Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
dari
proses
produksi
dimana
P(s) + P(f)=1..................................................................................................11
untuk menjamin suplai energi listrik yang kontinyu, pabrik bahan kimia mengingat
tingginya resiko jika kagagalan terjadi, industri transportasi serta industri-industri
lainnya.
Beberapa kecelakaan besar membuat pengembangan evaluasi keandalan dan
penilaian resiko makin berperan dalam bidang rekayasa, diantaranya adalah
1.2
operasi
gagal
TM
TF
waktu
(2) Sistem dimana terdapat periode idle diantara waktu dimana sistem
dalam keadaan beroperasi. Seperti terlihat pada Gambar 1-2, sistem
diharapkan berfungsi hingga waktu TM setelah periode idle TI . Dengan
demikian sistem akan dapat gagal pada periode idle tersebut atau gagal
pada saat beroperasi. Sebagai contoh, sistem alarm memiliki karakter
seperti ini, dimana sistem akan berada pada posisi idle hingga nantinya
berfungsi saat terjadi penyimpangan dari toleransi operasional yang
diijinkan. Kegagalan sistem bisa terjadi saat sistem idle ataupun saat
sistem harus beroperasi namun gagal difungsikan.
operasi
idle
gagal
TI
TM
TF
waktu
COS memiliki karakteristik bahwa sistem mengalami kondisi down dalam waktu
yang relatif kecil jika dibandingkan dengan waktu operasinya. Pada saat down
maka perbaikan (repair) atau penggantian komponen (replacement) dapat
dilakukan dan penentuan dalam jadwal serta proses perbaikan ini menjadi
sangat esensial dalam analisa. Sistem suplai listrik merupakan salah satu sistem
dengan karakter seperti ini, dimana sistem memiliki peluang gagal beroperasi
karena pengaruh cuaca buruk dan baru akan berfungsi kembali setelah proses
perbaikan, seperti terlihat pada Gambar 1-3.
operasi
gagal
waktu
1.3
dengan
menggunakan
acuan
atas
pengalaman-pengalaman
Namun demikian bukan berarti bahwa penilaian kualitatif harus serta merta
digantikan oleh penilaian kuantitatif. Penilaian kualitatif akan sangat berfungsi
manakala kita mencoba untuk melakukan analisa proses kegagalan sebuah
sistem, konsekuensi dari kegagalan, penilaian resiko, serta manakala kita
menghubungkan kualitas sistem dengan analisa ekonomi atau investasi.
Lebih jauh lagi, penilaian kuantitatif dapat digunakan untuk melakukan evaluasi
terhadap kinerja terdahulu sebuah sistem (past performance) serta memprediksi
perilaku atau kinerja sistem dimasa mendatang. Fungsi pertama yang diesbutkan
diatas sudah sangat lumrah dilakukan oleh oranisasi yang mengoperasikan
proses apapun. Akan tetapi fungsi yang kedua diatas membutuhkan dukungan
data-data dari pengoperasian sistem sebelumnya, yang kemudian dengan
menggunakan teori statistik untuk dapat memprediksi perilaku sistem dimasa
yang akan datang.
Penilaian terhadap past performance menjadi sangat bermanfaat dalam rangka
untuk dapat: mengidentifikasi kelemahan disain yang mungkin membutuhkan
modifikasi, mengidentifikasi perubahan perilaku (trend ) keandalan sistem,
menentukan indeks keandalan saat ini sebagai acuan dalam penilaian keandalan
di periode berikutnya, memungkinkan kita untuk membandingkan kinerja
terdahulu dengan kondisi operasi yang sebenarnya serta dasar dalam memonitor
respon jika dilakukan perubahan-perubahan terhadap disain sistem.
Sementara itu, penilaian terhadap kinerja sistem di periode berikutnya (future
system performance) menjadi penting karena memungkinkan kita untuk
memprediksi: bagaimana perilaku sistem dimasa yang akan datang, bagaimana
efek dari kebijakan pemeliharaan dan operasional yang baru, bagaimana
perilaku sistem jika dilakukan perubahan disain, hubungan antara keandalan
terhadap biaya, manfaat, dan indikator kinerja sistem lainnya.
1.4
rentang
nilai
(nol)
sampai
dengan
(satu).
Keandalan
itu,
penilaian
keandalan
tidak
hanya
cukup
dilakukan
oleh
Kelima parameter yang dijelaskan diatas juga jelas sekali tercermin pada setiap
ekspresi matematis keandalan. Sebagai contoh, salah satu ekspresi matematis
dari indeks keandalan (jika waktu kegagalan terdistribusi eksponensial) adalah:
R(t ) = e .t .................................................................................................12
masalah
karena
sebenarnya
beban
dan
kekuatan
Kondisi pertama pada indikator kinerja terdapat variasi probabilistik akan tetapi
level yang dapat diterima ditentukan secara deterministik, seperti terlihat pada
Gambar 1-5. Indikator kinerja ditunjukkan oleh fungsi probabilitas Lp dan level
yang dapat diterima ditunjukkan oleh Lc. Pada kasus ini, peluang kegagalan di
tunjukkan oleh daerah arsiran. Jika Lp adalah beban pada struktur mekanis dan
Lc adalah kekuatan struktur mekanis itu sendiri, maka daerah arsiran pertama (a)
adalah daerah kegagalan dimana beban melebihi kekuatan.
Lp
Ls
Lp
(b)
(a)
Lc
Lc
F(x)
Lc
Lp
(a)
Lc
Lc
10
Sementara itu jika Lp adalah daya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit dan Lc
adalah beban yang harus disuplai, maka daerah arsiran pada gambar kedua (b)
adalah daerah kegagalan.
Konsep seperti terlihat pada Gambar 1-5 menjadi tidak sesuai jika baik beban
maupun kekuatan tidak dapat ditentukan secara deterministik. Jika keduannya
ditunjukkan oleh fungsi probabilitas seperti terlihat pada Gambar 1-6, maka
daerah kegagalan akan terjadi pada arsiran antara kedua kurva.
Dari ketiga gambar tersebut, ide dasarnya adalah mengurangi daerah kegagalan
pada level tertentu yang sering disebut dengan kriteria akseptabilitas (criterion for
accepatability) dengan cara menaikkan kekuatan atau dengan menurunkan
beban. Kedua solusi ini akan masing-masing menimbulkan biaya dan pemilihan
salah satu dari keduanya akan sangat tergantung pada pertimbangan ekonomi
dan operasional.
1.5
Terminologi
keandalan
(reliability)
dan
ketersediaan
(availability)
sering
11
1.6
12
1.7
Pada dasarnya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keandalan
sistem (meningkatkan indeks keandalan). Cara pertama adalah memperbaiki
kualitas, dalam hal ini adalah kualitas dari komponen penunjang sistem. Cara
yang kedua adalah redundansi (redundancy).
Perbaikan kualitas tidak hanya ditentukan oleh kualitas material dari komponen
yang dipakai di dalam sistem, namun juga termasuk kualitas proses manufaktur,
kalibrasi, transportasi, instalasi dan operasi. Proses ini tentunya melibatkan
unsur manusia didalamnya. Sehingga faktor manusia (human faktor), lingkungan
kerja, dan ergonomi akan menjadi sangat dominan dalam melakukan penililaian
keandalan sistem. Namun demikian faktor-faktor tersebut memiliki tingkat
kesulitan yang lebih tinggi dalam penilaiannya dibandingkan dengan penentuan
13
indeks keandalan secara matematis. Berbagai riset telah dilakukan hingga saat
ini untuk dapat melakukan penilaian yang lebih akurat terhadap faktor-faktor
tersebut.
Sementara itu, konsep redundansi didasarkan atas kenyataan bahwa sistem
dapat gagal kapan saja. Dengan demikian pada komponen tertentu yang
dianggap kritis akan dibutuhkan komponen cadangan (backup) yang akan
berfungsi jika komponen utama gagal. Komponen yang gagal bisa tetap pada
kondisi gagal pada nonrepairable system ataupun akan diperbaiki/diganti pada
repairable system.
Jenis redundansi ada dua yakni redundansi aktif dan redundansi standby.
Redundansi aktif memiliki pengertian bahwa kerja sistem pada fungsi tertentu
dilakukan oleh lebih dari satu komponen secara bersamaan, dan jika salah satu
komponen gagal, maka komponen aktif lainnya akan mengambil alih fungsi kerja
tersebut. Redundansi aktif ini sering disebut parallel redundancy. Sementara itu
standby redundancy memiliki komponen yang jumlahnya lebih dari satu pada
fungsi tertentu, dan satu atau lebih komponen aktif sementara komponen lainnya
akan bekerja jika komponen aktif tersebut gagal melalui sebuah proses switching.
Redundansi aktif
Redundansi standby
Konsep lain yang sering dipergunakan adalah diversity, yakni konsep redundansi
dengan menggunakan komponen yang tidak sejenis. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan jika komponen utama telah diketahui memiliki kelemahan yang
bisa dikompensasi dengan menggunakan komponen yang melakukan fungsi
yang sama namun memilki karakteristik kerja yang lebih unggul.
Konsep perbaikan keandalan sistem lainnya adalah penyediaan suku cadang
dan perawatan pencegahan (preventive maintenance). Penyediaan suku cadang
ini tentunya membutuhkan pertimbangan bukan hanya teknis saja, namun juga
14
ekonomis dimana lewat proses optimasi bisa ditentukan jumlah suku cadang
yang paling optimum untuk menjamin kelangsungan kerja sistem pada tingkat
biaya yang paling minimum. Perawatan pencegahan harus dilakukan jika
komponen sudah memasuki masa akhir dari fungsi operasi optimumnya atau
saat kegagalan tertentu mulai dialami oleh komponen tersebut. Waktu optimum
melakukan perawatan pencegahan ini membutuhkan proses yang agak panjang
dan susah dilakukan. Karena itu, umumnya dilakukan secara reguler dalam
interval tertentu. Beberapa studi kasus model perawatan preventif akan diberikan
pada BAB V.
1.8
diasain
dari
bermacam-macam
aspek
seperti
aspek
rekayasa,
15
System
Objectives
System design
specifications
Feedback
from
operation
Standard
Design
Checklist
Final
Design
Review
System design
and
development
Reliability prediction,
failure mode, effect and
criticallity analysis,
maintainability analysis
Intermediate
design Review
1.9
permasalahan
potensial
yang
ada
dan
usaha
Reliability Economics
Seperti yang telah disampaikan diawal keandalan sangat terkait dengan biaya
dan faktor-faktor ekonomi lainnya. Sistem akan menjadi lebih andal jika
komponen-komponen kritis pada sistem diberi redundansi. Namun ini secara
langsung akan menyebabkan biaya investasi sistem, biaya pemeliharaan serta
biaya operasinya juga akan menjadi lebih mahal. Komponen pada sistem dengan
16
tingkat keandalan yang baik akan lebih mahal dibandingkan dengan komponen
sejenis yang memiliki tingkat keandalan dibawahnya, seperti terlihat pada
Gambar 1-9. Namun, komponen dengan tingkat keandalan yang baik tentunya
diharapkan lebih lama waktu operasinya atau lebih jarang gagal sehingga biaya
perawatannya atau biaya downtime serta biaya yang muncul akibat sistem tidak
beroperasi akan menjadi lebih rendah. Gambar 1-10 menunjukkan bahwa biaya
total didapatkan dengan menjumlahkan biaya investasi dan biaya perawatan dan
biaya terendah yang dihasilkannya bida dijadikan sebagai acuan dalam
penetapan indeks keandalan optimum.
Pertanyaan mendasar yang muncul berkaitan dengan faktor ekonomi ini adalah
seberapa besarkah investasi harus dilakukan terhadap sistem untuk mendapat
keuntungan peningkatan indeks keandalan yang diharapkan?. Tentunya ini
adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab khususnya untuk sistem yang
kompleks dengan berbagai opsi disain dan alternatif komponen yang ada.
Dari uraian diatas jelas bahwa keandalan dan faktor-faktor ekonomi merupakan
pertimbangan yang terintegrasi satu sama lain di dalam proses pengambilan
keputusan. Gambar 1-9 juga menunjukkan bahwa rasio tingkat pertambahan
indeks keandalan terhadap tingkat pertambahan biaya investasinya (R/C)
dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan apakah investasi
layak dilakukan untuk mendapatkan perbaikan unjuk kerja sistem. Analisa lebih
jauh bisa dilakukan dengan membandingkan investasi yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat perbaikan unjuk kerja (reliability cost) dengan keuntungan yang
didapatkan oleh pemakai atau pelanggan (reliability worth).
Reliability, R
R
C
Investment Cost
17
Cost,
investasi
Biaya perawatan
Reliability
Gambar 1-10 Hubungan investasi-biaya perawatan dan keandalan
1.10
Data Keandalan
Dalam konteks keandalan, data menjadi salah satu faktor penting untuk dimiliki
dan salah satu faktor yang paling sulit untuk didapat. Data dapat diperoleh lewat
dua jalan yakni, pengujian/eksperimen (data primer) dan data operasi di
lapangan (data sekunder). Data yang pertama dapat diperoleh untuk komponen
yang sederhana saja yang tidak membutuhkan biaya yang besar dalam
pengujiannya. Data yang kedua juga sering susah didapatkan mengingat tidak
tercatatnya hal-hal penting dari pengoperasian sistem sebelumnya, atau tidak
tercatatnya data dari peralatan sejenis yang bisa dijadikan acuan atau sumber
data peralatan yang kita analisa. Data juga bisa diperoleh dari organisasi tertentu
yang mengumpulkan data perawatan dan operasi peralatan tertentu kemudian
melakukan analisa statistik terhadapnya dan hasilnya dipublikasikan dalam
bentuk data handbook atau data bank. Sumber-sumber tersebut antara lain
adalah:
Data handbook:
(1) US MIL-HDBK 217
(2) HRD3 (British Telecom)
(3) INSPEC DATA Book (IEE/UKAEA)
(4) ANSI/IEEE STD 500
(5) USAF RADC Noneletronic parts handbook
18
19
Konsep Probabilitas
0,5
0
Absolute
impossibility
1
Absolute
certainty
Pelemparan
koin
Gambar Rentang nilai peluang
Nilai peluang juga bisa berada diantara dua nilai absolut diatas, atau dengan
kata lain nilai peluang akan mucul diantara hasil yang diharapkan dan hasil yang
tidak diharapkan. Dalam konteks sistem rekayasa, dua kondisi absolut tersebut
adalah sistem gagal dan sistem sukses. Dalam konteks ini peluang sukses dan
gagal dapat diartikan sebagai berikut:
P (sukses) =
P (gagal) =
.....................................
......................................
Jika
s
P (gagal) = q =
s
s + f ...........................................................................
f
s + f .............................................................................
Dan
p + q = 1 ............................................................................................
Contoh 2,1:
Sebuah koin dengan sisi muka dan sisi belakang. Peluang mendapat sisi muka
pada pelemparan koin tersebut satu kali adalah 1/2 = 0.5
Contoh 2.2:
Sebuah dadu dilempar satu kali. Peluang mendapat sisi dengan gambar 4
adalah 1/6.
Contoh 2.3:
Dua buah dadu dilempar satu kali. Berapakah peluang mendapat jumlah mata
dadu sembilan.
Mata dadu yang memberikan jumlah sembilan adalah:
(3+6), (4+5), (5+4), (6+3) dari 36 kombinasi yang ada, sehingga
peluangnya adalah 4/36 atau 1/9.
1.2
Pada tiga contoh diatas, peluang sukses dan gagal dihitung dengan
mengevaluasi semua kejadian yang mungkin secara fisik. Jika jumlah kejadian
yang dimungkinkan semakin besar, maka proses tersebut akan sangat
menyulitkan,
dan
peluang
terjadinya
kesalahan
akan
semakin
besar.
maka akan lebih sederhana dan efektif jika konsep persamaan 2-1 dipergunakan
untuk mengkelompokkan peluang sukses dan gagal melalui konsep permutasi
dan kombinasi. Permutasi memperhitungkan susunan masing-masing kejadian,
sementara kombinasi tidak memperhitungkan susunan di dalamnya.
Jumlah PERMUTASI dari n item yang berbeda adalah jumlah susunan yang
berbeda yang dimungkinkan dari item-item tersebut. Jika semua item digunakan
dalam susunan, maka permutasi di tuliskan dengan nPn. Jika sebagian item saja
(r) yang disusun dari n jumlah item yang ada (r<n) maka permutasinya dituliskna
dengan nPr.
Contoh 2.4:
Permutasi 3 buah buku A, B dan C dimana semua buku yang ada dipergunakan
adalah: ABC, ACB, BAC, BCA, CAB dan CBA. Dengan demikian 3P3 adalah 6.
Dengan kata lain, posisi pertama dapat diisi oleh 3 buah Buku, posisi kedua
dapat diisi oleh 2 buah buku (mengingat buku yang sudah terambil tidak bisa
dipakai lagi), serta posisi ketiga diisi oleh 1 buah buku.
Karena itu 3P3 adalah 3 x 2 x 1 = 3! = 6
Dengan demikian permutasi n item jika n item dipergunakan adalah n!, dan
permutasi n item jika hanya r item yang dipergunakan adalah
n
Pr =
n!
.....................................................................................
(n r )!
Dimana nilainya adalah n! Jika n=r, sebab nilai 0! adalah sama dengan 1.
Contoh 2.5:
Dalam berapa cara 3 buku dapat disusun dari 7 buku yang tersedia?
P3 =
7!
7! 1x 2 x3 x 4 x5 x6 x7
= =
= 5 x6 x7 = 210
(7 3)! 4!
1x 2 x3x 4
(3) Tidak ada item yang bisa dipergunakan lebih dari satu kali.
Contoh 2.6:
Ada berapa bilangan dalam 3 digit yang bisa disusun dari angka 0~9 jika setiap
angka dapat dipakai lebih dari satu kali dan jika angka hanya bisa dipakai satu
kali saja?
