jumlah kejadian
mendapat 4 bola putih dari 10 bola hitam dan bola putih yang ada, yaitu
10CH4+10CP4=420.

Dengan demikian peluang mendapat 4 bola dengan warna

yang sama adalah 420/4845 = 0.086687


Jika setiap bola digantikan sebelum pengambilan selanjutnya, maka jumlah
kejadian mendapat 4 bola adalah 204 dan jumlah kejadian mendapat 4 bola

hitam adalah 104. dengan demikian peluang mendapat 4 bola hitam adalah
104/204 = 0.0625.

1.3

Diagram Venn

Pada penilaian keandalan sistem rekayasa kadang kita berhadapan dengan


masalah penggabungan peluang dari beberapa kejadian menjadi peluang sistem
keseluruhan. Pemahaman atas beberapa aturan penggabungan peluang akan
lebih dipermudah dengan bantuan diagran Venn. Diagram Venn umumnya
digambarkan dengan sebuah persegi panjang yang mewakili total peluang yang
ada. Ada dua atau lebih kejadian didalamnya yang mana peluang masingmasing kejadian akan digabungkan. Seperti terlihat pada Gambar 2-2, dua
kejadian A dan B digambarkan dalam 3 kondisi berbeda. Kondisi (a) kejadian A
adalah bagian (subset) dari kejadian B, kondisi (b) kejadian A beririsan dengan
kejadian B, dan kondisi (c) kejadian A terpisah dari kejadian B.

S
B

(a)

S
A

(b)

(c)

Gambar Diagram Venn

1.3.1

Independent Events (Kejadian Bebas)

Dua kejadian A dan B dikatakan bebas satu sama lain jika munculnya kejadian A
tidak akan berpengaruh terhadap peluang munculnya kejadian B. Kejadian
pelemparan dadu dan koin secara bersama-sama adalah dua buah kejadian
bebas dimana angka berapapun yang muncul pada pelemparan dadu tidak akan
berpengaruh terhadap peluang munculnya gambar muka atau belakang pada
koin.

Pada evaluasi keandalan sistem rekayasa, banyak kejadian yang diasumsikan


bebas satu sama lain mengingat sulitnya menentukan tingkat ketergantungan
antara dua kejadian tersebut. 2 pompa yang terhubung dalam rangkaian paralel
kerap diasumsikan bebas satu sama lain mengingat kegagalan pada pompa
pertama dianggap tidak akan mempengaruhi peluang kegagalan pompa kedua.

1.3.2

Mutually exclusive events

Dua kejadian dikatakan mutually exclusive saru sama lain jika kejadian tersebut
tidak dapat terjadi secara bersama-sama (lihat Gambar 2-2.c). Kejadian
mendapat gambar muka dan kejadian mendapat gambar belakang pada satu kali
pelemparan sebuah koin adalah dua kejadian yang mutually exclusive.

1.3.3

Complementary events
Dua kejadian A dan B dikatakan complementary, jika

kejadian A tidak muncul, maka kejadian B pasti muncul.

Gambar Complementary events

Diagran

Venn

diatas

juga

mendasari

munculnya

persamaan 2-5 dimana:


P ( A) + P ( B ) = 1

atau

P( B) = P ( A)

.....................................................

Dimana P( A) adalah peluang kejadian A tidak terjadi (kejadian B terjadi). Dari


sini terlihat bahwa kejadian complementary adalah pasti kejadian mutually
exclusive, namun tidak berlaku sebaliknya.

1.3.4

Conditional events

Conditional events (kejadian bersyarat) adalah kejadian yang terjadi jika kejadian
lainnya sudah terjadi. Peluang kejadian A terjadi jika kejadian B sudah terjadi
ditulis dengan P(AB) (dibaca kejadian A jika B), atau peluang bersayarat A jika
B telah terjadi.
Nilai ini dapat dihitung dengan didasarkan pada diagram Venn Gambar 2-2b.
P( A B) =

jumlah kejadian A dan B dapat muncul bersama


jumlah kejadian B dapat muncul

............................

Kejadian A dan B yang muncul bersama-sama

digambarkan pada daerah arsiran seperti pada

gambar sebelah dan diwakili oleh persamaan (AB)


dimana:
P( A I B ) =

AI B
B
dan P(B ) =
S
S

Dengan demikian
P( A B) =

P ( B A) =

1.3.5

S .P ( A I B ) P ( A I B)
=
S .P ( B )
P( B)

P( A I B)
P ( A)

...........................................................

..............................................................................

Simultaneous occurence events

Simultaneous occurence events A dan B adalah kejadian munculnya A AND B,


seperti terlihat pada Gambar 2-2b. Secara matematis sering dikenal dengan
istilah irisan dan dituliskan dengan:
(A I B)

( A AND B)

atau

(AB)

Pada kasus ini terdapat dua kondisi dimana kejadian A dan B muncul bersamasama. Kondisi pertama adalah jika A dan B adalah 2 kejadian bebas
(independent) satu sama lain dan kejadian yang kedua adalah jika 2 kejadian
tersebut tergantung satu sama lain (dependent).
Jika kejadian A dan B bebas satu sama lain, maka peluang munculnya kejadian
A tidak dipengaruhi oleh kejadian B demikian pula sebaliknya. Dengan demikian:
P ( A B ) = P ( A) dan P ( B A) = P ( B )

Sehinga, dari persamaan 2.8 didapat bahwa


P( A I B ) = P( A).P( B) ..........................................................................

Jika terdapat n kejadian bebas maka:


P( A1 I A2 I ... I Ai I ... I An ) =

P( A )
i

i =1

................................................

Contoh 2.10:
Seorang mekanik melakukan seleksi terhadap 2 pompa sentrifugal A dan B
untuk dipakai pada sistem pendingin sebuah motor disel. Peluang mendapat
pompa A yang baik adalah 0.9 dan peluang mendapat pompa B yang baik
adalah 0.95. Dengan demikian peluang mendapat pompa A dan B yang baik
adalah:
P(A baik B baik) = P(A baik) P(B baik) = 0.9 x 0.95 = 0.855
Jika kejadian A dan B tergantung satu sama lain (dependent), maka:
P( A I B ) = P( B A).P( A) = P( A B ).P( B )

...................................................

Contoh 2.11:
Sebuah kartu diambil dari sebuah kotak remi dengan isi 52 buah lembar kartu.
Jika A adalah kejadian munculnya/mendapat kartu merah dan kejadian B adalah
kejadian mendapat kartu bergambar (jack, queen, king). Maka berapakah
peluang munculnya kejadian A dan B secara bersama-sama?
Peluang muncul kejadian A adalah peluang mendapat kartu berwarna merah
yaitu P(A) = 26/52. Peluang muncul kejadian B jika kejadian A sudah terjadi
adalah Peluang mendapat kartu bergambar dari semua kartu berwarna merah
yang besarnya adalah P(BA)=6/26. Sehingga
P( A I B ) = P( B A).P( A) = P( A B ).P( B )

=26/52 . 6/26 = 6/52.

1.3.6

Occurence of at least one of two events

Kejadian ini diekspresikan dengan (A U B)

( A OR B)

atau

(A + B) dan

secara matematis dikenal dengan konsep union (gabungan) serta dapat


ditunjukkan oleh diagram Ven berikut:

Pada kasus ini terdapat 3 (tiga) kondisi yakni, dua

kejadian A dan B bebas satu sama lain tetapi tidak

mutually exclusive, dua kejadian A dan B bebas


satu sama lain dan mutually exclusive, serta dua
kejadian A dan B adalah bukan dua kejadian bebas.
Jika A dan B adalah dua kejadian bebas tetapi

bukan mutually exclusive, maka dengan metode analitis didapat bahwa:


P(A U B)

P(A OR B OR BOTH A AND B)

1-P(NOT A and NOT B)

1 P( A I B ) = 1 - P( A ).P( B) = 1 (1 P ( A)).(1 P ( B ))

P(A) + P(B) P(A).P(B) ..........................................

Pada diagram Ven diatas terlihat bahwa daerah yang dilingkup oleh P(A U B)
adalah gabungan kedua daerah A dan B, atau:
P (A U B) =P(A) + P(B) P(AWB) .......................................
Mengingat A dan B adalah dua kejadian bebas, maka persamaan diatas dapat
disederhanakan menjadi
P(A) + P(B) P(A).P(B) ......................................................
Yang sama hasilnya dengan persamaan 2.12
Contoh 2.12:
Contoh 2.10 dapat diselesaikan dengan:
P(Abaik U Bbaik)

P(Abaik)+P(Bbaik)-P(Abaik).P(Bbaik)

0.9 + 0.95 0.9x0.95 =

0.995

Jika A dan B adalah dua kejadian bebas dan mutually exclusive, maka P (A U B)
=P(A) + P(B) dimana pada gambar diagram Ven, kejadian A dan kejadian B tidak
beririsan (terlepas). Jika terdapat sejumlah n kejadian bebas dan mutuallu
exclisive maka

10

P ( A1 U A2 U A3 ... An ) =

P( A ) ..............................................
i

i 1

Jika A dan B adalah dua tidak kejadian (dependent) maka didapat


P(A U B)

1.3.7

P(A) + P(B) P(AB)

P(A) + P(B) P(BA). P(A)

P(A) + P(B) P(AB). P(B)

Aplikasi Kejadian Bersayarat

B1

Jika kejadian A tergantung dari lebih satu

B2

kejadian yakni B1, B2, B3 hingga Bn, dan semua

kejadian syarat

tersebuat

adalah

mutually

exclusive maka didapat bahwa:

B3

B4

P(AB1)

P(A B1).P(B1)

P(AB2)

P(A B2).P(B2)

P(ABn)

P(A Bn).P(Bn)

Selanjutnya jika kita gabungkan:


n

i 1

P ( A I Bi ) =

P( A B ).P( B ) .............................................
i

i 1

Jika sisi sebelah kiri dari persamaan diatas dijumlahkan, maka:


n

P( A I B ) = P( A) ..............................................................
i

i 1

P ( A) =

P( A B ).P( B ) .........................................................
i

i 1

Contoh 2.13:

11

Alat penukar panas diproduksi di dua pabrik. Pabrik I membuat 70% dari total
produk dan pabrik ke II membuat 30% dari total produk. Dari pabrik I, 90%
produknya memenuhi syarat, dan dari Pabrik II hanya 80% saja yang memenuhi
syarat. Tentukan (a) dari 100 penukar panas yang dibuat, berapa persen yang
memenuhi syarat (b) jika diambil satu penukar panas dan ternyata memenuhi
syarat, berapakan peluang penukar panas tersebut di produksi di pabrik II?
Jika kejadian A adalah kejadian mendapat penukar panas yang memenuhi syarat,
kejadian B1 adalah kejadian penukar panas di produksi di pabrik I dan kejadian
B2 menunjukkan bahwa penukar panas di produksi di pabrik II, maka
B

P(AB1) = 0.9

P(AB2) = 0.8

P(B1) = 0.7

P(B2) = 0.3

P ( A) =

P( A B ).P( B ) = 0.9x0.7 + 0.8x0.3


i

0.87

i 1

Dengan demikian jika 100 penukar panas di produksi, maka jumlah yang
memenuhi syarat adalah 100 x 0.87 = 87 buah penukar panas. (a)
Peluang mendapat penukar panas yang memenuhi syarat dan diproduksi di
pabrik II adalah P(B2A) dimana:

P ( B 2 A) =

P( A I B 2 ) P( B 2 ).P ( A B 2 ) 0.3 x0.8


=
=
= 0.276
P ( A)
P ( A)
0.87

Dengan demikian peluang komponen yang memenuhi syarat tersebut di produksi


di pabrik II adalah 0.276

1.4

Probability Distributions

Agar teori probabilitas dapat diaplikasikan, maka salah satu syarat adalah
kejadian harus terjadi secara acak. Sebagai contoh: laju kegagalan komponen,
waktu yang dibutuhkan pada proses perawatan, kekuatan material adalah
beberapa variabel yang secara acak dan memiliki variasi terhadap waktu dan
ruang. Variabel acak dikelompokkan menjadi dua jenis yakni discrete random
variable dan continuous random variabel.

12

Variable acak diskrit (discrete random variable) adalah variabel yang memiliki
nilai diskrit, atau nilai yang dapat dihitung. Sebagai contoh, eksperimen
pelemparan koin adalah variabel diskrit mengingat hanya ada dua kejadian
diskrit yang dimungkinkan yakni kejadian mendapat sisi muka dan belakang.
Begitu pula dengan eksperimen pelemparan dadu.
Variabel acak kontinyu (continuous random variabel) memiliki jumlah yang tidak
terbatas (infinite number of values). Ini tidak berarti bahwa rentang yang
dimungkinkan mencakup - hingga +, akan tetapi nilai yang dimungkinkan tidak
terbatas. Sebagai contoh; arus listrik pada satu kondisi memiliki rentang arus
sebesar 5A hingga 10A.

1.4.1

Density and distribution function

Data empiris yang telah dikumpulkan melalui eksperimen khusus untuk


selanjutnya akan dianalisa untuk dapat dijadikan informasi berkaitan dengan
tahapan evaluasi selanjutnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengevaluasi
probability

density

function

(PDF)

atau

probability

distribution

function

(cummulative - CDF). Beberapa properti dasar dari PDF dan CDF akan diberikan
melalui sebuah kasus berikut:
Contoh 2.14:
Sebuah mesin potong memotong pelat baja dengan panjang sekitar 6 m. Setelah
terpotong, bagian quality control melakukan evaluasi terhadap 20 lembar sample
pelat yang telah terpotong dan menemukan hasil pengukuran sebagai berikut:
5.97

5.97

5.98

5.98

5.98

5.99

5.99

5.99

5.99

5.99

6.00

6.00

6.00

6.00

6.00

6.01

6.01

6.02

6.02

6.02

Hasil pengukuran ini selanjutnya bisa di plot sebagai distribusi frekuensi seperti
terlihat pada gambar dibawah ini.

13

0.25

0.20

0.15

0.10

0.05

5.97

5.98

5.99

6.00

6.01

Probabilitas

frekuensi

6.02

panjang, m

Gambar 2-x Distribusi frekuensi dan probability mass functiont

Cara lain untuk menyajikan data serupa adalah dengan mengelompokkan data
jika jumlah data relatif besar seperti terlihat pada gambar berikut.
0.5

10
9

0.4

8
7

frekuensi

5
0.2

4
3

Probabilitas

0.3

0.1

2
1
5.97

5.98

5.99

6.00

6.01

6.02

panjang, m

Gambar 2-x Distribusi frekuensi dan probability mass functiont data kelompok

14

1.0
0.9

Commulative probability

0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
5.97

5.98

5.99

6.00

6.01

6.02

panjang, m

15

1.0
0.9

Commulative probability

0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
5.97

5.98

5.99

6.00

6.01

6.02

6.01

6.02

panjang, m

1.0
0.9

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
5.97

5.98

5.99

6.00

panjang, m
1.0
Commulative probability, F(x)

Commulative probability

0.8

16

Probability density function, f(x)

1.0

0
x

17

18

B AB 1
MODEL JARINGAN UNTUK
SISTEM SEDERHANA
1.1

Konsep Model Jaringan

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan aplikasi dasar dari teori peluang untuk
pengukuran keandalan sistem. Namun demikian, pada praktiknya sistem sering
dimodelkan dengan menggunakan jaringan (network) dimana komponen
komponen pada sebuah sistem dihubungan dalam pola hubungan seri, paralel,
serta gabungan seri dan paralel. Kesulitan dalam pemahaman metoda-metoda
analitik penilaian keandalan sering diakibatkan lemahnya pemahaman terhadap
pemodelan jaringan ini. Disamping itu harus diingat pulan bahwa topologi struktur
sistem tidak selalu sama dengan model jaringan. Hal ini karena sistem kadang
memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan topologi struktur yang terlihat.
Sebagai contoh, sistem pompa sentrifugal yang tersusun paralel secara phisik
kadang kala memiliki karakteristik kerja dimana satu atau lebih pompa beroperasi
dan pompa lainnya akan bekerja saat pompa utama gagal beroperasi. Karena itu
hendaknya pemahaman terhadap karakeristik kerja sistem dimiliki terlebih dahulu
sebelum kita melakukan pemodelan jaringan.
Komponen-komponen dapat dikatakan terhubung secara seri jika untuk
menjamin sistem sukses semua komponen harus beroperasi atau tidak boleh
gagal. Kegagalan pada satu komponen yang terhubung seri akan menyebabkan
kegagalan sistem.
Komponen-komponen dikatakan terhubung secara paralel jika hanya satu
komponen saja yang terhubung secara seri dibutuhkan untuk menjamin sistem

sukses. Sistem akan gagal jika semua komponen yang terhubung paralel juga
gagal.
Dengan demikian sistem seri sering juga disebut dengan istilah non-redundant
system serta sistem paralel disebut dengan fully redundant system.

1.2

Sistem Seri

Sistem yang terdiri dari dua komponen seri yakni

komponen A dan komponen B memiliki indeks


keandalan komponen (R) masing-masing Ra dan
Rb. Dengan demikian keandalan sistem dapat
ditentukan dengan:

Gambar 1.2-1 Sistem seri dengan 2 komponen

Rs = Ra x Rb ....................................................................
Jika terdapat n komponen yang terhubung secara seri maka:
n

Rs =

Ri ...........................................................................
i =1

Dengan demikian indeks keandalan sistem yang terdiri dari beberapa komponen
seri adalah perkalian dari indeks keandalan masing-masing komponen didalam
sistem tersebut.
Pada beberapa kasus penilaian keandalan, adakalanya akan lebih untuk
menghitung indeks ketidakhandalan (unreliability-Q) terlebih dahulu sebelum
menghitung indeks keandalan. Mengingat keandalan dan ketidakhandalan
adalah komplementer terhadap satu sama lain, maka
Qs = 1 - Ra x Rb
= 1-(1-Qa).(1-Qb)
= Qa + Qb - Qa.Qb ........................................................
Dan untuk n komponen seri maka

Qs = 1

Ri .......................................................................
i =1

Contoh 3.1
Sistem A terdiri dari 5 komponen dan sistem B terdiri dari 10 komponen identik
dimana semua sistem harus beroperasi untuk menjamin sistem sukses. Jika
indek keandalan masing-masing komponen adalah 0.95, berapakah indek
keandalan sistem A dan B tersebut tersebut?
Untuk sistem A, maka

Rs

0.955 =

0,7737

Untuk sistem B, maka

Rs

0.9510 =

0,5987

Dari contoh soal di atas dapat diamati bahwa sistem seri akan sukses jika semua
komponen yang ada pada sistem juga sukses. Kegagalan pada satu komponen
akan menyebabkan sistem menjadi gagal. Semakin banyak komponen yang
terhubung secara seri, maka keandalan sistem akan makin rendah.
Contoh 3.2
Dua buah komponen identik yang terhubung secara seri memiliki indeks
keandalan komponen 0.99. Berapakah indeks ketidakhandalan system?
Qs = 1 Ra.Rb = 1 0.992 = 0.0199
Contoh 3.3
Sebuah sistem membutuhkan 200 buah komponen identik yang terhubung
secara seri. Jika indeks keandalan sistem tidak boleh kurang dari 0.99,
berapakah indeks keandalan komponen dalam sistem?
Rs = R200 = 0.99
Dengan demikian R = 0.991/200 = 0.99995

1.3

Sistem Paralel

Perhatikan dua komponen A dan B yang terhubung

secara paralel seperti terlihat pada gambar 3.2. Pada


susunan tersebut, sistem sukses ditentukan jika paling
tidak salah satu dari komponen tersebut sukses.

Dengan kata lain, sistem akan gagal jika semua


komponen yang terhubung paralel gagal.

Gambar 1.3-2 Sistem paralel dengan 2 komponen

Indeks ketidakandalan sistem dirumuskan dengan:


Qp = Qa x Qb ....................................................................
Jika terdapat n komponen yang terhubung secara seri maka, indeks
ketidakandalan sistem adalah:
n

Qp =

Qi .............................................................................
i =1

Dengan demikian indeks keandalan sistem diperoleh dengan:


Rp = 1 - Qs = 1 (Qa x Qb) .............................................
Jika terdapat n komponen yang terhubung secara seri maka, indeks keandalan
sistem adalah:
n

Rp = 1

Qi .........................................................................
i =1

Daro pernyataan di atas dapat diketahui bahwa semakin banyak komponen yang
terhubung secara paralel di dalam sistem, maka indeks keandalan sistem akan
semakin tinggi.
Contoh 3.4
Sebuah sistem terdiri dari empat komponen yang terhubung paralel dengan
indeks keandalan komponen adalah 0.99, 0.95, 0.98, dan 0.97. Berapakah
indeks keandalan dan ketidakandalan sistem?

Qp = Q1 x Q2 x Q3 x Q4 = (1-0.99) x (1-0.95) x (1-0.98) x (1-0.97) = 3.10-7


Dengan demikian indeks keandalan sistem adalah 1-3.10-7 = 0.9999997
Contoh 3.5
Sebuah komponen memiliki indeks keandalan 0.8. Analisalah pengaruh
penambahan jumlah komponen jika komponen tersebut terhubung paralel satu
sama lain.
Jumlah
Komponen
1
2
3
4
5
6

Keandalan
sistem
0.800000
0.960000
0.992000
0.998400
0.999680
0.999936

penambahan
keandalan
0.160000
0.032000
0.006400
0.001280
0.000256

prosentase
keandalan
20
24
24,8
24,96
24,99

Dari persamaan yang


telah dibahas di depan,
maka diperoleh hasil
sebagai berikut: Disini
terlihat bahwa penam-

bahan koponen pertama terhadap satu komponen utama memberikan peningkatan prosentase keandalan yang paling besar. Penambahan beberapa
komponen berikutnya tidak terlalu signifikan meningkatkan keandalan sistem
secara keseluruhan.
Contoh 3.6
Sebuah sistem yang memiliki indeks keandalan komponen 0.7, harus didisain
agar memiliki indeks keandalan sistem sebesar 0.999. Berapakah jumlah
minimum komponen yang harus dihubungkan secara paralel?
1 0.999 = (1 0.7)n
0.001 = 0.3n, sehingga n = 5,74 komponen, atau kalau dibulatkan akan menjadi 6
komponen.

1.4

Kombinasi sistem seri-paralel

Pada kasus susunan kombinasi antara seri dan paralel, maka penyederhanaan
sistem dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa komponen yang
terhubung secara seri atau paralel menjadi satu nilai keandalan gabungan.

Contoh 3.7
Tentukan

indeks

keandalan total sistem seriparalel

berapa

keandalan

ini

jika

indek

masing-masing

komponen adalah 0.9


Gambar 1.4-3 Sistem kombinasi seri-paralel

Sistem di atas dapat disederhanakan dengan menggabungkan keempat


komponen seri (1, 2, 3, 4) (disebut dengan 9) menjadi satu bagian gabungan,
dan proses yang sama juga dilakukan untuk komponen seri (5, 6, 7, 8) (disebut
dengan 10). Selanjutnya dua gabungan komponen yang terhubung secara
paralel dapat diselesaikan dengan algoritma sistem paralel.
R9 = R1 R2 R3 R4

9
R10 = R5 R6 R7 R8
11

R11 = 1 (1-R9)(1-R10) = R9+R10-R9R10


10

R11 = 0.94+0.94-0.98 = 0.8817


Gambar 1.4-4 Penyederhanaan sistem kombinasi seri-paralel

Contoh 3.8

3
1

Dapatkan

ekspresi

keandalan

sistem disebelah dan hitung indeks

ketidakandalan sistem jika indeks

keandalan

masing-masing

komponen adalah 0.8

5
Gambar 1.4-5 kombinasi seri-paralel

Langkah penyederhanaan adalah dengan menggabungkan komponen 3 dan 4


menjadi gabungan komponen 6. Selanjutnya komponen 1, 2 dan 6 digabungkan
kembali menjadi gabungan komponen 7 dan diakhiri dengan menyederhanakan
susunan parelel antara komponen 7 dan komponen 5.

8
5

Gambar 1.4-6 Langkah penyederhanaan kombinasi seri-paralel

Dari gambar diatas dapat dirumuskan:


Q6 = Q3 . Q4
Q7 = 1(1Q1)(1Q2)(1Q6) = Q1+Q2+Q6Q1Q2-Q2Q6-Q6Q1+Q1Q2Q6
Q8 = Q5 . Q7
Q8 = Q5(Q1+Q2+Q3Q4-Q1Q2-Q2Q3Q4-Q3Q4Q1+Q1Q2Q3Q4) = 0.07712
Atau dengan cara yang lain diperoleh:
R6=R3+R4-R3R4

R7=R1R2R6

R8=R5+R7-R5R7=R5+R1R2(R3+R4-R3R4)-R5R1R2(R3+R4-R3R4) = 0.92288
Q8 = 1 0.92288 = 0.07712

1.5

Partially Redundant System

2
1

Tentukan

ekspresi

indeks

keandalan

gambar

berikut

dimana dari 3 komponen


yaitu komponen 4, 5 dan 6,

3
6

minimum hanya 2 komponen


saja

yang

untuk

harus

menjamin

sukses
sistem

sukses.
Gambar 1.5-7 Partially redundant system

Sistem di atas dapat disederhanakan dengan cara menggabungkan komponen 2


dan 3 menjadi gabungan 8, selanjutnya komponen 4, 5 dan 6 digabungkan
menjadi gabungan komponen 9. Komponen 1, gabungan 8 dan gabungan 9
selanjutnya dapat disederhanakan menjadi gabungan komponen 10 dan
akhirnya dapat disederhanakan dengan memparalelkan gabungan komponen 10
dengan komponen 7. Langkahlangkah tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut.

