You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Peningkatan kualitas dan pemeliharaan status kesehatan holistik Sumber Daya


Manusia (SDM) dimulai sejak janin, bayi, anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut, atau
dikenal dengan sepanjang siklus kehidupan. Setiap tahap dari siklus tersebut, manusia
menghadapi berbagai masalah yang berbeda khususnya masalah gizi yang harus diatasi
dengan cepat dan tepat waktu. Salah satu upaya untuk memperoleh tumbuh kembang yang
baik adalah dengan pemberian ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, selanjutnya
pemberian ASI dilanjutkan sampai bayi berumur 24 bulan. Oleh karena itu menyiapkan dan
mengajarkan ibu agar dapat memberikan ASI merupakan bagian dari upaya peningkatan
SDM. Karena bayi dan anak lebih sehat sehingga akan menurunkan angka kesakitan
sekaligus meningkatkan kualitas SDM yang bersangkutan di tahap berikutnya (DEPKES RI,
2005).
Salah satu pengalaman yang berharga yang dialami ibu dan bayi adalah menyusui
bayi secara Eksklusif. Sayangnya tidak semua ibu menyadari akan pentingnya pemberian
ASI Eksklusif tersebut. ASI mengandung semua nutrisi penting yang diperlukan bayi untuk
tumbuh kembangnya, disamping itu juga mengandung antibodi yang akan membantu bayi
membangun sistem kekebalan tubuh dalam masa pertumbuhannya. Pemberian ASI Eksklusif
juga dapat menciptakan iklim psikologis dan kasih sayang yang kuat antara ibu dan bayi.
Dalam era globalisasi banyak ibu yang bekerja, keadaan ini sering menjadi kendala bagi ibu
untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya
mungkin tidak tercapai (Mardiati, 2008).

sehingga pemberian ASI Eksklusif

Salah satu tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals


(MDGs) pada tahun 2015, menurunkan angka kematian anak balita dua pertiga dari 68
menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup. Namun, sampai tahun 2007, angka kematian bayi di
Indonesia adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
angka kematian bayi pada tahun 2011 adalah 17 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di
Kabupaten Bantul pada tahun 2011 adalah 8,5 per 1000 kelahiran hidup, tetapi kasus
kematian bayi terjadi hampir di semua wilayah kecamatan, sehingga upaya pencegahan
masih tetap diperlukan. Kebijakan pemerintah penurunan angka kematian bayi di Indonesia
adalah meningkatkan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, yang diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Menyusui
eksklusif selama enam bulan serta tetap memberikan ASI sampai 11 bulan dan makanan
pendamping ASI pada usia enam bulan, dapat menurunkan kematian balita sekitar 13%.
Sekitar 16% kematian neonatal dapat dicegah apabila bayi disusui sejak hari pertama
kelahiran dan bayi yang menyusu dalam satu jam pertama dapat menurunkan risiko kematian
sekitar 22%. Namun, angka cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi dan
cenderung menurun. Salah satu penyebab pemberian ASI eksklusif di Indonesia yang rendah
adalah fasilitasi Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang kurang optimal. Kebijakan ASI eksklusif
belum lengkap dan komprehensif dan IMD belum secara eksplisit masuk dalam kebijakan.
Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai enam bulan pada tahun 2010 adalah
15,3%. Padahal, sasaran Pembinaan Gizi Masyarakat berdasarkan Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan, tahun 2010 -2014, adalah 80% bayi usia 0 - 6 bulan mendapatkan
ASI eksklusif.

Capaian ASI Eksklusif tahun 2009 di Kabupaten Bantul yaitu 25.21% jauh dibawah
target Renstra Kabupaten Bantul yaitu 80%, Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten
Bantul tahun 2009 yaitu 115,8 per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Ibu (AKI) 11,7 per
10000 kelahiran hidup. Pasca gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 merubah pola budaya
masyarakat dalam pemberian ASI dan bergeser ke susu formula. Hal ini membuat
kekhawatiran Pemerintah Kabupaten Bantul dan berupaya mencari strategi yang efektif. IMD
diyakini mensukseskan pemberian ASI eksklusif serta menyelamatkan sekitar 22% nyawa
bayi baru lahir sedangkan pemberian ASI Ekslusif dapat mencegah 13% kematian balita.
Pada tahun 2011, cakupan ASI eksklusif Kabupaten Bantul, merupakan yang
terendah ketiga (42,34%), di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk meningkatkan
angka cakupan ASI, Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul mengadakan tenaga konselor ASI.
Hal tersebut sangat mungkin dilakukan mengingat mereka diterima oleh komunitas. Dalam
Kepmenkes RI nomor 369/ Menkes/SK/III/2007, konselor ASI adalah orang yang telah
mengikuti pelatihan konseling menyusui dengan modul pelatihan standar WHO/UNICEF 40
jam. Sejak tahun 2007 sampai awal tahun 2013, di Kabupaten Bantul, terdapat 78 orang
konselor ASI dan 40 orang di antaranya adalah bidan yang bekerja di puskesmas. Jumlah
tersebut merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan di kabupaten/kota lain di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenjangan antara jumlah bidan konselor ASI terbanyak
dengan cakupan ASI Kabupaten Bantul terendah ketiga mengindikasikan para bidan konselor
ASI di Kabupaten Bantul belum melaksanakan program ASI eksklusif secara maksimal.
Studi terhadap lima bidan konselor ASI di tiga puskesmas yang terpilih secara acak di
Kabupaten Bantul, pada bulan Februari 2013, menemukan seluruh bidan belum melakukan
konseling ASI secara baik dan tidak lengkap karena keterbatasan waktu dan tenaga untuk