Jika angka bisa dipakai lebih dari satu kali, maka pada digit pertama hanya bisa
diisi oleh 9 angka (0 tidak bisa), digit kedua bisa diisi 10 angka dan digit ketiga
bisa diisi 10 angka. Dengan demikian susunan yang dimungkinkan adalah
9x10x10 buah susunan yaitu 900 susunan.
Jika angka tidak bisa diulang maka digit pertama bisa diisi oleh 9 angka, digit
kedua bisa diisi oleh 9 angka dan digit ketiga bisa diisi oleh 8 angka. Dengan
demikian susunan yang dimungkinkan adalah 9x9x8 buah susunan yaitu 648
susunan.
Contoh 2.7:
Berapa susunan yang berbeda yang dapat dibuat dari 12 bola yang terdiri dari 3
bola biru, 2 bola merah dan 7 bola hijau?
Jika semua bola memiliki warna yang berbeda maka susunan yang mungkin
adalah 12! Atau sama dengan 479,001,600 susunan. Jika r item dapat disusun
dalam r! Susunan maka dengan demikian akan terdapat 3! susunan bola biru, 2!
susunan bola merah dan 7! susunan bola hijau. Dengan demikian jumlah
susunan yang dimungkinkan dalam dari ketiga warna bola tersebut adalah
12!
= 7920 susuanan
3!2!7!
Dengan demikian susunan yang dimungkinkan dari n item yang terdiri dari r1 item
sejenis, r2 item sejenis, hingga rk item sejenis adalah
permutasi =
n!
.........................................................................
r1! r2 !...rk !
Jumlah KOMBINASI dari n item yang berbeda adalah jumlah susunan dari r item
yang berbeda tanpa memperhitungkan susunan dari item-item tersebut.
Kombinasi r item dari n item yang ada dituliskan dengan nCr .
n Cr
n Cr
r!
n(n 1)...(n r + 1)
n!
=
r! (n r )!
r!
...........................................
Contoh 2.8:
Dari 6 siswa laki-laki (L) dan 5 siswa perempuan (P) akan dibentuk sebuah
panitia yang terdiri dari 6 anggota dimana panitia tersebut paling sedikit harus
terdiri dari 3 perempuan. Berapa jumlah panitia yang berbeda yang mungkin
dibentuk?
Panitia dengan syarat seperti di atas mungkin terdiri dari 3 P dan 3 L, 4 P dan 2 L
serta 5 P dan 1 L. Dengan demikian masing-masing perbandingan jumlah panitia
Laki dan Perempuan tersebut dapat tersusun dari:
5CP3 . 6CL3 + 5CP4 . 6CL2 + 5CP5 . 6CL1
Contoh 2.9:
4 bola diambil dari sebuah kotak yang terdiri dari 10 bola hitam dan sepuluh bola
putih. Berapakah peluang mendapat bola yang semuanya berwarna hitam?,
peluang mendapat bola dengan warna yang sama?, peluang mendapat bola
hitam jika setiap bola yang terambil dikembalikan sebelum melakukan
pengambilan berikutnya?
Jumlah kejadian yang mungkin 4 bola hitam yang dapat diambil dari 20 bola
yang ada adalah
20C4
terambil dari 10 bola hitam dan 10 bola putih yang ada adalah
10CH4=210.
hitam adalah 104. dengan demikian peluang mendapat 4 bola hitam adalah
104/204 = 0.0625.
1.3
Diagram Venn
S
B
(a)
S
A
(b)
(c)
1.3.1
Dua kejadian A dan B dikatakan bebas satu sama lain jika munculnya kejadian A
tidak akan berpengaruh terhadap peluang munculnya kejadian B. Kejadian
pelemparan dadu dan koin secara bersama-sama adalah dua buah kejadian
bebas dimana angka berapapun yang muncul pada pelemparan dadu tidak akan
berpengaruh terhadap peluang munculnya gambar muka atau belakang pada
koin.
1.3.2
Dua kejadian dikatakan mutually exclusive saru sama lain jika kejadian tersebut
tidak dapat terjadi secara bersama-sama (lihat Gambar 2-2.c). Kejadian
mendapat gambar muka dan kejadian mendapat gambar belakang pada satu kali
pelemparan sebuah koin adalah dua kejadian yang mutually exclusive.
1.3.3
Complementary events
Dua kejadian A dan B dikatakan complementary, jika
Diagran
Venn
diatas
juga
mendasari
munculnya
atau
P( B) = P ( A)
.....................................................
1.3.4
Conditional events
Conditional events (kejadian bersyarat) adalah kejadian yang terjadi jika kejadian
lainnya sudah terjadi. Peluang kejadian A terjadi jika kejadian B sudah terjadi
ditulis dengan P(AB) (dibaca kejadian A jika B), atau peluang bersayarat A jika
B telah terjadi.
Nilai ini dapat dihitung dengan didasarkan pada diagram Venn Gambar 2-2b.
P( A B) =
............................
AI B
B
dan P(B ) =
S
S
Dengan demikian
P( A B) =
P ( B A) =
1.3.5
S .P ( A I B ) P ( A I B)
=
S .P ( B )
P( B)
P( A I B)
P ( A)
...........................................................
..............................................................................
( A AND B)
atau
(AB)
Pada kasus ini terdapat dua kondisi dimana kejadian A dan B muncul bersamasama. Kondisi pertama adalah jika A dan B adalah 2 kejadian bebas
(independent) satu sama lain dan kejadian yang kedua adalah jika 2 kejadian
tersebut tergantung satu sama lain (dependent).
Jika kejadian A dan B bebas satu sama lain, maka peluang munculnya kejadian
A tidak dipengaruhi oleh kejadian B demikian pula sebaliknya. Dengan demikian:
P ( A B ) = P ( A) dan P ( B A) = P ( B )
P( A )
i
i =1
................................................
Contoh 2.10:
Seorang mekanik melakukan seleksi terhadap 2 pompa sentrifugal A dan B
untuk dipakai pada sistem pendingin sebuah motor disel. Peluang mendapat
pompa A yang baik adalah 0.9 dan peluang mendapat pompa B yang baik
adalah 0.95. Dengan demikian peluang mendapat pompa A dan B yang baik
adalah:
P(A baik B baik) = P(A baik) P(B baik) = 0.9 x 0.95 = 0.855
Jika kejadian A dan B tergantung satu sama lain (dependent), maka:
P( A I B ) = P( B A).P( A) = P( A B ).P( B )
...................................................
Contoh 2.11:
Sebuah kartu diambil dari sebuah kotak remi dengan isi 52 buah lembar kartu.
Jika A adalah kejadian munculnya/mendapat kartu merah dan kejadian B adalah
kejadian mendapat kartu bergambar (jack, queen, king). Maka berapakah
peluang munculnya kejadian A dan B secara bersama-sama?
Peluang muncul kejadian A adalah peluang mendapat kartu berwarna merah
yaitu P(A) = 26/52. Peluang muncul kejadian B jika kejadian A sudah terjadi
adalah Peluang mendapat kartu bergambar dari semua kartu berwarna merah
yang besarnya adalah P(BA)=6/26. Sehingga
P( A I B ) = P( B A).P( A) = P( A B ).P( B )
1.3.6
( A OR B)
atau
(A + B) dan
1 P( A I B ) = 1 - P( A ).P( B) = 1 (1 P ( A)).(1 P ( B ))
Pada diagram Ven diatas terlihat bahwa daerah yang dilingkup oleh P(A U B)
adalah gabungan kedua daerah A dan B, atau:
P (A U B) =P(A) + P(B) P(AWB) .......................................
Mengingat A dan B adalah dua kejadian bebas, maka persamaan diatas dapat
disederhanakan menjadi
P(A) + P(B) P(A).P(B) ......................................................
Yang sama hasilnya dengan persamaan 2.12
Contoh 2.12:
Contoh 2.10 dapat diselesaikan dengan:
P(Abaik U Bbaik)
P(Abaik)+P(Bbaik)-P(Abaik).P(Bbaik)
0.995
Jika A dan B adalah dua kejadian bebas dan mutually exclusive, maka P (A U B)
=P(A) + P(B) dimana pada gambar diagram Ven, kejadian A dan kejadian B tidak
beririsan (terlepas). Jika terdapat sejumlah n kejadian bebas dan mutuallu
exclisive maka
10
P ( A1 U A2 U A3 ... An ) =
P( A ) ..............................................
i
i 1
1.3.7
B1
B2
kejadian syarat
tersebuat
adalah
mutually
B3
B4
P(AB1)
P(A B1).P(B1)
P(AB2)
P(A B2).P(B2)
P(ABn)
P(A Bn).P(Bn)
i 1
P ( A I Bi ) =
P( A B ).P( B ) .............................................
i
i 1
P( A I B ) = P( A) ..............................................................
i
i 1
P ( A) =
P( A B ).P( B ) .........................................................
i
i 1
Contoh 2.13:
11
Alat penukar panas diproduksi di dua pabrik. Pabrik I membuat 70% dari total
produk dan pabrik ke II membuat 30% dari total produk. Dari pabrik I, 90%
produknya memenuhi syarat, dan dari Pabrik II hanya 80% saja yang memenuhi
syarat. Tentukan (a) dari 100 penukar panas yang dibuat, berapa persen yang
memenuhi syarat (b) jika diambil satu penukar panas dan ternyata memenuhi
syarat, berapakan peluang penukar panas tersebut di produksi di pabrik II?
Jika kejadian A adalah kejadian mendapat penukar panas yang memenuhi syarat,
kejadian B1 adalah kejadian penukar panas di produksi di pabrik I dan kejadian
B2 menunjukkan bahwa penukar panas di produksi di pabrik II, maka
B
P(AB1) = 0.9
P(AB2) = 0.8
P(B1) = 0.7
P(B2) = 0.3
P ( A) =
0.87
i 1
Dengan demikian jika 100 penukar panas di produksi, maka jumlah yang
memenuhi syarat adalah 100 x 0.87 = 87 buah penukar panas. (a)
Peluang mendapat penukar panas yang memenuhi syarat dan diproduksi di
pabrik II adalah P(B2A) dimana:
P ( B 2 A) =
1.4
Probability Distributions
Agar teori probabilitas dapat diaplikasikan, maka salah satu syarat adalah
kejadian harus terjadi secara acak. Sebagai contoh: laju kegagalan komponen,
waktu yang dibutuhkan pada proses perawatan, kekuatan material adalah
beberapa variabel yang secara acak dan memiliki variasi terhadap waktu dan
ruang. Variabel acak dikelompokkan menjadi dua jenis yakni discrete random
variable dan continuous random variabel.
12
Variable acak diskrit (discrete random variable) adalah variabel yang memiliki
nilai diskrit, atau nilai yang dapat dihitung. Sebagai contoh, eksperimen
pelemparan koin adalah variabel diskrit mengingat hanya ada dua kejadian
diskrit yang dimungkinkan yakni kejadian mendapat sisi muka dan belakang.
Begitu pula dengan eksperimen pelemparan dadu.
Variabel acak kontinyu (continuous random variabel) memiliki jumlah yang tidak
terbatas (infinite number of values). Ini tidak berarti bahwa rentang yang
dimungkinkan mencakup - hingga +, akan tetapi nilai yang dimungkinkan tidak
terbatas. Sebagai contoh; arus listrik pada satu kondisi memiliki rentang arus
sebesar 5A hingga 10A.
1.4.1
density
function
(PDF)
atau
probability
distribution
function
(cummulative - CDF). Beberapa properti dasar dari PDF dan CDF akan diberikan
melalui sebuah kasus berikut:
Contoh 2.14:
Sebuah mesin potong memotong pelat baja dengan panjang sekitar 6 m. Setelah
terpotong, bagian quality control melakukan evaluasi terhadap 20 lembar sample
pelat yang telah terpotong dan menemukan hasil pengukuran sebagai berikut:
5.97
5.97
5.98
5.98
5.98
5.99
5.99
5.99
5.99
5.99
6.00
6.00
6.00
6.00
6.00
6.01
6.01
6.02
6.02
6.02
Hasil pengukuran ini selanjutnya bisa di plot sebagai distribusi frekuensi seperti
terlihat pada gambar dibawah ini.
13
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
5.97
5.98
5.99
6.00
6.01
Probabilitas
frekuensi
6.02
panjang, m
Cara lain untuk menyajikan data serupa adalah dengan mengelompokkan data
jika jumlah data relatif besar seperti terlihat pada gambar berikut.
0.5
10
9
0.4
8
7
frekuensi
5
0.2
4
3
Probabilitas
0.3
0.1
2
1
5.97
5.98
5.99
6.00
6.01
6.02
panjang, m
Gambar 2-x Distribusi frekuensi dan probability mass functiont data kelompok
14
1.0
0.9
Commulative probability
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
5.97
5.98
5.99
6.00
6.01
6.02
panjang, m
15
1.0
0.9
Commulative probability
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
5.97
5.98
5.99
6.00
6.01
6.02
6.01
6.02
panjang, m
1.0
0.9
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
5.97
5.98
5.99
6.00
panjang, m
1.0
Commulative probability, F(x)
Commulative probability
0.8
16
1.0
0
x
17
18
B AB 1
MODEL JARINGAN UNTUK
SISTEM SEDERHANA
1.1
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan aplikasi dasar dari teori peluang untuk
pengukuran keandalan sistem. Namun demikian, pada praktiknya sistem sering
dimodelkan dengan menggunakan jaringan (network) dimana komponen
komponen pada sebuah sistem dihubungan dalam pola hubungan seri, paralel,
serta gabungan seri dan paralel. Kesulitan dalam pemahaman metoda-metoda
analitik penilaian keandalan sering diakibatkan lemahnya pemahaman terhadap
pemodelan jaringan ini. Disamping itu harus diingat pulan bahwa topologi struktur
sistem tidak selalu sama dengan model jaringan. Hal ini karena sistem kadang
memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan topologi struktur yang terlihat.
Sebagai contoh, sistem pompa sentrifugal yang tersusun paralel secara phisik
kadang kala memiliki karakteristik kerja dimana satu atau lebih pompa beroperasi
dan pompa lainnya akan bekerja saat pompa utama gagal beroperasi. Karena itu
hendaknya pemahaman terhadap karakeristik kerja sistem dimiliki terlebih dahulu
sebelum kita melakukan pemodelan jaringan.
Komponen-komponen dapat dikatakan terhubung secara seri jika untuk
menjamin sistem sukses semua komponen harus beroperasi atau tidak boleh
gagal. Kegagalan pada satu komponen yang terhubung seri akan menyebabkan
kegagalan sistem.
Komponen-komponen dikatakan terhubung secara paralel jika hanya satu
komponen saja yang terhubung secara seri dibutuhkan untuk menjamin sistem
sukses. Sistem akan gagal jika semua komponen yang terhubung paralel juga
gagal.
Dengan demikian sistem seri sering juga disebut dengan istilah non-redundant
system serta sistem paralel disebut dengan fully redundant system.
1.2
Sistem Seri
Rs = Ra x Rb ....................................................................
Jika terdapat n komponen yang terhubung secara seri maka:
n
Rs =
Ri ...........................................................................
i =1
Dengan demikian indeks keandalan sistem yang terdiri dari beberapa komponen
seri adalah perkalian dari indeks keandalan masing-masing komponen didalam
sistem tersebut.
Pada beberapa kasus penilaian keandalan, adakalanya akan lebih untuk
menghitung indeks ketidakhandalan (unreliability-Q) terlebih dahulu sebelum
menghitung indeks keandalan. Mengingat keandalan dan ketidakhandalan
adalah komplementer terhadap satu sama lain, maka
Qs = 1 - Ra x Rb
= 1-(1-Qa).(1-Qb)
= Qa + Qb - Qa.Qb ........................................................
Dan untuk n komponen seri maka
Qs = 1
Ri .......................................................................
i =1
Contoh 3.1
Sistem A terdiri dari 5 komponen dan sistem B terdiri dari 10 komponen identik
dimana semua sistem harus beroperasi untuk menjamin sistem sukses. Jika
indek keandalan masing-masing komponen adalah 0.95, berapakah indek
keandalan sistem A dan B tersebut tersebut?
Untuk sistem A, maka
Rs
0.955 =
0,7737
Rs
0.9510 =
0,5987
Dari contoh soal di atas dapat diamati bahwa sistem seri akan sukses jika semua
komponen yang ada pada sistem juga sukses. Kegagalan pada satu komponen
akan menyebabkan sistem menjadi gagal. Semakin banyak komponen yang
terhubung secara seri, maka keandalan sistem akan makin rendah.
Contoh 3.2
Dua buah komponen identik yang terhubung secara seri memiliki indeks
keandalan komponen 0.99. Berapakah indeks ketidakhandalan system?
Qs = 1 Ra.Rb = 1 0.992 = 0.0199
Contoh 3.3
Sebuah sistem membutuhkan 200 buah komponen identik yang terhubung
secara seri. Jika indeks keandalan sistem tidak boleh kurang dari 0.99,
berapakah indeks keandalan komponen dalam sistem?
Rs = R200 = 0.99
Dengan demikian R = 0.991/200 = 0.99995
1.3
Sistem Paralel
Qp =
Qi .............................................................................
i =1
Rp = 1
Qi .........................................................................
i =1
Daro pernyataan di atas dapat diketahui bahwa semakin banyak komponen yang
terhubung secara paralel di dalam sistem, maka indeks keandalan sistem akan
semakin tinggi.
Contoh 3.4
Sebuah sistem terdiri dari empat komponen yang terhubung paralel dengan
indeks keandalan komponen adalah 0.99, 0.95, 0.98, dan 0.97. Berapakah
indeks keandalan dan ketidakandalan sistem?