10

11

Gambar 1.5-8 Penyederhanaan partially redundant system

Perbedaan dengan contoh 3.8 di atas adalah bahwa pada kasus partially
redundant system, gabungan komponen 9 tidak dapat dihitung langsung dengan
memparalelkan ketiga komponen pendukungnya, karena ada persyaratan bahwa
cukup 2 komponen saja harus sukses untuk menjamin gabungan komponen
tersebut sukses. Ini bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan
distribusi binomial seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya.
Q8 = Q2Q3

R10 = R1R8R9

Q11 = Q10Q7 = Q7(1-R1R8R9)= Q7(1-R1(1-Q2Q3)R9)= Q7(1-R1R9+R1R9Q2Q3)


Selanjutnya R9 diperoleh dengan menggunakan distribusi binomial, dimana
R4=R5=R6=R dan Q4=Q5=Q6=Q dan menghasilkan
R9 = R3 + 3R2Q dan Q9 = 3RQ2 + Q3
Jika R4KR5KR6 dan Q4KQ5KQ6, maka:
R9=R4R5R6+R4R5Q6+R5R6Q4+R6R4Q5,dan Q9= R4Q5Q6+R5Q6Q4+R6Q4Q5+Q4Q5Q6
Jika Ri = 0.8, maka R9 = 0.8960, Q9 = 0.1040, dan Q11 = 0.06237

1.6

Standby Redundant System


8

Sistem standby mengoperasikan satu atau lebih komponen utama dan satu atau
lebih komponen dalam posisi standby yang akan beroperasi bila komponen
utama gagal. Proses pemindahan kerja komponen ini dilakukan dengan
menggunakan switch. Gambar 3.9 (a) adalah susunan parallel redundant dimana
komponen A dan B beroperasi secara bersama-sama untuk melayani fungsi
tertentu. Sementara itu Gambar 3.9 (b) adalah susunan standby redundant
dimana komponen A beroperasi terlebih dahulu (karena terhubung dengan
switch) sampai komponen tersebut gagal dan selanjutnya jika gagal switch akan
berpindah ke komponen B untuk menggantikan fungsi komponen A.

(a)

(b)

Gambar 1.6-9 (a) Parallel redundancy (b) Standby redundancy

Pada buku ini hanya akan dibahas penurunan algoritma sistem standby untuk
kasus switch sempurna (tidak mungkin gagal) dan kasus switch tidak sempurna.
Kasus switch sempurna:
Jika switch sempurna, dimana switch pasti sukses dalam memindahkan fungsi
kerja komponen A ke komponen B saat komponen A tersebut gagal, maka
sistem akan gagal jika komponen A gagal dan komponen B gagal (dimana A
sudah gagal terlebih dahulu), atau dapat dituliskan:
Q = Q( A).Q( B A)

Jika komponen A dan komponen B diasumsikan independen satu sama lain,


maka
Q = QA . QB .........................................................................
B

Persamaan di atas serupa dengan persamaan peluang kegagalan sistem parallel


redundancy. Hal ini tidak benar, sebab sekalipun peluang kegagalannya sama,

namun

pada

standby

redundancy

waktu

operasi

komponen-komponen

didalamnya tentunya akan lebih kecil jika dibandingkan dengan parallel


redundacy, sebab komponen B hanya akan berfungsi jika komponen A gagal.
Hal ini berbeda dengan parallel redundancy dimana kedua komponen beroperasi
bersama-sama.
Kasus switch tidak sempurna:
Jika switch tidak sempurna, maka berarti switch tersebut memiliki peluang untuk
gagal dalam memindahkan fungsi kerja komponen A saat gagal menuju
komponen B. Jika peluang switch sukses melakukan kerjanya adalah Ps, maka
peluang kegagalan switch akan menjadi Qs = (1 Ps).
Permasalahan ini selanjutnya dapat diselesaikan dengan konsep peluang
bersyarat (conditional probability) dimana:
P(sistem gagal) = P(sistem gagal jika switch sukses) x P(switch sukses) +
P(sistem gagal karena switch gagal) x P(switch gagal)
Pernyataan diatas dapat diterjemahkan secara matematis menjadi:
Q = QA.QB.Ps + QA.Qs
B

= QAQBPs + QA(1-Ps)
B

= QAQBPs + QA QAPs
B

= QA QAPs(1-QB)......................................................
B

Jika switch terhubung dengan komponen B (komponen A standby), maka:


Q = QB QBPs(1-QA)........................................................
B

Jika switch memiliki peluang gagal tidak hanya pada saat melakukan fungsi
pemindahan namun juga pada saat switch tersebut berada pada kondisi standby,
maka kondisi tersebut bisa diwakili oleh hubungan seri antara Komponen A dan
B yang terhubung paralel dengan switch tersebut. Pada kondisi ini switch tidak
hanya memiliki peluang gagal pada saat melakukan fungsi pemindahan kerja
(Ps) namun juga memiliki peluang gagal saat pada kondisi standby (indeks

10

keandalan switch tidak sama dengan 1 saat pada posisi standby). Hal tersebut
dapat dijelaskan melalui gambar berikut.

A
Ps

Rs

B
Gambar 1.6-10 Standby redundancy dengan switch tidak sempurna

Dengan demikian:
Q = [QA-QAPs(1-QB)] + Qs [QA-QAPs(1-QB)]Qs ...............
B

R = Rs(1-(QA-QAPs(1-QB)) ................................................
B

Jika switch terhubung dengan komponen B (komponen A standby) maka:


Q = [QB-QBPs(1-QA)] + Qs [QB-QBPs(1-QA)]Qs ...............
B

R = Rs(1-(QB-QBPs(1-QA)) ................................................
B

Contoh 3.9
Jika susunan seperti pada gambar 3.10 memiliki indeks keandalan komponen A
dan B adalah 0.9 dan komponen B memiliki keandalan jika komponen A sudah
gagal terlebih dahulu sebesar 0.96, maka berapakah keandalan sistem jika (a)
switch sempurna? (b) switch punya peluang gagal 0.08? (c) switch memiliki
keandalan saat kondisi operasi sebesar 0.98?
(a) R = 1 (1-0.9) (1-0.96) = 1 (0.1 x 0.04) = 0.996
(b) R = 1 (0.1 0.1x0.92(1-0.04)) = 0.988
(c) R = 0.98 x 0.988 = 0.969
Contoh 3.10
Sama seperti contoh 3.9, jika susunan seperti gambar dibawah dan komponen C
dan D memiliki indeks keandalan 0.99 dan 0.8, berapa indeks keandalan sistem?

11

A
Ps
C

Rs

B
D

Indeks keandalan bagian A,B,Ps dan Rs sudah didapatkan pada contoh


sebelumnya yakni 0.969. Karena itu indeks keandalan sistem secara
keseluruhan adalah:
R = RC(1-QD(1-0.969)) = 0.99(1-0.2(1-0.969) = 0.984

12

B AB 1
MODEL JARINGAN UNTUK
SISTEM KOMPLEKS
1.1

Konsep Model Jaringan

ada bab sebelumnya telah diuraikan teknik dalam melakukan


pemodelan jaringan untuk sistem sederhana. Beberapa pola
hubungan komponen didalam sistem telah dibahas secara
grafis dan matematis. Pola hubungan tersebut meliputi

susunan seri, paralel, kombinasi seri-paralel, dan standby. Namun demikian,


tidak semua sistem memiliki konfigurasi yang sederhana seperti itu. Ada kalanya
kita dihadapkan pada konfigurasi yang tidak mungkin disederhanakan dengan
pemodelan seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya.

Sebagai salah satu contoh, lihatlah model jaringan bridge type yang terlihat pada
gambar 4.1. Pada gambar tersebut terlihat lima buah komponen A, B, C, D dan E
yang terhubung satu sama lain. Susunan tersebut tidak dapat secara serta merta
disederhanakan menjadi susunan seri, paralel ataupun kombinasi diantara
keduanya. Sistem dengan susunan seperti ini membutuhkan pendekatan yang
lebih kompleks dalam proses evaluasi keandalannya.

C
E

Gambar 1.1-1 Bridge type network

Pada bab ini akan diberikan beberapa teknik untuk mengevaluasi keandalan
rangkaian komponen dalam sisten yang kompleks. Metode-metode yang akan
diberikan disini meliputi: metode peluang bersyarat (conditional probability), cut
set, tie set, event tree, dan fault tree.
Semua metode yang disebutkan diatas pada dasarnya didasarkan atas proses
penyederhanaan sistem menjadi susunan seri dan paralel sederhana, dan
selanjutnya

proses

evaluasi

diselesaikan

dengan

cara

khusus

untuk

mendapatkan peluang sistem gagal ataupun suskses.

1.2

Metode Peluang Bersyarat (conditional probability)

Dalam melakukan evaluasi sistem yang kompleks dengan metode peluang


bersyarat, sistem akan diuraikan menjadi susunan seri dan paralel sederhana,
selanjutnya hasil penyederhanaan tersebut digabungkan kembali dengan
meggunakan konsep peluang bersayarat.
P(sistem sukses/gagal)=P(sistem sukses/gagal jika komponen X selalu sukses)
x P(komponen X sukses) + P(sistem sukses/gagal jika komponen X selalu
gagal) x P(komponen X gagal)
Untuk melihat aplikasi teknik ini, susunan bridge type pada gambar 4.1 akan kita
bahas kembali.
Langkah pertama dalam teknik peluang bersyarat ini adalah dengan menentukan
satu komponen didalam sistem yang kalau kita asumsikan selalu sukses atau
selalu gagal akan dapat menyederhanakan sistem menjadi susunan seri dan
paralel sederhana. Komponen ini kita sebut dengan komponen X. Tidak ada
ketentuan

khusus

dalam

menentukan

komponen

tersebut,

kecuali

pertimbangan kesederhanaan sistem setelah diasumsikan bahwa komponen


tersebut selalu sukses atau selalu gagal.
Contoh 4.1:
Pada gambar 4.1, jika indeks keandalan masing-masing komponen adalah 0.99,
maka berapakah indeks keandalan sistem?

Pada gambar 4.1 terlihat bahwa komponen E adalah komponen yang paling
tepat mewakili komponen X. Sistem akan menjadi lebih sederhana seperti
terlihat pada gambar 4.2. Gambar (a) mengasumsikan komponen E selalu
sukses dan (b) mengasumsikan komponen E selalu gagal.

(a) E selalu sukses

(b) E selalu gagal

Gambar 1.2-2 Penyederhanaan dengan teknik peluang bersyarat

Jika komponen E selalu sukses, maka akan selalu ada maka komponen A dan B
akan pada susunan paralel, demikian juga antara komponen C dan D dan kedua
susunan parelel tersebut terhubung seri satu sama lain. Jika E selalu gagal,
maka komponen A dan C akan pada susunan seri demikian juga dengan
komponen B dan D dan kedua susunan seri tersebut akan berada pada susunan
paralel satu sama lain. Kedua susunan E selalu sukses dan E selalu gagal ini
adalah mutually exclusive karena kedua-duanya tidak dapat muncul bersamasama dan karena itu bisa digabungkan dengan metode peluang bersyarat.
Pada kasus yang lebih kompolek mungkin dibutuhkan penyederhanaan lebih
lanjut. Hal ini tidak menjadi masalah, sebab penyederhanaan lebih lanjut akan
diikuti dengan penggabungan memakai metode peluang bersyarat.
Setelah penyederhanaan seperti pada gambar 4.2 tersebut dilakukan maka kita
bisa rumuskan bahwa:
Rs = Rs(jika E selalu sukses). RE + Rs(jika E selalu gagal). QE
Pada kondisi E selalu sukses maka:
Rs = (1 QAQB)(1-QCQD)
B

Pada kondisi E selalu gagal, maka:

Rs = 1 (1 RARC)(1 RBRD)
B

Jika kedua persamaan diatas digabungkan ke persamaan awal, maka diperoleh:


Rs

= (1 QAQB)(1-QCQD). RE + 1 (1 RARC)(1 RBRD) . QE


B

= RARC + RBRD + RARDRE + RBRCRE RARBRCRD RARCRDRE


B

RARBRCRE RBRCRDRE RARBRDRE + 2 RARBRCRDRE


B

Jika RA = RB = RC = RD = RE = R, maka
B

Rs

= 2R2 + 2R3 5R4 + 2R5

Jika indeks keandalan komponen adalah 0.99, maka Rs = 0.99979805


Contoh 4.2:
Hitunglah indeks keandalan komponen dari sistem yang terlihat pada gambar
berikut jika indeks keandalan masing-masing komponen adalah 0.99?
Pada gambar 4.3, komponen F yang terlihat paling
memungkinkan sebagai komponen X. Maka kita
bisa asumsikan bahwa komponen F selalu sukses

(gambar 4.4 (a)) dan komponen F selalu gagal


(gambar 4.4 (b)). Gambar 4.4 (a) selanjutnya masih

dapat

disederhanakan

lebih

lanjut

dengan

mengasumsikan bahwa komponen A selalu sukses


(gambar 4.4 (c)) dan komponen A selalu gagal
(gambar 4.4 (d)). Penggabungan dengan konsep

E
C

peluang bersyarat dimulai dari 2 gambar terakhir


untuk mendapatkan peluang sukses susunan (b),
setelah itu susunan (b) digabungkan dengan
susunan (a) untuk mendapat peluang sukses
sistem secara keseluruhan.

Gambar 1.2-3 kompleks sistem

Setelah menurunkan gambar penyederhanaan, maka selanjutnya indeks


keandalan sistem dapat dihitung dengan konsep peluang bersyarat.

(a) F selalu sukses

(b) F selalu gagal

E
C

(c) A selalu sukses

(d) A selalu gagal

Gambar 1.2-4 Penyederhanaan kompleks sistem

Rs = Rs(jika F selalu sukses). RF + Rs(jika F selalu gagal). QF


Rs(jika F selalu gagal) = 1 (1 RBRDRE)(1-RARC)
B

Rs(jika F selalu sukses)= Rs(jika A selalu sukses). RA + Rs(jika A selalu gagal). QA


Rs(jika A selalu sukses) = 1 - QCQD
Rs(jika A selalu gagal) = RBRDRE
B

Dengan substitusi kita dapatkan:


Rs = [(1- QCQD)RA + RBRDREQA] . RF + [1-(1-RBRDRE)(1- RARC) ]. QF
B

Jika indeks keandalam komponen adalah 0.99, maka:


Rs = 0.999602

1.3

dan

Qs = 0.000398

Metode Cut Set

Metode cut set ini adalah salah satu metode yang umum digunakan pada
evaluasi keandalan karena kemudahan menterjemahkan algoritma metode ini ke
bahasa

pemrograman

komputer

serta

metode

ini

langsung

dapat

mengidentifikasi proses gagalnya sistem.


Cut set adalah satu set komponen dalam sistem yang jika gagal akan
menyebabkan kegagalan sistem, atau satu set komponen yang mana
komponen-komponen di dalamnya harus gagal agar sistem menjadi gagal.
Minimal sub set dari cut set yang menyebabkan sistem gagal disebut dengan
minimal cut set.
Contoh 4.3:
Dengan menggunakan pengertian diatas, maka pada gambar 4.1 bisa kita
temukan beberapa cut set yaitu AB, CD, AED dan BEC. Jika AB gagal, maka
sistem akan gagal, demikian juga jika CD, AED dan BEC gagal, maka sistem
juga akan gagal. Keempat cut set tadi adalah minimal cut set, sebab tidak ada
lagi sub set yang lebih kecil dari cut set tersebut yang akan membuat sistem
gagal.
Sistem akan gagal jika cukup satu cut set saja muncul. Hal ini memiliki pola yang
sama dengan sistem seri, dimana jika satu komponen gagal maka sistem pasti
akan gagal. Karena itu hubungan antara cut set dalam sistem adalah seri.
Selanjutnya, cut set akan gagal jika semua komponen di dalam cut set tersebut
gagal. Hal ini memiliki pola yang sama dengan sistem paralel, dimana semua

komponen harus gagal untuk menjamin sistem gagal. Karena itu, hubungan
antara cut set dalam sistem adalah paralel.
Dari dua pernyataan diatas maka hubungan antar cut set dan hubungan antara
komponen di dalam cut set dapat digambarkan seperti dibawah ini.

C3

C4

C1

C2

Gambar 1.3-5 Minimal cut set pada contoh 4.3

Penyederhanaan seperti pada Gambar 4.5 tidak dapat langsung diselesaikan


dengan konsep sistem seri dan paralel sederhana mengingat semua komponen
muncul lebih dari satu kali. Karena itu hubungan antara komponen di dalam cut
set dapat diselesaikan dengan konsep gabungan.
Qs

= P(C1UC2UC3UC4)
= P(C1)+ P(C2)+ P(C3)+ P(C4)-P(C1C2) -P(C1C3) -P(C1C4)
-P(C2C3) -P(C2C4) -P(C3C4)+P(C1C2C3) +P(C1C2C4)
+P(C1C3C4) +P(C2C3C4)- P(C1C2C3C4)

Dimana:
P(C1) = QAQB
B

P(C2) = QCQD

P(C3) = QAQDQE (C4) = QBQCQE


B

Dengan demikian
Qs

= QAQB+QCQD+QAQDQE+QBQCQE-QAQBQCQD- QAQBQDQE- QAQBQCQEB

QAQCQDQE-QBQCQDQE+2 QAQBQCQDQE
B

Jika QA=QB=QC=QD=QE=Q, maka


B

Qs

= 2Q2+2Q3-5Q4+2Q5

Jika indeks keandalan komponen adalah 0.99, maka Q = 0.01


Qs

= 0.00020195

Rs = 0.99979805

Hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode peluang bersyarat.
Penyelesaian seperti yang dijelaskan diatas menjadi semakin panjang jika jumlah
komponen yang terlibat semakin besar. Karena itu perlu dilakukan beberapa
penyederhanaan dengan syarat bahwa tingkat ketelitian dari penyederhanaan ini
masih bisa ditoleransi. Salah satu cara penyederhanaan tersebut adalah dengan
mengabaikan peluang kegagalan yang diperoleh dari penggabungan cut set.
Sehingga peluang kegagalan sistem akan dapat dievaluasi sebagai berikut:
Qs

= P(C1)+ P(C2)+ P(C3)+ P(C4)


= QAQB+QCQD+QAQDQE+QBQCQE
B

2
3
= 2Q +2Q

Dengan demikian Qs = 0.000202, dan Rs = 0.999798


Nilai diatas hampir sama dengan nilai keandalaan yang didapatkan dengan
tanpa penyederhanaan Perbedaan hanya pada digit ke 7 dan ke 8, yang secara
teknis bisa diabaikan.
Penyederhanaan lebih lanjut adalah dengan menghitung cut set yang hanya
terdiri dari 2 komponen saja, sehingga
Qs

= P(C1)+ P(C2)
= QAQB+QCQD
B

2
= 2Q

Dengan demikian Qs = 0.000200, dan Rs = 0.999800


Ingat bahwa penyederhanaan ini akan memiliki efek yang besar terhadap
perubahan nilai sebenarnya jika keandalan masing-masing komponen tidak
terlalu tinggi (ketidakhandalannya adalah tinggi). Namun jika keandalan

komponen reltif tinggi, maka secara teknis penyederhanaan ini tidak menhasilkan
perbedaan nilai keandalan atau ketidakandalan yang signifikan dibandingkan
dengan hasil tanpa proses penyederhanaan.
Pada beberapa kasus sistem kompleks, penentuan cut set dapat dilakukan
secara langsung melalui pengamatan terhadap block diagram sistem. Namun
pada beberapa kasus lainnya (jika komponen yan terlibat semakin banyak),
penentuan cut set akan menjadi susah. Karena itu dibutuhkan sebuah metode
dan algoritma yang dapat dijasikan sebagai acuan dalam menurunkan jumlah
dan jenis cut set yang ada di dalam sistem.
Langkah-langkah dalam penentuan cut set adalah sebagai berikut:
(1) Turunkanlah minimal path dari block diagram.
(2) Susun incidence matrix yang mengidentifikasi semua komponen di
dalam sistem. Beri nilai 1 pada komponen yang ada pada path yang
sesuai, dan beri nilai 0 pada komponen yang tidak muncul pada path
tersebut.
(3) Jika semua elemen komlom pada incidence matrix adalah non zero,
maka kolom tersebut adalah cut set orde pertama.
(4) Gabungkan 2 kolom pada incidence matrix secara berurutan. Jika dari
penggabungan ini terdapat kolom yang semua komponennya adalah
non zero, maka kolom tersebut adalah cut set orde kedua.
(5) Lakukan kembali langkah (4) dan temukan cut set dengan orde yang
lebih tinggi hingga tidak dapat lagi ditemukan adanya cut set.
Jika langkah tersebut diatas kita aplikasikan pada sistem seperti terlihat pada
gambar 4.1, maka berturut-turut akan kita dapatkan:
(1) Minimal path adalah : AB, CD, AED dan BEC
(2) Matrix incidence adalah: (lihat dibawah)
(3) Kita lihat bahwa tidak ada kolom yang semua komponennya adalah non
zero. Artinya tidak ada cut set orde pertama.

path
A
1
0
1
0

1
2
3
4

component
B
C
D
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
1
0

E
0
0
1
1

(4) Dengan menggabungkan dua kolom yang berturutan, maka incidence


matrix akan menjadi seperti dibawah ini. Kita lihat bahwa AB dan CD
adalah kolom dengan komponen non zero semua. Karena itu AB dan
CD adalah cut set orde kedua (karena terdiri dari 2 komponen).
path
1
2
3
4

AB
1
1
1
1

AC
2
0
1
1

AD
1
1
2
0

component
AE BC BD
1
1
0
0
1
2
2
0
1
1
2
1

BE
0
1
1
2

CD
1
1
1
1

CE
1
0
1
2

DE
0
1
2
1

(5) Dengan menggabungkan tiga kolom yang berturutan, maka incidence


matrix akan menjadi seperti dibawah ini. Kita lihat bahwa ABC, ABD,
ABE, ACD, ADE, BCD, BCE, dan CDE adalah kolom dengan komponen
non zero semua. Tetapi AB dan CD adalah cut set orde kedua, sehingga
cut set orde ketiganya adalah cut set yang tidak memiliki komponen AB
dan CD. Dari pernyataan ini kita peroleh bahwa cut set orde ketiganya
adalah ADE dan BCE.
path
1
2
3
4

component
ABC ABD ABE ACD ACE ADE BCD BCE CDE
2
1
1
2
2
1
1
1
1
1
2
1
1
0
1
2
1
1
1
2
2
2
2
3
1
1
2
2
1
2
1
2
1
2
3
2

Berdasarkan hasil dari tahapan-tahapan diatas, maka diperoleh bahwa cut set
nya adalah AB, CD, ADE dan BCE. Hasil ini sama dengan penurunan cut set dari
pengamatan langsung seperti pada penjelasan sebelumnya.

1.4

Metode Tie Set

Metode tie set adalah komplemen dari metode cut set. Pada metode cut set yang
kita cari adalah peluang kegagalan sistem, namun pada metode tie set yang kita
cari adalah peluang suksesnya sistem. Cut set adalah satu set komponen yang

10

jika gagal akan menjamin sistem gagal, sementara itu tie set adalah satu set
komponen yang harus sukses untuk menjamin sistem sukses. Sistem akan
sukses jika paling tidak ada satu tie set yang sukses, artinya hubungan antara tie
set didalam sistem serupa dengan susunan paralel. Tie set akan sukses jika
semua komponen di dalam tie set juga sukses. Karena itu hubungan antara
komponen di dalam satu tie set serupa dengan susunan seri.
Dengan penjelasan diatas, maka hubungan komponen di dalam tie set diagram
adalah seperti pada gambar 4.6 . semua komponen muncul 2 kali pada tie set
diagram. Karena itu, penyederhanaan dengan susunan seri atau paralel tidak

T1

dapat

dilakukan

disini.

Untuk

mencari

berapa

peluang
T2

sukses

sistem kita kembali harus


menggunakan

T3
T4

dari

konsep

gabungan seperti pada


metoda cut set.