melayani pasien di puskesmas. Seluruhnya menyatakan pengadaan tenaga konselor ASI


dapat membantu program ASI eksklusif, tetapi Standar Operasional Prosedur (SOP)
konseling ASI di puskesmas belum tersedia. Jumlah bidan yang menjadi konselor ASI di
puskesmas sudah banyak, tetapi belum memberikan pelayanan konseling ASI secara baik
sehingga imple mentasi kebijakan pemberian ASI eksklusif melalui konseling ASI oleh bidan
konselor ASI tidak maksimal. Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak
faktor yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Berbagai faktor yang diduga
memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah komunikasi, ketersediaan sumber
daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Pada studi ini, faktor yang memengaruhi implementasi
kebijakan konseling ASI dibatasi hanya pada faktor disposisi dan struktur birokrasi.
Ketersediaan sumber daya manusia bidan konselor ASI tidak dianalisis, mengingat jumlah
SDM bidan konselor ASI di Kabupaten Bantul merupakan yang tertinggi di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Faktor komunikasi juga tidak dianalisis karena hasil studi terdahulu
menemukan komunikasi yang baik antara dinas kesehatan kabupaten dengan bidan konselor
ASI melalui forum pertemuan rutin setiap tiga bulan. Selain itu, dapat dilakukan melalui
telepon, short message service, dan bertemu langsung di luar jadwal tersebut. Bentuk
komunikasi antara pimpinan puskesmas dan bidan konselor ASI lebih kepada memberikan
informasi tentang masalah atau hasil pertemuan yang diperoleh melalui kegiatan briefing.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implementasi kebijakan pemberian ASI eksklusif
melalui konseling ASI oleh bidan konselor ASI di Puskesmas wilayah Kabupaten Bantul
berdasarkan dua faktor, yaitu faktor disposisi/sikap bidan dan faktor struktur birokrasi.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan masih rendahnya tingkat pemberian ASI
Eksklusif oleh ibu pada bayinya. Dalam teori Lawrence Green (Notoatmodjo,2003)

kesehatan individu / masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan
berbagai faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh
tiga kelompok faktor,

berbagai faktor predisposisi (presdiposing factors) mencakup

pengetahuan, sikap, kepercayaan tradisi, norma sosial, dan bentuk lainnya yang terdapat
dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya
sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Sedangkan faktor
pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh
masyarakat atau kelompok peers / sesama ibu menyusui. Dalam teori Lawrence Green juga
dikatakan bahwa promosi kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan
menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga
menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap
kesehatan pada umumnya (Hariweni, 2003). Oleh karena itu, sebagai upaya untuk lebih
mengetahui dan memahami bagaimana gambaran pemberian ASI Eksklusif yang diberikan
oleh ibu pada bayinya maka dilakukan penelitian Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap
Dan Perilaku Ibu Menyusui Terhadap Pemberian Asi Eksklusif Di Desa Sewon Wilayah
Kerja Puskesmas Sewon I.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu menyusui
terhadap pemberian asi eksklusif di desa Sewon wilayah kerja Puskesmas Sewon I?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu menyusui terhadap
pemberian asi eksklusif di desa Sewon wilayah kerja Puskesmas Sewon I.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan umur ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
b. Mengetahui hubungan pendidikan ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
c. Mengetahui hubungan sikap ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
d. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat menjadi informasi bagi petugas kesehatan dan bahan masukan bagi pimpinan
Puskesmas untuk menentukan langkah dalam meningkatkan pemberian ASI Eksklusif.
2. Dijadikan bahan masukan bagi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta dan sebagai tambahan informasi dan referensi untuk memperkaya pustaka
institusi.

You might also like