Keandalan
sistem
0.800000
0.960000
0.992000
0.998400
0.999680
0.999936
penambahan
keandalan
0.160000
0.032000
0.006400
0.001280
0.000256
prosentase
keandalan
20
24
24,8
24,96
24,99
bahan koponen pertama terhadap satu komponen utama memberikan peningkatan prosentase keandalan yang paling besar. Penambahan beberapa
komponen berikutnya tidak terlalu signifikan meningkatkan keandalan sistem
secara keseluruhan.
Contoh 3.6
Sebuah sistem yang memiliki indeks keandalan komponen 0.7, harus didisain
agar memiliki indeks keandalan sistem sebesar 0.999. Berapakah jumlah
minimum komponen yang harus dihubungkan secara paralel?
1 0.999 = (1 0.7)n
0.001 = 0.3n, sehingga n = 5,74 komponen, atau kalau dibulatkan akan menjadi 6
komponen.
1.4
Pada kasus susunan kombinasi antara seri dan paralel, maka penyederhanaan
sistem dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa komponen yang
terhubung secara seri atau paralel menjadi satu nilai keandalan gabungan.
Contoh 3.7
Tentukan
indeks
berapa
keandalan
ini
jika
indek
masing-masing
9
R10 = R5 R6 R7 R8
11
Contoh 3.8
3
1
Dapatkan
ekspresi
keandalan
keandalan
masing-masing
5
Gambar 1.4-5 kombinasi seri-paralel
8
5
R7=R1R2R6
R8=R5+R7-R5R7=R5+R1R2(R3+R4-R3R4)-R5R1R2(R3+R4-R3R4) = 0.92288
Q8 = 1 0.92288 = 0.07712
1.5
2
1
Tentukan
ekspresi
indeks
keandalan
gambar
berikut
3
6
yang
untuk
harus
menjamin
sukses
sistem
sukses.
Gambar 1.5-7 Partially redundant system
10
11
Perbedaan dengan contoh 3.8 di atas adalah bahwa pada kasus partially
redundant system, gabungan komponen 9 tidak dapat dihitung langsung dengan
memparalelkan ketiga komponen pendukungnya, karena ada persyaratan bahwa
cukup 2 komponen saja harus sukses untuk menjamin gabungan komponen
tersebut sukses. Ini bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan
distribusi binomial seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya.
Q8 = Q2Q3
R10 = R1R8R9
1.6
Sistem standby mengoperasikan satu atau lebih komponen utama dan satu atau
lebih komponen dalam posisi standby yang akan beroperasi bila komponen
utama gagal. Proses pemindahan kerja komponen ini dilakukan dengan
menggunakan switch. Gambar 3.9 (a) adalah susunan parallel redundant dimana
komponen A dan B beroperasi secara bersama-sama untuk melayani fungsi
tertentu. Sementara itu Gambar 3.9 (b) adalah susunan standby redundant
dimana komponen A beroperasi terlebih dahulu (karena terhubung dengan
switch) sampai komponen tersebut gagal dan selanjutnya jika gagal switch akan
berpindah ke komponen B untuk menggantikan fungsi komponen A.
(a)
(b)
Pada buku ini hanya akan dibahas penurunan algoritma sistem standby untuk
kasus switch sempurna (tidak mungkin gagal) dan kasus switch tidak sempurna.
Kasus switch sempurna:
Jika switch sempurna, dimana switch pasti sukses dalam memindahkan fungsi
kerja komponen A ke komponen B saat komponen A tersebut gagal, maka
sistem akan gagal jika komponen A gagal dan komponen B gagal (dimana A
sudah gagal terlebih dahulu), atau dapat dituliskan:
Q = Q( A).Q( B A)
namun
pada
standby
redundancy
waktu
operasi
komponen-komponen
= QAQBPs + QA(1-Ps)
B
= QAQBPs + QA QAPs
B
= QA QAPs(1-QB)......................................................
B
Jika switch memiliki peluang gagal tidak hanya pada saat melakukan fungsi
pemindahan namun juga pada saat switch tersebut berada pada kondisi standby,
maka kondisi tersebut bisa diwakili oleh hubungan seri antara Komponen A dan
B yang terhubung paralel dengan switch tersebut. Pada kondisi ini switch tidak
hanya memiliki peluang gagal pada saat melakukan fungsi pemindahan kerja
(Ps) namun juga memiliki peluang gagal saat pada kondisi standby (indeks
10
keandalan switch tidak sama dengan 1 saat pada posisi standby). Hal tersebut
dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
A
Ps
Rs
B
Gambar 1.6-10 Standby redundancy dengan switch tidak sempurna
Dengan demikian:
Q = [QA-QAPs(1-QB)] + Qs [QA-QAPs(1-QB)]Qs ...............
B
R = Rs(1-(QA-QAPs(1-QB)) ................................................
B
R = Rs(1-(QB-QBPs(1-QA)) ................................................
B
Contoh 3.9
Jika susunan seperti pada gambar 3.10 memiliki indeks keandalan komponen A
dan B adalah 0.9 dan komponen B memiliki keandalan jika komponen A sudah
gagal terlebih dahulu sebesar 0.96, maka berapakah keandalan sistem jika (a)
switch sempurna? (b) switch punya peluang gagal 0.08? (c) switch memiliki
keandalan saat kondisi operasi sebesar 0.98?
(a) R = 1 (1-0.9) (1-0.96) = 1 (0.1 x 0.04) = 0.996
(b) R = 1 (0.1 0.1x0.92(1-0.04)) = 0.988
(c) R = 0.98 x 0.988 = 0.969
Contoh 3.10
Sama seperti contoh 3.9, jika susunan seperti gambar dibawah dan komponen C
dan D memiliki indeks keandalan 0.99 dan 0.8, berapa indeks keandalan sistem?
11
A
Ps
C
Rs
B
D
12
B AB 1
MODEL JARINGAN UNTUK
SISTEM KOMPLEKS
1.1
Sebagai salah satu contoh, lihatlah model jaringan bridge type yang terlihat pada
gambar 4.1. Pada gambar tersebut terlihat lima buah komponen A, B, C, D dan E
yang terhubung satu sama lain. Susunan tersebut tidak dapat secara serta merta
disederhanakan menjadi susunan seri, paralel ataupun kombinasi diantara
keduanya. Sistem dengan susunan seperti ini membutuhkan pendekatan yang
lebih kompleks dalam proses evaluasi keandalannya.
C
E
Pada bab ini akan diberikan beberapa teknik untuk mengevaluasi keandalan
rangkaian komponen dalam sisten yang kompleks. Metode-metode yang akan
diberikan disini meliputi: metode peluang bersyarat (conditional probability), cut
set, tie set, event tree, dan fault tree.
Semua metode yang disebutkan diatas pada dasarnya didasarkan atas proses
penyederhanaan sistem menjadi susunan seri dan paralel sederhana, dan
selanjutnya
proses
evaluasi
diselesaikan
dengan
cara
khusus
untuk
1.2
khusus
dalam
menentukan
komponen
tersebut,
kecuali
Pada gambar 4.1 terlihat bahwa komponen E adalah komponen yang paling
tepat mewakili komponen X. Sistem akan menjadi lebih sederhana seperti
terlihat pada gambar 4.2. Gambar (a) mengasumsikan komponen E selalu
sukses dan (b) mengasumsikan komponen E selalu gagal.
Jika komponen E selalu sukses, maka akan selalu ada maka komponen A dan B
akan pada susunan paralel, demikian juga antara komponen C dan D dan kedua
susunan parelel tersebut terhubung seri satu sama lain. Jika E selalu gagal,
maka komponen A dan C akan pada susunan seri demikian juga dengan
komponen B dan D dan kedua susunan seri tersebut akan berada pada susunan
paralel satu sama lain. Kedua susunan E selalu sukses dan E selalu gagal ini
adalah mutually exclusive karena kedua-duanya tidak dapat muncul bersamasama dan karena itu bisa digabungkan dengan metode peluang bersyarat.
Pada kasus yang lebih kompolek mungkin dibutuhkan penyederhanaan lebih
lanjut. Hal ini tidak menjadi masalah, sebab penyederhanaan lebih lanjut akan
diikuti dengan penggabungan memakai metode peluang bersyarat.
Setelah penyederhanaan seperti pada gambar 4.2 tersebut dilakukan maka kita
bisa rumuskan bahwa:
Rs = Rs(jika E selalu sukses). RE + Rs(jika E selalu gagal). QE
Pada kondisi E selalu sukses maka:
Rs = (1 QAQB)(1-QCQD)
B
Rs = 1 (1 RARC)(1 RBRD)
B
Jika RA = RB = RC = RD = RE = R, maka
B
Rs
dapat
disederhanakan
lebih
lanjut
dengan
E
C
E
C
1.3
dan
Qs = 0.000398
Metode cut set ini adalah salah satu metode yang umum digunakan pada
evaluasi keandalan karena kemudahan menterjemahkan algoritma metode ini ke
bahasa
pemrograman
komputer
serta
metode
ini
langsung
dapat
komponen harus gagal untuk menjamin sistem gagal. Karena itu, hubungan
antara cut set dalam sistem adalah paralel.
Dari dua pernyataan diatas maka hubungan antar cut set dan hubungan antara
komponen di dalam cut set dapat digambarkan seperti dibawah ini.
C3
C4
C1
C2
= P(C1UC2UC3UC4)
= P(C1)+ P(C2)+ P(C3)+ P(C4)-P(C1C2) -P(C1C3) -P(C1C4)
-P(C2C3) -P(C2C4) -P(C3C4)+P(C1C2C3) +P(C1C2C4)
+P(C1C3C4) +P(C2C3C4)- P(C1C2C3C4)
Dimana:
P(C1) = QAQB
B
P(C2) = QCQD
Dengan demikian
Qs
QAQCQDQE-QBQCQDQE+2 QAQBQCQDQE
B
Qs
= 2Q2+2Q3-5Q4+2Q5
= 0.00020195
Rs = 0.99979805
Hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode peluang bersyarat.
Penyelesaian seperti yang dijelaskan diatas menjadi semakin panjang jika jumlah
komponen yang terlibat semakin besar. Karena itu perlu dilakukan beberapa
penyederhanaan dengan syarat bahwa tingkat ketelitian dari penyederhanaan ini
masih bisa ditoleransi. Salah satu cara penyederhanaan tersebut adalah dengan
mengabaikan peluang kegagalan yang diperoleh dari penggabungan cut set.
Sehingga peluang kegagalan sistem akan dapat dievaluasi sebagai berikut:
Qs
2
3
= 2Q +2Q
= P(C1)+ P(C2)
= QAQB+QCQD
B
2
= 2Q
komponen reltif tinggi, maka secara teknis penyederhanaan ini tidak menhasilkan
perbedaan nilai keandalan atau ketidakandalan yang signifikan dibandingkan
dengan hasil tanpa proses penyederhanaan.
Pada beberapa kasus sistem kompleks, penentuan cut set dapat dilakukan
secara langsung melalui pengamatan terhadap block diagram sistem. Namun
pada beberapa kasus lainnya (jika komponen yan terlibat semakin banyak),
penentuan cut set akan menjadi susah. Karena itu dibutuhkan sebuah metode
dan algoritma yang dapat dijasikan sebagai acuan dalam menurunkan jumlah
dan jenis cut set yang ada di dalam sistem.
Langkah-langkah dalam penentuan cut set adalah sebagai berikut:
(1) Turunkanlah minimal path dari block diagram.
(2) Susun incidence matrix yang mengidentifikasi semua komponen di
dalam sistem. Beri nilai 1 pada komponen yang ada pada path yang
sesuai, dan beri nilai 0 pada komponen yang tidak muncul pada path
tersebut.
(3) Jika semua elemen komlom pada incidence matrix adalah non zero,
maka kolom tersebut adalah cut set orde pertama.
(4) Gabungkan 2 kolom pada incidence matrix secara berurutan. Jika dari
penggabungan ini terdapat kolom yang semua komponennya adalah
non zero, maka kolom tersebut adalah cut set orde kedua.
(5) Lakukan kembali langkah (4) dan temukan cut set dengan orde yang
lebih tinggi hingga tidak dapat lagi ditemukan adanya cut set.
Jika langkah tersebut diatas kita aplikasikan pada sistem seperti terlihat pada
gambar 4.1, maka berturut-turut akan kita dapatkan:
(1) Minimal path adalah : AB, CD, AED dan BEC
(2) Matrix incidence adalah: (lihat dibawah)
(3) Kita lihat bahwa tidak ada kolom yang semua komponennya adalah non
zero. Artinya tidak ada cut set orde pertama.
path
A
1
0
1
0
1
2
3
4
component
B
C
D
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
1
0
E
0
0
1
1
AB
1
1
1
1
AC
2
0
1
1
AD
1
1
2
0
component
AE BC BD
1
1
0
0
1
2
2
0
1
1
2
1
BE
0
1
1
2
CD
1
1
1
1
CE
1
0
1
2
DE
0
1
2
1
component
ABC ABD ABE ACD ACE ADE BCD BCE CDE
2
1
1
2
2
1
1
1
1
1
2
1
1
0
1
2
1
1
1
2
2
2
2
3
1
1
2
2
1
2
1
2
1
2
3
2
Berdasarkan hasil dari tahapan-tahapan diatas, maka diperoleh bahwa cut set
nya adalah AB, CD, ADE dan BCE. Hasil ini sama dengan penurunan cut set dari
pengamatan langsung seperti pada penjelasan sebelumnya.
1.4
Metode tie set adalah komplemen dari metode cut set. Pada metode cut set yang
kita cari adalah peluang kegagalan sistem, namun pada metode tie set yang kita
cari adalah peluang suksesnya sistem. Cut set adalah satu set komponen yang
10
jika gagal akan menjamin sistem gagal, sementara itu tie set adalah satu set
komponen yang harus sukses untuk menjamin sistem sukses. Sistem akan
sukses jika paling tidak ada satu tie set yang sukses, artinya hubungan antara tie
set didalam sistem serupa dengan susunan paralel. Tie set akan sukses jika
semua komponen di dalam tie set juga sukses. Karena itu hubungan antara
komponen di dalam satu tie set serupa dengan susunan seri.
Dengan penjelasan diatas, maka hubungan komponen di dalam tie set diagram
adalah seperti pada gambar 4.6 . semua komponen muncul 2 kali pada tie set
diagram. Karena itu, penyederhanaan dengan susunan seri atau paralel tidak
T1
dapat
dilakukan
disini.
Untuk
mencari
berapa
peluang
T2
sukses
T3
T4
dari
konsep
Rs
= P(T1UT2UT3UT4)
= P(T1)+ P(T2)+ P(T3)+ P(T4)-P(T1T2) -P(T1T3) -P(T1T4)
-P(T2T3) -P(T2T4) -P(T3T4)+P(T1T2T3) +P(T1T2T4)
+P(T1T3T4) +P(T2T3T4)- P(T1T2T3T4)
Dimana:
P(T1) = RARC
P(T2) = RBRD
B
Dengan demikian
Rs
RARCRDRE-RBRCRDRE+2 RARBRCRDRE
B
11
Rs
= 2R2+2R3-5R4+2R5
Qs
= 0.00020195
Hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode peluang bersyarat
maupun metode cut set.
1.5
Event trees adalah diagram yang menunjukkan semua kejadian yang mungkin
terjadi di dalam sistem. Diagram ini diperoleh dengan mengidentifikasi semua
komponen di dalam sistem, dan selanjutnya secara berturut-turut dianalisa setiap
cabang dari diagram dengan memasukkan peluang sukses dan gagalnya
masing-masing komponen.
Metode event trees ini dapat dipergunakan untuk melakukan analisa keandalan
pada sistem dimana semua komponen beroperasi kontinyu, maupun pada sistem
yang memiliki beberapa komponen yang berada pada posisi standby
(mengandung logic switching). Sistem yang mengadung komponen standby ini
sering dipergunakan pada safety oriented systems.
Pada kasus yang pertama dimana semua komponen beroperasi kontinyu, maka
penyusunan diagram event trees-nya bisa dimulai dari komponen yang mana
saja, sebab yang dicari adalah peluang kejadian yang menyebabkan sistem
gagal/sukses bukan pada bagaimana sistem tersebut menjadi gagal.
Pada kasus safety oriented system, tahapan terjadinya kegagalan pada sistem
akan sangat berpengaruh terhadap nilai peluang kegagalan/suksesnya sistem.
Pada kasus sistem dengan komponen yang beroperasi kontinyu, dengan
mengambil contoh sistem seperti terlihat pada gambar 4.1, maka event trees nya
adalah seperti terlihat pada gambar 4.7.
Pada gambar tersebut terlihat terdapat 32 cabang. Cabang akan berhumlah 2n,
dimana n adalah jumlah komponen di dalam sistem. Setelah menurunkan event
12
RD
RC
QD
QC
RD
RB
QD
RA
RD
RC
QD
QB
QC
RD
QD
RD
RC
QD
RB
QC
RD
QD
QA
RD
RC
QD
QC
RD
QB
QD
E
RE
QE
1-S
2-S
RE
QE
3-S
4-S
RE
QE
5-S
6-S
RE
QE
7-F
8-F
RE
QE
9-S
10 - S
RE
QE
11 - S
12 - S
RE
QE
13 - S
14 - F
RE
QE
15 - F
16 - F
RE
QE
17 - S
18 - S
RE
QE
19 - S
20 - F
RE
QE
21 - S
22 - S
RE
QE
23 - F
24 - F
RE
QE
25 - F
26 - F
RE
QE
27 - F
28 - F
RE
QE
29 - F
30 - F
RE
QE
31 - F
32 - F
Gambar 1.5-7 Event trees untuk sistem seperti pada contoh 4.3
13
P(C2) = RARBRCRDQE
B
dst
P(C8) = RARBQCQDQE
B
dst
= 0.000202
Hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode peluang bersyarat
maupun metode cut set dan tie set.
Proses penyelesaian dengan metode event trees diatas membutuhkan waktu
yang panjang karena kita harus menghitung semua kemungkinan kombinasi
kejadian di dalam sistem. Ada beberapa cara penyederhanaan yang bisa
dilakukan dalam mempercepat perhitungan dengan tidak mengurangi tingkat
ketelitiannya.