Gambar 1.4-6 Minimal tie set pada contoh 4.3

Rs

= P(T1UT2UT3UT4)
= P(T1)+ P(T2)+ P(T3)+ P(T4)-P(T1T2) -P(T1T3) -P(T1T4)
-P(T2T3) -P(T2T4) -P(T3T4)+P(T1T2T3) +P(T1T2T4)
+P(T1T3T4) +P(T2T3T4)- P(T1T2T3T4)

Dimana:
P(T1) = RARC

P(T2) = RBRD
B

P(T3) = RARDRE (T4) = RBRCRE


B

Dengan demikian
Rs

= RARC+RBRD+RARDRE+RBRCRE-RARBRCRD- RARBRDRE- RARBRCREB

RARCRDRE-RBRCRDRE+2 RARBRCRDRE
B

Jika RA=RB=RC=RD=RE=R, maka


B

11

Rs

= 2R2+2R3-5R4+2R5

Jika indeks keandalan komponen adalah 0.99, maka:


Rs = 0.99979805

Qs

= 0.00020195

Hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode peluang bersyarat
maupun metode cut set.

1.5

Metode Event Trees

Event trees adalah diagram yang menunjukkan semua kejadian yang mungkin
terjadi di dalam sistem. Diagram ini diperoleh dengan mengidentifikasi semua
komponen di dalam sistem, dan selanjutnya secara berturut-turut dianalisa setiap
cabang dari diagram dengan memasukkan peluang sukses dan gagalnya
masing-masing komponen.
Metode event trees ini dapat dipergunakan untuk melakukan analisa keandalan
pada sistem dimana semua komponen beroperasi kontinyu, maupun pada sistem
yang memiliki beberapa komponen yang berada pada posisi standby
(mengandung logic switching). Sistem yang mengadung komponen standby ini
sering dipergunakan pada safety oriented systems.
Pada kasus yang pertama dimana semua komponen beroperasi kontinyu, maka
penyusunan diagram event trees-nya bisa dimulai dari komponen yang mana
saja, sebab yang dicari adalah peluang kejadian yang menyebabkan sistem
gagal/sukses bukan pada bagaimana sistem tersebut menjadi gagal.
Pada kasus safety oriented system, tahapan terjadinya kegagalan pada sistem
akan sangat berpengaruh terhadap nilai peluang kegagalan/suksesnya sistem.
Pada kasus sistem dengan komponen yang beroperasi kontinyu, dengan
mengambil contoh sistem seperti terlihat pada gambar 4.1, maka event trees nya
adalah seperti terlihat pada gambar 4.7.
Pada gambar tersebut terlihat terdapat 32 cabang. Cabang akan berhumlah 2n,
dimana n adalah jumlah komponen di dalam sistem. Setelah menurunkan event

12

trees tersebut maka bisa dimasukkan peluang sukses/gagalnya masing-masing


komponen, sehingga peluang sukses/gagalnya masing-masing cabang akan
diketahui.
A

RD
RC

QD

QC

RD

RB
QD
RA
RD
RC

QD

QB
QC

RD
QD

RD
RC

QD

RB
QC

RD
QD

QA
RD
RC

QD

QC

RD

QB

QD

E
RE
QE

1-S
2-S

RE
QE

3-S
4-S

RE
QE

5-S
6-S

RE
QE

7-F
8-F

RE
QE

9-S
10 - S

RE
QE

11 - S
12 - S

RE
QE

13 - S
14 - F

RE
QE

15 - F
16 - F

RE
QE

17 - S
18 - S

RE
QE

19 - S
20 - F

RE
QE

21 - S
22 - S

RE
QE

23 - F
24 - F

RE
QE

25 - F
26 - F

RE
QE

27 - F
28 - F

RE
QE

29 - F
30 - F

RE
QE

31 - F
32 - F

Gambar 1.5-7 Event trees untuk sistem seperti pada contoh 4.3

13

Jika P(Ci) adalah peluang dari kejadian (sukses/gagal) di masing-masing cabang,


maka diperoleh bahwa peluang sukses sistem adalah:
Rs

= P(C1) + P(C2) + P(C3) + P(C4) + P(C5) + P(C6) + P(C9) + P(C10) + P(C11)


+P(C12) + P(C13) + P(C17) + P(C18) + P(C19) + P(C21) + P(C22)

Dimana sebagai contoh:


P(C1) = RARBRCRDRE
B

P(C2) = RARBRCRDQE
B

dst

Demikian juga halnya, peluang gagalnya sistem adalah:


Qs

= P(C7) + P(C8) + P(C14) + P(C15) + P(C16) + P(C20) + P(C23) + P(C24) +


P(C25) +P(C26) + P(C27) + P(C28) + P(C29) + P(C30) + P(C31) + P(C32)

Dimana sebagai contoh:


P(C7) = RARBQCQDRE
B

P(C8) = RARBQCQDQE
B

dst

Jika indeks keandalan komponen adalah R = 0.99, dan Q = 0.01 maka:


Rs = 0.999798 Qs

= 0.000202

Hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode peluang bersyarat
maupun metode cut set dan tie set.
Proses penyelesaian dengan metode event trees diatas membutuhkan waktu
yang panjang karena kita harus menghitung semua kemungkinan kombinasi
kejadian di dalam sistem. Ada beberapa cara penyederhanaan yang bisa
dilakukan dalam mempercepat perhitungan dengan tidak mengurangi tingkat
ketelitiannya.
Cara pertama adalah dengan menghentikan penurunan event trees saat
diketahui bahwa cabang event trees yang sedang diturunkan gagal atau sukses.
Seperti terlihat pada gambar 4.8, pada cabang yang pertama, setelah diketahui
bahwa jika hanya komponen A sukses, komponen B sukses dan komponen C
sukses akan menjamin sistem sukses, maka penurunan cabang diselesaikan
dan peluang sukses cabang pertama bisa langsung dihitung.

14

RC

1-S

RB
QC

RD

2-S

QD

3-F

RA
RC

4-S

QB
QC

RD

RE
QE

5-S
6-F

QD

RE

7-F

RD

8-S

RC

QD

RE
QE

QC

RD

11 - S

QD

12 - F

9-S
10 - F

RB

QA

QB

13 - F

Gambar 1.5-8 Penyederhanaan event tress

Hal yang sama juga dilakukan untuk cabang-cabang lainnya. Setelah semua nilai
peluang cabang dihitung, gabungan cabang-cabang yang menghasilkan sukses
(1, 2, 4, 5, 8, 9 dan 11) dijumlahkan dan akan menghasilkan peluang suksesnya
sistem (keandalan). Hal yang sama juga dilakukan untuk cabang yang
menghasilkan peluang gagal. Dengan penyederhanaan ini, dibutuhkan hanya 13
cabang saja untuk bisa menentukan peluang sukses atau gagalnya sistem.
Penyederhanaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan hanya memperhitungkan
salah satu peluang saja, yaitu menghitung cabang-cabang yang menghasilkan
sukses ataupun hanya cabang-cabang yang menhasilkan peluang gagal saja.

15

RB
QC
QD

1-F

RA
QB
QC

RD

QE

QD

RC

2-F
3-F

QD
QE

4-F

RB
QC
QD

5-F

QA
QB

6-F

Gambar 1.5-9 Penyederhanaan event tress

Seperti terlihat pada gambar 4.9 Hanya cabang yang menghasilkan gagal yang
diturunkan dan penurunan dihentikan jika sudah diketahui bahwa cabang
tersebut memberikan hasil gagal. Disini hanya ada 6 cabang saja yang perlu
dievaluasi, sehingga akan menyingkat waktu evaluasi dibandingkan dengan
penurunan-penurunan sebelumnya.
Seperti telah disampaikan di awal pembahasan metode event trees bahwa
metode ini bisa dipergunakan untuk sistem yang komponennya beroperasi
kontinyu dan untuk safety oriented system.
Pada kasus safety oriented system contoh berikut bisa memberikan gambaran
lebih jelas tentang aplikasi metode event trees.
Contoh 4.4:
Gambar 4.10 menunjukkan sistem pendingin yang terdiri dari tangki air pendingin,
detektor aliran (D) dan dua buah pompa emergency (P1 dan P2) yang
dipergunaakan saat suplai air pendingin utama terganggu. Proses kegagalan

16

sistem dimulai dari pecahnya pipa suplai air pendingin utama. Kejadian ini akan
menyebabkan

detektor

aliran

memberi

sinyal

ke

motor

listrik

untuk

menggerakkan P1 dan P2 untuk mensuplai air pendingin ke tangki pendingin.


Jika kedua pompa beroperasi penuh akan menjamin sistem 100% sukses, 1
pompa beroperasi akan menjamin sistem 50% sukses dan kedua pompa gagal
akan menyebabkan sisem gagal, maka berapakah peluang masing-masing
kejadian tersebut jika masing-masing komponen memiliki indeks keandalan
0.99?

P1
D

Emergency
coolant

normal
coolant

P1

Gambar 1.5-10 Flow diagram sistem suplai air pendingin

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa urutan proses akan menjadi: pipa pecah
listrik mengalirkan sinyal ke detektor detektor memerintahkan pompa
beroperasi pompa 1 beroperasi pompa 2 beroperasi. Urutan ini akan
menghasilkan siagram event trees sebagai berikut:
Pipe break

EP

P1

R(P1)

P2
R(P1)
Q(P2)

1-S
2-P

R(P1)
Q(P2)

3-P
4-F

R(P1)
Q(P2)

5-F
6-F

R(P1)
Q(P2)

7-F
8-F

R(P1)
Q(P2)

9-F
10 - F

R(P1)
Q(P2)

11 - F
12 - F

R(P1)
Q(P2)

13 - F
14 - F

R(P1)
Q(P2)

15 - F
16 - F

R(D)
Q(P1)
R(EP)
R(P1)
Q(D)
Q(P1)
Pipe break
R(P1)
R(D)
Q(P1)
Q(EP)
R(P1)
Q(D)
Q(P1)

Gambar 1.5-11 Event Trees contoh 4.4

17

Karena yang akan kita cari cukup peluang gagal atau sukses, maka event tree
pada gambar 4.11 dapat disederhanakan menjadi:
Pipe break

EP

P1

R(P1)

P2
R(P1)
Q(P2)

1-S
2-P

R(P1)
Q(P2)

3-P
4-F

R(D)
Q(P1)
R(EP)
Q(D)

5-F

Pipe break
Q(EP)

6-F

Gambar 1.5-11 Pentederhanaan event Trees contoh 4.4

Dari gambar diatas terlihat bahwa:


Rs

= R(EP) . R(D) . R(P1) . R(P2)


= 0.994 = 0.960596

Rpartial = R(EP) . R(D) . R(P1) . Q(P2) + R(EP) . R(D) . Q(P1) . R(P2)


= 2 x 0.993 x 0.01 = 0.019406
Qs

= R(EP) . R(D) . Q(P1) . Q(P2) +R(EP) . Q(D) + Q(EP)


= 0.992 X 0.012 + 0.99 X 0.01 + 0.01 = 0.019998

1.6

Fault Trees

Metode fault trees adalah salah satu metode evaluasi keandalan sistem yang
umum digunakan, khususnya pada sistem keselamatan atau safety oriented
system. Metode ini pertama kali dikembangkan sebagai salah satu cara untuk
mengevaluasi proses kegagalan sistem secara kualitatif. Perkembangan
berikutnya, dengan algoritma tertentu, metode ini dapat dipergunakan untuk
melakukan evaluasi keandalan secara kuantitatif.
Fault

trees

menggunakan

menggunakan beberapa

logical

gates

untuk

menghubungan antara satu kejadian (event) pada sistem dengan kejadian yang
lainnya. Kondisi kegagalan yang sering disebut sebagai top event secara

18

bertahap diturunkan menjadi kejadian-kejadian dibawahnya secara bertahap


dengan bantuan logical gates hingga penyebab dasar kegagalan (basic event)
ditemukan. Karena itu metode ini dikatagorikan sebagai top-down approach.
Dengan pendekatan kualitatif, maka tahapan proses kegagalan secara terperinci
bisa diturunkan sehingga metode ini dapat mengidentifikasi bagaimana proses
kegagalan sistem. Dengan mengetahui proses kegagalan sistem ini, maka
perbaikan, pengaturan dan modifikasi pada sistem dapat dilakukan agar kejadian
kegagalan yang sama bisa dicegah.
Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan memberikan nilai peluang terhadap
munculnya masing masing basic event, dan selanjutnya dengan bantuan logical
gates dan algoritma tertentu akan ditemukan besarnya peluang sistem menjadi
gagal atau peluang munculnya top event bisa didapatkan.
Materi yang disajikan pada buku ini hanya bertujuan memberikan pengantar awal
bagi pemahaman umum terhadap metode event trees. Penguasaan metode ini
secara komprehensif membutuhkan referensi tentang fault trees lainnya. Untuk
lebih memahami konsep dasar metode fault trees ini, kita bisa amati contoh
sederhana berikut.
Contoh 4.5:
Perhatikannlah konsep sistem suplai listrik seperti terlihat pada gambar 4.12.
Suplai
listrik ke
penggerak
utama mati

OR

Sumber
listrik arus
AC mati

Suplai
listrik ke
penggerak
utama mati
(a)

(b)

Sumber
listrik arus
DC mati

OR

Sumber
listrik arus
AC mati

Sumber
listrik arus
DC mati

AND

Sumber listrik
arus AC
internal mati

Sumber listrik
arus DC
eksternal mati

Gambar 1.6-12 Fault tree sistem suplai listrik

19

Pada bagian (a) terlihat bahwa hilangnya suplai listrik disebabkan karena dua
kejadian yakni hilangnya suplai listrik AC atau hilangnya suplai listrik DC. Arus
AC akan memberikan tenaga untuk penggerak utama dan arus DC akan
memberikan tenaga listrik kepada peralatan elektronik pengatur operasi
penggerak utama. Kedua kejadian ini harus sukses untuk menjamin sistem
menjadi sukses. Karena itu, kedua kejadian ini dihubungkan oleh sebuah logical
gate yang disebut dengan OR gate yang memiliki arti bahwa top event
(kegagalan suplai listrik) akan terjadi paling tidak jika salah satu dari kejadian
dibawahnya muncul atau satu kejadian di level dua sudah menjamin top event
akan terjadi.
Selanjutnya pada bagian (b) terlihat bahwa jika kejadian pada level kedua masih
bisa dicari penyebabnya, maka kejadian tersebut bisa diturunkan menjadi
beberapa kejadian penyebab dan dihubungkan dengan logical gate lainnya.
Terlihat bahwa kegagalan dalam mensuplai arus AC disebabkan karena sumber
arus AC internal dan eksternal terputus. Jika salah satu kejadian ini tidak terjadi,
maka suplai arus AC akan tetap terjamin. Artinya, kegagalan suplai arus AC
terjadi jika kedua kejadian dibawahnya terjadi. Kedua kejadian pada level 3 ini
dihubungkan dengan logical gate AND (AND gate). Penurunan penyebab
kegagalan pada level tiga ini masih bisa dilakukan jika terdapat informasi yang
cukup akan hal tersebut. Dengan demikian, ketelitian dan kejelasan dalam
penurunan fault tree ini akan sangat tergantung pada kemampuan orang yang
melakukan analisa dalam menterjemahkan kejadian-kejadian yang berpengaryh
terhadap gagalnya sistem.
Dalam mendisain diagram fault trees ini terdapat beberapa logical gates yang
bisa digunakan untuk menghubungan antara satu kejadian dengan kejadian
lainnya. Beberapa logical gates yang umum digunakan antara lain seperti terlihat
pada gambar 4.13.
(a)

(b)

(g)

(h)

(c)

(e)

(i)

(f)

(k)
(j)

Gambar 1.6-13 Logical gates pada fault trees

20

a.

AND Gate, kejadian output akan terjadi jika dan hanya jika semua
kejadian input terjadi.

b.

OR gate, kejadian output akan terjadi jika paling tidak ada satu kejadian
input yang terjadi.

c.

EOR gate, exclusive OR gate, kejadian output akan terjadi jika dan
hanya jika satu kejadian input terjadi.

d.

NOT gate, kejadian output akan terjadi hanya jika kejadian input tidak
terjadi.

e.

m-out of-n gate, kejadian output akan terjadi jika dan hanya jika m
kejadian input dari n kejadian input yang ada terjadi.

f.

Basic event, kegagalan pada hirarki terendah pada fault trees

g.

Incomplete event, kejadian yang membutuhkan penurunan lebih lanjut


sampai nanti ditemukannya basic event.

h.

Intermediate event, kombinasi dari kejadian kegagalan sebagai output


dari logical gates.

i.

Transfers OUT, titik dimana fault tree bisa dipecah menjadi sub-fault tree.

j.

Transfer IN, titik dimana sub-fault tree bisa dimulai sebagai kelanjutan
pada transfer OUT.

Evaluasi kuantitatif pada metode fault trees dapat dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah dengan menggabungkan semua basic event dengan
menggunakan aljabar Boolean. Beberapa aturan aljabar Boolean adalah:

AA = A

AB = BA

A(BC) = (AB)C

A(B+C) = AB+AC

aturan
dengan 0
dan 1
0A = 0

A+A = A

A+B=B+A

A+(B+C) = (A+B)+C

A+BC=(A+B)(A+C)

1A = A

Aturan dasar

aturan
komutatif

aturan asosiatif

aturan distributif

A(A+B) = A

0+A=A

A+AB = A

1+A=1

aturan De
Morgan
AB = A+B
A+B = AB

AA = A
A+A = 1

21

Cara yang kedua adalah dengan pendekatan numerik yaitu menggabungkan


semua peluang munculnya masing-masing kejadian dengan menggunakan
aturan-aturan probabilitas.
Contoh 4.6:
Dengan aljabar Boolean maka permasalah seperti terlihat pada gambar 4.12 (b)
akan menjadi seperti pada gambar 4.13. Pada gambar tersebut terlihat bahwa
penurunan dimulai dari top event. Semua kejadian yang tertulis pada
intermediate event secara langsung akan diwakili oleh kejadian-kejadian
dibawahnya melalui logical gates yang sesuai. Jika keandalan peralatan suplai
listrik internal adalah 0.925, keandalan peralatan suplai listrik eksternal adalah
0.933, dan suplai listrik DC adalah 0.995, maka peluang munculnya top event
adalah:
pada hirarki level I
T

T = I + E3
G1

Intermediate event I akan digantikan


oleh:
E3

G2

I = E1E2
Sehingga
T = E1E2 + E3

E1

E2

Dengan demikian maka peluang top


event akan terjadi adalah:
Gambar 1.6-14 fault trees gambar 5.12

P(T)

= P(E1E2+E3) = [P(E1)P(E2)]+P(E3)- [P(E1)P(E2)]P(E3), dimana:

P(E1)=10.933=0.067

P(E2)=10.925=0.075

P(E3)=10.995= 0.005

Sehingga P(T) = 0.01


Contoh di atas dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana mengingat
jumlah basic event dan jumlah level yang kecil serta semua kejadian bebas satu

22

sama lain. Sekalipun sederhana, namun konsep pada contoh diatas dapat
dijadikan acuan untuk pengembangan evaluasi pada sistem yang lebih kompleks.
Karena pada metode ini analisa dilakukan melalui level teratas hingga terbawah,
maka metode ini sering disebut dengan metode top-down.
Contoh 4.7:
Dengan menggunakan metode numerik langsung kita menghitung probabilitas
munculnya event mulai dari level yang terendah dan selanjutnya dengan
menggabungkan event-event tersebut dengan menggunakan logical gates yang
sesuai, maka nilai probabilitas intermediate events di atasnya akan dapat
diketahui. Metode ini juga dikenal dengan metode bottom-up. Contoh
sebelumnya jika diselesaikan dengan metode ini akan menjadi:
P(I)

= P(E1)P(E2) = (1-0.933)(1-0.925) = 0.005025

P(T)

= P(I) + E(3) P(I)P(E3)


= 0.005025 + (1-0.995) 0.005025(1-0.995) = 0.01

Hasil ini nilainya sama dengan hasil yang diperoleh dengan penggunaan metode
sebelumnya.
Pada beberapa kasus terdapat sebuah komponen memberi efek terhadap
beberapa komponen atau sub-sistem. Sebagai contoh baterei sebagai sumber
listrik arus DC pada suatu sistem kontrol akan memberikan efek kepada
beberapa komponen sistem kontrol jika terjadi kegagalan suplai arus listrik.
Dengan demikian basic event yang berhubungan dengan gagalnya baterei ini
akan

muncul

beberapa

kali

pada

event

trees.

Contoh

berikut

akan

menggambarkan bagaimana duplikasi basic event dapat diakomodasi pada


event trees.
Contoh 4.8:
Pada fault tree di samping, jika basic event E3 dan E6 adalah sama dan
probabilitas

masing-masing

event

adalah

P(E1)=0.15,

P(E2)=0.01,

P(E3)=P(E6)=0.05, P(E4)=0.50 dan P(E3)=0.06, maka dengan aljabar Boolean


didapat:

23

T = (I1 + I2) = (E1I1)+(E2+I4)

= (E1E3E4) + (E2+(E5+E6))
I1

I2

G1

G2

= E1E3E4+ E2+E5+E6
Dengan mensubstitusi probabilitas
masing-masing kejadian dengan
menggunakan

I4

E2

I3

E1

penggabungan
G4

G3

E3

E4

E5

aturan
AND

dan

OR,

maka diperoleh:
E6

P(T) = 0.119245

Gambar 1.6-15 fault trees contoh 4.8

Dengan menggunakan metode numerik, didapat:


P(I3) = P(E3)P(E4) = 0.025

P(I1) = P(E1)P(I3) = 0.00375

P(I4) = P(E5)+P(E6) - P(E5)P(E6) = 0.107


P(I2) = P(E2)+P(I4) - P(E2)+P(I4) = 0.11593
P(T) = P(I1)+P(I2) - P(I1)+P(I2) = 0.119245
Kedua metode diatas memberikan hasil yang sama.
Jika diasumsikan bahwa E3 dan E6 adalah komponen yang sama, maka metode
numerik tidak lagi mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun
dengan menggunakan aljabar Boolean, penyelesaian akan menjadi:
T = E1E3E4+E2+E5+E6
Dengan menggantikan E6 dengan E3 maka akan diperoleh:
T

= E1E3E4+E2+E5+E3
= E3(E1E4+1) + E2 + E5

Berdasarkan aljabar Boolean, maka persamaan diatas akan menjadi

24

= E3 + E2 + E5, sehingga

P(T)

= 0.11593

I1

I2

G1

G2

I4

E2

I3

E1

G4

G3

E3

E4

E5

E6

25

BAB 1
RANTAI MARKOV DISKRIT

(DISCRETE MARKOV CHAIN)


1.1

Pendahuluan

ada bab-bab terdahulu telah diperkenalkan beberapa teknis


analitik

untuk

melakukan

evaluasi

keandalan

sistem.

Meskipun teknik-teknik tersebut dapat diaplikasikan baik


untuk komponen-komponen repairable dan non-repairable,

namun teknik-teknik tersebut mengasumsikan bahwa proses (repair) perbaikan


dilakukan secara cepat atau membutuhkan waktu yang sangat singkat yang
relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan waktu operasi komponen tersebut.
Dengan kata lain, teknik-teknik tersebut tidak mengakomodasi waktu perbaikan
untuk dijadikan pertimbangan dalam evaluasi keandalan sistem.
Hal ini tentunya tidak berlaku untuk semua sistem, malahan sistem-sistem nonelektronik umumnya memiliki karakter yang berlawanan dengan asumsi di atas.
Karena itu dibutuhkan suatu teknik analitik yang mampu memasukkan komponen
waktu perbaikan kedalam proses evaluasi keandalan sistem. Salah satu teknik
yang mampu mengakomodasi waktu perbaikan kedalam evaluasi keandalan
sistem adalah Markov Modelling.
Metode Markov ini dapat diaplikasikan untuk sistem diskrit (discrete system)
ataupun sistem kontinyu (continuous system). Sistem diskrit adalah sistem yang
perubahan kondisinya (state) dapat diamati/terjadi secara diskrit. Sedangkan
sistem kontinyu adalah sistem yang perubahan kondisi dan perilaku sistem
terjadi secara kontinyu. Penjelasan lebih detail tentang sistem diskrit dan sistem
kontinyu ini akan diberikan pada sub bab berikutnya.

Ada beberapa syarat agar metode Markov dapat diaplikasikan dalam evaluasi
keandalan sistem. Syarat-syarat tersebut adalah:
(1) Sistem harus berkarakter lack of memory, dimana kondisi sistem dimasa
mendatang tidak dipengaruhi (independent) oleh kondisi sebelumnya.
Artinya kondisi sistem saat evaluasi tidak dipengaruhi oleh kondisi
sebelumnya, kecuali kondisi sesaat sebelum kondisi saat ini.
(2) Sistem harus stationery atau homogen, artinya perilaku sistem selalu
sama disepanjang waktu atau peluang transisi sistem dari satu kondisi
ke kondisi lainnya akan selalu sama disepanjang waktu. Dengan
demikian maka pendekatan Markov hanya dapat diaplikasikan untuk
sistem dengan laju kegagalan yang konstan.
(3) State is identifiable. Kondisi yang dimungkinkan terjadi pada sistem
harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Apakah sistem memiliki dua
kondisi (state) yakni kondisi beroperasi dan kondisi gagal, ataukah
sistem memeiliki 3 kondisi, yakni 100% sukses, 50% sukses dan 100%
gagal.
Pada bab ini hanya akan dibahas evaluasi keandalan sistem diskrit dengan
pendekatan discrete Markov Chain. Penjelasan tentang metode Markov untuk
sistem kontinyu akan dibahas pada bab selanjutnya.