Cara pertama adalah dengan menghentikan penurunan event trees saat
diketahui bahwa cabang event trees yang sedang diturunkan gagal atau sukses.
Seperti terlihat pada gambar 4.8, pada cabang yang pertama, setelah diketahui
bahwa jika hanya komponen A sukses, komponen B sukses dan komponen C
sukses akan menjamin sistem sukses, maka penurunan cabang diselesaikan
dan peluang sukses cabang pertama bisa langsung dihitung.
14
RC
1-S
RB
QC
RD
2-S
QD
3-F
RA
RC
4-S
QB
QC
RD
RE
QE
5-S
6-F
QD
RE
7-F
RD
8-S
RC
QD
RE
QE
QC
RD
11 - S
QD
12 - F
9-S
10 - F
RB
QA
QB
13 - F
Hal yang sama juga dilakukan untuk cabang-cabang lainnya. Setelah semua nilai
peluang cabang dihitung, gabungan cabang-cabang yang menghasilkan sukses
(1, 2, 4, 5, 8, 9 dan 11) dijumlahkan dan akan menghasilkan peluang suksesnya
sistem (keandalan). Hal yang sama juga dilakukan untuk cabang yang
menghasilkan peluang gagal. Dengan penyederhanaan ini, dibutuhkan hanya 13
cabang saja untuk bisa menentukan peluang sukses atau gagalnya sistem.
Penyederhanaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan hanya memperhitungkan
salah satu peluang saja, yaitu menghitung cabang-cabang yang menghasilkan
sukses ataupun hanya cabang-cabang yang menhasilkan peluang gagal saja.
15
RB
QC
QD
1-F
RA
QB
QC
RD
QE
QD
RC
2-F
3-F
QD
QE
4-F
RB
QC
QD
5-F
QA
QB
6-F
Seperti terlihat pada gambar 4.9 Hanya cabang yang menghasilkan gagal yang
diturunkan dan penurunan dihentikan jika sudah diketahui bahwa cabang
tersebut memberikan hasil gagal. Disini hanya ada 6 cabang saja yang perlu
dievaluasi, sehingga akan menyingkat waktu evaluasi dibandingkan dengan
penurunan-penurunan sebelumnya.
Seperti telah disampaikan di awal pembahasan metode event trees bahwa
metode ini bisa dipergunakan untuk sistem yang komponennya beroperasi
kontinyu dan untuk safety oriented system.
Pada kasus safety oriented system contoh berikut bisa memberikan gambaran
lebih jelas tentang aplikasi metode event trees.
Contoh 4.4:
Gambar 4.10 menunjukkan sistem pendingin yang terdiri dari tangki air pendingin,
detektor aliran (D) dan dua buah pompa emergency (P1 dan P2) yang
dipergunaakan saat suplai air pendingin utama terganggu. Proses kegagalan
16
sistem dimulai dari pecahnya pipa suplai air pendingin utama. Kejadian ini akan
menyebabkan
detektor
aliran
memberi
sinyal
ke
motor
listrik
untuk
P1
D
Emergency
coolant
normal
coolant
P1
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa urutan proses akan menjadi: pipa pecah
listrik mengalirkan sinyal ke detektor detektor memerintahkan pompa
beroperasi pompa 1 beroperasi pompa 2 beroperasi. Urutan ini akan
menghasilkan siagram event trees sebagai berikut:
Pipe break
EP
P1
R(P1)
P2
R(P1)
Q(P2)
1-S
2-P
R(P1)
Q(P2)
3-P
4-F
R(P1)
Q(P2)
5-F
6-F
R(P1)
Q(P2)
7-F
8-F
R(P1)
Q(P2)
9-F
10 - F
R(P1)
Q(P2)
11 - F
12 - F
R(P1)
Q(P2)
13 - F
14 - F
R(P1)
Q(P2)
15 - F
16 - F
R(D)
Q(P1)
R(EP)
R(P1)
Q(D)
Q(P1)
Pipe break
R(P1)
R(D)
Q(P1)
Q(EP)
R(P1)
Q(D)
Q(P1)
17
Karena yang akan kita cari cukup peluang gagal atau sukses, maka event tree
pada gambar 4.11 dapat disederhanakan menjadi:
Pipe break
EP
P1
R(P1)
P2
R(P1)
Q(P2)
1-S
2-P
R(P1)
Q(P2)
3-P
4-F
R(D)
Q(P1)
R(EP)
Q(D)
5-F
Pipe break
Q(EP)
6-F
1.6
Fault Trees
Metode fault trees adalah salah satu metode evaluasi keandalan sistem yang
umum digunakan, khususnya pada sistem keselamatan atau safety oriented
system. Metode ini pertama kali dikembangkan sebagai salah satu cara untuk
mengevaluasi proses kegagalan sistem secara kualitatif. Perkembangan
berikutnya, dengan algoritma tertentu, metode ini dapat dipergunakan untuk
melakukan evaluasi keandalan secara kuantitatif.
Fault
trees
menggunakan
menggunakan beberapa
logical
gates
untuk
menghubungan antara satu kejadian (event) pada sistem dengan kejadian yang
lainnya. Kondisi kegagalan yang sering disebut sebagai top event secara
18
OR
Sumber
listrik arus
AC mati
Suplai
listrik ke
penggerak
utama mati
(a)
(b)
Sumber
listrik arus
DC mati
OR
Sumber
listrik arus
AC mati
Sumber
listrik arus
DC mati
AND
Sumber listrik
arus AC
internal mati
Sumber listrik
arus DC
eksternal mati
19
Pada bagian (a) terlihat bahwa hilangnya suplai listrik disebabkan karena dua
kejadian yakni hilangnya suplai listrik AC atau hilangnya suplai listrik DC. Arus
AC akan memberikan tenaga untuk penggerak utama dan arus DC akan
memberikan tenaga listrik kepada peralatan elektronik pengatur operasi
penggerak utama. Kedua kejadian ini harus sukses untuk menjamin sistem
menjadi sukses. Karena itu, kedua kejadian ini dihubungkan oleh sebuah logical
gate yang disebut dengan OR gate yang memiliki arti bahwa top event
(kegagalan suplai listrik) akan terjadi paling tidak jika salah satu dari kejadian
dibawahnya muncul atau satu kejadian di level dua sudah menjamin top event
akan terjadi.
Selanjutnya pada bagian (b) terlihat bahwa jika kejadian pada level kedua masih
bisa dicari penyebabnya, maka kejadian tersebut bisa diturunkan menjadi
beberapa kejadian penyebab dan dihubungkan dengan logical gate lainnya.
Terlihat bahwa kegagalan dalam mensuplai arus AC disebabkan karena sumber
arus AC internal dan eksternal terputus. Jika salah satu kejadian ini tidak terjadi,
maka suplai arus AC akan tetap terjamin. Artinya, kegagalan suplai arus AC
terjadi jika kedua kejadian dibawahnya terjadi. Kedua kejadian pada level 3 ini
dihubungkan dengan logical gate AND (AND gate). Penurunan penyebab
kegagalan pada level tiga ini masih bisa dilakukan jika terdapat informasi yang
cukup akan hal tersebut. Dengan demikian, ketelitian dan kejelasan dalam
penurunan fault tree ini akan sangat tergantung pada kemampuan orang yang
melakukan analisa dalam menterjemahkan kejadian-kejadian yang berpengaryh
terhadap gagalnya sistem.
Dalam mendisain diagram fault trees ini terdapat beberapa logical gates yang
bisa digunakan untuk menghubungan antara satu kejadian dengan kejadian
lainnya. Beberapa logical gates yang umum digunakan antara lain seperti terlihat
pada gambar 4.13.
(a)
(b)
(g)
(h)
(c)
(e)
(i)
(f)
(k)
(j)
20
a.
AND Gate, kejadian output akan terjadi jika dan hanya jika semua
kejadian input terjadi.
b.
OR gate, kejadian output akan terjadi jika paling tidak ada satu kejadian
input yang terjadi.
c.
EOR gate, exclusive OR gate, kejadian output akan terjadi jika dan
hanya jika satu kejadian input terjadi.
d.
NOT gate, kejadian output akan terjadi hanya jika kejadian input tidak
terjadi.
e.
m-out of-n gate, kejadian output akan terjadi jika dan hanya jika m
kejadian input dari n kejadian input yang ada terjadi.
f.
g.
h.
i.
Transfers OUT, titik dimana fault tree bisa dipecah menjadi sub-fault tree.
j.
Transfer IN, titik dimana sub-fault tree bisa dimulai sebagai kelanjutan
pada transfer OUT.
Evaluasi kuantitatif pada metode fault trees dapat dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah dengan menggabungkan semua basic event dengan
menggunakan aljabar Boolean. Beberapa aturan aljabar Boolean adalah:
AA = A
AB = BA
A(BC) = (AB)C
A(B+C) = AB+AC
aturan
dengan 0
dan 1
0A = 0
A+A = A
A+B=B+A
A+(B+C) = (A+B)+C
A+BC=(A+B)(A+C)
1A = A
Aturan dasar
aturan
komutatif
aturan asosiatif
aturan distributif
A(A+B) = A
0+A=A
A+AB = A
1+A=1
aturan De
Morgan
AB = A+B
A+B = AB
AA = A
A+A = 1
21
T = I + E3
G1
G2
I = E1E2
Sehingga
T = E1E2 + E3
E1
E2
P(T)
P(E1)=10.933=0.067
P(E2)=10.925=0.075
P(E3)=10.995= 0.005
22
sama lain. Sekalipun sederhana, namun konsep pada contoh diatas dapat
dijadikan acuan untuk pengembangan evaluasi pada sistem yang lebih kompleks.
Karena pada metode ini analisa dilakukan melalui level teratas hingga terbawah,
maka metode ini sering disebut dengan metode top-down.
Contoh 4.7:
Dengan menggunakan metode numerik langsung kita menghitung probabilitas
munculnya event mulai dari level yang terendah dan selanjutnya dengan
menggabungkan event-event tersebut dengan menggunakan logical gates yang
sesuai, maka nilai probabilitas intermediate events di atasnya akan dapat
diketahui. Metode ini juga dikenal dengan metode bottom-up. Contoh
sebelumnya jika diselesaikan dengan metode ini akan menjadi:
P(I)
P(T)
Hasil ini nilainya sama dengan hasil yang diperoleh dengan penggunaan metode
sebelumnya.
Pada beberapa kasus terdapat sebuah komponen memberi efek terhadap
beberapa komponen atau sub-sistem. Sebagai contoh baterei sebagai sumber
listrik arus DC pada suatu sistem kontrol akan memberikan efek kepada
beberapa komponen sistem kontrol jika terjadi kegagalan suplai arus listrik.
Dengan demikian basic event yang berhubungan dengan gagalnya baterei ini
akan
muncul
beberapa
kali
pada
event
trees.
Contoh
berikut
akan
masing-masing
event
adalah
P(E1)=0.15,
P(E2)=0.01,
23
= (E1E3E4) + (E2+(E5+E6))
I1
I2
G1
G2
= E1E3E4+ E2+E5+E6
Dengan mensubstitusi probabilitas
masing-masing kejadian dengan
menggunakan
I4
E2
I3
E1
penggabungan
G4
G3
E3
E4
E5
aturan
AND
dan
OR,
maka diperoleh:
E6
P(T) = 0.119245
= E1E3E4+E2+E5+E3
= E3(E1E4+1) + E2 + E5
24
= E3 + E2 + E5, sehingga
P(T)
= 0.11593
I1
I2
G1
G2
I4
E2
I3
E1
G4
G3
E3
E4
E5
E6
25
BAB 1
RANTAI MARKOV DISKRIT
Pendahuluan
untuk
melakukan
evaluasi
keandalan
sistem.
Ada beberapa syarat agar metode Markov dapat diaplikasikan dalam evaluasi
keandalan sistem. Syarat-syarat tersebut adalah:
(1) Sistem harus berkarakter lack of memory, dimana kondisi sistem dimasa
mendatang tidak dipengaruhi (independent) oleh kondisi sebelumnya.
Artinya kondisi sistem saat evaluasi tidak dipengaruhi oleh kondisi
sebelumnya, kecuali kondisi sesaat sebelum kondisi saat ini.
(2) Sistem harus stationery atau homogen, artinya perilaku sistem selalu
sama disepanjang waktu atau peluang transisi sistem dari satu kondisi
ke kondisi lainnya akan selalu sama disepanjang waktu. Dengan
demikian maka pendekatan Markov hanya dapat diaplikasikan untuk
sistem dengan laju kegagalan yang konstan.
(3) State is identifiable. Kondisi yang dimungkinkan terjadi pada sistem
harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Apakah sistem memiliki dua
kondisi (state) yakni kondisi beroperasi dan kondisi gagal, ataukah
sistem memeiliki 3 kondisi, yakni 100% sukses, 50% sukses dan 100%
gagal.
Pada bab ini hanya akan dibahas evaluasi keandalan sistem diskrit dengan
pendekatan discrete Markov Chain. Penjelasan tentang metode Markov untuk
sistem kontinyu akan dibahas pada bab selanjutnya.
1.2
Konsep Pemodelan
Seperti terlihat pada gambar 7.1, sistem diwakili oleh dua kondisi (state) yang
teridentifikasi, dan diberi nama kondisi 1 dan kondisi 2. Angka-angka yang
terlihat pada gambar menunjukkan transition probability atau peluang transisi dari
satu kondisi ke kondisi lainnya atau pun peluang tetap berada pada kondisi
semula. Peluang transisi ini akan sama disepanjang waktu (stationery).
Perhatikannlah kondisi yang pertama dan asumsikan bahwa sistem dimulai dari
kondisi ini dimana peluang transisi ke kondisi 2 adalah 0.5. Dengan demikian
peluang tetap berada pada kondisi 1 adalah 1 - 0.5 = 0.5. Demikian juga bahwa
peluang transisi dari kondisi 2 ke kondisi satu adalah 1/4. Dengan demikian
peluang tetap berada pada kondisi 2 adalah 1 1/4 = 3/4. Kita lihat bahwa
jumlah peluang transisi pada satu keadaan adalah 1 (unity).
1/2
1/2
3/4
1
2
1/4
Perilaku sistem dapat digambarkan lewat event tree, seperti terlihat pada gambar
7.2. Gambar ini mengasumsikan bahwa sistem berawal dari kondisi 1 dan
transisi terjadi selama 4 interval waktu. Peluang masing-masing transisi juga
terlihat pada gambar tersebut, yang nilainya konstan disepanjang interval.
Peluang total dari masing-masing cabang pada event tree tersebut didapat
dengan mengalikan semua peluang pada cabang tersebut. Diakhir, peluang total
apakah sistem berpindah dari kondisi 1 ke kondisi 2 atau tetap berada pada
kondisi 1 setelah empat interval didapat dengan menjumlahkan semua peluang
masing-masing cabang yang bersesuaian. Terlihat bahwa setelah empat interval
peluang sistem berpindah dari kondisi 1 ke kondisi 2 adalah 85/128 dan peluang
sistem berada pada kondisi satu adalah 43/128. (peluang total adalah 128/128
atau sama dengan 1). Gambar 7.2 dapat di tuliskan dalam bentuk tabel seperti
terlihat pada tabel 7.1.
Tabel 1.2-2 Sistem dengan dua kondisi (state)
time interval
state probabilities
state 1
state 2
1/2 = 0.5
1/2 = 0.5
3/8 = 0.375
5/8 = 0.625
11/32 = 0.344
21/32 = 0.656
43/128 = 0.336
85/128 = 0.664
171/512 = 0.334
341/512 = 0.666
Tabel diatas mengasumsikan bahwa sistem dimulai dari kondisi 1. Pada tiap time
interval jumlah probabilitas adalah sama dengan 1. Nilai probabilitas transisi dari
kondisi 1 ke kondisi 2 (kolom 3) atau probabilitas transisi tetap berada di kondisi
1 (kolom 2) berangsur-angsur menjadi konstan dengan bertambahnya time
interval. Gambar 7.3 menunjukkan karakter yang lebih jelas dari sistem di atas.
Int 1
Int 2
Int 3
Int 4
1/2
1/16
1/2
1/16
1/4
1/32
3/32
12
1/32
1/32
3/64
9/64
18
1/2
1/32
1/2
1/32
1/4
1/64
3/4
3/64
3/64
3/64
9/128
27/128
27
total
128
1/2
1
2
3/4
1/2
1
1/2
1/2
2
1/4
2
3/4
1
1
1
2
2
1/2
1/4
1
1/2
2
1/4
3/4
2
3/4
Gambar 7.3 jelas sekali menunjukka dua daerah pada grafik. Pada daerah
transien, terjadi perubahan nilai probabilitas kondisi (state) hingga memasuki
daerah steady state, dimana nilai probabilitas tersebut menjadi konstan dengan
nilai akhir 0.334 tetap berada pada kondisi 1 dan 0.666 berpindah ke kondisi 2.
Kita juga dapat simpulkan bahwa nilai-nilai probabilitas di daerah transien sangat
tergantung pada kondisi awal apakah sistem dimulai dari kondisi 1 atau dari
kondisi 2. Namun demikian, nilai-nilai probabilitas pada daerah steady state tidak
tergantung pada kondisi awal. Pada gambar 7.3 juga terlihat bahwa nilai
probabilitas transisi menjadi konstan setelah kurang lebih melewati 4 interval
waktu.
1.0
0.8
Daerah transien
probability
0.666
State 2
0.6
0.4
State 1
0.334
0.2
Jumlah interval
1.3
Analisa probabilitas transisi seperti dibahas pada sub bab sebelumnya memeliki
beberapa kelamahan. Kelemahan utamanya adalah panjangnya waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan evaluasi terutama jika jumlah time interval yang
relatif besar. Disamping itu, penentuan daerah transien dan steady state juga
membutuhkan jalan yang panjang karena kita harus mengidentifikasi interval
dimana nilai probabilitasnya tidak lagi akan berubah. Dengan keterbatasan
tersebut, pemakaian stochastic transitional probability matrix akan jauh lebih
P12 1 / 2 1 / 2
=
P22 1 / 4 3 / 4
interval waktu dimana sistem mulai dari kondisi i diawal waktu interval. Seperti
terlihat P11 menunjukkan probabilitas tetap berada di kondisi 1 jika sistem dimulai
dari kondisi 1, dimana nilai probabilitasnya adalah 1/2. Begitu pula P12
menunjukkan probabilitas transisi dari kondisi 1 k kondisi 2 jika sistem dimulai
dari kondisi 1, dimana nilai probabilitas transisinya adalah 1-1/2 = 1/2.
1.4
P
P 2 = 11
P21
P12 P11
P22 P21
Jika nilai P11, P12, P21, P21 disubstitusikan ke dalam matrik diatas maka akan
diperoleh :
5/8
3/8
P2 =
5
/
16
11
/ 16
Yang menyatakan bahwa jika sistem dimulai dari kondisi 1 maka setelah 2
interval waktu probabilitas tetap di kondisi 1 adalah 3/8 dan probabilitas transisi
ke kondisi dua adalah 5/8. Terlihat bahwa jumlah baris adalah 1. Demikian juga
halnya jika sistem dimulai dari kondisi 2, maka probabilitas transisi ke kondisi 1
adalah 5/16 dan probabilitas tetap di kondisi 2 adalah 11/16. Nilai-nilai tersebut
diatas untum masing-masing kondisi awal didapat dengan mengalikan matrik P2
tersebut dengan probability vector yang nilainya [1
kondisi satu, dan [0
diatas
sesuai
dengan
nilai-nilai
probabilitas
yang
dihasilkan
dengan
5/8
3/8
0]
= [3 / 8
5 / 16 11 / 16
P( IC = 2) = [0
5/8
3/8
1]
= [5 / 16 11 / 16]
5 / 16 11 / 16
1.5
5 / 8]
Ringkasan Matrik
Pada bagian ini akan diberikan ringkasan tentang algoritma manipulasi matrik
yang akan menjadi dasar untuk evaluasi pada sub bab pembahasan berikutnya.
Square Matrix, adalah matrik yang jumlah barisnya adalah sama dengan jumlah
kolomnya, m = n, seperti contoh berikut:
1 3 0
A = 2 0 1
4 1 3
Column Matrix, adalah matrik yang hanya memiliki satu kolom atau sering
disebut dengan vektor kolom.
1
A = 2
4
Row Matrix, adalah matrik yang hanya terdiri dari satu baris saja atau sering
disebut dengan vektor baris.
A = [1 3 0]
Transposed matrix, adalah matrik dimana nilai baris pada matrik awal berubah
menjadi nilai kolom pada matrik transposenya.
1 0
1 3 2
3 4
T
A=
maka
A
=
0
4
2 1
Diagonal matrix, adalah matrik yang semua komponennya bernilai 0 (nol) kecuali
diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang tidak bernilai nol.
1 0 0
A = 0 5 0
0 0 3
Identity Matrix, adalah matrik diagonal yang nilai semua komponen diagonalnya
adalah 1.
1 0 0
A = 0 1 0
0 0 1
Symetric Matrix, adalah matrik yang nilainya sama dengan matrik transposenya.
4 2 0
A = A = 2 3 1
0 1 2
T
Co-Factors Fij dari sebuah matrik adalah (-1)i+j dikalikan dengan dengan
determinannya jika baris ke-i dan kolom ke-j dihilangkan.
1 3 0
A = 2 0 1 maka
4 1 3
F11 = (1) 2
0 1 0 1
=
dan
1 3 1 3
F12 = (1) 3
2 1
2 1
=
4 3
4 3
A=
i =1
a ij Fij
atau
A=
ij Fij
i =1
1 3 0
0 1
2 1
2 0
A = 2 0 1 = 1
+3
+0
= 1(0 1) + 3(6 4) + 0(2 0) = 5
1 3
4 3
4 1
4 1 3
+
=
2 4 5 1 3 2 1 4 7
2 4 5 1 3 2 3 2 3
a11
a
21
a12
a 22
b11
a13
b21
a 23
b31
b12
a11b11 + a12 b21 + a13 b31
b22 =
a b + a 22 b21 + a 23 b31
b32 21 11
Inverse of a mtrix, memiliki sifat jika matrik tersebut dikalikan dengan inverse-nya
maka akan menghasilkan matrik identitas, A.A-1 = I. Elemen dari matrik inverse
dicari dengan:
^
a ij =
F ji
A
1 3 0
A = 2 0 1 kita dapatkan bahwa nilai determinannya adalah 5, maka
4 1 3
^
a 11 =
0 1
= -1
1 3
a 12 =
3 0
=9
1 3
a 13 =
3 0
= 3
0 1
Dengan cara yang sama kita cari komponen matrik inverse yang lainnya maka
akan didapatkan:
1 9 3
1
= 2 3
1
5
2 13 6
a12
a 22
a 32
a13 x d1
a 23 y = d 2
a 33 z d 3
Maka dalam mencari nilai x, maka kolom pertama pada matrix 3 x 3 diatas
diganti dengan matrik kolom yang paling kanan sehingga:
d1
1
x=
d2
A
d 3
a12
a 22
a 32
a13
a 23
a 33
10
Cara yang sama juga dilakukan juga untuk mencari nilai y dan z.
1.6
Limiting Value
Limiting value
[P1
[P1
1 / 2 1 / 2
P 2]
= [P1 P 2] , yang dapat dituliskan dalam persamaan sebagai
1 / 4 3 / 4
berikut:
1/2 P1 + 1/4 P2 = P1
1/2P1 + 3/4 P2 = P2, jika kedua persamaan ini kita susun ulang maka:
-1/2 P1 + 1/4 P2 = 0 .......................................................................
1/2 P2 - -1/4 P2 = 0. .......................................................................
Kedua persamaan diatas tidak dapat disubstitusikan mengingat sifat saling
meniadakan yang dimiliki oleh kedua persamaan tersebut. Karena itu kita
membutuhkan satu persamaan tambahan yakni:
P1 + P2 = 1 ....................................................................................
Sehingga persamaan yang akan diselesaikan adalah
-1/2 P1 + 1/4 P2 = 0 .......................................................................
P1
P2 = 1 ......................................................................
11
1.7
Absorbing state
Pada konteks discrete Markov chain, kondisi (state) sistem dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu, ergodic state dan absorbing state. Ergodic state adalah state
yang limiting value nya ditentukan oleh kondisi awalnya, dimana state ini bisa
menerima transisi probabilitas dari state lainnya dan bisa memindahkan
/mengeluarkan transisi probabilitas ke state lainnya. Pada ergosic state maka
state ini dapat dicapai dari semua state lainnya baik secara langsung atau
melalui state perantara lainnya. Jika kondisi seperti pada ergodic state ini tidak
dapat terpenuhi, dimana state hanya bisa menerima dan menyerap transisi tanpa
bisa memindahkan atau mengeluarkannya sampai sistem tersebut memulai misi
(operasi) yang baru, maka state tersebut disebut dengan absorbing state.
Absorbing state ini berkaitan erat dengan mission oriented system.
Pada evaluasi keandalan dengan metode Markov maka diperlukan analisa untuk
mencari jumlah interval operasi sebelum sistem memasuki absorbing state atau
sebelum sistem harus dihentikan untuk dimulai lagi dengan misi (operasi) yang
baru.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menentukan jumlah interval
waktu sebelum sistem memasuki abosrbing state. Langkah-langkah tersebut
adalah:
(1) Buatlah matrik Q dengan menghilangkan komponen baris dan kolom
pada matrik yang berhubungan dengan absorbing state.
(2) Jadikan matrik Q sebagai pengurang dari matrik identitas, dan sebut
matrik baru tersebut dengan matrik N. ( [N] = [ I ] [ Q ] ).
(3) Cari inverse dari matrik N.
1.8
12
Pada gambar berikut, tentukanlah (a) limiting state probabilities, (b) time
dependent state probabilities setelah 2 interval waktu dan (c) jumlah interval di
masing-masing state jika state 3 adalah absorbing state.
1
1/3
1/4
1/2
2
3
1/3
Seperti terlihat, probabilitas dari kondisi 1 ke 2 adalah 1/4, dan dari 1 ke 3 adalah
0, dengan demikian probabilitas tetap di kondisi 1 adalah 1-1/4-0 = 3/4. Demikian
juga halnya, probabilitas transisi dari kondisi 2 ke 3 adalah 1/2, dari kondisi 2 ke
1 adalah 0, maka probabilitas tetap di state 2 adalah 1-1/2-0 = 1/2. Hal yang
sama berlaku untuk kondisi 3 dimana probabilitas transisi ke kondisi 1 dan 2
adalah masing-masing 1/3, sehingga probabilitas tetap di kondisi 3 adalah 1-1/31/3 = 1/3.
Kasus (a) :
Untuk mecari limiting value:
3 / 4 1 / 4 0
[P1 P 2 P3] 0 1 / 2 1 / 2 = [P1 P2 P3]
1 / 3 1 / 3 1 / 3
13
dan menghasilkan:
3/4 P1
+ 1/3 P3 = P1 .......................................................
A = 3/ 4
1/ 2 1/ 2
0 1/ 2
0 1/ 2
1 / 4
+0
= 3 / 4[0] 1 / 4[1 / 6] + 0 = 1 / 24
1/ 3 1/ 3
1/ 3 1/ 3
1/ 3 1/ 3
1
1
1 P3 1
Nilai P1 didapat dengan mengganti kolom pertama matrik diatas dengan matrik
kolom paling kanan, sehingga akan menjadi
0
1 / 3
0
1 / 2 1 / 3
0 1/ 3
0 1 / 2
1
P1 =
0 1 / 2 1 / 3 = 240
0
+1 / 3
= 24 / 6 = 4
1
1 1
1
1
A
1
1
1
1
Dengan cara yang sama didapat nilai P2 = 4 dan nilai P3 = 3. Namun ingat
bahwa total nilai P1+P2+P3 =1, dengan demikian nilai P1 = 4/11, P2 = 4/11 dan
P3 = 3/11. Ketiga nilai tersebut adalah nilai limiting value probabilitas sistem
berada pada state 1, state 2 dan state 3.
Kasus (b):
Nilai probabilitas setelah 2 waktu interval didapat dengan mengalikan matrik P
sejumlah 2 kali:
5 / 16
2 / 16
3 / 4 1 / 4 0 3 / 4 1 / 4 0 9 / 16
P 2 = 0 1 / 2 1 / 2 0 1 / 2 1 / 2 = 4 / 24 10 / 24 10 / 24
1 / 3 1 / 3 1 / 3 1 / 3 1 / 3 1 / 3 39 / 108 39 / 108 30 / 108
14
Sehingga jika sistem dimulai dari state 1, maka setelah dua time interval
probabilitas tetap di state 1 adalah 9/16, berpindah ke state 2 adalah 5/16 dan
berpindah ke state 3 adalah 2/16. Demikian juga penjelasan yang sama dapat
diberikan jika dimulai dari state yang lainnya.
Kasus (c):
Jika state 3 adalah absorbing state, maka:
3 / 4 1 / 4 0
3 / 4 1 / 4
Q = 0 1 / 2 1 / 2 =
, dengan menghilangkan kolom dan baris 3
0 1 / 2
1 / 3 1 / 3 1 / 3
1 0 3 / 4 1 / 4 1 / 4 1 / 4
N =
1/ 2
0 1 0 1 / 2 0
0 2
Matrik diatas berarti jika kondisi awal adalah state 1, maka sistem akan berada 4
interval di state 1 dan 2 interval di state 2 sebelum masuk ke absorbing state.
Namun jika sistem dimulai dari state 2, maka sistem akan berada 0 interval di
state 1 dan 2 interval di state 2, sebelum masuk absorbing state. Nilai nol pada
komponen inverse matrik N sangat jelas disebebkan karena tidak ada transisi
dari state 2 ke state 1 seperti terlihat pada state space diagramnya.
15
BAB 1
PROSES MARKOV
(CONTINUOUS MARKOV PROCESS)
1.1
Pendahuluan
memiliki jumlah yang terbatas dan teridentifikasi dengan jelas, sementara itu
continuous in time memiliki pengertian bahwa sistem beroperasi dengan kontinyu
hingga nantinya berpindah secara diskrit ke kondisi lainnya.
Operating
state
Continuous
operation
Discrete
transition
waktu
Failed
state
Gambar 1.1-1 karakter operasi sistem
Pada metode kontinyu Markov yang akan dibahas pada bab ini, sistem memiliki
karakter dengan laju kegagalan (failure rate) dan laju perbaikan (repair rate) yang
konstan disepanjang waktu. Karena itu metode ini hanya dapat dipergunakan
untuk sistem yang sebaran data kegagalannya dapat diwakili oleh distribusi
eksponensial.
Continuous Markov Process dapat dipergunakan untuk melakukan evaluasi
keandalan pada repairable dan non-repairable system, juga untuk sistem dengan
susunan seri, paralel ataupun standby. Karena itu, metode ini banyak
dipergunakan khususnya jika rentang waktu perbaikan cukup berpengaruh pada
pola operasi sistem tersebut.
1.2
Konsep Pemodelan
Pada kasus single repairable system, state space diagramnya dapat diwakili
seperti yang terlihat pada gambar 8.2.
=c
0
1
=c
Jika
Po(t) = peluang komponen beroperasi pada waktu (t)
P1(t) = peluang komponen gagal pada waktu (t)
Maka failure density function untuk komponen yang memiliki laju kegagalan
konstan adalah:
f (t ) = e t
Dengan demikian density function untuk kondisi operasi dan gagalnya adalah
secara berturut-turut menjadi:
f o (t ) = e t dan f 1 (t ) = e t
1.3
Jika dt adalah rentang waktu yang relatif kecil dimana selama rentang waktu
tersebut peluang terjadinya prubahan kondisi (state) lebih dari 1 kali tidak
dimungkinkan, maka peluang sistem ditemukan dalam keandaan beroperasi
pada interval t+dt, adalah: peluang sistem beroperasi pada waktu (t) DAN tidak
gagal hingga waktu (t+dt) + peluang sistem gagal saat waktu (t) DAN sudah
diperbaiki di waktu (t+dt). Pernyataan tersebut secara matematis dapat dituliskan
dengan:
Po(t+dt) = Po(t).(1-dt) + P1(t).(dt).....................................
Dengan konsep yang sama diperoleh:
P1(t+dt) = P1(t).(1-dt) + Po(t).(dt).....................................
Dari persamaan diatas:
Po (t + dt ) Po (t )
= Po (t ) + P1 (t )
dt
, ........................................
dt 0
dPo (t )
= Po ' (t ) ...................................
dt
Sehingga
Po(t) = -Po(t) + P1(t) .......................................................
P1(t) = Po(t) - P1(t) .........................................................
Kedua persamaan diatas dapat dituliskan dalam bentuk matrik menjadi:
[P
'
(t ) P1 ' (t ) = [Po (t ) P1 (t )]
..................................
adalah
persamaan
diferensial
dan
dapat
diselesaikan
dengan
P1 ( s ) =
s+
s+
P1 ( s ) +
1
Po (0) ...............................................
s+
Po ( s ) +
1
P1 (0) ...............................................
s+
Po (0) + P1 (0)
1
1
+ + . s + + [Po (0) P1 (0)] ...
+
s
P1 ( s ) =
Po (0) + P1 (0)
1
1
+
.
[P1 (0) P0 (0)] ....
+
s
+ s+ +
P1 (t ) =
( + )t
( + )t
P1 (t ) =
e ( + )t
.......................................................
+
e ( + ) t
........................................................
+
Po(t) dan P1(t) diatas adalah peluang sistem ditemukan dalam keadaan
beroperasi dan gagal pada waktu (t) dimana sistem mulai dari kondisi beroperasi
saat t=0.
1.4
Limiting state probabilities dari sitem adalah non-zero untuk kontinyu Markov jika
sistem adalah ergodic, seperti pada diskrit Markov. Limiting value ini diperoleh
dengan mengevaluasi 2 persamaan terakhir pada sub bab sebelumnya pada
waktu t. Jika limiting value ini disimbulkan dengan Po dan P1 maka diperoleh:
Po = Po() = /+.............................................................
P1 = P1() = /+ .............................................................
Kedua persamaan tersebut diatas berlaku pada kasus sistem dimulai pada
kondisi beroperasi maupun sistem dimulai pada kondisi gagal.
Pada bab sebelumnya juga telah disampaiakan bahwa pada distribusi
eksponensial, nilai mean time to Failure (MTTF) adalah:
MTTF = 1/........................................................................
Dan mean time to repair adalah:
MTTR = 1/ .......................................................................
Dengan demikian maka dengan mensubstitusikan ke-empat persamaan diatas
diperoleh:
Po = MTTF/(MTTF+MTTR) ................................................
P1 = MTTR/(MTTF+MTTR) ................................................
Kedua nilai terakhir diatas adalah limiting value atau sering dikenal dengan istilah
availability/ketersediaan (A) dan unavailability/ketidaktersediaan (U) masing
masing untuk Po dan P1.
1.5
0
Full
output
3
1
1
Partial
output
3
2
2
failed
Pada gambar diatas tidak semua transisi harus ada, dan ini tergantung pada
karakteristik operasional dari sistem tersebut. Sebagai contoh, laju transisi 2
mungkin tidka perlu ada karena saat pompa gagal, proses perbaikan umumnya
mengembalikan
pompa
pada
kapasitas
penuh,
bukan
pada
setengah
kapasitasnya saja.
Two repairable components:
Jika sistem terdiri dari dua komponen yang dapat diperbaiki, maka akan terdapat
4 (empat) buah state/kondisi seperti terlihat pada gambar berikut.