1.2

Konsep Pemodelan

Seperti terlihat pada gambar 7.1, sistem diwakili oleh dua kondisi (state) yang
teridentifikasi, dan diberi nama kondisi 1 dan kondisi 2. Angka-angka yang
terlihat pada gambar menunjukkan transition probability atau peluang transisi dari
satu kondisi ke kondisi lainnya atau pun peluang tetap berada pada kondisi
semula. Peluang transisi ini akan sama disepanjang waktu (stationery).
Perhatikannlah kondisi yang pertama dan asumsikan bahwa sistem dimulai dari
kondisi ini dimana peluang transisi ke kondisi 2 adalah 0.5. Dengan demikian
peluang tetap berada pada kondisi 1 adalah 1 - 0.5 = 0.5. Demikian juga bahwa
peluang transisi dari kondisi 2 ke kondisi satu adalah 1/4. Dengan demikian

peluang tetap berada pada kondisi 2 adalah 1 1/4 = 3/4. Kita lihat bahwa
jumlah peluang transisi pada satu keadaan adalah 1 (unity).

1/2
1/2

3/4
1

2
1/4

Gambar 1.2-1 Sistem dengan dua kondisi (state)

Perilaku sistem dapat digambarkan lewat event tree, seperti terlihat pada gambar
7.2. Gambar ini mengasumsikan bahwa sistem berawal dari kondisi 1 dan
transisi terjadi selama 4 interval waktu. Peluang masing-masing transisi juga
terlihat pada gambar tersebut, yang nilainya konstan disepanjang interval.
Peluang total dari masing-masing cabang pada event tree tersebut didapat
dengan mengalikan semua peluang pada cabang tersebut. Diakhir, peluang total
apakah sistem berpindah dari kondisi 1 ke kondisi 2 atau tetap berada pada
kondisi 1 setelah empat interval didapat dengan menjumlahkan semua peluang
masing-masing cabang yang bersesuaian. Terlihat bahwa setelah empat interval
peluang sistem berpindah dari kondisi 1 ke kondisi 2 adalah 85/128 dan peluang
sistem berada pada kondisi satu adalah 43/128. (peluang total adalah 128/128
atau sama dengan 1). Gambar 7.2 dapat di tuliskan dalam bentuk tabel seperti
terlihat pada tabel 7.1.
Tabel 1.2-2 Sistem dengan dua kondisi (state)
time interval

state probabilities
state 1

state 2

1/2 = 0.5

1/2 = 0.5

3/8 = 0.375

5/8 = 0.625

11/32 = 0.344

21/32 = 0.656

43/128 = 0.336

85/128 = 0.664

171/512 = 0.334

341/512 = 0.666

Tabel diatas mengasumsikan bahwa sistem dimulai dari kondisi 1. Pada tiap time
interval jumlah probabilitas adalah sama dengan 1. Nilai probabilitas transisi dari
kondisi 1 ke kondisi 2 (kolom 3) atau probabilitas transisi tetap berada di kondisi
1 (kolom 2) berangsur-angsur menjadi konstan dengan bertambahnya time
interval. Gambar 7.3 menunjukkan karakter yang lebih jelas dari sistem di atas.

Int 1

Int 2

Int 3

Int 4

1/2

1/16

1/2

1/16

1/4

1/32

3/32

12

1/32

1/32

3/64

9/64

18

1/2

1/32

1/2

1/32

1/4

1/64

3/4

3/64

3/64

3/64

9/128

27/128

27

total

128

1/2

1
2
3/4

1/2

1
1/2

1/2

2
1/4

2
3/4

1
1
1
2
2
1/2
1/4

1
1/2

2
1/4
3/4

2
3/4

Gambar 1.2-2 Event tree sistem dengan dua kondisi (state)

Gambar 7.3 jelas sekali menunjukka dua daerah pada grafik. Pada daerah
transien, terjadi perubahan nilai probabilitas kondisi (state) hingga memasuki
daerah steady state, dimana nilai probabilitas tersebut menjadi konstan dengan
nilai akhir 0.334 tetap berada pada kondisi 1 dan 0.666 berpindah ke kondisi 2.
Kita juga dapat simpulkan bahwa nilai-nilai probabilitas di daerah transien sangat
tergantung pada kondisi awal apakah sistem dimulai dari kondisi 1 atau dari

kondisi 2. Namun demikian, nilai-nilai probabilitas pada daerah steady state tidak
tergantung pada kondisi awal. Pada gambar 7.3 juga terlihat bahwa nilai
probabilitas transisi menjadi konstan setelah kurang lebih melewati 4 interval
waktu.
1.0

0.8

Daerah transien

Daerah steady state

probability

0.666
State 2

0.6

0.4
State 1

0.334

0.2

Jumlah interval

Gambar 1.2-2 Grafik state probability

Nilai-nilai probabilitas di daerah transien berubah sesuai dengan jumlah


intervalnya. Karena itu nilai-nilai probabilitas ini sering disebut dengan time
dependent state probabilities. Sementara itu, nilai-nilai pada daerah steady state
akan selalu konstan hingga jumlah interval tidak terhingga. Karena itu nilai-nilai
probabilitas ini sering disebut dengan limiting value atau time independent state
probabilities.

1.3

Stochastic Transitional Probability Matrix

Analisa probabilitas transisi seperti dibahas pada sub bab sebelumnya memeliki
beberapa kelamahan. Kelemahan utamanya adalah panjangnya waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan evaluasi terutama jika jumlah time interval yang
relatif besar. Disamping itu, penentuan daerah transien dan steady state juga
membutuhkan jalan yang panjang karena kita harus mengidentifikasi interval
dimana nilai probabilitasnya tidak lagi akan berubah. Dengan keterbatasan
tersebut, pemakaian stochastic transitional probability matrix akan jauh lebih

memudahkan dalam mengevaluasi probabilitas transisi dari masing-masing


kondisi (state) yang teridentfikasi di dalam sistem.
Dalam konteks discrete Markov chain ada beberapa poin yang harus dipecahkan.
Poin-poin tersebut adalah:
(1) Berapakah nilai limiting value-nya?
(2) Berapakah nilai time dependent state probabilities-nya?
(3) Dalam berapa intervalkah limiting value akan tercapai? Atau pada
interval manakah batas daerah transien dan daerah steady state?
Dengan menggunakan stochastic transitional probability matrix maka kita hanya
melakukan beberapa proses manipulasi matrik seperti perkalian, menghitung
determinan, co-factor, invers dan manipulasi matrik lainnya.
Selanjutnya mari kita lihat kasus yang telah dibahas sebelumnya seperti terlihat
pada gambar 7.1. State space diagram tersebut dapat dikonversi menjadi
stochastic transitional probability matrix (P) seperti dibawah ini.
P
P = 11
P21

P12 1 / 2 1 / 2
=
P22 1 / 4 3 / 4

Pij menunjukkan probabilitas transisi dari kondisi i

ke kondisi j setelah satu

interval waktu dimana sistem mulai dari kondisi i diawal waktu interval. Seperti
terlihat P11 menunjukkan probabilitas tetap berada di kondisi 1 jika sistem dimulai
dari kondisi 1, dimana nilai probabilitasnya adalah 1/2. Begitu pula P12
menunjukkan probabilitas transisi dari kondisi 1 k kondisi 2 jika sistem dimulai
dari kondisi 1, dimana nilai probabilitas transisinya adalah 1-1/2 = 1/2.

1.4

Time Dependent State Probabilities

Time dependent state probabilities dapat dicari dengan mengalikan matrik P


dengan matrik P itu sendiri sejumlah interval yang diinginkan (Pn, dimana n
adalah jumlah interval waktu). Jika kasus sebelumnya kita cari nilai probabilitas
setelah 2 waktu interval, maka akan diperoleh perkalian matrik seperti berikut.

P
P 2 = 11
P21

P12 P11

P22 P21

P12 P11 P11 + P12 P21


=
P22 P21 P11 + P22 P11

P11 P12 + P12 P22

P21 P12 + P22 P22

Jika nilai P11, P12, P21, P21 disubstitusikan ke dalam matrik diatas maka akan
diperoleh :
5/8
3/8
P2 =

5
/
16
11
/ 16

Yang menyatakan bahwa jika sistem dimulai dari kondisi 1 maka setelah 2
interval waktu probabilitas tetap di kondisi 1 adalah 3/8 dan probabilitas transisi
ke kondisi dua adalah 5/8. Terlihat bahwa jumlah baris adalah 1. Demikian juga
halnya jika sistem dimulai dari kondisi 2, maka probabilitas transisi ke kondisi 1
adalah 5/16 dan probabilitas tetap di kondisi 2 adalah 11/16. Nilai-nilai tersebut
diatas untum masing-masing kondisi awal didapat dengan mengalikan matrik P2
tersebut dengan probability vector yang nilainya [1
kondisi satu, dan [0
diatas

sesuai

0] jika sistem dimulai dari

1] jika sistem dimulai dari kondisi 2. Nilai-nilai probabilitas

dengan

nilai-nilai

probabilitas

yang

dihasilkan

dengan

menggunakan event tree yang dibahas pada sub bab sebelumnya.


P( IC = 1) = [1

5/8
3/8
0]
= [3 / 8
5 / 16 11 / 16

P( IC = 2) = [0

5/8
3/8
1]
= [5 / 16 11 / 16]
5 / 16 11 / 16

1.5

5 / 8]

Ringkasan Matrik

Pada bagian ini akan diberikan ringkasan tentang algoritma manipulasi matrik
yang akan menjadi dasar untuk evaluasi pada sub bab pembahasan berikutnya.
Square Matrix, adalah matrik yang jumlah barisnya adalah sama dengan jumlah
kolomnya, m = n, seperti contoh berikut:
1 3 0
A = 2 0 1
4 1 3

Column Matrix, adalah matrik yang hanya memiliki satu kolom atau sering
disebut dengan vektor kolom.
1
A = 2
4

Row Matrix, adalah matrik yang hanya terdiri dari satu baris saja atau sering
disebut dengan vektor baris.
A = [1 3 0]

Transposed matrix, adalah matrik dimana nilai baris pada matrik awal berubah
menjadi nilai kolom pada matrik transposenya.
1 0
1 3 2
3 4
T
A=
maka
A
=

0
4

2 1

Diagonal matrix, adalah matrik yang semua komponennya bernilai 0 (nol) kecuali
diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang tidak bernilai nol.
1 0 0
A = 0 5 0
0 0 3

Identity Matrix, adalah matrik diagonal yang nilai semua komponen diagonalnya
adalah 1.
1 0 0
A = 0 1 0
0 0 1

Symetric Matrix, adalah matrik yang nilainya sama dengan matrik transposenya.
4 2 0
A = A = 2 3 1
0 1 2
T

Co-Factors Fij dari sebuah matrik adalah (-1)i+j dikalikan dengan dengan
determinannya jika baris ke-i dan kolom ke-j dihilangkan.
1 3 0
A = 2 0 1 maka
4 1 3

F11 = (1) 2

0 1 0 1
=
dan
1 3 1 3

F12 = (1) 3

2 1
2 1
=
4 3
4 3

Determinant, dihitung dengan mengalikan semua elemen pada matrik tersebut


dengan co-factor nya dan kemudian menjumlahkannya, seperti pada contoh
berikut.
m

A=

i =1

a ij Fij

atau

A=

ij Fij

i =1

1 3 0
0 1
2 1
2 0
A = 2 0 1 = 1
+3
+0
= 1(0 1) + 3(6 4) + 0(2 0) = 5
1 3
4 3
4 1
4 1 3

Addition of matrices, dilakukan dengan menjumlahkan komponen matrik yang


bersesuaian. Sifat penjumlahan matrik juga adalah A + B = B + A, sebagai
contoh:
1 3 4 2 0 3 3 3 1

+
=

2 4 5 1 3 2 1 4 7

Substraction of matrices, dilakukan dengan mengurangkan komponen matrik


yang bersesuaian. Sifat penjumlahan matrik juga adalah A + B K B + A, sebagai
contoh:
1 3 4 2 0 3 1 3 7

2 4 5 1 3 2 3 2 3

Multiplication of matrices, dilakukan hanya jika jumlah kolum matrik pertama


sama dengan jumlah baris matrik kedua untuk menghasilkan matrik yang ketiga
yang memiliki jumlah baris yang sama dengan matrik pertama dan jumlah kolom
yang sama dengan matrik kedua.

a11
a
21

a12
a 22

b11
a13
b21
a 23
b31

b12
a11b11 + a12 b21 + a13 b31
b22 =
a b + a 22 b21 + a 23 b31
b32 21 11

a11b12 + a12 b22 + a13 b32


a 21b12 + a 22 b22 + a 23 b32

Inverse of a mtrix, memiliki sifat jika matrik tersebut dikalikan dengan inverse-nya
maka akan menghasilkan matrik identitas, A.A-1 = I. Elemen dari matrik inverse
dicari dengan:
^

a ij =

F ji
A

, sebagai contoh kita lihat contoh pada soal sebelumnya:

1 3 0
A = 2 0 1 kita dapatkan bahwa nilai determinannya adalah 5, maka
4 1 3
^

a 11 =

0 1
= -1
1 3

a 12 =

3 0
=9
1 3

a 13 =

3 0
= 3
0 1

Dengan cara yang sama kita cari komponen matrik inverse yang lainnya maka
akan didapatkan:

1 9 3
1
= 2 3
1
5
2 13 6

Cramers Rule, merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan


simultan. Jika persamaan simultan yang dimiliki adalah dalam bentuk seperti
berikut:
a11
a
21
a 31

a12
a 22
a 32

a13 x d1
a 23 y = d 2
a 33 z d 3

Maka dalam mencari nilai x, maka kolom pertama pada matrix 3 x 3 diatas
diganti dengan matrik kolom yang paling kanan sehingga:
d1
1
x=
d2
A
d 3

a12
a 22
a 32

a13
a 23
a 33

10

Cara yang sama juga dilakukan juga untuk mencari nilai y dan z.

1.6

Limiting Value

Limiting value

atau time independent state probabilities didapat dengan

persamaan .P = , dimana adalah limiting probability vector, atau vektor yang


berisi kumupulan nilai limiting value yang akan dicari.
Jika kasus sebelumnya kita pergunakan dalam mencari limiting value-nya, maka
diperoleh:

[P1

P 2]P = [P1 P 2] atau

[P1

1 / 2 1 / 2
P 2]
= [P1 P 2] , yang dapat dituliskan dalam persamaan sebagai
1 / 4 3 / 4

berikut:
1/2 P1 + 1/4 P2 = P1
1/2P1 + 3/4 P2 = P2, jika kedua persamaan ini kita susun ulang maka:
-1/2 P1 + 1/4 P2 = 0 .......................................................................
1/2 P2 - -1/4 P2 = 0. .......................................................................
Kedua persamaan diatas tidak dapat disubstitusikan mengingat sifat saling
meniadakan yang dimiliki oleh kedua persamaan tersebut. Karena itu kita
membutuhkan satu persamaan tambahan yakni:
P1 + P2 = 1 ....................................................................................
Sehingga persamaan yang akan diselesaikan adalah
-1/2 P1 + 1/4 P2 = 0 .......................................................................
P1

P2 = 1 ......................................................................

Persamaan di atas dapat diselesaikan dengan menggunakan metode Cramer


seperti dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dan akan menghasilkan nilai P1 =
0.333 dan P2 = 0.666

11

1.7

Absorbing state

Pada konteks discrete Markov chain, kondisi (state) sistem dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu, ergodic state dan absorbing state. Ergodic state adalah state
yang limiting value nya ditentukan oleh kondisi awalnya, dimana state ini bisa
menerima transisi probabilitas dari state lainnya dan bisa memindahkan
/mengeluarkan transisi probabilitas ke state lainnya. Pada ergosic state maka
state ini dapat dicapai dari semua state lainnya baik secara langsung atau
melalui state perantara lainnya. Jika kondisi seperti pada ergodic state ini tidak
dapat terpenuhi, dimana state hanya bisa menerima dan menyerap transisi tanpa
bisa memindahkan atau mengeluarkannya sampai sistem tersebut memulai misi
(operasi) yang baru, maka state tersebut disebut dengan absorbing state.
Absorbing state ini berkaitan erat dengan mission oriented system.
Pada evaluasi keandalan dengan metode Markov maka diperlukan analisa untuk
mencari jumlah interval operasi sebelum sistem memasuki absorbing state atau
sebelum sistem harus dihentikan untuk dimulai lagi dengan misi (operasi) yang
baru.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menentukan jumlah interval
waktu sebelum sistem memasuki abosrbing state. Langkah-langkah tersebut
adalah:
(1) Buatlah matrik Q dengan menghilangkan komponen baris dan kolom
pada matrik yang berhubungan dengan absorbing state.
(2) Jadikan matrik Q sebagai pengurang dari matrik identitas, dan sebut
matrik baru tersebut dengan matrik N. ( [N] = [ I ] [ Q ] ).
(3) Cari inverse dari matrik N.

1.8

Aplikasi Discrete Markov Chain

12

Pada gambar berikut, tentukanlah (a) limiting state probabilities, (b) time
dependent state probabilities setelah 2 interval waktu dan (c) jumlah interval di
masing-masing state jika state 3 adalah absorbing state.

1
1/3

1/4
1/2
2

3
1/3

Gambar 1.8-4 3 states probability

State space diagram diatas dapat dikonversi menjadi stochastic transitional


probability matrix seperti berikut:
3 / 4 1 / 4 0
P = 0 1 / 2 1 / 2
1 / 3 1 / 3 1 / 3

Seperti terlihat, probabilitas dari kondisi 1 ke 2 adalah 1/4, dan dari 1 ke 3 adalah
0, dengan demikian probabilitas tetap di kondisi 1 adalah 1-1/4-0 = 3/4. Demikian
juga halnya, probabilitas transisi dari kondisi 2 ke 3 adalah 1/2, dari kondisi 2 ke
1 adalah 0, maka probabilitas tetap di state 2 adalah 1-1/2-0 = 1/2. Hal yang
sama berlaku untuk kondisi 3 dimana probabilitas transisi ke kondisi 1 dan 2
adalah masing-masing 1/3, sehingga probabilitas tetap di kondisi 3 adalah 1-1/31/3 = 1/3.
Kasus (a) :
Untuk mecari limiting value:
3 / 4 1 / 4 0
[P1 P 2 P3] 0 1 / 2 1 / 2 = [P1 P2 P3]
1 / 3 1 / 3 1 / 3

13

dan menghasilkan:
3/4 P1

+ 1/3 P3 = P1 .......................................................

1/4 P1 + 1/2 P2 + 1/3 P3 = P2........................................................


1/2 P2 + 1/3 P3 = P3........................................................
Persamaan bantuannya adalah:
P1 + P2 + P3 = 1............................................................................
Nilai determinan matrik diatas adalah:

A = 3/ 4

1/ 2 1/ 2
0 1/ 2
0 1/ 2
1 / 4
+0
= 3 / 4[0] 1 / 4[1 / 6] + 0 = 1 / 24
1/ 3 1/ 3
1/ 3 1/ 3
1/ 3 1/ 3

Dengan demikian matrik baru dengan memasukkan unsur persamaan pembantu


adalah:
0
1 / 3 P1 0
1 / 4
1 / 4 1 / 2 1 / 3 P 2 = 0


1
1
1 P3 1

Nilai P1 didapat dengan mengganti kolom pertama matrik diatas dengan matrik
kolom paling kanan, sehingga akan menjadi
0
1 / 3
0
1 / 2 1 / 3
0 1/ 3
0 1 / 2
1
P1 =
0 1 / 2 1 / 3 = 240
0
+1 / 3
= 24 / 6 = 4

1
1 1
1
1
A
1
1
1
1

Dengan cara yang sama didapat nilai P2 = 4 dan nilai P3 = 3. Namun ingat
bahwa total nilai P1+P2+P3 =1, dengan demikian nilai P1 = 4/11, P2 = 4/11 dan
P3 = 3/11. Ketiga nilai tersebut adalah nilai limiting value probabilitas sistem
berada pada state 1, state 2 dan state 3.
Kasus (b):
Nilai probabilitas setelah 2 waktu interval didapat dengan mengalikan matrik P
sejumlah 2 kali:
5 / 16
2 / 16
3 / 4 1 / 4 0 3 / 4 1 / 4 0 9 / 16
P 2 = 0 1 / 2 1 / 2 0 1 / 2 1 / 2 = 4 / 24 10 / 24 10 / 24
1 / 3 1 / 3 1 / 3 1 / 3 1 / 3 1 / 3 39 / 108 39 / 108 30 / 108

14

Sehingga jika sistem dimulai dari state 1, maka setelah dua time interval
probabilitas tetap di state 1 adalah 9/16, berpindah ke state 2 adalah 5/16 dan
berpindah ke state 3 adalah 2/16. Demikian juga penjelasan yang sama dapat
diberikan jika dimulai dari state yang lainnya.
Kasus (c):
Jika state 3 adalah absorbing state, maka:
3 / 4 1 / 4 0
3 / 4 1 / 4
Q = 0 1 / 2 1 / 2 =
, dengan menghilangkan kolom dan baris 3
0 1 / 2
1 / 3 1 / 3 1 / 3
1 0 3 / 4 1 / 4 1 / 4 1 / 4
N =

1/ 2
0 1 0 1 / 2 0

Inverse dari matrik N adalah:


4 2
N 1 =

0 2

Matrik diatas berarti jika kondisi awal adalah state 1, maka sistem akan berada 4
interval di state 1 dan 2 interval di state 2 sebelum masuk ke absorbing state.
Namun jika sistem dimulai dari state 2, maka sistem akan berada 0 interval di
state 1 dan 2 interval di state 2, sebelum masuk absorbing state. Nilai nol pada
komponen inverse matrik N sangat jelas disebebkan karena tidak ada transisi
dari state 2 ke state 1 seperti terlihat pada state space diagramnya.

15

BAB 1
PROSES MARKOV
(CONTINUOUS MARKOV PROCESS)
1.1

Pendahuluan

ermasalahan keandalan umumnya terjadi pada sistem yang


memiliki karakter diskrit terhadap ruang (discrete in space)
dan kontinyu terhadap waktu (continuous in time). Discrete in
space berarti bahwa kondisi (state) yang mewakili sistem

memiliki jumlah yang terbatas dan teridentifikasi dengan jelas, sementara itu
continuous in time memiliki pengertian bahwa sistem beroperasi dengan kontinyu
hingga nantinya berpindah secara diskrit ke kondisi lainnya.
Operating
state

Continuous
operation
Discrete
transition

waktu

Failed
state
Gambar 1.1-1 karakter operasi sistem

Pada metode kontinyu Markov yang akan dibahas pada bab ini, sistem memiliki
karakter dengan laju kegagalan (failure rate) dan laju perbaikan (repair rate) yang
konstan disepanjang waktu. Karena itu metode ini hanya dapat dipergunakan

untuk sistem yang sebaran data kegagalannya dapat diwakili oleh distribusi
eksponensial.
Continuous Markov Process dapat dipergunakan untuk melakukan evaluasi
keandalan pada repairable dan non-repairable system, juga untuk sistem dengan
susunan seri, paralel ataupun standby. Karena itu, metode ini banyak
dipergunakan khususnya jika rentang waktu perbaikan cukup berpengaruh pada
pola operasi sistem tersebut.

1.2

Konsep Pemodelan

Pada kasus single repairable system, state space diagramnya dapat diwakili
seperti yang terlihat pada gambar 8.2.