1
1 UP
2 UP
1 UP
2 DN
1 DN
2 UP
1
2
2
1
1
2
1 DN
2 DN
Jika kedua komponen tersebut diatas terhubung secara seri maka sistem akan
beroperasi pada kondisi 1 saja, dan sistem akan gagal beroperasi pada kondisi 2,
3 dan 4. Sebaliknya jika dua komponen tersebut terhubung paralel, maka operasi
sistem akan dijamin oleh kondisi 1, 2 dan 3, dan kondisi 4 akan menjamin sistem
gagal. Dengan demikian:
Untuk sistem seri:
Pup
= A = P1
Pdown
= U = P2 + P3 + P4
Pdown
= U = P4
= A = P1+ P2 + P3
Jika kedua pompa yang dibahas diatas adalah pompa yang identik, maka state
space diagram diatas akan menjadi:
1
1 UP
2 UP
2
1 Comp
UP
3
1 DN
2 DN
Transisi dari kondisi 1 ke kondisi 2 bernilai 2. Ini berarti bahwa terdapat dua
pompa yang memiliki peluang gagal, namun hanya satu pompa saja yang akan
gagal. Demikin juga halnya dengan transisi dari kondisi 3 ke kondisi 2 yang
bernilai 2, terdapat 2 pompa yang gagal dan punya peluang untuk diperbaiki
namun hanya satu pompa saja yang akan diperbaiki.
Three repairable components:
Jumlah maksimum kondisi yang dimungkinkan pada sistem yang terdiri dari 3
komponen adalah 23 = 8 kondisi, seperti terlihat pada gambar berikut.
1
1 UP
2 UP
3 UP
1
2
3
1 DN
2 UP
3 UP
4
1 UP
2 DN
3 UP
1
3
1 UP
2 UP
3 DN
6
1 DN
2 DN
3 UP
1 UP
2 DN
3 DN
7
1 DN
2 UP
3 DN
8
1 DN
2 DN
3 DN
= A = P1
Pdown
= U = P2 + P3 + P4 + P5 + P6 + P7 + P8
= A = P1 + P2 + P3 + P4 + P5 + P6 + P7
Pdown
= U = P8
Untuk sistem dimana sukses dijamin oleh minimal 2 komponen (2 out of 3):
Pup
= A = P1 + P2 + P3 + P4
Pdown
= U = P5 + P6 + P7 + P8
1 UP
2 SB
1
2
1 DN
2 UP
1 UP
2 DN
2
1
2
2
3
1 DN
2 DN
1.6
nilai interval diskrit (t). Interval t ini adalah waktu interval yang relatif kecil
dimana peluang munculnya dua kali perubahan transisi atau lebih tidak
dimungkinkan. Dengan demikian, stochastic transitional probability matrix untuk
satu komponenyang dapat diperbaiki akan menjadi:
t
1 t
P=
1 t
t
1.7
Masih sama dengan konsep diskrit Markov, maka perkalian limiting state
probability vector () dengan stochastic transitional probability matrix (P) harus
menghasilkan limiting state probability vector () seperti dibawah ini:
P = ..............................................................................
Ini akan menghasilkan:
[Po
t
1 t
P1 ]
= [Po
t 1 t
P1 ] ..........................................
10
Po = Po() = /+.............................................................
P1 = P1() = /+ .............................................................
Pada kasus dua komponen identik yang repairable, maka diperoleh stochastic
transitional probability matrix seperti:
2
0
1 2
......................................................
1
0
2
1 2
P2 + P3 = 0 ............................................................
P2 = 2/(+)2
P3 = 2/(+)2 ............
= A = P1 = 2/(+)2
Pdown
= U = P2 + P3 = 2/(+)2 + 2/(+)2
= A = P1 + P2 = 2/(+)2 + 2/(+)2
11
Pdown
1.8
= U = P3 = + 2/(+)2
[P1 ' (t )
2
P2 ' (t ) P3 ' (t )] = [P1 (t ) P2 (t ) P3 (t )]
0
2
2
...
2
2s + 4
...........................................................
s ( s + + )(s + 2 + 2 )
12
2s + 4
A
B
C
+
+
..............................
s ( s + + )( s + 2 + 2 ) s s + + s + 2 + 2
Jika s = 0 A = 2/(+)2
Jika s = -(+) B = 2(-)/(+)2
Jika s = -(2+2) C = -22/(+)2
Sehingga:
P2 ( s ) =
2
s ( + ) 2
2 ( )
( s + + )( + ) 2
2 2
( s + 2 + 2 )( + ) 2
..................
2
( + ) 2
2 ( )
( + ) 2
e ( + )t
2 2
( + ) 2
e ( 2 + 2 )t .........................
Dengan proses yang sama didapatkan untuk P1(t) dan P3(t) adalah:
1.9
P1 (t ) =
2
2
2
( + )t
+
e
e ( 2 + 2 )t ...........................
2
2
2
( + )
( + )
( + )
P3 (t ) =
2
2
2 2
( + )t
+
e
+
e ( 2 + 2 )t ...........................
( + ) 2 ( + ) 2
( + ) 2
Nilai P1(t), P2(t) dan P3(t) adalah peluang sistem ditemukan dalam 3 kondisi yang
berbeda atau sering disebut dengan state availability values. Jika yang hendak
kita hitung adalah keandalan sistem secara keseluruhan, kita harus tentukan
dimana sistem akan berhenti. Kondisi ini bisa diwujudkan dengan menjadikan
kondisi 3 sebagai absorbing state. Jika ini terjadi, maka saat sistem memasuki
kondisi 3 maka sistem akan terhenti sampai sistem memulai misi kembali dari
kondisi 1. Dengan demikian persamaan 8.10 akan berubah menjadi:
13
2
[P1 ' (t ) P2 ' (t ) P3 ' (t )] = [P1 (t ) P2 (t ) P3 (t )]
0
2
0
...............
0
0
Dengan menggunakan cara yang sama seperti pada penjelasan pada sub bab
sebelumnya, matrik diatas dapat diubah kedalam bentuk persamaan diferensial
dan diselesaikan dengan transformasi Laplace. Proses ini akan menghasilkan:
R(t ) = P1 (t ) + P2 (t ) =
Dimana:
s1 =
1
(3 + + 2 + 6 + 2 ) dan
2
s2 =
1
(3 + 2 + 6 + 2 )
2
Jika pada sistem yang tidak dapat diperbaiki, maka ekspresi keandalan sistem
yang terdiri dari 2 komponen yang identik tersebut dapat diekspresikan dengan:
R(t ) = e t + e t e 2t = 2e t e 2t ..................................................
Disini terlihat bahwa perbedaan antara kedua kondisi diatas pada kasus
repairable system, maka sistem akan gagal hanya jika komponen kedua gagal
sebelum komponen pertama yang gagal terlebih dahulu belum diperbaiki. Namun
pada kasus non-repairable system, tidak ada perbaikan yang dimungkinkan
sehingga sistem akan gagal jika semua komponen gagal beroperasi, atau saat
komponen kedua gagal beroperasi setelah komponen pertama gagal.
Pada kasus repairable system, Mean Time To Failure didapatkan dengan
mengintegralkan R(t) pada persamaan 8.12 menjadi:
MTTF = R (t )dt =
0
s1 + s 2 3 +
=
s1 s 2
2 2
14
=
1
0 1
2
...........................
+
2 2
=
1 +
2 2
2
..............................................
2
diatas
identik
dengan
hasil
sebelumnya
yang
didapat
dengan
mengintegralkan R(t).
Jika sistem dimulai dari kondisi 2 (salah satu komponen beroperasi) maka
MTTF = m21 + m22 = (2+)/22 ......................................................
Jika sistem dengan 2 komponen identik diatas terhubung secara seri antara satu
komponen dengan komponen yang lainnya maka kondisi 2 (satu komponen
beroperasi) dan kondisi 2 (kedua komponen gagal) adalah merupakan absorbing
state. Dengan demikian maka matrik Q didapat dengan menghilangkan kolom
dan baris ke 2 dan ke 3 dari stochastic transitional probability matrix,
menghasilkan:
Q = [1 2 ] .......................................................................................
N 1 = [I Q ]1 = [2 ]1 =
1
...............................................................
2
15
1.10
menggunakan
prinsip
hitung
limiting
state
probabilitiesnya.
(6) Tentukan availability dan unavailability, dengan menggambungkan nilai
probabilitas kondisi-kondisi yang bersesuain yang menjamin sistem
beroperasi dan sistem gagal.
(7) Dengan menggunakan prinsip absorbing state, selesaikan persamaan
diferensial yang dimodifikasi untuk menentukan keandalan sistem dan
selanjutnya gunakan persamaan tersebut untuk mendapatkan MTTF.
Jika persamaan diferensial tidak dapat dipergunakan untuk melakukan
proses ini, maka gunakan metode perkalian matrik.
Untuk memberikan ilustrasi pemakaian prosedur diatas dalam melakukan
evaluasi keandalan sistem yang lebih kompleks, perhatikan sistem yang
tergambar dibawah ini. (Gambar 8.7).
(1) Gambar 8.5 adalah state space diagram untuk kasus hubungan seriparalel seperti terlihat pada gambar 8.7.
16
(2) Laju transisi yang mungkin terjadi pada sistem juga telah dijelaskan
pada gambar 8.5.
2
1
3
1
2
3
1 1 2 3
1 1 2 3
1
2
1 2 1 3
2
1
1 3 1 2
P=
1 2 1 3
2
1
1 2
3
2
3
1
3
2
3 1
1 1 3 2
3
1
2
1 1 2
17
(8) Jika sistem pada gambar 8.7 dapat beroperasi jika minimal salah satu
dari komponen 2 dan 3 dapat beroperasi, maka kondisi 2, 5, 6, 7 dan 8
adalah absorbing state dan memberi nilai Q adalah:
2
3
1 1 2 3
2
Q=
1 2 1 3
1 3 1 2
(9) Dari matrik Q diatas selanjutnya dapat dihitung inverse dari matrik
dimana N-1=[I-Q]-1 dan selanjutnya keandalan sistem dapat didapatkan
dengan menggunakan metode persamaan diferensial.
18
19
B AB 1
METODE ANALISA FREKUENSI
DAN DURASI
1.1
Pendahuluan
1.2
Pada kasus single repairable component seperti yang telah dijelaskan pada bab
terdahulu, maka dengan pendekatan Markov akan diperoleh bahwa peluang
sistem akan berada pada mode operasi dan mode gagalnya dapat dirumuskan
seperti berikut:
Po =
P1 =
( + )
( + )
m
.....................................................................................
m+r
r
......................................................................................
m+r
State 0
Kondisi
operasi
State 1
Kondisi
gagal
up
m
r
down
Seperti terlihat pada Gambar 2, periode waktu T adalah siklus waktu sistem yang
dalam hal ini adalah penjumlahan mean time to failure (MTTF) dan mean time to
repair (MTTR). Siklus ini lebih dikenal dengan istilah mean time between failure
(MTBF). Pada beberapa buku, MTTF dianggap sama dengan MTBF. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa waktu yang diperlukan untuk melakukan
perbaikan relatif sangat kecil dibandingkan dengan waktu operasinya sehingga
waktu perbaikan ini dapat diabaikan. Dengan demikian maka:
m = MTTF = 1/.................................................................
r = MTTR = 1/ ..................................................................
T = MTBF = m + r = 1/f ......................................................
Dimana f adalah frekuensi siklus atau dalam hal ini adalah frekuensi sistem
berada/masuk pada kondisi (state) tertentu. Pada contoh seperti terlihat pada
Gambar 1, frekuensi menuju ke mode operasi memiliki nilai yang sama dengan
frekuensi menuju ke mode gagalnya. Pada kasus yang lebih kompleks nilai
frekuensi ini umumnya akan berbeda.
Dengan demikian berdasarkan Gambar 2, jika dua sistem memiliki komponen
komponen tunggal yakni A dan B serta memiliki laju kegagalan dan laju
perbaikan masing-masing adalah , untuk komponen A pada sistem pertama
dan 2, 2 untuk komponen B pada sistem kedua, maka kedua sistem akan
memiliki nilai availability serta unavailability
sistem
kedua akan gagal 2 kali lebih banyak dari sistem pertama dan sistem kedua juga
akan diperbaiki 2 kali lebih cepat dari sistem pertama. Kondisi in iakan sangat
menentukan dalam konteks ekonomi. Dengan demikian evaluasi hanya terhadap
nilai availability dan unavailability sistem tidaklah cukup karena nilai frekuendi
dan durasi sebuah sistem menuju/berada pada kondisi tertentu akan sangat
menentukan performa
ekonomis
sebuah sistem.
ingat:
availability
1.3
1.3.1
1
1 UP
2 UP
1
1
2
3
1 UP
2 DN
2
1 DN
2 UP
2
1
1
4
1 DN
2 DN
1 (1 + 2 )
(
+
)
1
2
1
2
P=
2
1
1 (1 + 2 )
)
2
1
1
2
1.3.2
State probabilities
Langkah pertama dalam analisa frekuensi dan durasi adalah melakukan evaluasi
terhadap individual limiting state probabilities. Evaluasi ini telah dengan seksama
dijelaskan pada bab sebelumnya yakni dengan menggunakan limiting state
vector () dimana P = . Dengan cara ini diperoleh:
P1 =
P2 =
P3 =
P4 =
1 2
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
1 2
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
2 1
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
1 2
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
Dimana P1, P2, P3, dan P4 adalah limiting state values atau peluang sistem
berada pada kondisi 1, 2, 3 dan 4 secara berturut-turut pada waktu tak terhingga.
P2 = 2/(+)2
P3 = 2/(+)2 ............
Dengan demikian jika kedua komponen diatas tersusun secara seri, maka:
Pup = P1, dan Pdown = P2 + P3 + P4
Untuk sistem dengan dua komponen yang terhubung paralel, mak:
Pup = P1 + P2 + P3 dan Pdown = P4
1.3.3
Tabel. 10.1 Laju transisi keluar dari dan menuju kondisi tertentu
state
Komponen
1
Komponen
2
Transisi
Transisi
out
in
up
up
1+2
1+2
down
up
2+1
1+2
up
down
1+2
2+1
down
down
1+2
1+2
Dari tabel diatas dan persamaan yang telah diuraikan pada sub bab diatasnya
maka diperoleh bahwa frekuensi memasuki state 1 f1 diperoleh dengan
mengalikan P1 dengan laju transisi keluar dari state 1 yang akan menghasilkan:
f1 =
1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 ) .......................................................................
Demikian juga halnya, dengan cara yang sama diperoleh bahwa frekuensi
memasuki state 4 f4 diperoleh dengan mengalikan P4 dengan laju transisi keluar
dari state 4 yang akan menghasilkan:
f4 =
1 2 (1 + 2 )
.......................................................................
(1 + 1 )( 2 + 2 )
Cara yang sama dapat dilakukan untuk menghitung f2 dan f3. Hasil selengkapnya
terlihat seperti pada tabel berikut:
Tabel. 10.2 State probabilities dan frekuensi
State
Probabilitas
frekuensi
12
/D
12(1+2)
/D
12
/D
12(2+1)
/D
21
/D
21(1+2)
/D
12
/D
12(1+2)
/D
dimana D = (1+1)(2+2)
f4 =
2 2
( + )2 ....................................................................................
2 2
( + )2 ...................................................................................
f2 = f3 =
1.3.4
( + )2 ............................................................................
(1 + 2 ) ...................................................................................
1
( 2 + 1 )
..................................................................................
(1 + 2 ) ..................................................................................
1
(1 + 2 ) .................................................................................
m1 =
(2 ) ........................................................................................
m 2 = m3 =
m4 =
1.3.5
( + ) .............................................................................
(2 ) ........................................................................................
Seperti telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, siklus waktu T seperti pada
persamaan 10.11 yaitu kebalikan dari frekuensi f. Siklus waktu T untuk masingmasing kejadian selanjutnya bisa diperoleh dengan menghitung frekuensi
masing-masing kejadian. Nilai siklus waktu ini mewakili rata-rata durasi waktu
sejak memasuki/keluar dari kondisi/state tertentu hingga memasuki/keluar dari
kondisi/state yang sama berikutnya. Pada kasus sistem dengan 2 komponen
yang identik maka:
T1 =
( + )2
(2 )
2
T2 = T3 =
T4 =
....................................................................................
( + ) = 1 + 1
( ) ...................................................................
( + )2
(2 ) ....................................................................................
2
Jika dua komponen tersebut terhubung secara paralel maka MTTF nya adalah
waktu rata-rata dimana kejadian kedua komponen gagal terjadi. Dengan
demikian MTTF nya adalah:
MTTF =
(2 + )
(2 )
2
..............................................................................
Karena MTBF untuk kasus dua komponen yang terhubung paralel adalah
penjumlahan antara MTTF dan MTTR, maka:
MTBF =
(2 + ) +
(2 )
2
2 + 2 + 2 ( + )2
1
=
=
2
2 2
2 2 .................................
Nilai di atas sama dengan nilai pada persamaan 10.13. Dengan demikian maka
MTBF dua komponen yang terhubung paralel adalah sama dengan siklus waktu
memasuki kondisi/state 4 (T4).
Jika dua komponen didalam sistem terhubung secara seri maka MTTF nya
adalah 1/2 dan MTTR nya adalah (+2)/22. Dengan demikian MTTB nya
adalah:
MTBF =
1 ( + 2 ) ( + )2
+
=
2
2 2
2 2 .........................................................
( )
Yang nilainya identik dengan siklus waktu T1. Dengan demikian maka MTBF dua
komponen yang terhubung seri adalah sama dengan siklus waktu memasuki
kondisi/state 1 (T1).
1.3.6
1.3.7
f 34 =
f 12 =
2 2
( 2 + 2 )
2 2
( 2 + 2 )
f up = f 1 =
1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 )
f down = f 4 =
1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 )
'
'
'
1 2 (1 + 2 )
(1 + 1 )( 2 + 2 )
= f4 =
= f 34 = f
= f 234 = f
'
'
+ P3 ( + 3 3 ) =
1 2 (1 + 2 )
1 2
+
.( 2 1 ) = 2 2
(1 + 1 )( 2 + 2 ) (1 + 1 )( 2 + 2 )
2 + 2
+ P2 ( + 2 2 ) =
State 2
2 2 (1 + 1 )
2 1
1 2 (1 + 2 )
+
.( ) =
(1 + 1 )( 2 + 2 ) (1 + 1 )( 2 + 2 ) 1 2 (1 + 1 )( 2 + 2 )
2 2 (1 + 1 )
2 1
+
.(0 (1 + 2 )) = 0
(1 + 1 )(2 + 2 ) (1 + 1 )(2 + 2 )
komponen
gagal
State 3
Komponen
diperbaiki tapi
Belum di instal
10
B AB 1
DISTRIBUSI PELUANG
DALAM EVALUASI
KEANDALAN SISTEM
1.1
Konsep Distribusi
distribution dan konsep-konsep lainnya. Pada bab ini akan diuraikan teknik
memanfaatkan distribusi peluang dalam melakukan evaluasi keandalan.
Seperti telah dijelaskan pada bab bab sebelumnya, parameter-parameter yang
dipergunakan dalam evaluasi keandalan adalah parameter-parameter distribusi
peluang. Nilai dari parameter-parameter ini sangat tergantung pada waktu
kegagalan, waktu perawatan dsb. Dengan kata lain, komponen-komponen di
dalam sistem akan gagal tidak pada waktu yang sama, dan juga akan diperbaiki
tidak pada waktu yang sama pula. Dengan demikian maka time to failure (TTF)
komponen pun akan berbeda satu sama lain. Perbedaan TTF ini akan
mempengaruhi karakter sebaran data kegagalannya yang direpresentasikan
dengan perbedaan nilai parameter distribusinya.
TTF komponen tertentu mungkin diwakili oleh distribusi peluang yang sama,
namun memiliki nilai paramterer yang berbeda. TTF komponen juga sangat
mungkin diwakili oleh jenis distribusi yang berbeda, sehingga parameter yang
mewakili masing-masing distribusi tersebut juga berbeda.
Komponen yang TTF nya diwakili oleh distribusi Weibull akan memiliki jenis
parameter distribusi (shape parameter), (location parameter) dan (scale
parameter). Sementara itu TTF yang terdistribusi eksponensial akan diwakili oleh
parameter distribusi (failure rate) dan TTF yang terdistribusi normal akan
diwakili oleh jenis parameter (standard deviation) dan (mean).
Pada bab sebelumnya jenis distribusi juga dikelompokkan menjadi dua kelompok
utama yakni distribusi diskrit dan distribusi kontinyu. Yang termasuk kedalam
kelompok distribusi diskrit adalah distribusi Poisson, distribusi hypergeometric,
dan distribusi binomial. Sementara yang termasuk kelompok distribusi kontinyu
adalah distribusi eksponensial, distribusi normal, distribusi Weibull dsb.
1.2
Terminologi Distribusi
Pada kasus praktis akan lebih menguntungkan jika kita menghitung peluang
sukses pada waktu tertentu (R(t)), bukan peluang gagalnya (Q(t)). Peluang
sukses merupakan komplemen dari peluang gagal sehingga:
R(t) = 1 Q(t)......................................................................
Turunan pertama dari cummulative distribution function sebuah random varaibel
kontinyu akan menhasilkan probability density function. Pada evaluasi keandalan
turunan pertama dari cummulative distribution function sebuah random varaibel
kontinyu akan menghasilkan fungsi yang kurang lebih sama dengan probability
density function, dan sering disebut dengan failure density function, dimana:
f(t) = dQ(t)/dt = -dR(t)/dt......................................................
sehingga
t
Q (t ) =
f (t )dt .......................................................................
0
Dengan demikian
t
R (t ) = 1
f (t )dt ...................................................................
0
f(t)
Q(t)
R(t)
time
Karena luasan total dibawah kurva failure density function adalah satu, maka
persamaan diatas dapat ditulis sebagai:
R (t ) = 1
f (t )dt ...................................................................
t
1.3
Jika sejumlah No buah komponen diuji, dan Ns(t) adalah jumlah komponen
sukses (survive) dan Nf(t) jumlah komponen gagal dan No = Nf(t) + Ns(t)
Keandalan atau peluang sukses dari komponen tertentu sebagai fungsi waktu
akan menjadi:
R (t ) =
Ns (t ) No Nf (t )
Nf (t )
........................................
=
= 1
No(t )
No
No
Q(t ) =
Nf (t )
..........................................................................
No
Jika dt 0, maka
f (t ) =
1 dNf (t )
..................................................................
.
No d (t )
dNf (t ) No 1
dNf (t )
1
No 1 dNf (t )
........
.
=
.
=
.
Ns (t ) d (t )
No Ns (t ) d (t )
Ns (t ) No d (t )
(t ) =
1
1 dR(t )
................................................
. f (t ) =
.
R (t )
R(t ) dt
Dari ekspresi diatas diketahui bahwa saat t=0, maka f(0) = 0 karena R(0) = 1.
Disamping itu juga terlihat baha hazard rate fungsi yang tergantung pada failure
density function. Dalam konteks phisik dapat diterjemahkan bahwa failure density
function memungkinkan peluang gagal dihitung disetiap waktu pada masa yang
akan datang, sementara hazard rate memungkinkan peluang kegagalan dihitung
pada masa yang akan datang dimana diketahui bahwa sistem/komponen dalam
kondisi sukses sampai waktu t.
Dari persamaan diatas diperoleh:
R (t )
1
.dR (t ) = (t )dt
.....................................................
R(t )
o
ln R (t ) = (t )dt
o
R(t ) = e t
................................................................
...........................................................................
1.4
time interval
dalam 100 jam
jumlah
l
gagal
cummulative
failures
Jumlah
cummulative
failure dist.
(1000-2)
failure density
function
2/1000
survivor
function
1-6
Hazard
Rate
2/ave4
Ns
1000
860
775
700
632
572
519
471
428
390
356
325
297
257
197
122
62
20
5
0
f
0,14
0,085
0,075
0,068
0,06
0,053
0,048
0,043
0,038
0,034
0,031
0,028
0,04
0,06
0,075
0,06
0,042
0,015
0,005
0
Q
0
0,14
0,225
0,3
0,368
0,428
0,481
0,529
0,572
0,61
0,644
0,675
0,703
0,743
0,803
0,878
0,938
0,98
0,995
1
R
1
0,86
0,775
0,7
0,632
0,572
0,519
0,471
0,428
0,39
0,356
0,325
0,297
0,257
0,197
0,122
0,062
0,02
0,005
0
0,151
0,104
0,102
0,102
0,100
0,097
0,097
0,096
0,093
0,091
0,091
0,090
0,144
0,264
0,470
0,652
1,024
1,200
2,000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Sukses
Nf
0
140
225
300
368
428
481
529
572
610
644
675
703
743
803
878
938
980
995
1000
140
85
75
68
60
53
48
43
38
34
31
28
40
60
75
60
42
15
5
hazard rate
0,500
0,400
0,300
II
III
0,200
0,100
0,000
1
10 11 12 13 14 15 16
interval waktu
Keandalan
indeks keandalan
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
1
11
13
15
17
19
waktu interval
f(t)
III
II
11
13
15
17
19
interval
Q(t)
0,8
0,6
0,4
0,2
0
1
11
13
15
17
19
interval
Hazard rate seperti terlihat pada gambar 2 menunjukkan bentuk umum dari
komponen non-elektronik yang sering dikenal dengan istilah bath-tub curve.
Kurva ini dibedakan menjadi 3 periode; periode I, periode II dan periode III.
Periode I sering dikenal dengan istilah burn in period atau infant mortality period
ataupun debugging period, yang ditunjukkan dengan penurunan hazard rate
sebagai fungsi usia komponen atau waktu operasi. Tingginya hazard rate pada
awal periode ini sering disebabkan karena kesalahan produksi, kesalahan disain
ataupun kesalaham assembly. Periode II dikenal dengan istilah useful life period
yang ditandai dengan nilai hazard rate yang konstan. Hanya distribusi
eksponensial yang berlaku pada periode II ini. Periode ke III merepresentasikan
daerah dimana keausan komponen sudah mulai terjadi. Periode ini dikenal
dengan istilah wear-out period yang ditandai dengan peningkatan hazard rate
sebagai fungsi waktu. Ketiga periode ini juga dapat terlhat pada gambar 4 yang
menunjukkan failure density function. Pada gambar ini terlihat bahwa periode II
tepat mewakili kurva negatif eksponensial. Periode III dapat diwakili oleh
distribusi normal, Weibull ataupun Gamma.
Secara umum bath-tub curve dapat digambarkan untuk komponen elektronik dan
mekanik. Komponen elektronik umumnya diwakili oleh useful life period yang
agak panjang, sementara komponen mekanik memiliki useful life period yang
relatif pendek.
1.5
Distribusi Poisson
e x
dimana x = 0,1,2....... untuk >0
x!
Jika dt adalah interval yang cukup kecil, dimana probabilitas terjadinya lebih dari
satu kejadian (kegagalan) adalah nol (0) maka
dt = probability of failure dalam interval dt, i.e. dalam periode (t, t+dt)
Kasus zero failure
Jika Px(t) adalah probabilitas terjadinya kegagalan sejumlah x kali dalam interval
(0,t) , maka probability of zero failure dalam rentang (0, t+dt) adalah probability
of zero failure dalam interval (0,t) x probability of zero failure dalam interval (t,
t+dt)
Po(t + dt) =Po(t) . (1 - dt)
Jika kedua kejadian tersebut adalah bebas satu sama lain (independent) maka
[ Po(t + dt) - Po(t) ] / dt = -Po(t)
Jika dt 0, atau interval menjadi sangat kecil dan mendekati nol (0), maka
dPo(t)/dt = -Po(t) jika di integralkan akan menjadi ln Po(t) = -t + C
Pada t=0, di asumsikan bahwa komponen dalam keadaan beroperasi, sehingga
pada t=0 Po(0) = 1, Ln Po(t) = 0 dan ini memberikan nilai C = 0, sehingga :
Po(t) = e- t ...................................................................................
Rumus diatas adalan ekspresi pertama dari poisson distribution yang
menunjukkan probability of zero failures dalam rentang waktu t. Dalam konteks
reliability, maka:
Keandalan sebagai fungsi waktu adalah R(t) = e- t
Ketidakhandalannya adalah Q(t) = 1- R(t) = 1- e- t
Probability of failure density function-nya adalah f(t) = -dR(t)/dt = e- t
Kasus multiple failure
Jika Px(t) adalah peluang/probabilitas kegagalan terjadi x kali dalam interval (0, t),
maka:
Px (t+dt) =
Akan tetapi karena dt adalah interval yang sangat kecil sehingga peluang
terjadinya kegagalan lebih dari satu adalah nol (0), maka:
Px (t+dt) =
P(XO2) =
x =0
e 5 5 x
25
= e 5 (1 + 5 + ) = 0.125
x!
2!
10
n!
p r q n r ............................................................
r! (n r )!
Sehingga, Pr =
n r r nr
p q
r!
Demikian juga halnya jika nilai p adalah sangat kecil dan r relatif kecil jika
dibandingkan dengan n, maka
qn-r (1-p)n, sehingga akan memberikan
Pr =
( np ) r
( np) r
(1 p) n =
r!
r!
n(n 1)
2
1 np + 2! ( p ) + .....
Jika nilai n adalah besar, maka n(n-1) n2, sehingga akan menghasilkan
Pr =
(np ) r
r!
(np ) r np
(np ) 2
+ ..... =
e
1 np +
2!
r!
11
Peluang sukses dari satu eksperimen adalah 0.1, berapakah peluang dalam 10
kali eksperimen akan diperoleh 2 sukses dengan distribusi binomial dan
Poisson?
Dengan distribusi binomial diperoleh:
P(2) = 10C2 0.12 x 0.98 = 10!/(2!. 8!) x 0.12 x 0.98 = 0.1937
Dengan distribusi Poisson diperoleh:
np = 10 x 0.1 = 1.0
P(2) = 1.02/2! e-1.0 = 0.1839
Contoh 6.3:
Ulangi soal 6.2 diatas dengan jumlah eksperimen adalah 20 serta peluang
sukses satu eksperimen adalah 0.005.
Dengan distribusi binomial diperoleh:
P(2) = 10C2 0.12 x 0.98 = 20!/(2!. 18!) x 0.0052 x 0.99518 = 0.0043
Dengan distribusi Poisson diperoleh:
np = 20 x 0.005 = 0.1
P(2) = 0.12/2! e-0.1 = 0.0045
1.6
Distribusi Normal
Distribusi normal sering disebut dengan distribusi Gaussian adalah salah satu
jenis distribusi yang paling sering digunakan dalam menjelaskan sebaran data.
Probability density function dari distribusi normal adalah simetris terhadap nilai
rata-rata (mean) dan dispersi terhadap nilai rata-ratanya diukur dengan nilai
standard deviasi. Dengan kata lain parameter distribusi normal adalah mean dan
standard deviation.
12
(x ) 2
exp
2 2
2
.......................................................
1
Jika mean () dan standard deviasi (), maka ekspresi diatas dapat ditulis:
f ( x) =
(x ) 2
exp
2 2
2
.......................................................
1
f(x)
0.399/
=1
=2
=3
(x)
Q(x)
1
0.841
0.5
0.798/
0.159
0
0
x
Terlihat bahwa kurva melewati titik dengan probabilitas 0.5 jika random variabel x
memiliki nilai . (expected value). Ini adalah karakteristik khusus dari distribusi
normal yang menunjukkan bahwa distribusi normal sangat simetris terhadap nilai
rata-rata.
13
Nilai menunjukan posisi dari kurva dan sering disebut dengan istilah location
parameter. Nilai menunjukkan derajat kemencengan (dispersi) dan sering
dikenal dengan istilah scale parameter.
Luar daerah dibawah p.d.f adalah sama dengan satu (unity), dengan demikian
maka:
1
(x ) 2
exp
dx = 1
2 2
Persamaan diatas berarti bahwa luasan daerah dibawah kurva density function
antara dua titik tidak terbatas harus mencakup semua random variable x yang
mungkin dan harus sama dengan satu.
Akan tetapi hitungan integral ini sangat kompleks. Karena itu, dalam kasus
distribusi normal umum digunakan teknik pendekatan dengan hitungan manual,
dengan konversi sebagai berikut:
z = (x-)/, yang akan menyederhanakan persamaan failure density function
menjadi:
f ( z) =
z2
exp
2
2
, ................................................................
1
dimana random variabel sekarang adalah z, nilai rata-rata (mean) nya adalah 0
(nol) dan standar deviasinya adalah 1 (unity). Substitusi ini menghasilkan kurva
standard dimana deviasi dari random variabel terhadap mean diekspresikan
dalam parameter z. (lihat tabel z pada buku-buku statistik). Pada tabel ini luasan
daerah dibawah kurva density function dapat dicari berdasarkan nilai dan nilai
.
Dari gambar 1.4-7 terlihat bahwa total luas dalam interval 3 adalah 0.9972
atau mendekati 1 (unity). Dengan demikian nilai 3 sering dipergunakan
sebagai confidence limit dari distribusi normal.
14
0.3413
0.3413
0.1359
0.1359
0.0214
-3
0.0214
-2
-1
Kasus: PLN memasang 2000 lampu yang memiliki usia rata-rata 1000 jam
pemakaian dengan standard deviasi 200 jam. Berapa lampu yang diharapkan
gagal setelah 700 jam operasi?
= 1000 dan = 200 z = (700-1000)/200
= -1.5, Dari tabel didapat luasannya
adalah:
0.5 0.4332 = 0.0668, sehingga:
x
700
1000
1300
-1.5
1.5
z
x
Berapa lampukah diharapkan akan gagal dalam interval waktu 900 dan 1300 jam.
A1: z = (900-1000)/200 = -0.5
A1
A2
1300
1.5
Dalam
berapa
waktukah
diperkirakan
15
seperti
pada
gambar
disamping.
x
744
-1.2817
10%
1000
0
1.7
Distribusi Eksponensial
Distribusi
eksponensial adalah kasus khusus dari distribusi Poisson jika hanya kegagalan
yang pertama saja yang diperhitungkan. Distribusi eksponensial hanya berlaku
pada useful life period saja pada bath-tub curve.
Pada penjelesan sebelumnya telah diuraikan bahwa peluang sebuah komponen
sukses daram rentang waktu t jika hazard rate nya konstan adalah:
R(t) = e-t ......................................................................................
Q(t ) = .e .t dt = 1 e .t
0
dan
R(t ) = 1 Q(t ) = .e .t dt = e .t
t
16
f(t)
(a)
Q(t)
R(t)
0
f(t)
(b)
t
(t)
(c)
f(t)
1.0
time
(d)
0.632
0.368
1/
1/
Gambar 1.4-8 (a) Q(t) dan (R(t), (b) failure d.f, (c) cum. Fail. Dist., (d) hazard
rate
Nilai harapan (expected value (E(x)) untuk distribusi eksponensial dan standard
deviation-nya adalah 1/ . Expected value ini berkorespondensi dengan Mean
Time To Failure (MTTF) yang merupakan kebalikan dari nilai failure rate ().
MTTF dan MTBF (Mean Time Between Failure) adalah dua hal yang berbeda.
MTTF akan relatif sama dengan MTBF jika repair time (pada kasus repairable
component) adalah sangat kecil jika dibandingkan dengan waktu operasi.