=c
0

1
=c

Gambar 1.2-2 single repairable system

Jika
Po(t) = peluang komponen beroperasi pada waktu (t)
P1(t) = peluang komponen gagal pada waktu (t)

= laju kegagalan (failure rate)

= laju perbaikan (repair rate)

Maka failure density function untuk komponen yang memiliki laju kegagalan
konstan adalah:
f (t ) = e t

Dengan demikian density function untuk kondisi operasi dan gagalnya adalah
secara berturut-turut menjadi:

f o (t ) = e t dan f 1 (t ) = e t

jumlah kegagalan dari komponen dalam rentang waktu tertentu


total waktu operasi komponen

jumlah perbaikan dari komponen dalam rentang waktu tertentu


total waktu perbaikan komponen

1.3

Evaluasi Time Dependent Probabilities

Jika dt adalah rentang waktu yang relatif kecil dimana selama rentang waktu
tersebut peluang terjadinya prubahan kondisi (state) lebih dari 1 kali tidak
dimungkinkan, maka peluang sistem ditemukan dalam keandaan beroperasi
pada interval t+dt, adalah: peluang sistem beroperasi pada waktu (t) DAN tidak
gagal hingga waktu (t+dt) + peluang sistem gagal saat waktu (t) DAN sudah
diperbaiki di waktu (t+dt). Pernyataan tersebut secara matematis dapat dituliskan
dengan:
Po(t+dt) = Po(t).(1-dt) + P1(t).(dt).....................................
Dengan konsep yang sama diperoleh:
P1(t+dt) = P1(t).(1-dt) + Po(t).(dt).....................................
Dari persamaan diatas:
Po (t + dt ) Po (t )
= Po (t ) + P1 (t )
dt
, ........................................

jika dt0 maka


Po (t + dt ) Po (t )
dt

dt 0

dPo (t )
= Po ' (t ) ...................................
dt

Sehingga
Po(t) = -Po(t) + P1(t) .......................................................
P1(t) = Po(t) - P1(t) .........................................................
Kedua persamaan diatas dapat dituliskan dalam bentuk matrik menjadi:

[P

'


(t ) P1 ' (t ) = [Po (t ) P1 (t )]


..................................

Matrik koefisien diatas bukan stochastic transitional probability matrix karena


jumlah barisnya tidak sama dengan satu, melainkan 0 (nol). Kedua persamaan
diatas

adalah

persamaan

diferensial

dan

dapat

diselesaikan

dengan

menggunakan laplace transform, karena itu menjadi:


sPo(s) Po(0) = -Po(s) + P1(s) .....................................
dimana Pi(s) adalah lapalace transform dari Pi(t) dan Po(0) adalah nilai awal dari
Po(t). Persamaan diatas dapat disusun kembali menjadi:
Po ( s ) =

P1 ( s ) =

s+

s+

P1 ( s ) +

1
Po (0) ...............................................
s+

Po ( s ) +

1
P1 (0) ...............................................
s+

Kedua persamaan diatas selanjutnya dapat disubstitusikan dan menghasilkan


Po ( s ) =

Po (0) + P1 (0)
1
1
+ + . s + + [Po (0) P1 (0)] ...
+
s

P1 ( s ) =

Po (0) + P1 (0)
1
1
+
.
[P1 (0) P0 (0)] ....

+
s
+ s+ +

Selanjutnya kedua persamaan tersebut dapat diubah dari laplace domain


menjadi time domain dan menjadi:
Po (t ) =

P1 (t ) =

[Po (0) + P1 (0)] + e


[Po (0) + P1 (0)] + e

( + )t

( + )t

[Po (0) P1 (0)] ................


[P1 (0) Po (0)] ................

Karena saat t=0, nilai Po(0) = 1 dan nilai P1(0) = 0, maka


Po (t ) =

P1 (t ) =

e ( + )t
.......................................................
+

e ( + ) t
........................................................
+

Po(t) dan P1(t) diatas adalah peluang sistem ditemukan dalam keadaan
beroperasi dan gagal pada waktu (t) dimana sistem mulai dari kondisi beroperasi
saat t=0.

1.4

Evaluasi Limiting State Probabilities

Limiting state probabilities dari sitem adalah non-zero untuk kontinyu Markov jika
sistem adalah ergodic, seperti pada diskrit Markov. Limiting value ini diperoleh
dengan mengevaluasi 2 persamaan terakhir pada sub bab sebelumnya pada
waktu t. Jika limiting value ini disimbulkan dengan Po dan P1 maka diperoleh:
Po = Po() = /+.............................................................
P1 = P1() = /+ .............................................................
Kedua persamaan tersebut diatas berlaku pada kasus sistem dimulai pada
kondisi beroperasi maupun sistem dimulai pada kondisi gagal.
Pada bab sebelumnya juga telah disampaiakan bahwa pada distribusi
eksponensial, nilai mean time to Failure (MTTF) adalah:
MTTF = 1/........................................................................
Dan mean time to repair adalah:
MTTR = 1/ .......................................................................
Dengan demikian maka dengan mensubstitusikan ke-empat persamaan diatas
diperoleh:
Po = MTTF/(MTTF+MTTR) ................................................
P1 = MTTR/(MTTF+MTTR) ................................................
Kedua nilai terakhir diatas adalah limiting value atau sering dikenal dengan istilah
availability/ketersediaan (A) dan unavailability/ketidaktersediaan (U) masing
masing untuk Po dan P1.

1.5

Disain State Space Diagram

Dalam mempermudah evaluasi keandalan dengan metode Markov, maka


diperlukan kehati-hatian dalam mendisain state space diagram. Pada diagram ini
semua transisi yang mungkin terjadi di dalam sistem harus secara tepat
digambarkan dengan mengertikan terlebih dahulu karakter operasional dari
sistem itu sendiri. Jumlah state/kondisi yang ada di dalam sistem tidak terbatas,
dan ini tergantung pada karakter sistem tersebut.
Pada penjelasan berikut tidak akan disampaikan semua konfigurasi yang
mungkin ada di dalam sistem, namun beberapa konfigurasi utama dan umum
ditemukan didalam sistem akan diuraikan sehingga akan mempermudah dalam
mendisain state space diagram tersebut.
Single repairable component:
Gambar 8.2 pada sub bab sebelumnya menggambarkan state space diagram
untuk single repairable component yang terdiri dari dua state yaitu kondisi
operasi dan kondisi gagal. Pada beberapa kasus, terdapat lebih dari dua state
yang dibutuhkan untuk menggambarkan state space diagram dari satu
komponen. Sebagai contoh, pompa yang sempurna bekerja akan mampu
mengalirkan air dengan kapasitas penuh. Pada kondisi tertentu mungkin hanya
sebagian kapasitas saja yang dapat dialirkan atau tidak mampu mengalirkan air
sama sekali. Ketiga kondisi ini dapat digambarkan menjadi sebuah state space
diagram seperti dibawah ini:

0
Full
output

3
1

1
Partial
output

3
2

2
failed

Gambar 1.5-3 single repairable system dengan 3 kondisi

Pada gambar diatas tidak semua transisi harus ada, dan ini tergantung pada
karakteristik operasional dari sistem tersebut. Sebagai contoh, laju transisi 2
mungkin tidka perlu ada karena saat pompa gagal, proses perbaikan umumnya
mengembalikan

pompa

pada

kapasitas

penuh,

bukan

pada

setengah

kapasitasnya saja.
Two repairable components:
Jika sistem terdiri dari dua komponen yang dapat diperbaiki, maka akan terdapat
4 (empat) buah state/kondisi seperti terlihat pada gambar berikut.

1
1 UP
2 UP

1 UP
2 DN

1 DN
2 UP

1
2

2
1
1

2
1 DN
2 DN

Gambar 1.5-4 two repairable components

Jika kedua komponen tersebut diatas terhubung secara seri maka sistem akan
beroperasi pada kondisi 1 saja, dan sistem akan gagal beroperasi pada kondisi 2,
3 dan 4. Sebaliknya jika dua komponen tersebut terhubung paralel, maka operasi
sistem akan dijamin oleh kondisi 1, 2 dan 3, dan kondisi 4 akan menjamin sistem
gagal. Dengan demikian:
Untuk sistem seri:
Pup

= A = P1

Pdown

= U = P2 + P3 + P4

Pdown

= U = P4

Dan untuk sistem paralel:


Pup

= A = P1+ P2 + P3

Beberapa variasi mungkin terdapat di dalam state space diagram diatas,


misalnya jika ada kemungkinan bahwa kedua pompa gagal bersamaan dan
dapat diperbaiki secara bersamaan pula aliran transisi dari 4 ke 1 akan muncul

Jika kedua pompa yang dibahas diatas adalah pompa yang identik, maka state
space diagram diatas akan menjadi:

1
1 UP
2 UP

2
1 Comp
UP

3
1 DN
2 DN

Gambar 1.5-5 dua komponen identik

Transisi dari kondisi 1 ke kondisi 2 bernilai 2. Ini berarti bahwa terdapat dua
pompa yang memiliki peluang gagal, namun hanya satu pompa saja yang akan
gagal. Demikin juga halnya dengan transisi dari kondisi 3 ke kondisi 2 yang
bernilai 2, terdapat 2 pompa yang gagal dan punya peluang untuk diperbaiki
namun hanya satu pompa saja yang akan diperbaiki.
Three repairable components:
Jumlah maksimum kondisi yang dimungkinkan pada sistem yang terdiri dari 3
komponen adalah 23 = 8 kondisi, seperti terlihat pada gambar berikut.
1
1 UP
2 UP
3 UP

1
2

3
1 DN
2 UP
3 UP

4
1 UP
2 DN
3 UP

1
3

1 UP
2 UP
3 DN

6
1 DN
2 DN
3 UP

1 UP
2 DN
3 DN

7
1 DN
2 UP
3 DN

8
1 DN
2 DN
3 DN

Gambar 1.5-5 tiga komponen repairable

Dengan demikian maka:


Untuk sistem seri:
Pup

= A = P1

Pdown

= U = P2 + P3 + P4 + P5 + P6 + P7 + P8

Untuk sistem paralel:


Pup

= A = P1 + P2 + P3 + P4 + P5 + P6 + P7

Pdown

= U = P8

Untuk sistem dimana sukses dijamin oleh minimal 2 komponen (2 out of 3):
Pup

= A = P1 + P2 + P3 + P4

Pdown

= U = P5 + P6 + P7 + P8

Standby redundant system:


Pada standby redundant system dengan satu komponen beroperasi dan satu
komponen pada posisi standby dan akan menggantikan fungsi komponen utama
saat komponen utama tersebut gagal, maka state space diagram dari ssistem
tersebut jika diasumsikan bahwa switch yang menghubungkan kedua komponen
tersebut selalu sukses (sempurna) adalah:

1 UP
2 SB

1
2
1 DN
2 UP

1 UP
2 DN

2
1
2
2

3
1 DN
2 DN

Gambar 1.5-6 two repairable components

1.6

Stochastic Transitional Probability Matrix

Pada penjelasan di Bab sebelumnya, stochastic transitional probability matrix


telah dibahas, dimana matrix ini mewakili probabilitas transisi dari satu kondisi ke
kondisi yang lain. Untuk kontinyu Markov, konsep yang sama dipergunakan
namun pada kasus kontinyu Markov, setiap transisi dikalikan dengan sebuah

nilai interval diskrit (t). Interval t ini adalah waktu interval yang relatif kecil
dimana peluang munculnya dua kali perubahan transisi atau lebih tidak
dimungkinkan. Dengan demikian, stochastic transitional probability matrix untuk
satu komponenyang dapat diperbaiki akan menjadi:

t
1 t
P=
1 t
t
1.7

Evaluating Limiting State Probabilities

Masih sama dengan konsep diskrit Markov, maka perkalian limiting state
probability vector () dengan stochastic transitional probability matrix (P) harus
menghasilkan limiting state probability vector () seperti dibawah ini:
P = ..............................................................................
Ini akan menghasilkan:

[Po

t
1 t
P1 ]
= [Po
t 1 t

P1 ] ..........................................

Yang dapat dituliskan kembali menjadi:


(1-t)Po + tP1 = Po .......................................................
tPo + (1-t)P1 = P1 .......................................................
Persamaan tersebut diatas dapat disederhanakan menjadi:
-tPo + tP1 = 0 .............................................................
tPo - tP1 = 1 ...............................................................
Jika t adalah non-zero dan finite, maka:
-Po + P1 = 0....................................................................
Po - P1 = 1......................................................................
Yang akan menghasilkan limitig value untuk Po dan P1 menjadi:

10

Po = Po() = /+.............................................................
P1 = P1() = /+ .............................................................
Pada kasus dua komponen identik yang repairable, maka diperoleh stochastic
transitional probability matrix seperti:
2
0
1 2

......................................................
1

0
2
1 2

Dengan demikian, untuk mencari limiting state probabilities-nya persamaan P =


tetap dipergunakan dan menjadi:
2
0
1 2

[P1 P 2 P3] 1 = [P1 P 2 P3] ..............


0
2
1 2

Yang akan menghasilkan:


P1(1-2) + P2= P1 ........................................................
P12 + P2(1--) + 2 P3 = P2 .........................................................
P2 + P3(1-2) = P3.........................................................
Jika disederhanakan akan menjadi:
-2P1 + P2= 0..............................................................
P12 - (+)P2 + 2 P3 = 0..............................................................
P2 - 2P3= P3 ...........................................................
P1 +

P2 + P3 = 0 ............................................................

Dengan menggunakan metode substitusi maka diperoleh limiting value:


P1 = 2/(+)2

P2 = 2/(+)2

P3 = 2/(+)2 ............

Untuk sistem seri:


Pup

= A = P1 = 2/(+)2

Pdown

= U = P2 + P3 = 2/(+)2 + 2/(+)2

Untuk sistem paralel:


Pup

= A = P1 + P2 = 2/(+)2 + 2/(+)2

11

Pdown

1.8

= U = P3 = + 2/(+)2

Evaluating Time Dependent State Probabilities

Dalam menentukan Time Dependent State Probabilities, sekali lagi metode


persamaan diferensial dapat dipergunakan. Sistem yang terdiri dari 2 komponen
identik akan dibahas pada bagian ini, dimana persamaan diferensial yang
disusun dalam bentuk matrik akan menjadi:

[P1 ' (t )

2
P2 ' (t ) P3 ' (t )] = [P1 (t ) P2 (t ) P3 (t )]
0

2

2

...
2

Matrik diatas dapat diubah menjadi persamaan sebagai berikut:


P1(t) = -P1(t)2 + P2(t) ..................................................................
P2(t) = P1(t)2 - P2(t)(+) + 2 P3(t)..............................................
P3(t) = P2(t) - P3(t)2 ....................................................................
Persamaan-persamaan diatas dapat diubah menjadi Laplace domain menjadi:
sP1(s)- P1(0) = -2P1(s) + P2(s).....................................................
sP2(s)- P2(0) = P1(s)2 - P2(s)(+) + 2 P3(s)................................
sP3(s)- P3(0) = P2(s) - P3(s)2.......................................................
Asumsikan sistem dimulai dari kondisi 1, maka P1(0) = 1; P2(0) = 0; P3(0) = 0,
(s + 2)P1(s) = 1 + P2(s) ...............................................................
(s + + )P2(s) = P1(s)2 + 2 P3(s)...............................................
(s + 2) P3(s) = P2(s) ....................................................................
Kita akan menyelesaikan probabilitas salah satu kondisi saja, yakni P2, dimana
dengan substitusi ketiga persamaan diatas atau dengan metode Cramer, akan
diperoleh:
P2 ( s ) =

2s + 4
...........................................................
s ( s + + )(s + 2 + 2 )

Dengan aturan-aturan transformasi Laplace, persamaan diatas dapat disusun


kembali menjadi:

12

2s + 4
A
B
C
+
+
..............................
s ( s + + )( s + 2 + 2 ) s s + + s + 2 + 2

Yang akan menghasilkan:


2s + 4 A( s + + )(s + 2 + 2 ) + B.s.( s + 2 + 2 ) + C.s ( s + + ) .......

Jika s = 0  A = 2/(+)2
Jika s = -(+) B = 2(-)/(+)2
Jika s = -(2+2) C = -22/(+)2
Sehingga:
P2 ( s ) =

2
s ( + ) 2

2 ( )
( s + + )( + ) 2

2 2
( s + 2 + 2 )( + ) 2

..................

Persamaan diatas dapat dikembalikan ke domain waktu dan menjadi:


P2 (t ) =

2
( + ) 2

2 ( )
( + ) 2

e ( + )t

2 2
( + ) 2

e ( 2 + 2 )t .........................

Dengan proses yang sama didapatkan untuk P1(t) dan P3(t) adalah:

1.9

P1 (t ) =

2
2
2
( + )t
+
e

e ( 2 + 2 )t ...........................
2
2
2
( + )
( + )
( + )

P3 (t ) =

2
2
2 2
( + )t
+
e
+
e ( 2 + 2 )t ...........................
( + ) 2 ( + ) 2
( + ) 2

Evaluasi keandalan pada repairable system

Nilai P1(t), P2(t) dan P3(t) adalah peluang sistem ditemukan dalam 3 kondisi yang
berbeda atau sering disebut dengan state availability values. Jika yang hendak
kita hitung adalah keandalan sistem secara keseluruhan, kita harus tentukan
dimana sistem akan berhenti. Kondisi ini bisa diwujudkan dengan menjadikan
kondisi 3 sebagai absorbing state. Jika ini terjadi, maka saat sistem memasuki
kondisi 3 maka sistem akan terhenti sampai sistem memulai misi kembali dari
kondisi 1. Dengan demikian persamaan 8.10 akan berubah menjadi:

13

2
[P1 ' (t ) P2 ' (t ) P3 ' (t )] = [P1 (t ) P2 (t ) P3 (t )]
0

2
0
...............
0
0

Dengan menggunakan cara yang sama seperti pada penjelasan pada sub bab
sebelumnya, matrik diatas dapat diubah kedalam bentuk persamaan diferensial
dan diselesaikan dengan transformasi Laplace. Proses ini akan menghasilkan:
R(t ) = P1 (t ) + P2 (t ) =

s1 exp( s 2 t ) s 2 exp( s1t )


......................................
s1 s 2

Dimana:
s1 =

1
(3 + + 2 + 6 + 2 ) dan
2

s2 =

1
(3 + 2 + 6 + 2 )
2

Jika pada sistem yang tidak dapat diperbaiki, maka ekspresi keandalan sistem
yang terdiri dari 2 komponen yang identik tersebut dapat diekspresikan dengan:
R(t ) = e t + e t e 2t = 2e t e 2t ..................................................

Disini terlihat bahwa perbedaan antara kedua kondisi diatas pada kasus
repairable system, maka sistem akan gagal hanya jika komponen kedua gagal
sebelum komponen pertama yang gagal terlebih dahulu belum diperbaiki. Namun
pada kasus non-repairable system, tidak ada perbaikan yang dimungkinkan
sehingga sistem akan gagal jika semua komponen gagal beroperasi, atau saat
komponen kedua gagal beroperasi setelah komponen pertama gagal.
Pada kasus repairable system, Mean Time To Failure didapatkan dengan
mengintegralkan R(t) pada persamaan 8.12 menjadi:

MTTF = R (t )dt =
0

s1 + s 2 3 +
=
s1 s 2
2 2

Pada kasus non-repairable system, Mean Time To Failure didapatkan dengan


mengintegralkan R(t) pada persamaan 8.13 dan menghasilkan:
MTTF = 3/2
Nilai MTTF diatas juga bisa diperoleh dengan menggunakan stochastic
transitional probability matrix seperti dijelaskan pada kasus diskrit Markov. Pada
kasus sistem dengan 2 komponen identik yang terhubungkan paralel, jika kondisi

14

3 adalah absorbing state, maka matrik Q didapat dengan menghilangkan kolom


dan baris ke 3 dari stochastic transitional probability matrix, menghasilkan:
2
1 2
Q=
........................................................................
1

Matrik N didapat dengan menjadikan matrik Q sebagai pengurang matrik


identitas, dan menjadi:
2 2
1 0 1 2
N = [ I Q] =

=
1
0 1

2
...........................
+

Inverse dari matrik N adalah:


N

2 2
=

1 +

2 2

2
..............................................
2

Jika sistem dimulai dari kondisi 1, maka


MTTF = m11 + m12 = [(+)+(2)]/22 = 3(+)/22 .........................
Nilai

diatas

identik

dengan

hasil

sebelumnya

yang

didapat

dengan

mengintegralkan R(t).
Jika sistem dimulai dari kondisi 2 (salah satu komponen beroperasi) maka
MTTF = m21 + m22 = (2+)/22 ......................................................

Jika sistem dengan 2 komponen identik diatas terhubung secara seri antara satu
komponen dengan komponen yang lainnya maka kondisi 2 (satu komponen
beroperasi) dan kondisi 2 (kedua komponen gagal) adalah merupakan absorbing
state. Dengan demikian maka matrik Q didapat dengan menghilangkan kolom
dan baris ke 2 dan ke 3 dari stochastic transitional probability matrix,
menghasilkan:
Q = [1 2 ] .......................................................................................
N 1 = [I Q ]1 = [2 ]1 =

1
...............................................................
2

15

1.10

Aplikasi Pada Sistem Yang Lebih Kompleks

Secara umum prosedur yang harus dilakukan untuk melakukan evaluasi


keandalan dengan metode Markov pada sistem yang lebih kompleks adalah
dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Identifikasi semua kondisi (state) dimana sistem mungkin bertransisi
(2) Tentukan peluang transisi dari satu kondisi ke kondisi yang lainnya
seperti yang teridentifikasi pada langkah 1.
(3) Turunkan persamaan diferensial yang sesuai atau susunlah stochastic
transitional probability matrix-nya..
(4) Dengan metode persamaan diferensial atau perkalian matrik, tentukan
time dependent state probabilitiesnya (jika diperlukan)
(5) Dengan

menggunakan

prinsip

hitung

limiting

state

probabilitiesnya.
(6) Tentukan availability dan unavailability, dengan menggambungkan nilai
probabilitas kondisi-kondisi yang bersesuain yang menjamin sistem
beroperasi dan sistem gagal.
(7) Dengan menggunakan prinsip absorbing state, selesaikan persamaan
diferensial yang dimodifikasi untuk menentukan keandalan sistem dan
selanjutnya gunakan persamaan tersebut untuk mendapatkan MTTF.
Jika persamaan diferensial tidak dapat dipergunakan untuk melakukan
proses ini, maka gunakan metode perkalian matrik.
Untuk memberikan ilustrasi pemakaian prosedur diatas dalam melakukan
evaluasi keandalan sistem yang lebih kompleks, perhatikan sistem yang
tergambar dibawah ini. (Gambar 8.7).
(1) Gambar 8.5 adalah state space diagram untuk kasus hubungan seriparalel seperti terlihat pada gambar 8.7.

16

(2) Laju transisi yang mungkin terjadi pada sistem juga telah dijelaskan
pada gambar 8.5.

2
1
3

Gambar 1.10-7 sistem kombinasi seri-paralel

(3) Stochastic transitional probability matrix sistem diatas adalah seperti


berikut:

1
2
3
1 1 2 3

1 1 2 3

1
2

1 2 1 3
2
1

1 3 1 2

P=

1 2 1 3
2
1

1 2
3
2

3
1

3
2

3 1

1 1 3 2

3
1
2
1 1 2

(4) Jika Stochastic transitional probability matrix tersebut dikalikan dengam


matriks itu sendiri sejumlah yang diinginkan, maka didapatkan time
dependent state probabilities setelah interval yang diinginkan.
(5) Jika limiting state probability vektor =[P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8] dikalikan
dengan Stochastic transitional probability matri dan harus sama dengan
limiting state probability vektor , maka akan didapatkan limiting value.
(6) Jika sistem pada gambar 8.7 dapat beroperasi jika minimal salah satu
dari komponen 2 dan 3 dapat beroperasi, maka Pup=P1 + P3 + P4 dan
Pdown = P2 + P5 + P6 +P7 + P8
(7) Jika sistem pada gambar 8.7 dapat beroperasi jika kedua komponen 2
dan 3 harus beroperasi, maka Pup=P1 dan Pdown = P2 + P3 + P4 + P5 + P6
+P7 + P8

17

(8) Jika sistem pada gambar 8.7 dapat beroperasi jika minimal salah satu
dari komponen 2 dan 3 dapat beroperasi, maka kondisi 2, 5, 6, 7 dan 8
adalah absorbing state dan memberi nilai Q adalah:
2
3
1 1 2 3

2
Q=
1 2 1 3

1 3 1 2

(9) Dari matrik Q diatas selanjutnya dapat dihitung inverse dari matrik
dimana N-1=[I-Q]-1 dan selanjutnya keandalan sistem dapat didapatkan
dengan menggunakan metode persamaan diferensial.

18

19

B AB 1
METODE ANALISA FREKUENSI
DAN DURASI
1.1

Pendahuluan

etode Markov yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya


memungkinkan peluang transisi dari satu kejadian ke
kejadian yang lainnya di evaluasi. Peluang sistem berada
pada kondisi beroperasi, kondisi gagal maupun kondisi-

kondisi lainnya diperoleh dengan menghitung peluang masing-masing kejadian


yang memberikan kontribusi terhadap sistem secara keseluruhan. Metode
Markov ini dipergunakan untuk mission oriented system serta repairable system
serta menghitung MTTF sistem.
Namun demikian akan sangat bermanfaat jika kita mengetahui frekuensi dari
sistem memasuki state (kondisi) tertentu dan waktu rata-rata sistem tersebut
berada pada kondisi tersebut. Kedua analisa ini sering dikenal dengan frequency
and duration technique. Dasar yang digunakan dalam analisa ini adalah dengan
menggunakan state space diagram seperti yang telah dijelaskan di dua bab
terdahulu.

1.2

Konsep dasar Frekuensi dan Durasi

Pada kasus single repairable component seperti yang telah dijelaskan pada bab
terdahulu, maka dengan pendekatan Markov akan diperoleh bahwa peluang
sistem akan berada pada mode operasi dan mode gagalnya dapat dirumuskan
seperti berikut:

Po =

P1 =

( + )

( + )

m
.....................................................................................
m+r

r
......................................................................................
m+r

Dimana Po adalah peluang berada pada kondisi beroperasi dan P1 adalah


peluang berada pada kondisi gagal. State space diagram sistem tersebut dapat
dilihat pada Gambar 1 dan Mean time state diagram nya terlihat pada Gambar 2.
adalah laju kegagalan komponen, adalah laju perbaikan komponen, m adalah
rata-rata waktu operasi komponen (MTTF) dan r adalah rata-rata waktu
perbaikan komponen (MTTR).

State 0
Kondisi
operasi

State 1
Kondisi
gagal

Gambar 1.2-1 single component system

up
m

r
down

Gambar 1.2-2 Mean time state diagram

Seperti terlihat pada Gambar 2, periode waktu T adalah siklus waktu sistem yang
dalam hal ini adalah penjumlahan mean time to failure (MTTF) dan mean time to
repair (MTTR). Siklus ini lebih dikenal dengan istilah mean time between failure
(MTBF). Pada beberapa buku, MTTF dianggap sama dengan MTBF. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa waktu yang diperlukan untuk melakukan
perbaikan relatif sangat kecil dibandingkan dengan waktu operasinya sehingga
waktu perbaikan ini dapat diabaikan. Dengan demikian maka:
m = MTTF = 1/.................................................................
r = MTTR = 1/ ..................................................................
T = MTBF = m + r = 1/f ......................................................

Dimana f adalah frekuensi siklus atau dalam hal ini adalah frekuensi sistem
berada/masuk pada kondisi (state) tertentu. Pada contoh seperti terlihat pada
Gambar 1, frekuensi menuju ke mode operasi memiliki nilai yang sama dengan
frekuensi menuju ke mode gagalnya. Pada kasus yang lebih kompleks nilai
frekuensi ini umumnya akan berbeda.
Dengan demikian berdasarkan Gambar 2, jika dua sistem memiliki komponen
komponen tunggal yakni A dan B serta memiliki laju kegagalan dan laju
perbaikan masing-masing adalah , untuk komponen A pada sistem pertama
dan 2, 2 untuk komponen B pada sistem kedua, maka kedua sistem akan
memiliki nilai availability serta unavailability

yang sama, akan tetapi

sistem

kedua akan gagal 2 kali lebih banyak dari sistem pertama dan sistem kedua juga
akan diperbaiki 2 kali lebih cepat dari sistem pertama. Kondisi in iakan sangat
menentukan dalam konteks ekonomi. Dengan demikian evaluasi hanya terhadap
nilai availability dan unavailability sistem tidaklah cukup karena nilai frekuendi
dan durasi sebuah sistem menuju/berada pada kondisi tertentu akan sangat
menentukan performa

ekonomis

sebuah sistem.

ingat:

availability

MTTF/(MTTF+MTTR) dan unavailability = MTTR/(MTTF + MTTR)).


Sesuai dengan persamaan 1 dan 2 terlihat bahwa probabilitas berada pada satu
kondisi adalah sama dengan nilai rata-rata sistem berada pada kondisi tersebut
dibagi dengan nilai rata-rata siklus waktu sistem. Hal ini terlihat jelas seperti pada
Gambar 2. Namun demikian untuk sistem dengan jumlah kondisi yang lebih dari
2, konsep yang sama masih tetap berlaku. Dengan demikian, jika P(S) adalah
probabailitas berada pada kondisi S, m(S) adalah nilai rata-rata waktu sistem
berada pada kondisi S serta T(S) adalah nilai rata-rata waktu antara dua kejadian
S, maka:
P(S) = m(S)/T(S) ...............................................................
Dari persamaan 1 dan 2 juga diperoleh bahwa:
Po = m/(m+r) = m/T = 1/T = f/.........................................
P1 = r/(m+r) = r/T = 1/T = f/ ............................................
Dari kedua persamaan diatas diperoleh:
f = Po = P1 ...................................................................

nilai f diatas dapat diterjemahkan sebagai frekuensi berada pada kondisi/mode


operasi. Dimana Po adalah probabilitas berada pada mode operasi x laju
transisi keluar dari mode operasi, dan P1 adalah probabilitas tidak berada pada
mode operasi x laju transisi menuju mode operasi.
Konsep di atas hanya berlaku untuk nilai rata-rata perilaku sistem dalam rentang
waktu yang panjang dan tidak berlaku untuk time dependent probabilities atau
frequency.
Dengan demikian, Jika f(S) adalah frekuensi memasuki state S, P(s) adalah
probabilitas berada pada state S, P(S) adalah peluang tidak berada pada state S,
d(S) adalah laju transisi keluar dari state S dan e(S) adalah laju transisi menuju
state S, maka:
f(S) = P(S) d(S) = P(S) e(S) ............................................
Dengan mensubstitusikan persamaan di atas dengan persamaan 1 akan
diperoleh :
m(S) = P(S)/f(S) = 1/ d (S)................................................
Dari persamaan diatas terlihat bahwa nilai rata-rata durasi pada satu kondisi (m)
adalah kebalikan dari laju transisi keluar dari kondisi tersebut (1/ d (S)), atau
nilai rata-rata durasi pada satu kondisi adalah pembagian antara robabilitas
berada pada satu kondisi dibagi dengan frekuensi memasuki kondisi tersebut.

1.3

Aplikasi Pada Multi-State Problem

1.3.1

Sistem dengan dua komponen yang dapat diperbaiki

Jika sistem terdiri dari 2 komponen yang dapat diperbaiki (2 repairable


components) dengan masing-masing komponen memiliki 2 kondisi yakni kondisi
operasi (up state) dan kondisi gagal (down state) serta laju kegagalan dan laju
perbaikannya adalah 1, 1 serta 2, 2, masing masing untuk komponen 1 dan
komponen 2, maka state space diagram sistem tersebut terlihat seperti pada
gambar berikut:

1
1 UP
2 UP

1
1
2

3
1 UP
2 DN

2
1 DN
2 UP

2
1
1

4
1 DN
2 DN

Gambar 1.3-3 two repairable components

Stochastic Transitional Probability Matrix sistem tersebut akan menjadi:


1
2

1 (1 + 2 )

(
+
)

1
2
1
2

P=

2
1

1 (1 + 2 )

)
2
1
1
2

1.3.2

State probabilities

Langkah pertama dalam analisa frekuensi dan durasi adalah melakukan evaluasi
terhadap individual limiting state probabilities. Evaluasi ini telah dengan seksama
dijelaskan pada bab sebelumnya yakni dengan menggunakan limiting state
vector () dimana P = . Dengan cara ini diperoleh:
P1 =
P2 =
P3 =
P4 =

1 2

(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
1 2
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
2 1

(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
1 2
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................

Dimana P1, P2, P3, dan P4 adalah limiting state values atau peluang sistem
berada pada kondisi 1, 2, 3 dan 4 secara berturut-turut pada waktu tak terhingga.

Jika kedua komponen 1 dan 2 adalah identik, maka 1 = 2 = , dan 1 = 2 =


dan persamaan diatas akan menjadi: (lihat bab sebelumnya)
P1 = 2/(+)2

P2 = 2/(+)2

P3 = 2/(+)2 ............

Dengan demikian jika kedua komponen diatas tersusun secara seri, maka:
Pup = P1, dan Pdown = P2 + P3 + P4
Untuk sistem dengan dua komponen yang terhubung paralel, mak:
Pup = P1 + P2 + P3 dan Pdown = P4

1.3.3

Frekuensi individual state

Langkah kedua adalah melakukan evaluasi terhadap frekuensi memasuki


kondisi/state tertentu dari sistem yang dianalisa. Ini diperoleh dengan
menggunakan persamaan 10. Nilai laju transisi diperoleh dari tabel berikut:

Tabel. 10.1 Laju transisi keluar dari dan menuju kondisi tertentu
state

Komponen
1

Komponen
2

Transisi

Transisi

out

in

up

up

1+2

1+2

down

up

2+1

1+2

up

down

1+2

2+1

down

down

1+2

1+2

Dari tabel diatas dan persamaan yang telah diuraikan pada sub bab diatasnya
maka diperoleh bahwa frekuensi memasuki state 1 f1 diperoleh dengan
mengalikan P1 dengan laju transisi keluar dari state 1 yang akan menghasilkan:
f1 =

1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................

Demikian juga halnya, dengan cara yang sama diperoleh bahwa frekuensi
memasuki state 4 f4 diperoleh dengan mengalikan P4 dengan laju transisi keluar
dari state 4 yang akan menghasilkan:
f4 =

1 2 (1 + 2 )
.......................................................................
(1 + 1 )( 2 + 2 )

Cara yang sama dapat dilakukan untuk menghitung f2 dan f3. Hasil selengkapnya
terlihat seperti pada tabel berikut:
Tabel. 10.2 State probabilities dan frekuensi
State

Probabilitas

frekuensi

12

/D

12(1+2)

/D

12

/D

12(2+1)

/D

21

/D

21(1+2)

/D

12

/D

12(1+2)

/D

dimana D = (1+1)(2+2)

Jika komponen 1 dan komponen 2 adalah identik, maka 1 = 2 = , dan 1 = 2 =


dan frekuensi memasuki masing-masing state diperoleh seperti dibawah ini:
f1 =

f4 =

2 2

( + )2 ....................................................................................
2 2

( + )2 ...................................................................................

f2 = f3 =

1.3.4

( + )2 ............................................................................

Durasi individual state

Dengan menggunakan konsep seperti yang telah diuraikan melalui persamaan


11, maka durasi rata-rata waktu sistem berada pada kondisi/state tertentu dapat
dihitung langsung dari laju transisi keluar masing-masing kondisi seperti terlihat
pada Tabel 10.1. Dengan demikian akan diperoleh:
m1 =
m2 =
m3 =
m4 =

(1 + 2 ) ...................................................................................
1
( 2 + 1 )

..................................................................................

(1 + 2 ) ..................................................................................
1

(1 + 2 ) .................................................................................

Pada kasus 2 komponen yang identik diperoleh:

m1 =

(2 ) ........................................................................................

m 2 = m3 =

m4 =

1.3.5

( + ) .............................................................................

(2 ) ........................................................................................

Cycle time between individual states

Seperti telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, siklus waktu T seperti pada
persamaan 10.11 yaitu kebalikan dari frekuensi f. Siklus waktu T untuk masingmasing kejadian selanjutnya bisa diperoleh dengan menghitung frekuensi
masing-masing kejadian. Nilai siklus waktu ini mewakili rata-rata durasi waktu
sejak memasuki/keluar dari kondisi/state tertentu hingga memasuki/keluar dari
kondisi/state yang sama berikutnya. Pada kasus sistem dengan 2 komponen
yang identik maka:
T1 =

( + )2

(2 )
2

T2 = T3 =

T4 =

....................................................................................

( + ) = 1 + 1
( ) ...................................................................

( + )2

(2 ) ....................................................................................
2

Jika dua komponen tersebut terhubung secara paralel maka MTTF nya adalah
waktu rata-rata dimana kejadian kedua komponen gagal terjadi. Dengan
demikian MTTF nya adalah:
MTTF =

(2 + )

(2 )
2

..............................................................................

Dan MTTR tidak lain adalah m4 seperti tertulis diatas.

Karena MTBF untuk kasus dua komponen yang terhubung paralel adalah
penjumlahan antara MTTF dan MTTR, maka:
MTBF =

(2 + ) +

(2 )
2

2 + 2 + 2 ( + )2
1
=
=
2
2 2
2 2 .................................

Nilai di atas sama dengan nilai pada persamaan 10.13. Dengan demikian maka
MTBF dua komponen yang terhubung paralel adalah sama dengan siklus waktu
memasuki kondisi/state 4 (T4).
Jika dua komponen didalam sistem terhubung secara seri maka MTTF nya
adalah 1/2 dan MTTR nya adalah (+2)/22. Dengan demikian MTTB nya
adalah:
MTBF =

1 ( + 2 ) ( + )2
+
=
2
2 2
2 2 .........................................................

( )

Yang nilainya identik dengan siklus waktu T1. Dengan demikian maka MTBF dua
komponen yang terhubung seri adalah sama dengan siklus waktu memasuki
kondisi/state 1 (T1).

1.3.6

Frekuensi untuk cummulative state

1.3.7

f 34 =

f 12 =

2 2

( 2 + 2 )
2 2
( 2 + 2 )

f up = f 1 =

1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 )

f down = f 4 =

1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 )

'

'

'

1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 )

= f4 =

= f 34 = f

= f 234 = f

'

'

+ P3 ( + 3 3 ) =

1 2 (1 + 2 )
1 2

+
.( 2 1 ) = 2 2
(1 + 1 )( 2 + 2 ) (1 + 1 )( 2 + 2 )
2 + 2

+ P2 ( + 2 2 ) =

f '1 = f1234 = f '2 + P1 (0 1 ) =

State 2

2 2 (1 + 1 )
2 1
1 2 (1 + 2 )
+
.( ) =
(1 + 1 )( 2 + 2 ) (1 + 1 )( 2 + 2 ) 1 2 (1 + 1 )( 2 + 2 )

2 2 (1 + 1 )
2 1
+
.(0 (1 + 2 )) = 0
(1 + 1 )(2 + 2 ) (1 + 1 )(2 + 2 )

komponen
gagal

State 3
Komponen
diperbaiki tapi
Belum di instal

10

B AB 1
DISTRIBUSI PELUANG
DALAM EVALUASI
KEANDALAN SISTEM
1.1

Konsep Distribusi

ada bab sebelumnya telah beberapa konsep tentang


distribusi peluang (probability distribution) seperti probability
mass function, probability density function, cummulative
distribution function, expected value, variance, standard

distribution dan konsep-konsep lainnya. Pada bab ini akan diuraikan teknik
memanfaatkan distribusi peluang dalam melakukan evaluasi keandalan.
Seperti telah dijelaskan pada bab bab sebelumnya, parameter-parameter yang
dipergunakan dalam evaluasi keandalan adalah parameter-parameter distribusi
peluang. Nilai dari parameter-parameter ini sangat tergantung pada waktu
kegagalan, waktu perawatan dsb. Dengan kata lain, komponen-komponen di
dalam sistem akan gagal tidak pada waktu yang sama, dan juga akan diperbaiki
tidak pada waktu yang sama pula. Dengan demikian maka time to failure (TTF)
komponen pun akan berbeda satu sama lain. Perbedaan TTF ini akan
mempengaruhi karakter sebaran data kegagalannya yang direpresentasikan
dengan perbedaan nilai parameter distribusinya.

TTF komponen tertentu mungkin diwakili oleh distribusi peluang yang sama,
namun memiliki nilai paramterer yang berbeda. TTF komponen juga sangat
mungkin diwakili oleh jenis distribusi yang berbeda, sehingga parameter yang
mewakili masing-masing distribusi tersebut juga berbeda.

Komponen yang TTF nya diwakili oleh distribusi Weibull akan memiliki jenis
parameter distribusi (shape parameter), (location parameter) dan (scale
parameter). Sementara itu TTF yang terdistribusi eksponensial akan diwakili oleh
parameter distribusi (failure rate) dan TTF yang terdistribusi normal akan
diwakili oleh jenis parameter (standard deviation) dan (mean).
Pada bab sebelumnya jenis distribusi juga dikelompokkan menjadi dua kelompok
utama yakni distribusi diskrit dan distribusi kontinyu. Yang termasuk kedalam
kelompok distribusi diskrit adalah distribusi Poisson, distribusi hypergeometric,
dan distribusi binomial. Sementara yang termasuk kelompok distribusi kontinyu
adalah distribusi eksponensial, distribusi normal, distribusi Weibull dsb.

1.2

Terminologi Distribusi

Terminologi dan signifikansi dari distribusi peluang telah sebagian dijelaskan


pada bab-bab sebelumnya. Properti seperti probability density (mass) function,
expected value, mean, variance dan standard deviation telah pula dijelaskan
pada bab sebelumnya. Pada evaluasi keandalan, properti tersebut sering
diistilahkan berbeda menyesuaikan dengan properti keandalan. Pada bab ini
akan dijelaskan terlebih dahulu terminologi distribusi yang akan dipergunakan di
dalam evaluasi keandalan.
Cummulative distribution function memiliki nilai mulai dari 0 (nol) hingga 1 (unity).
Pada data diskrit, pertambahannya terjadi secara diskrit dan pada data kontinyu
pertambahan diwakili oleh sebuah fungsi kontinyu. Pada evaluasi keandalan,
random variabel yang umum dipergunakan adalah waktu (t). Saat t=0 maka
diasumsikan komponen mulai beroperasi dan peluang kegagalannya adalah 0.
Dengan bertambahnya waktu operasi maka pada waktu t= peluang kegagalan
komponen adalah 1. Karakteristik ini sesuai dengan konsep cummulative
distribution function dan merupakan peluang kegagalan komponen sebagai
fungsi waktu. Pada terminologi keandalan, cummulative distribution function lebih
dikenal dengan sebutan cummulative failure distribution function atau lebih
sederhana sering disebut dengan cummulative failure distribution (Q(t)).

Pada kasus praktis akan lebih menguntungkan jika kita menghitung peluang
sukses pada waktu tertentu (R(t)), bukan peluang gagalnya (Q(t)). Peluang
sukses merupakan komplemen dari peluang gagal sehingga:
R(t) = 1 Q(t)......................................................................
Turunan pertama dari cummulative distribution function sebuah random varaibel
kontinyu akan menhasilkan probability density function. Pada evaluasi keandalan
turunan pertama dari cummulative distribution function sebuah random varaibel
kontinyu akan menghasilkan fungsi yang kurang lebih sama dengan probability
density function, dan sering disebut dengan failure density function, dimana:
f(t) = dQ(t)/dt = -dR(t)/dt......................................................
sehingga
t

Q (t ) =

f (t )dt .......................................................................
0

Dengan demikian
t

R (t ) = 1

f (t )dt ...................................................................
0

f(t)
Q(t)

R(t)

time

Gambar 1.2-1 Failure density function

Karena luasan total dibawah kurva failure density function adalah satu, maka
persamaan diatas dapat ditulis sebagai:

R (t ) = 1

f (t )dt ...................................................................
t

Selain konsep cummulative distribution function dan failure density function,


terdapat konsep-konsep lainnya yang sangat sering dipergunakan dalam
evaluasi keandalan yakni hazard rate, failure rate, repair rate, force of mortality,
age specific failure rate, dsb. Pada bab ini hanya akan dijelaskan tentang hazard
rate. Konsep lainnya akan dibahas pada bab VI tentang metode Markov.
Hazard rate adalah ukuran laju kegagalan pada waktu tertentu. Ini berbeda
dengan failure rate, yang memiliki makna jumlah kegagalan dalam rentang waktu
tertentu. Hazard rate sangat tergantung dengan jumlah sampel yang dianalisa.
Sebagai contoh, jumlah kegagalan pada komponen tertentu dan pada rentang
waktu tertentu antara sampel yang berjumlah 100 akan lebih kecil dari jumlah
kegagalan dari sampel sejumlah 1000, sekalipun hazard rate nya adalah sama.
Sama halnya juga, jumlah kegagalan antara sampel sejumlah 100 dan 1000
akan sama jika komponennya berbeda dan rentang waktu operasinya juga
berbeda. Dalam hal ini komponen pada sampel yang pertama akan memiliki
hazard rate yang lebih besar dibandingkan dengan sampel yang kedua.
Dengan demikian hazad rate (t) sangat tergantung pada jumlah kegagalan
dalam satuan waktu tertentu dan jumlah komponen yang dijadikan obyek analisa.
Dengan demikian
(t) = jml gagal per unit waktu/jml obyek yang dianalisa ....

1.3

Fungsi Umum Keandalan

Jika sejumlah No buah komponen diuji, dan Ns(t) adalah jumlah komponen
sukses (survive) dan Nf(t) jumlah komponen gagal dan No = Nf(t) + Ns(t)
Keandalan atau peluang sukses dari komponen tertentu sebagai fungsi waktu
akan menjadi:
R (t ) =

Ns (t ) No Nf (t )
Nf (t )
........................................
=
= 1
No(t )
No
No

Peluang gagalnya komponen atau cummulative failure distribution Q(t) akan


menjadi:

Q(t ) =

Nf (t )
..........................................................................
No

Dari kedua persamaan diatas diperoleh


dR (t ) dQ(t ) 1 dNf (t )
..................................................
=
=
.
dt
dt
No d (t )

Jika dt 0, maka
f (t ) =

1 dNf (t )
..................................................................
.
No d (t )

Dengan demikian ekspresi hazard rate akan menjadi:


(t ) =

dNf (t ) No 1
dNf (t )
1
No 1 dNf (t )
........
.
=
.
=
.
Ns (t ) d (t )
No Ns (t ) d (t )
Ns (t ) No d (t )

(t ) =

1
1 dR(t )
................................................
. f (t ) =
.
R (t )
R(t ) dt

Dari ekspresi diatas diketahui bahwa saat t=0, maka f(0) = 0 karena R(0) = 1.
Disamping itu juga terlihat baha hazard rate fungsi yang tergantung pada failure
density function. Dalam konteks phisik dapat diterjemahkan bahwa failure density
function memungkinkan peluang gagal dihitung disetiap waktu pada masa yang
akan datang, sementara hazard rate memungkinkan peluang kegagalan dihitung
pada masa yang akan datang dimana diketahui bahwa sistem/komponen dalam
kondisi sukses sampai waktu t.
Dari persamaan diatas diperoleh:
R (t )

1
.dR (t ) = (t )dt
.....................................................
R(t )
o

ln R (t ) = (t )dt
o

R(t ) = e t

................................................................

...........................................................................

1.4

Evaluasi Fungsi Keandalan

Guna memberikan ilustrasi prosedur dalam melakukan evaluasi berbagai fungsi


keandalan, contoh berikut akan dievaluasi. 1000 buah komponen yang identik
dievaluasi . Diperoleh hasil evaluasi seperti pada tabel berikut:
1

time interval
dalam 100 jam

jumlah
l
gagal

cummulative
failures

Jumlah

cummulative
failure dist.

(1000-2)

failure density
function
2/1000

survivor
function
1-6

Hazard
Rate
2/ave4

Ns
1000
860
775
700
632
572
519
471
428
390
356
325
297
257
197
122
62
20
5
0

f
0,14
0,085
0,075
0,068
0,06
0,053
0,048
0,043
0,038
0,034
0,031
0,028
0,04
0,06
0,075
0,06
0,042
0,015
0,005
0

Q
0
0,14
0,225
0,3
0,368
0,428
0,481
0,529
0,572
0,61
0,644
0,675
0,703
0,743
0,803
0,878
0,938
0,98
0,995
1

R
1
0,86
0,775
0,7
0,632
0,572
0,519
0,471
0,428
0,39
0,356
0,325
0,297
0,257
0,197
0,122
0,062
0,02
0,005
0

0,151
0,104
0,102
0,102
0,100
0,097
0,097
0,096
0,093
0,091
0,091
0,090
0,144
0,264
0,470
0,652
1,024
1,200
2,000

0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Sukses

Nf
0
140
225
300
368
428
481
529
572
610
644
675
703
743
803
878
938
980
995
1000

140
85
75
68
60
53
48
43
38
34
31
28
40
60
75
60
42
15
5

Hazard rate sebagai fungsi waktu


0,700
0,600

hazard rate

0,500
0,400

0,300

II

III

0,200
0,100
0,000
1

10 11 12 13 14 15 16

interval waktu

Gambar 1.4-2 Hazard Rate sebagai fungsi interval waktu

Keandalan

indeks keandalan

1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
1

11

13

15

17

19

waktu interval

Gambar 1.4-3 Keandalan sebagai fungsi interval waktu

f(t)

f a i l ure dens i ty f uncti on


0,16
0,14
0,12
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0

III

II

11

13

15

17

19

interval

Gambar 1.4-4 Failure Density Function

Cumm ul a ti v e F a i l ure D i s tri buti on


1,2
1

Q(t)

0,8
0,6
0,4
0,2
0
1

11

13

15

17

19

interval

Gambar 1.4-4 Cummulative Failure Distribution

Hazard rate seperti terlihat pada gambar 2 menunjukkan bentuk umum dari
komponen non-elektronik yang sering dikenal dengan istilah bath-tub curve.
Kurva ini dibedakan menjadi 3 periode; periode I, periode II dan periode III.
Periode I sering dikenal dengan istilah burn in period atau infant mortality period
ataupun debugging period, yang ditunjukkan dengan penurunan hazard rate
sebagai fungsi usia komponen atau waktu operasi. Tingginya hazard rate pada
awal periode ini sering disebabkan karena kesalahan produksi, kesalahan disain
ataupun kesalaham assembly. Periode II dikenal dengan istilah useful life period
yang ditandai dengan nilai hazard rate yang konstan. Hanya distribusi
eksponensial yang berlaku pada periode II ini. Periode ke III merepresentasikan
daerah dimana keausan komponen sudah mulai terjadi. Periode ini dikenal
dengan istilah wear-out period yang ditandai dengan peningkatan hazard rate
sebagai fungsi waktu. Ketiga periode ini juga dapat terlhat pada gambar 4 yang
menunjukkan failure density function. Pada gambar ini terlihat bahwa periode II
tepat mewakili kurva negatif eksponensial. Periode III dapat diwakili oleh
distribusi normal, Weibull ataupun Gamma.
Secara umum bath-tub curve dapat digambarkan untuk komponen elektronik dan
mekanik. Komponen elektronik umumnya diwakili oleh useful life period yang
agak panjang, sementara komponen mekanik memiliki useful life period yang
relatif pendek.