1.8
Distribusi Weibull
Distribuisi weibull juga merupakan salah satu jenis distribusi kontinyu yang sering
digunakan,
khususnya
dalam
bidang
keandalan
dan
statistik
karena
t
t 1
exp
dimana t>=0 dan >0, >0
17
(a)
f(t)
Q(t)
1.0
=4
(c)
=4
=1
1/
0.632
=1
0.368/
(t)
(b)
=0.5
t
=1
1/
=0.5
=0.5
=4
Gambar 1.4-9 Weibull reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate
t
f (t )dt = exp
t
Hazard rate: (t ) =
f (t ) .t 1
=
R (t )
t
exp .................................................................
18
Dan
f (t )
1
=
...........................................................................
R (t )
(t ) =
...............................................................
f (t ) =
2
t
exp
2
2
(t ) =
f (t ) 2t
=
...........................................................................
R(t ) 2
2t
Dan
E (t ) = t.
0
t
t 1
exp
dt = + 1 ..................................
( ) = t 1 e t dt ..........................................................................
0
2 = t 2.
0
t
t 1
exp
dt E 2 (t )
2 = 2 1 +
2
2 + 1 .....................................................
19
1.9
Distribusi Gamma
Distribusi Gamma memiliki karakter yang hampir mirip dengan distribusi Weibull
dengan shape parameter dan scale parameter . Dengan memvariasikan nilai
kedua parameter tersebut maka ada banyak jenis sebaran data yang dapat
diwakili oleh distribusi Gamma.
t
exp
( )
t 1
f (t )dt =
t
exp
( )
t 1
dt
t
exp dt
( )
t 1
t /
z
( )
1
exp (z ) dz
.....................................................
Ada dua kasus khusus berkaitan dengan distribusi Gamma. Kasus yang pertama
adalah saat = 1 dan yang kedua adalah saat = integer.
t
exp
.................................................................
20
f (t ) =
.......................................................
Berturut-turut expected value dan standar deviasi untuk distribusi Gamma adalah
E(t) = dan 2 = 2
f(t)
(b)
Q(t)
1.0
(a)
1/
(c)
=1
0.632
=3
(t)
=0.5
=1
1/
=3
=3
=1
0.368/
=0.5
=0.5
t
Gambar 1.4-10 Gamma reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate
1.10
Distribusi Rayleigh
Distribusi Rayleigh adalah kasus spesial dari distribusi Weibull. Distribusi ini
ditentukan oleh satu parameter sama seperti pada distribusi eksponensial.
kt 2
dimana k adalah parameter tunggal
2
yang ekuivalen dengan kasus khusus distribusi Weibull saat =2 dan k=2/2
kt 2
kt 2
21
f(t)
(a)
(k/c)
(t)
(b)
Q(t)
1.0
1/2
0.393
(c)
1/2
0.368/
1/2
1/(k)
1/2
1/(k)
1/2
1/(k)
Gambar 1.4-11 Rayleigh reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate
1.11
Distribusi Lognormal
f (t ) =
(ln t ) 2
exp
untuk tP0
2 2
t 2
Jika z = (ln t - )/
Q(t ) =
(ln t )2
exp
dt
2 2
t 2
(ln t ) /
( z )2
exp
dz
2 ...............................................
22
(a)
f(t)
Q(t)
1.0
0.3
(t)
(b)
0.3
1.0
(c)
0.3
1.5
1.5
0.5
1.0
1.0
1.5
Gambar 1.4-12 Lognormal reliability function. (a) Fail. Dens. Func (b) cum. Fail.
Dist. (c) hazard rate
23
B AB 1
PENGGUNAAN DISTRIBUSI
PELUANG DALAM EVALUASI
KEANDALAN SISTEM
1.1
Pendahuluan
1.2
Sistem Seri
Jika sistem terdiri dari sejumlah n komponen yang terhubung seri maka:
n
Rs (t ) =
i =1
Persamaan diatas berlaku untuk semua jenis distribusi yang mewakili komponenkomponen di dalam sistem. Persamaan diatas juga berlaku jika masing-masing
komponen tidak memiliki jenis distribusi yang sama.
Pada kasus dimana dua komponen di dalam sistem memiliki distribusi
eksponensial maka peluang sistem sukses akan dirumuskan sebagai:
Rs (t ) =
i =1
i =1
e =
..........................................................................
i =1
Atau dengan kata lain laju kegagalan sistem yang terdiri dari beberapa
komponen seri yang terdistribusi eksponensial adalah penjumlahan dari laju
kegagalan masing-masing komponen pendukung di dalam sistem itu sendiri.
Contoh 6.1:
Sistem elektronik sederhana terdiri dari 6 buah transistor dengan laju kegagalan
masing-masing transistor adalah 10-6 f/hr, 4 buah diode dengan laju kegagalan
masing-masing adalah 0.5 10-6 f/hr, 3 buah kapasitor dengan laju kegagalan
masing-masing adalah 0.2 10-6 f/hr, 10 resistor dengan laju kegagalan masingmasing adalah 5 10-6 f/hr, dan 2 switch dengan laju kegagalan masing-masing
adalah 2 10-6 f/hr. Jika diasumsikan bahwa kabel konektor 100% handal,
berapakah laju kagagalan sistem dan peluang sistem sukses dalam 10000 jam
jika semua komponen terhubung seri?
e
1.3
Sistem Paralel
Jika sistem terdiri dari sejumlah n komponen yang terhubung paralel maka:
n
Q p (t ) =
Q (t ) ..................................................................
i
i =1
R p (t ) = 1
Q (t ) ...............................................................
i
i =1
Pada kasus dimana n komponen di dalam sistem hazard rate yang berbedabeda maka:
n
Q p (t ) =
i =1
R p (t ) = 1
i =1
Q p (t ) =
(1 exp( t )) .........................................................
i
i =1
n
R p (t ) = 1
(1 exp( t )) .....................................................
i
i =1
Dengan penurunan rumus diatas terlihat bahwa, tidak seperti pada sistem yang
terdiri dari sejumlah komponen seri, maka pada sistem yang terdiri dari sejumlah
komponen paralel kita tidak dapat memperoleh failure rate tunggal. Demikian
juga halnya bahwa keandalan sistem tidak dapat direpresentasikan oleh satu
fungsi eksponensial tetapi diwakili oleh satu set fungsi eksponensial. Meskipun
distribusi gabungan sistem seri yang terdiri dari komponen yang terdistribusi
eksponensial adalah sebuah distribusi eksponensial, namun pada komponen
yang terhubung paralel distribusi gabungannya adalah non-eksponensial dan
hazard rate gabungannya juga tidak konstan namun sebagai fungsi waktu.
Contoh 6.2:
Seperti pada contoh 6.1, berapakah peluang sukses dari sistem yang terdiri dari
3 rangkaian elektronik yang sejenis yang terhubung paralel setelah beroperasi
selama 10000 jam jika diasumsikan bahwa sistem sukses ditentukan oleh paling
sedikit satu rangkaian elektronik harus sukses.
Rp(10000)
Hasil yang sama juga bisa diperoleh dengan cara sebagai berikut:
Rp(10000)
= 1- Qs (10000) Qs(10000)
= 1- 0.46532 = 0,7835
1.4
Partially redundant system atau sering dikenal dengan m-out of-n system telah
dibahas pada bab-bab sebelumnya dimana evaluasi keandalannya bisa
diselesaikan dengan menggunakan pendekatan distribusi binomial. Konsep yang
sama bisa dipergunakan disini, perbedaannya hanya pada cara untuk
menentukan peluang sukses dan gagalnya saja.
Jika n komponen identik terhubung paralel, maka peluang setiap kondisi sistem
dimana 0, 1, 2,...., n komponen beroperasi dapat dihitung dengan ekspresi
binomial (R+Q)n. Pembahasan pada bab-bab sebelumnya mengasumsikan
bahwa R da Q adalah konstan. Pada kasus time dependent probabilities maka
maka R dan Q adalah merupakan fungsi waktu dan ekspresi binomialnya
dituliskan dengan [R(t) + Q(t)]n, dimana nilai dari R(t) dan Q(t) dapat diperoleh
dari fungsi keandalan dan cummulative failure distribution.
Pada kasus khusus komponen dengan distribusi eksponensial maka
R(t) = e-t............................................................................
Q(t) = 1-e-t ........................................................................
e-4t
R(b)
R(c)
= R1(t) R2(t) R3(t) + R1(t) R2(t) Q3(t) + R1(t) Q2(t) R3(t) + Q1(t) R2(t) R3(t)
= exp(-1t) exp(-2t) exp(-3t)+ exp(-1t) exp(-2t) [1-exp(-2t)]
exp(-1t) [1-exp(-2t)] exp(-2t) + [1-exp(-1t)] exp(-2t) exp(-2t)
= 0.9981
1.5
E (t ) = tf (t ) dt .....................................................................
0
Jika f(t) distribusi dari TTF maka nilai expected value ini adalah MTTF yang
dapat disimbulkan dengan m. Dengan demikian m adalah:
Nilai diatas didapatkan karena R(t) = 1 saat t = 0, dengan demikian tR(t) 0 saat
t.
Dengan demikian maka MTTF dapat dicari dari ekspresi R(t) dengan
mengintegralkan antara (0,). Pada kenyataannya, ekspresi ini tidaklah mudah
terutama saat sistem terdiri dari komponen-komponen yang tidak identik dan
memiliki distribusi peluang yang berbeda-beda.
Pada kasus dimana komponen terdistribusi eksponensial maka:
Untuk sistem seri:
m = R s (t )dt = exp(
t )dt =
i
i =1
i =1 i
1
......
1 + 2 + ... + n
1
1
m =
exp(1t )
exp( 2 t ) +
exp[(1 + 2 )t ] ...
2
1 + 2
1
0
m=
1 + 2
...........................................................
Untuk sistem yang terdiri dari n komponen paralel: dengan konsep yang sama
seperti persamaan di atas maka:
m=
+ ... +
1
1
+
+ ... +
+ ... .........
n 1 + 2 1 + 3
i + i
1
1
1
+
+
+ ... +
+ ... + ... + ( 1)n +1
i + i + k
1 + 2 + 3 1 + 2 + 4
1.6
1
..
n
i =1
Sistem Standby
Sama seperti apa yang telah diuraikan pada Bab III, pada sistem standby ada
satu atau lebih komponen yang tidak beroperasi dan baru akan beroperasi jika
komponen utama gagal. Antara komponen yang beroperasi dan komponen
standby dihubungkan dengan menggunakan sebuah switch.
B
(b)
Pada susunan standby ini maka komponen A dan komponen B tergantung satu
sama lain. Guna menyederhanakan persamaan matematis maka diasumsikan
bahwa kedua komponen terdistribusi eksponensial.
Kasus Perfect Switching
Pada sistem dengan 2 komponen idenitik dimana salah satunya adalah
komponen standby maka susunan ini identik dengan satu komponen yang hanya
bisa gagal satu kali saja. Dengan demikian jika komponen A gagal, maka
komponen B akan mengganti fungsi komponen A dan sistem akan gagal jika
komponen B ini juga gagal. Dengan demikian pendekatan dengan distribusi
(t ) x e t ...................................................................
x!
m = e t (1 + t )dt =
0
..............................................
m=
n
x =0
t x e t
x!
n +1
....................................................
Contoh 6.5:
10
tersebut.
Pada susunan paralel redundan maka
R(10) = 2 e-0.02x10 e-2x0.02x10 = 0.967141
m = 1/0.02 + 1/0.02 1/(0.02+0.02) = 75 jam
Pada susunan standby
R(10) = e-0.02x10 (1+0.02 x 10) = 0.982477
m = 2/0.02 = 100 jam
m = e t (1 + Ps t )dt =
0
1 + Ps
.................................................
11
Pada kasus yang telah bahas diatas, maka diasumsikan bahwa komponen yang
gagal tidak diganti dengan komponen yang baru selama komponen standby
mengambil alih fungsi.
Jika terdapat N buah komponen aktif yang beroperasi dimana semua komponen
harus sukses untuk menjamin sistem sukses dan terdapat n komponen
pengganti yang langsung dapat mengganti komponen yang gagal dimana waktu
penggantian komponen adalah singkat, maka laju kegagalan sistem akan
menjadi:
N
s =
..........................................................................
i =1
( Nt ) 2
( Nt ) n
R(t ) = e Nt 1 + Nt +
+ ... +
..............................
2!
n!
n +1
.............................................................................
N
Contoh 6.6:
Sebuah sistem terdiri dari 50 komponen identik dengan laju kegagalan 0.001 f/hr
dimana semua komponen harus sukses untuk menjamin sistem sukses.
Berapakah peluang sistem sukses setelah 20 jam operasi dan berapa juga nilai
MTTF nya jika tidak ada komponen pengganti serta MTTF jika komponen
pengganti berjumlah dari 1 sampai 6. Jika indeks keandalan minimum sistem
adalah 0.9950, berapakah jumlah komponen pengganti yang harus ada?.
Laju kegagalan sistem adalah N = 50 x 0.001 = 0.05 f/hr
R(0 komponen pengganti) = e-0.05x20 = 0.367879
R(n komponen pengganti) = e-0.05x20 [1 + (0.05 x 20) + (0.05x20)2/2!+...+ (0.05x20)n/n!]
Table 7.2.
jumlah komponen
keandalan sistem
MTTF
pengganti
R(20)
hr
12
0.367879
20
0.735759
40
0.919699
60
0.981012
80
0.996349
100
0.999406
120
0.999917
140
Seperti terlihat pada tabel diatas, maka jumlah komponen pengganti agar sistem
memiliki keandalan minimum 0.995 adalah 4 komponen.
Dari kenyataan diatas terlihat bahwa penyediaan komponen pengganti dalam
jumlah yang tidak terlalu banyak akan secara signifikan meningkatkan indeks
keandalan sistem.
Jumlah komponen pengganti yang harus disiapkan sangat tergantug pada
karakteristik dari sistem. Pada sistem dengan orientasi keselamatan (safety)
maka faktor biaya akan tidak terlalu penting. Pada kasus dimana sistem
diharapkan memiliki tingkat ketersediaan yang memadai maka tentunya biaya
adalah satu faktor dominan yang akan berpengaruh terhadap jumlah komponen
pengganti yang harus disediakan. Penambahan jumlah komponen pengganti
akan menaikkan biaya investasi. Karena itu perlu dicari titik optimum dimana
penambahan jumlah komponen yang akan memberikan keuntungan ekonomis
bagi sistem secara keseluruhan.
function.
Sebagai
contoh
pada
sistem
suplai
energi
dengan
13
mengambil alih fungsi komponen A dan akhirnya gagal pada waktu t, maka TTF
komponen B adalah t2 = t1-t. Dengan demikian:
Failure density function komponen A dan B berturut-turut adalah
fa(t1) = a exp (-at1) ...........................................................
fb(t2) = b exp (-bt2) ...........................................................
Gabungan density function kedua komponen tersebut adalah:
F(t)
= fa(t1).fb(t2)
f (t ) =
a b
t1 = 0
f (t ) =
a b
[exp(b t ) exp(a t )] ......................................
a b
R (t ) =
f (t )dt =
R (t ) =
a b
a b
b
a
exp( b t ) +
exp( a t ) ...........................
a b
a b
a
a b
m = R (t ) =
0
.............................................................
14
Ps a
[exp( a t ) exp(b t )] ..........................
a b
R2
t1 = 0
15
t1 = 0
[{
t1 = 0
a
exp( b t ){exp[ ( a b )t ]}
a b
a
[exp( a t ) exp(b t )]
a b
a
a b
f(t)
bexp(-bt)
aexp(-at)
RB(t-t1)
R1
dt
0
0
t
t1
(a)
t
(b)
16
saat pada mode standby maka kejadian sukses akan ditentukan oleh (a)
komponen 1 tidak gagal selama rentang waktu 0 sampai t, (b) komponen 1 gagal
waktu t1 dan komponen 2 tidak gagal dalam rentang waktu (t-t1). Dengan
prosedur yang sama maka peluang sukses sistem standby ini akan menjadi:
R1
= exp (-1t)
R2
[{
t1 = 0
exp[(1 + 3 2 )t ]
1 exp( 2 t )
1 + 3 2
1 + 3 2
1
{1 exp( 2 t ) exp[ (1 + 3 )t ]}
1 + 3 2
1
{exp( 2 t ) exp[(1 + 3 )t ]} .......
1 + 3 2
17
semua komponen beroperasi dalam periode useful life dan kondisi aus
diabaikan.
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
Jika sistem akan sukses jika salah satu komponen aktif sukses, dan komponen
standby akan mengambil alih tugas jika kedua komponen aktif gagal. Dengan
demikian sistem sukses akan ditentukan oleh:
Table 7.3.
mode operasi / dalam domain waktunya
kejadian
standby
operasi
switch
sensor
standby
operasi
setelah switch
sukses/t sukses/t
sukses/t gagal/t
gagal/t sukses/t
gagal/t1 gagal/t2 sukses/t2 sukses/t-t2 sukses/t2 sukses/t2 sukses/1 siklus sukses/t-t2
gagal/t2 gagal/t1 sukses/t2 sukses/t-t2 sukses/t2 sukses/t2 sukses/1 siklus sukses/t-t2
4
5
dimana t>t2>t1
Dengan demikian maka
5
R (t ) =
R (t )
i
i =1
R1 (t ) = exp( 1o t ) exp( 2o t )
18
R 4 (t ) =
t2
1o
t 2 = 0 t1 = 0
1
R 4 (t ) = 2o .Ps. exp[ ( 3o + ce )t ]
1 exp q t
x 1 exp q + 1o t
q + 1o
q
)]
[(
) ]}
Dimana q = 2o + 3s + s + cs - 3o - ce
Dengan cara yang sama didapat
1
1
R5 (t ) = 1o .Ps. exp[ ( 3o + ce )t ]
x 1 exp q ' + 2 o t
1 exp q ' t
q ' + 2o
q '
)]
[(
) ]}
Dimana q = 1o + 3s + s + cs - 3o - ce
R(t) = R1(t) + R2(t) + R3(t) + R4(t) + R5(t)
19