1.5

Distribusi Poisson

Sebuah random variabel x dikatakan memiliki distribusi poisson jika probability


mass function dari x adalah:
p( x; ) =

e x
dimana x = 0,1,2....... untuk >0
x!

Poison distribution (sama seperti eksponential distribution) hanya berlaku jika


(dalam konteks reliability sering disebut dengan hazard rate atau failure rate)
adalah konstan di sepanjang waktu. disini bisa laju per unit waktu atau per unit
luas, miss: laju kegagalan komponen pada sistem mekanik, dsb. e adalah nilai
dasar logaritmik natural yang besarnya adalah 2.71828.

Jika dt adalah interval yang cukup kecil, dimana probabilitas terjadinya lebih dari
satu kejadian (kegagalan) adalah nol (0) maka
dt = probability of failure dalam interval dt, i.e. dalam periode (t, t+dt)
Kasus zero failure
Jika Px(t) adalah probabilitas terjadinya kegagalan sejumlah x kali dalam interval
(0,t) , maka probability of zero failure dalam rentang (0, t+dt) adalah probability
of zero failure dalam interval (0,t) x probability of zero failure dalam interval (t,
t+dt)
Po(t + dt) =Po(t) . (1 - dt)
Jika kedua kejadian tersebut adalah bebas satu sama lain (independent) maka
[ Po(t + dt) - Po(t) ] / dt = -Po(t)
Jika dt 0, atau interval menjadi sangat kecil dan mendekati nol (0), maka
dPo(t)/dt = -Po(t) jika di integralkan akan menjadi ln Po(t) = -t + C
Pada t=0, di asumsikan bahwa komponen dalam keadaan beroperasi, sehingga
pada t=0 Po(0) = 1, Ln Po(t) = 0 dan ini memberikan nilai C = 0, sehingga :
Po(t) = e- t ...................................................................................
Rumus diatas adalan ekspresi pertama dari poisson distribution yang
menunjukkan probability of zero failures dalam rentang waktu t. Dalam konteks
reliability, maka:
Keandalan sebagai fungsi waktu adalah R(t) = e- t
Ketidakhandalannya adalah Q(t) = 1- R(t) = 1- e- t
Probability of failure density function-nya adalah f(t) = -dR(t)/dt = e- t
Kasus multiple failure
Jika Px(t) adalah peluang/probabilitas kegagalan terjadi x kali dalam interval (0, t),
maka:

Px (t+dt) =

Px(t) . [ P(zero failure pada interval t, t+dt ) ] +


Px-1(t) . [ P(one failure pada interval t, t+dt ) ] +
Px-2(t) . [ P(two failure pada interval t, t+dt ) ] + .....
P0(t) . [ P(x failure pada interval t, t+dt ) ]

Akan tetapi karena dt adalah interval yang sangat kecil sehingga peluang
terjadinya kegagalan lebih dari satu adalah nol (0), maka:
Px (t+dt) =

Px(t) . [ P(zero failure pada interval t, t+dt ) ] +


Px-1(t) . [ P(one failure pada interval t, t+dt ) ]

Px (t)(1- dt) + Px-1(t)( dt)

Px (t) - dt [ Px (t) - Px-1(t) ]

Dengan demikian, maka:


Px (t)=[ (t)x . e- t ]/ x! ................................................................
Ekspresi t diatas sering disimbolkan dengan yang tidak lain adalah expected
value (E(x) (nilai harapan).
Contoh 6.1:
Jika x adalah jumlah retak pada permukaan boiler yang dipilih secara acak dan
terdistribusi poisson dengan = 5, maka berapakah probabilitas boiler yang
secara acak dipilih akan memiliki retak sejumlah 2.
P(X=2) = [e-5 . (5)2] / 2! = 0.084
Peluang boiler memiliki paling banyak 2 retak adalah:
2

P(XO2) =

x =0

e 5 5 x
25
= e 5 (1 + 5 + ) = 0.125
x!
2!

Pada beberapa buku statistik, distribusi Poisson dipergunakan sebagai


pendekatan terhadap distribusi binomial. Hubungan antara distribusi Poisson dan
binomial dapat diuraikan sebagai berikut:

10

Peluang sebuah kejadian sukses sejumlah r kali dalam n kali eksperimen


dirumuskan dengan:
Pr =

n!
p r q n r ............................................................
r! (n r )!

Jika n >> r, maka:


n!
= n(n 1)(n 2)......(n r + 1) n r
(n r )!

Sehingga, Pr =

n r r nr
p q
r!

Demikian juga halnya jika nilai p adalah sangat kecil dan r relatif kecil jika
dibandingkan dengan n, maka
qn-r (1-p)n, sehingga akan memberikan

Pr =

( np ) r
( np) r
(1 p) n =
r!
r!

n(n 1)

2
1 np + 2! ( p ) + .....

Jika nilai n adalah besar, maka n(n-1) n2, sehingga akan menghasilkan

Pr =

(np ) r
r!

(np ) r np
(np ) 2
+ ..... =
e
1 np +
2!
r!

Persamaan diatas terlihat identik dengan persamaan 412, dimana np = t dan r =


x.
Harus diingat bahwa kesetaraan ini hanya berlaku jika nilai n relatif besar, n>>r
dan p sangat kecil. Acuan yang biasa dipergunakan adalah jika nilai n >20 dan
p<0.05. Harus juga diingat bahwa expected value untuk distribusi binomial
adalah (np) atau (t) dalam distribusi Poisson. Standar deviasi untuk distribusi
binomial adalah = (npq)1/2 atau nilainya setara dengan (t)1/2 pada distribusi
Poisson.
Contoh 6.2:

11

Peluang sukses dari satu eksperimen adalah 0.1, berapakah peluang dalam 10
kali eksperimen akan diperoleh 2 sukses dengan distribusi binomial dan
Poisson?
Dengan distribusi binomial diperoleh:
P(2) = 10C2 0.12 x 0.98 = 10!/(2!. 8!) x 0.12 x 0.98 = 0.1937
Dengan distribusi Poisson diperoleh:
np = 10 x 0.1 = 1.0
P(2) = 1.02/2! e-1.0 = 0.1839
Contoh 6.3:
Ulangi soal 6.2 diatas dengan jumlah eksperimen adalah 20 serta peluang
sukses satu eksperimen adalah 0.005.
Dengan distribusi binomial diperoleh:
P(2) = 10C2 0.12 x 0.98 = 20!/(2!. 18!) x 0.0052 x 0.99518 = 0.0043
Dengan distribusi Poisson diperoleh:
np = 20 x 0.005 = 0.1
P(2) = 0.12/2! e-0.1 = 0.0045

1.6

Distribusi Normal

Distribusi normal sering disebut dengan distribusi Gaussian adalah salah satu
jenis distribusi yang paling sering digunakan dalam menjelaskan sebaran data.
Probability density function dari distribusi normal adalah simetris terhadap nilai
rata-rata (mean) dan dispersi terhadap nilai rata-ratanya diukur dengan nilai
standard deviasi. Dengan kata lain parameter distribusi normal adalah mean dan
standard deviation.

12

Probability density function dari distribusi normal dapat ditulis dengan:


f ( x) =

(x ) 2
exp

2 2
2

.......................................................
1

Jika mean () dan standard deviasi (), maka ekspresi diatas dapat ditulis:
f ( x) =

(x ) 2
exp

2 2
2

.......................................................
1

f(x)

0.399/
=1

=2
=3

Gambar 1.4-5 Probability density function distribution normal

(x)

Q(x)
1
0.841

0.5
0.798/
0.159
0

0
x

Gambar 1.4-6 Cummulative distribution function dan Hazard rate

Terlihat bahwa kurva melewati titik dengan probabilitas 0.5 jika random variabel x
memiliki nilai . (expected value). Ini adalah karakteristik khusus dari distribusi
normal yang menunjukkan bahwa distribusi normal sangat simetris terhadap nilai
rata-rata.

13

Nilai menunjukan posisi dari kurva dan sering disebut dengan istilah location
parameter. Nilai menunjukkan derajat kemencengan (dispersi) dan sering
dikenal dengan istilah scale parameter.
Luar daerah dibawah p.d.f adalah sama dengan satu (unity), dengan demikian
maka:
1

(x ) 2
exp
dx = 1
2 2

Persamaan diatas berarti bahwa luasan daerah dibawah kurva density function
antara dua titik tidak terbatas harus mencakup semua random variable x yang
mungkin dan harus sama dengan satu.
Akan tetapi hitungan integral ini sangat kompleks. Karena itu, dalam kasus
distribusi normal umum digunakan teknik pendekatan dengan hitungan manual,
dengan konversi sebagai berikut:
z = (x-)/, yang akan menyederhanakan persamaan failure density function
menjadi:
f ( z) =

z2
exp
2
2
, ................................................................
1

dimana random variabel sekarang adalah z, nilai rata-rata (mean) nya adalah 0
(nol) dan standar deviasinya adalah 1 (unity). Substitusi ini menghasilkan kurva
standard dimana deviasi dari random variabel terhadap mean diekspresikan
dalam parameter z. (lihat tabel z pada buku-buku statistik). Pada tabel ini luasan
daerah dibawah kurva density function dapat dicari berdasarkan nilai dan nilai
.
Dari gambar 1.4-7 terlihat bahwa total luas dalam interval 3 adalah 0.9972
atau mendekati 1 (unity). Dengan demikian nilai 3 sering dipergunakan
sebagai confidence limit dari distribusi normal.

14

0.3413

0.3413

0.1359

0.1359

0.0214
-3

0.0214
-2

-1

Gambar 1.4-7 Standard normal density function

Kasus: PLN memasang 2000 lampu yang memiliki usia rata-rata 1000 jam
pemakaian dengan standard deviasi 200 jam. Berapa lampu yang diharapkan
gagal setelah 700 jam operasi?
= 1000 dan = 200 z = (700-1000)/200
= -1.5, Dari tabel didapat luasannya
adalah:
0.5 0.4332 = 0.0668, sehingga:

x
700

1000

1300

-1.5

1.5

Q(1.5) = 0.0668 , Q(-1.5) = 0.0668


E(x) = 2000x0.0668 = 134 lampu

z
x

Berapa lampukah diharapkan akan gagal dalam interval waktu 900 dan 1300 jam.
A1: z = (900-1000)/200 = -0.5
A1

A2: z = (1300-1000)/200 = 1.5

A2

Dari tabel A1 = 0.1915 A2 = 0.4332


Total area adalah = 0.1915+0.4332 =
0.6247
x
900 1000
-0.5 0

E(x) = 2000 x 0.6247 = 1250 lampu

1300
1.5

Dalam

berapa

waktukah

diperkirakan

15

bahwa 10% dari lampu akan mengalami


kegagalan:
harus dicari nilai z yang memberikan
luasan
10%

seperti

pada

gambar

disamping.
x

744
-1.2817

10%

0.5 - 0.1= 0.400, dimana z = -1,2817

1000
0

Jadi (x-1000)/200 = -1.2817


X = 744 jam.

1.7

Distribusi Eksponensial

Distribusi eksponensial, atau distribusi negatif eksponensial merupakan salah


satu distribusi yang paling sering muncul dalam konteks evaluasi keandalan.
Pada distribusi ini, laju kegagalan adalah konstan ( = C).

Distribusi

eksponensial adalah kasus khusus dari distribusi Poisson jika hanya kegagalan
yang pertama saja yang diperhitungkan. Distribusi eksponensial hanya berlaku
pada useful life period saja pada bath-tub curve.
Pada penjelesan sebelumnya telah diuraikan bahwa peluang sebuah komponen
sukses daram rentang waktu t jika hazard rate nya konstan adalah:
R(t) = e-t ......................................................................................

Dengan demikian, failure density function nya adalah:


f(t) = -dR(t)/dt =e-t ....................................................................
Density function (a) diwakili oleh cummulative failure distribution (Qt) dan survivor
function (Rt). Dua area ini dapt dihitung dengan:

Q(t ) = .e .t dt = 1 e .t
0

dan

R(t ) = 1 Q(t ) = .e .t dt = e .t
t

16

f(t)

(a)

Q(t)
R(t)

0
f(t)

(b)

t
(t)

(c)

f(t)
1.0

time
(d)

0.632

0.368
1/

1/

Gambar 1.4-8 (a) Q(t) dan (R(t), (b) failure d.f, (c) cum. Fail. Dist., (d) hazard
rate

Nilai harapan (expected value (E(x)) untuk distribusi eksponensial dan standard
deviation-nya adalah 1/ . Expected value ini berkorespondensi dengan Mean
Time To Failure (MTTF) yang merupakan kebalikan dari nilai failure rate ().
MTTF dan MTBF (Mean Time Between Failure) adalah dua hal yang berbeda.
MTTF akan relatif sama dengan MTBF jika repair time (pada kasus repairable
component) adalah sangat kecil jika dibandingkan dengan waktu operasi.

1.8

Distribusi Weibull

Distribuisi weibull juga merupakan salah satu jenis distribusi kontinyu yang sering
digunakan,

khususnya

dalam

bidang

keandalan

dan

statistik

karena

kemamapuannya untuk mendekati berbagai jenis sebaran data.

Failure density function: f (t ) =

t
t 1
exp
dimana t>=0 dan >0, >0

17

(a)
f(t)

Q(t)
1.0

=4

(c)
=4

=1

1/

0.632
=1

0.368/

(t)

(b)

=0.5
t

=1

1/

=0.5

=0.5

=4

Gambar 1.4-9 Weibull reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate

Survivor function : R(t ) =

t
f (t )dt = exp

t

Cummulative faiure distribution: Q(t ) = 1 R(t ) = 1 exp


Hazard rate: (t ) =

f (t ) .t 1
=
R (t )

Dimana = shape parameter, = = scale patameter, = location parameter


< 1 decreasing hazard rate (burn-in period)
= 1 constant hazard rate (normal life period)
> 1 increasing hazard rate (wear-out period)
Untuk weibull 3 parameter, variabel (t ) dikurangi dengan location parameter ()
Ada dua kasus khusus berkaitan dengan distribusi Weibull. Kasus yang pertama
adalah saat = 1 dan yang kedua adalah saat = 2.
Saat = 1, maka failure density function nya adalah:
f (t ) =

t
exp .................................................................

18

Dan
f (t )
1
=
...........................................................................
R (t )

(t ) =

Kedua persamaan diatas adalah identik dengan persamaan yang bersesuaian


pada distribusi eksponensial dengan = 1/ sebagai MTTF.
Saat = 2, maka failure density function nya adalah:

...............................................................

f (t ) =

2
t
exp
2
2

(t ) =

f (t ) 2t
=
...........................................................................
R(t ) 2

2t

Dan

Kedua persamaan diatas adalah identik dengan persamaan yang bersesuaian


pada distribusi Rayleigh dengan = 1/ sebagai MTTF.
Nilai harapan (expected value) dari distribusi Weibull diekspresikan dengan:

E (t ) = t.
0

t
t 1
exp

dt = + 1 ..................................

Dimana adalah fungsi Gamma yang didifinisikan sebagai:

( ) = t 1 e t dt ..........................................................................
0

Standar deviasi distribusi Weibull adalah:

2 = t 2.
0

t
t 1
exp
dt E 2 (t )

2 = 2 1 +

2
2 + 1 .....................................................

19

1.9

Distribusi Gamma

Distribusi Gamma memiliki karakter yang hampir mirip dengan distribusi Weibull
dengan shape parameter dan scale parameter . Dengan memvariasikan nilai
kedua parameter tersebut maka ada banyak jenis sebaran data yang dapat
diwakili oleh distribusi Gamma.

Failure density function: f (t ) =

t
exp
( )

t 1

Survivor function : R(t ) =

f (t )dt =

dimana t>=0 dan >0, >0

t
exp

( )

t 1

Cummulative faiure distribution: Q(t ) = 1 R(t ) =

dt

t
exp dt
( )

t 1

Jika z=t/ dan dz = dt, maka:


Q(t ) =

t /

z
( )
1

exp (z ) dz

.....................................................

Ada dua kasus khusus berkaitan dengan distribusi Gamma. Kasus yang pertama
adalah saat = 1 dan yang kedua adalah saat = integer.

Saat = 1, maka failure density function nya adalah:


f (t ) =

t
exp

.................................................................

Persamaan diatas adalah identik dengan persamaan yang bersesuaian pada


distribusi eksponensial dengan = 1/ sebagai MTTF.

20

Saat = integer, maka failure density function nya adalah:


t
exp

( 1)

t 1

f (t ) =

.......................................................

Berturut-turut expected value dan standar deviasi untuk distribusi Gamma adalah
E(t) = dan 2 = 2

f(t)

(b)

Q(t)
1.0

(a)
1/

(c)

=1

0.632

=3

(t)

=0.5

=1
1/

=3

=3

=1

0.368/

=0.5

=0.5
t

Gambar 1.4-10 Gamma reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate

1.10

Distribusi Rayleigh

Distribusi Rayleigh adalah kasus spesial dari distribusi Weibull. Distribusi ini
ditentukan oleh satu parameter sama seperti pada distribusi eksponensial.
kt 2
dimana k adalah parameter tunggal
2

Failure density function: f (t ) = kt exp

yang ekuivalen dengan kasus khusus distribusi Weibull saat =2 dan k=2/2
kt 2

Survivor / reliability function : R(t ) = exp

kt 2

Cummulative faiure distribution: Q(t ) = 1 R(t ) = 1 exp

Hazard rate : (t) = kt

21

f(t)

(a)

(k/c)

(t)

(b)

Q(t)
1.0

1/2

0.393

(c)

1/2

0.368/
1/2

1/(k)

1/2

1/(k)

1/2

1/(k)

Gambar 1.4-11 Rayleigh reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate

1.11

Distribusi Lognormal

Distribusi lognormal sama seperti distribusi normal memiliki 2 distribusi


parameter.
Probability density function dari distribusi normal dapat ditulis dengan:

f (t ) =

(ln t ) 2
exp
untuk tP0
2 2
t 2

Dengan demikian maka random variabel X memiliki distribusi lognormal dengan


parameter dan jika ln X terdistribusi normal dengan parameter dan .
Namun perlu dicatat bahwa sekalipun dan adalah standar deviasi dan nilai
rata-rata dari ln X, kedua parameter tersebut bukanlah standar deviasi dan nilai
rata-rata dari X.
t

Cummulative failure distribution: Q(t ) =

Jika z = (ln t - )/
Q(t ) =

(ln t )2
exp
dt
2 2
t 2

dan dz = dt/t, maka:


1
2

(ln t ) /

( z )2
exp
dz
2 ...............................................

Persamaan tersebut diatas identik dengan cummulative failure distribution


distribusi nornmal.

22

Expected value dan standar deviasi distribusi lognormal adalah:


E(t) = exp(+0.52)......................................................................

= [exp(2+22)- exp(2+2)]1/2 ...............................................

(a)
f(t)

Q(t)
1.0

0.3

(t)

(b)
0.3
1.0

(c)
0.3

1.5
1.5
0.5
1.0

1.0
1.5

Gambar 1.4-12 Lognormal reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate

23

B AB 1
PENGGUNAAN DISTRIBUSI
PELUANG DALAM EVALUASI
KEANDALAN SISTEM
1.1

Pendahuluan

rosedur standar dalam evaluasi keandalan sistem adalah


dengan menguraikan sistem menjadi gabungan beberapa
bagian hirarki dibawahnya dalam satu model jaringan,
melakukan estimasi keandalan untuk masing-masing bagian

hirarrki tersebut dan selanjutnya menggabungkannya kembali ke dalam sistem


dengan metode numerik tertentu. Seberapa jauh sistem diuraikan menjadi hirarki
dibawahnya sangat tergantung pada kemampuan dan dukungan dari hirarki
tersebut untuk bisa dihitung keandalannya. Ada kalanya sistem akan diuraikan
hingga ketingkat komponennya ataupun cukup hanya sampai tingkat subsistem.
Beberapa pola penguraian sistem menjadi komponen telah dijelaskan pada bab
sebelumnya. Ada beberapa hubungan model jaringan yang mungkin; hubungan
seri, paralel, gabungan seri-paralel, standby serta hubungan kompleks lainnya.
Pada bab ini akan dijelaskan beberapa teknik evaluasi keandalan sistem dengan
penggabungan probabilitas/peluang dari masing-masing komponen.

1.2

Sistem Seri

Indeks keandalan sistem yang terdiri dari 2 komponen seri adalah


Rs = R1 x R2 ....................................................................................

Jika peluang sukses sebagai fungsi waktu untuk masing-masing komponen


dipergunakan untuk menghitung peluang sukses sistem, maka persamaan diatas
akan menjadi:

Rs(t) = R1(t) x R2(t) ............................................................


t

Rs (t ) = exp 1 (t )dt . exp 2 (t )dt ...................................


o

Jika sistem terdiri dari sejumlah n komponen yang terhubung seri maka:
n

Rs (t ) =

i =1

exp i (t )dt ....................................................


o

Persamaan diatas berlaku untuk semua jenis distribusi yang mewakili komponenkomponen di dalam sistem. Persamaan diatas juga berlaku jika masing-masing
komponen tidak memiliki jenis distribusi yang sama.
Pada kasus dimana dua komponen di dalam sistem memiliki distribusi
eksponensial maka peluang sistem sukses akan dirumuskan sebagai:

Rs (t ) = exp(1t ). exp( 2 t ) = exp[ (1 + 2 )t ] ...........................

Untuk sistem yang terdiri dari n komponen yang terdistribusi eksponensial:

Rs (t ) =

exp( t ) = exp t .......................................


i

i =1

i =1

Jika satu komponen dengan laju kegagalan e dipergunakan untuk mewakili


seluruh komponen yang terhubung secara seri, maka:
n

e =

..........................................................................

i =1

Atau dengan kata lain laju kegagalan sistem yang terdiri dari beberapa
komponen seri yang terdistribusi eksponensial adalah penjumlahan dari laju
kegagalan masing-masing komponen pendukung di dalam sistem itu sendiri.

Contoh 6.1:
Sistem elektronik sederhana terdiri dari 6 buah transistor dengan laju kegagalan
masing-masing transistor adalah 10-6 f/hr, 4 buah diode dengan laju kegagalan
masing-masing adalah 0.5 10-6 f/hr, 3 buah kapasitor dengan laju kegagalan
masing-masing adalah 0.2 10-6 f/hr, 10 resistor dengan laju kegagalan masingmasing adalah 5 10-6 f/hr, dan 2 switch dengan laju kegagalan masing-masing
adalah 2 10-6 f/hr. Jika diasumsikan bahwa kabel konektor 100% handal,
berapakah laju kagagalan sistem dan peluang sistem sukses dalam 10000 jam
jika semua komponen terhubung seri?
e

= (6 x 10-6)+(4 x 0.5 x 10-6)+(3 x 0.2 x 10-6)+(10 x 5 x 10-6)+(2 x 2 x 10-6)


= 6.26 x 10-5 f/hr

Rs (10000) = exp (-6.26 x 10-5 x 10000) = 0.5347


Peluang kegagalan sistem akan menjadi 1 0.5347 = 0.4653

1.3

Sistem Paralel

Indeks ketidakandalan sistem yang terdiri dari 2 komponen paralel adalah


Qs = Q1 x Q2 ...................................................................................
Jika peluang sukses sebagai fungsi waktu untuk masing-masing komponen
dipergunakan untuk menghitung peluang sukses sistem, maka persamaan diatas
akan menjadi:

Qp(t) = Q1(t) x Q2(t) ............................................................


Rp(t ) = 1 Q1 (t )Q2 (t ) = R1 (t ) + R 2 (t ) R1 (t ) R 2 (t ) ........................

Jika sistem terdiri dari sejumlah n komponen yang terhubung paralel maka:
n

Q p (t ) =

Q (t ) ..................................................................
i

i =1

R p (t ) = 1

Q (t ) ...............................................................
i

i =1

Pada kasus dimana n komponen di dalam sistem hazard rate yang berbedabeda maka:
n

Q p (t ) =

i =1

1 exp (t )dt .............................................


i

R p (t ) = 1

i =1

1 exp (t )dt .........................................


i

Jika 2 buah komponen terdistribusi eksponensial dan terhubung seri, maka:

Q p (t ) = [1 exp (1t )][1 exp ( 2 t )] ........................................

Q p (t ) = 1 [exp (1t ) + exp ( 2 t ) exp{ (1 + 2 )}t ] ...................


R p (t ) = [exp (1t ) + exp ( 2 t ) exp{ (1 + 2 )}t ] .......................

Jika n buah komponen terdistribusi eksponensial dan terhubung seri, maka:


n

Q p (t ) =

(1 exp( t )) .........................................................
i

i =1
n

R p (t ) = 1

(1 exp( t )) .....................................................
i

i =1

Dengan penurunan rumus diatas terlihat bahwa, tidak seperti pada sistem yang
terdiri dari sejumlah komponen seri, maka pada sistem yang terdiri dari sejumlah
komponen paralel kita tidak dapat memperoleh failure rate tunggal. Demikian
juga halnya bahwa keandalan sistem tidak dapat direpresentasikan oleh satu
fungsi eksponensial tetapi diwakili oleh satu set fungsi eksponensial. Meskipun
distribusi gabungan sistem seri yang terdiri dari komponen yang terdistribusi
eksponensial adalah sebuah distribusi eksponensial, namun pada komponen
yang terhubung paralel distribusi gabungannya adalah non-eksponensial dan
hazard rate gabungannya juga tidak konstan namun sebagai fungsi waktu.

Contoh 6.2:
Seperti pada contoh 6.1, berapakah peluang sukses dari sistem yang terdiri dari
3 rangkaian elektronik yang sejenis yang terhubung paralel setelah beroperasi
selama 10000 jam jika diasumsikan bahwa sistem sukses ditentukan oleh paling
sedikit satu rangkaian elektronik harus sukses.
Rp(10000)

= 2 exp (-6.26 x 10-5 x 10000) exp (-2 x 6.26 x 10-5 x 10000)


= 0.7835

Hasil yang sama juga bisa diperoleh dengan cara sebagai berikut:
Rp(10000)

= 1- Qs (10000) Qs(10000)
= 1- 0.46532 = 0,7835

1.4

Sistem Partial Redundant

Partially redundant system atau sering dikenal dengan m-out of-n system telah
dibahas pada bab-bab sebelumnya dimana evaluasi keandalannya bisa
diselesaikan dengan menggunakan pendekatan distribusi binomial. Konsep yang
sama bisa dipergunakan disini, perbedaannya hanya pada cara untuk
menentukan peluang sukses dan gagalnya saja.
Jika n komponen identik terhubung paralel, maka peluang setiap kondisi sistem
dimana 0, 1, 2,...., n komponen beroperasi dapat dihitung dengan ekspresi
binomial (R+Q)n. Pembahasan pada bab-bab sebelumnya mengasumsikan
bahwa R da Q adalah konstan. Pada kasus time dependent probabilities maka
maka R dan Q adalah merupakan fungsi waktu dan ekspresi binomialnya
dituliskan dengan [R(t) + Q(t)]n, dimana nilai dari R(t) dan Q(t) dapat diperoleh
dari fungsi keandalan dan cummulative failure distribution.
Pada kasus khusus komponen dengan distribusi eksponensial maka
R(t) = e-t............................................................................
Q(t) = 1-e-t ........................................................................

Maka ekspresi binomialnya adalah [e-t + (1- e-t)]n.


Contoh 6.3:
Sebuah sistem dengan 4 komponen identik memiliki laju kegagalan 0.1 f/yr.
Berapakah peluang sistem akan sukses setelah 0.5 tahun dan 5 tahun jika
minimal 2 komponen harus sukses untuk menjamin sistem sukses.
Ekspresi binomial untuk sistem dengan 4 komponen adalah:
[R(t) + Q(t)]4 = R4(t)+4R3(t)Q(t)+6R2(t)Q2(t)+4R(t)Q3(t)+Q4(t)
Jika R(t) = e-t dan Q(t) = 1-e-t , maka peluang sistem sukses akan menjadi:
Table 7.1.
jumlah komponen
untuk menjamin
sistem sukses

peluang sistem sukses

e-4t

e-4t + 4e-3t (1 - e-t)

e-4t + 4e-3t (1 - e-t) + 6e-2t (1 - e-t)2

e-4t + 4e-3t (1 - e-t) + 6e-2t (1 - e-t)2 + 4e-t (1 - e-t)3

Dengan demikian maka:


R(0.5) = e-4lt + 4e-3lt (1 - e-lt) + 6e-2lt (1 - e-lt)2, dengan = 0.1 dan t = 0.5
R(0.5) = 0.9996
Dengan cara yang sama diperoleh:
R(5.0) = 0.8282
Jika sistem terdiri dari beberapa komponen yang tidak identik maka, persamaan
umumnya akan menjadi:
[R1(t)+Q1(t)] [R2(t)+Q2(t)].........[Rn(t)+Qn(t)]
Dimana nilai R8t) dan Q(t) yang bersesuaian dapat diperoleh dari distribusi
peluang dari komponen yang ke-i . Jika distribusi yang mewakili adalah distribusi
eksponensial maka:

Ri(t) = exp (-it) untuk i = 1, 2, ....., n


Dan
Qi(t) = 1- exp (-it) untuk i = 1, 2, ....., n
Contoh 6.4:
Sebuah sistem kontrol terdiri dari 3 sub sistem yang terpisah. Semua komponen
dalam sistem ini terdistribusi eksponensial. Sub sistem tersebut adalah (a)
sebuah komponen dengan laju kegagalan 1 x 10-6 f/hr (b) dua komponen identik
dengan laju kegagalan 8 x 10-6 f/hr (c) 3 komponen dengan laju kegagalan
masing masing adalah 5 x 10-6 f/hr, 2 x 10-6 f/hr, 10 x 10-6 f/hr dimana 2
komponen harus sukses untuk menjamin sub sistem ini sukses. Jika semua sub
sistem harus sukses untuk menjamin sistem sukses, berapakah peluang sukses
setelah 5000 jam operasi?
R(a)

= exp(-t) = exp (-1 x 10-6 x 5000) = 0.9950

R(b)

= exp(-1t) + exp(-2t) exp[-(1+2)t]


= 2 exp (-8 x 10-6 x 5000) exp (-2 x 8 x 10-6 x 5000) = 0.9985

R(c)

= R1(t) R2(t) R3(t) + R1(t) R2(t) Q3(t) + R1(t) Q2(t) R3(t) + Q1(t) R2(t) R3(t)
= exp(-1t) exp(-2t) exp(-3t)+ exp(-1t) exp(-2t) [1-exp(-2t)]
exp(-1t) [1-exp(-2t)] exp(-2t) + [1-exp(-1t)] exp(-2t) exp(-2t)
= 0.9981

Dengan demikian peluang sistem sukses setelah 5000 jam adalah


Rs(5000) = R(a) R(b) R(c) = 0.9916

1.5

Mean Time To Failure

Expected value dari distribusi peluang dengan rentang (0,) adalah:

E (t ) = tf (t ) dt .....................................................................
0

Jika f(t) distribusi dari TTF maka nilai expected value ini adalah MTTF yang
dapat disimbulkan dengan m. Dengan demikian m adalah:

m = tdR(t ) = [tR(t )] 0 + R(t )dt = R(t )dt ................................

Nilai diatas didapatkan karena R(t) = 1 saat t = 0, dengan demikian tR(t) 0 saat
t.
Dengan demikian maka MTTF dapat dicari dari ekspresi R(t) dengan
mengintegralkan antara (0,). Pada kenyataannya, ekspresi ini tidaklah mudah
terutama saat sistem terdiri dari komponen-komponen yang tidak identik dan
memiliki distribusi peluang yang berbeda-beda.
Pada kasus dimana komponen terdistribusi eksponensial maka:
Untuk sistem seri:

m = R s (t )dt = exp(

t )dt =
i

i =1

i =1 i

1
......
1 + 2 + ... + n

Untuk sistem paralel:

m = R p (t )dt = {exp( 1t ) + exp( 2 t ) exp[( 1 + 2 )t}dt ......

1
1
m =
exp(1t )
exp( 2 t ) +
exp[(1 + 2 )t ] ...
2
1 + 2
1
0
m=

1 + 2

...........................................................

Untuk sistem yang terdiri dari n komponen paralel: dengan konsep yang sama
seperti persamaan di atas maka:

m=

+ ... +

1
1

+
+ ... +
+ ... .........
n 1 + 2 1 + 3
i + i

1
1
1
+
+
+ ... +
+ ... + ... + ( 1)n +1
i + i + k

1 + 2 + 3 1 + 2 + 4

1.6

1
..
n

i =1

Sistem Standby

Sama seperti apa yang telah diuraikan pada Bab III, pada sistem standby ada
satu atau lebih komponen yang tidak beroperasi dan baru akan beroperasi jika
komponen utama gagal. Antara komponen yang beroperasi dan komponen
standby dihubungkan dengan menggunakan sebuah switch.

B
(b)

Gambar 1.6-1 Standby redundancy

Pada susunan standby ini maka komponen A dan komponen B tergantung satu
sama lain. Guna menyederhanakan persamaan matematis maka diasumsikan
bahwa kedua komponen terdistribusi eksponensial.
Kasus Perfect Switching
Pada sistem dengan 2 komponen idenitik dimana salah satunya adalah
komponen standby maka susunan ini identik dengan satu komponen yang hanya
bisa gagal satu kali saja. Dengan demikian jika komponen A gagal, maka
komponen B akan mengganti fungsi komponen A dan sistem akan gagal jika
komponen B ini juga gagal. Dengan demikian pendekatan dengan distribusi

Poisson dapat digunakan untuk menyelesaikan, dimana yang dicari adalah


pelunag untuk tidak gagal lebih dari 1 kali.
P( x ) t =

(t ) x e t ...................................................................
x!

Dimana P(x)t adalah peluang x komponen gagal pada waktu t .


Dengan demikian peluang tidak ada komponen gagal adalah: P0(t) = e-t
Peluang tidak lebih dari satu komponen gagal adalah: P1(t) = te-t
Dengan demikian peluang sukses sistem adalah:
R(t) = P0(t) + P1(t) = e-t + te-t = e-t(1 + t).......................
Jika sistem terdiri dari 1 komponen aktif dan 2 komponen standby, maka jumlah
kegagalan yang dimungkinkan sebelum sistem gagal adalah 2 kali. Dengan
demikian maka:
R(t) = P0(t) + P1(t) + P2(t)= e-t(1 + t + (t)2/2!)..................
Jika sistem terdiri dari 1 komponen aktif dan n komponen standby, maka jumlah
kegagalan yang dimungkinkan sebelum sistem gagal adalah sejumlah komponen
standby yang ada. Dengan demikian maka:
R(t) = P0(t)+P1(t)+...+Pn(t)= e-t(1+t+(t)2/2!+...+ (t)n/n!) ..
Mean Time to Failure (MTTF) untuk 1 komponen berada pada posisi standby
didapat dengan :

m = e t (1 + t )dt =
0

..............................................

Jika terdapat sejumlah n komponen standby maka:

m=

n
x =0

t x e t
x!

n +1

....................................................

Contoh 6.5:

10

Bandingkan keandalan sistem dengan 2 komponen identik dengan laju


kegagalan 0,02 f/hr setelah 10 jam operasi jika (a) kedua komponen memiliki
susunan paralalel redundant (b) satu komponen berada pada posisi stanby
dengan kondisi switch sempurna.

Bandingkan juga MTTF kedua susunan

tersebut.
Pada susunan paralel redundan maka
R(10) = 2 e-0.02x10 e-2x0.02x10 = 0.967141
m = 1/0.02 + 1/0.02 1/(0.02+0.02) = 75 jam
Pada susunan standby
R(10) = e-0.02x10 (1+0.02 x 10) = 0.982477
m = 2/0.02 = 100 jam

Kasus Imperfect Switching


Jika Ps adalah peluang switch gagal dalam memindahkan fungsi kerja komponen
aktif ke komponen standby maka:
Dengan demikian peluang tidak ada komponen gagal adalah: P0(t) = e-t
Peluang tidak lebih dari satu komponen gagal adalah: P1(t) = Ps. te-t
Dengan demikian peluang sukses sistem adalah:
R(t) = P0(t) + P1(t) = e-t + Ps.te-t = e-t(1 + Ps.t)..............
Mean Time to Failure (MTTF) untuk susunan standby didapat dengan :

m = e t (1 + Ps t )dt =
0

1 + Ps

.................................................

Efek komponen pengganti

11

Pada kasus yang telah bahas diatas, maka diasumsikan bahwa komponen yang
gagal tidak diganti dengan komponen yang baru selama komponen standby
mengambil alih fungsi.
Jika terdapat N buah komponen aktif yang beroperasi dimana semua komponen
harus sukses untuk menjamin sistem sukses dan terdapat n komponen
pengganti yang langsung dapat mengganti komponen yang gagal dimana waktu
penggantian komponen adalah singkat, maka laju kegagalan sistem akan
menjadi:
N

s =

..........................................................................

i =1

Maka peluang sistem sukses akan menjadi:

( Nt ) 2
( Nt ) n
R(t ) = e Nt 1 + Nt +
+ ... +
..............................
2!
n!

Dan MTTF adalah:


m=

n +1
.............................................................................
N

Contoh 6.6:
Sebuah sistem terdiri dari 50 komponen identik dengan laju kegagalan 0.001 f/hr
dimana semua komponen harus sukses untuk menjamin sistem sukses.
Berapakah peluang sistem sukses setelah 20 jam operasi dan berapa juga nilai
MTTF nya jika tidak ada komponen pengganti serta MTTF jika komponen
pengganti berjumlah dari 1 sampai 6. Jika indeks keandalan minimum sistem
adalah 0.9950, berapakah jumlah komponen pengganti yang harus ada?.
Laju kegagalan sistem adalah N = 50 x 0.001 = 0.05 f/hr
R(0 komponen pengganti) = e-0.05x20 = 0.367879
R(n komponen pengganti) = e-0.05x20 [1 + (0.05 x 20) + (0.05x20)2/2!+...+ (0.05x20)n/n!]
Table 7.2.
jumlah komponen

keandalan sistem

MTTF

pengganti

R(20)

hr

12

0.367879

20

0.735759

40

0.919699

60

0.981012

80

0.996349

100

0.999406

120

0.999917

140

Seperti terlihat pada tabel diatas, maka jumlah komponen pengganti agar sistem
memiliki keandalan minimum 0.995 adalah 4 komponen.
Dari kenyataan diatas terlihat bahwa penyediaan komponen pengganti dalam
jumlah yang tidak terlalu banyak akan secara signifikan meningkatkan indeks
keandalan sistem.
Jumlah komponen pengganti yang harus disiapkan sangat tergantug pada
karakteristik dari sistem. Pada sistem dengan orientasi keselamatan (safety)
maka faktor biaya akan tidak terlalu penting. Pada kasus dimana sistem
diharapkan memiliki tingkat ketersediaan yang memadai maka tentunya biaya
adalah satu faktor dominan yang akan berpengaruh terhadap jumlah komponen
pengganti yang harus disediakan. Penambahan jumlah komponen pengganti
akan menaikkan biaya investasi. Karena itu perlu dicari titik optimum dimana
penambahan jumlah komponen yang akan memberikan keuntungan ekonomis
bagi sistem secara keseluruhan.

Kasus komponen yang tidak identik


Pada penjelasan sebelumnya diasumsikan bahwa komponen yang terlibat
didalam sistem adalah identik. Jika komponen tidak identik maka metode yang
dapat dipergunakan pada kasus seperti ini adalah dengan joint probability
density

function.

Sebagai

contoh

pada

sistem

suplai

energi

dengan

menggunakan generator maka baterei bisa digunakan sebagai sumber listrik


cadangan dan pada posisi stanby terhadap geerator. Pada kasus ini laju
kegagalan antara generator dan baterei akan berbeda.
Jika komponen A dan B tersusun standby dengan laju kegagalan masing-masing
komponen adalah a dan b dan komponen A sebagai komponen aktif. Jika
diasumsikan bahwa komponen A gagal saat waktu t1 dan kemudian komponen B

13

mengambil alih fungsi komponen A dan akhirnya gagal pada waktu t, maka TTF
komponen B adalah t2 = t1-t. Dengan demikian:
Failure density function komponen A dan B berturut-turut adalah
fa(t1) = a exp (-at1) ...........................................................
fb(t2) = b exp (-bt2) ...........................................................
Gabungan density function kedua komponen tersebut adalah:
F(t)

= a exp (-at1) . b exp (-bt2)

= fa(t1).fb(t2)

= a exp (-at1) . b exp (-b(t-t1)) ..................................


Pada persamaan diatas terdapat dua fungsi waktu yakni t1 dan t. Guna
mendapatkan joint density function dalam bentuk t, maka f(t) harus diintegralkan
dan akan memberikan
t

f (t ) =

a b

exp( a t1 ) exp[b (t t1 )]dt1 ..............................

t1 = 0

f (t ) =

a b
[exp(b t ) exp(a t )] ......................................
a b

Dengan demikian keandalan sistem akan dapat diperoleh seperti berikut:

R (t ) =

f (t )dt =

R (t ) =

a b
a b

[exp( b t ) exp( a t )]dt ................

b
a
exp( b t ) +
exp( a t ) ...........................
a b
a b

Persamaan di atas dapat disusun kembali menjadi:


R(t ) = exp( a t ) +

a
a b

[exp( a t ) exp( b t )] ..........................

Sementara itu nilai MTTF nya adalah:

m = R (t ) =
0

.............................................................

14

Jika proses pergantian kerja dari komponen A ke komponen B (change over)


tidak selalu sukses, maka:
R(t ) = exp( a t ) +

Ps a
[exp( a t ) exp(b t )] ..........................
a b

Ps adalah peluang suksesnya change over.


Kasus kegagalan komponen pada saat berada pada mode standby
Pada pembahasan sebelumnya diasumsikan bahwa komponen standby tidak
akan gagal saat berada pada mode standby. Hal ini tidak selalu terjadi pada
kasus praktis di lapangan. Ada kalanya komponen standby sudah gagal terlebih
dahulu saat berada pada mode standby, sehingga sekalipun switch sukses
melakukan change over namun sistem tetap akan gagal karena komponen
standby nya sudah gagal terlebih dahulu. Selanjutnya proses change over juga
mungkin gagal. Kedua modus kegagalan tersebut bisa kita formulasikan dalam
satu analisa.
Dengan metode yang akan dijelaskan disini, semua kejadian sukses dibagi
menjadi kejadian-kejadian yang mutually exclusive. Ekspresi keandalan sistem
selanjutnya didapatkan dengan menjumlahkan masing-masing kejadian. Metode
ini menjadi lebih umum dibandingkan dengan menggunakan pendekatan failure
density function.
Sebagai contoh, dua komponen yang tidak identik A dan B tersusun dalam
susunan standby dimana komponen standby B tidak dapat gagal dalam mode
standby nya. Sistem akan sukses jika: (a) Komponen A tidak gagal selama
interval waktu 0, t, atau (b) (ii) Komponen A gagal saat t1<t, dan komponen B
tidak gagal dalam interval waktu t1 sampai t.
Jika R1 dan R2 adalah keandalan masing-masing kejadian diatas, maka
R1

= exp (-at), dan

R2

(density function untuk satu kegagalan)dt1

t1 = 0

15

(peluang kegagalan satu komponen dalam rentang waktu t1) x

t1 = 0

(peluang tidak terjadi kegagalan dalam rentang waktu dt1)dt1


t

[{

exp[ a t1 ]}{exp[ b (t 11 )]}]dt1

t1 = 0

= a exp( b t ) exp[ ( a b )t1 ]dt1 =


0

a
exp( b t ){exp[ ( a b )t ]}
a b

a
[exp( a t ) exp(b t )]
a b

Karena R1 dan R2 adalah mutually exclusive, maka R(t) = R1 + R2


R(t ) = exp( a t ) +

a
a b

[exp( a t ) exp( b t )] .....................

Secara grafis, hubungan mutually exclusive antara kejadian R1 dan R2 dapat di


gambarkan sebagai berikut
aexp(-at)
f(t)

f(t)
bexp(-bt)
aexp(-at)
RB(t-t1)
R1
dt
0

0
t

t1
(a)

t
(b)

Gambar 1.6-2 representasi grafis (a) R1 dan (b) R2

Kontribusi R1 diberikan oleh luasan area dibawah kurva eksponensial komponen


A untuk waktu yang lebih besar dari t.
Kontribusi R2 untuk waktu t1 diberikan oleh luasan kurva eksponensial komponen
B.
Jika 1, 2, 3, masing-masing adalah laju kegagalan komponen aktif 1, laju
kegagalan komponen 2 pada mode operasi, dan laju kegagalan komponen 2

16

saat pada mode standby maka kejadian sukses akan ditentukan oleh (a)
komponen 1 tidak gagal selama rentang waktu 0 sampai t, (b) komponen 1 gagal
waktu t1 dan komponen 2 tidak gagal dalam rentang waktu (t-t1). Dengan
prosedur yang sama maka peluang sukses sistem standby ini akan menjadi:
R1

= exp (-1t)

R2

[{

exp[ 1t1 ]}{exp[ 3 t1 ]}][{ 2 exp[ 1 (t t1 )]}]dt1

t1 = 0

1 exp( 2 t ) exp[ (1 + 3 2 )t1 ]dt1


0

exp[(1 + 3 2 )t ]
1 exp( 2 t )

1 + 3 2
1 + 3 2

1
{1 exp( 2 t ) exp[ (1 + 3 )t ]}
1 + 3 2

Karena R1 dan R2 adalah mutually exclusive, maka R(t) = R1 + R2


R(t ) = exp( 1t ) +

1
{exp( 2 t ) exp[(1 + 3 )t ]} .......
1 + 3 2

Lihatlah susunan berikut. Komponen 1 dan 2 adalah komponen aktif yang


terhubung secara paralel. Komponen 3 digunakan jika kedua komponen aktif
tersebut gagal.

17

Gambar 1.6-3 Standby redundancy (2)

Pada kasus di atas beberapa asuksi diberikan, yaitu:


(a)

semua komponen beroperasi dalam periode useful life dan kondisi aus
diabaikan.

(b)

Laju kegagalan komponen 1, 2 dan 3 saat berada dalam mode operasi


adalah 1o, 2o, 3o

(c)

Laju kegagalan komponen 3 dalam mode standby adalah 3s

(d)

Laju kegagalan peralatan sensor adalah s

(e)

Laju kegagalan switch saat berada pada mode standby adalah cs

(f)

Laju kegagalan switch setelah proses switching adalah ce

(g)

Peluang suksesnya proses switching adalah Ps

Jika sistem akan sukses jika salah satu komponen aktif sukses, dan komponen
standby akan mengambil alih tugas jika kedua komponen aktif gagal. Dengan
demikian sistem sukses akan ditentukan oleh:
Table 7.3.
mode operasi / dalam domain waktunya
kejadian

standby

operasi

switch

sensor
standby

operasi

setelah switch

sukses/t sukses/t

sukses/t gagal/t

gagal/t sukses/t
gagal/t1 gagal/t2 sukses/t2 sukses/t-t2 sukses/t2 sukses/t2 sukses/1 siklus sukses/t-t2
gagal/t2 gagal/t1 sukses/t2 sukses/t-t2 sukses/t2 sukses/t2 sukses/1 siklus sukses/t-t2

4
5

dimana t>t2>t1
Dengan demikian maka
5

R (t ) =

R (t )
i

i =1

R1 (t ) = exp( 1o t ) exp( 2o t )

R 2 (t ) = exp( 1o t )[1 exp( 2o t )]

R3 (t ) = exp( 2o t )[1 exp( 1o t )]

18

R 4 (t ) =

t2

1o

exp( 1o t1 ) 2o exp( 2o t 2 )x exp(3 s t 2 ) exp( 3e (t t 2 ) )K

t 2 = 0 t1 = 0

x exp( s t 2 ). exp( cs t 2 ).Ps. exp[ ce (t t 2 )]dt1 dt 2

1
R 4 (t ) = 2o .Ps. exp[ ( 3o + ce )t ]
1 exp q t
x 1 exp q + 1o t
q + 1o
q

)]

[(

) ]}

Dimana q = 2o + 3s + s + cs - 3o - ce
Dengan cara yang sama didapat
1

1
R5 (t ) = 1o .Ps. exp[ ( 3o + ce )t ]
x 1 exp q ' + 2 o t
1 exp q ' t
q ' + 2o
q '

)]

[(

) ]}

Dimana q = 1o + 3s + s + cs - 3o - ce
R(t) = R1(t) + R2(t) + R3(t) + R4(t) + R5(t)

19

You might also like