You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia merupakan proses inflamasi yang terjadi pada parenkim paru.
Pada anak, pneumonia merupakan penyakit yang paling umum terjadi dan sebagai
salah satu penyebab kesakitan utama pada anak (paling banyak anak di bawah
usia 5 tahun). Gambaran klinis pneumonia ditandai dengan demam, takipnu,
usaha napas meningkat, disertai tarikan otot-otot dinding dada, disertai napas
cuping hidung. Pada infeksi yang berat dapat dijumpai sianosis dan gagal napas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki dan mengi.
Pneumonia disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus,
mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi. Pada neonatus
Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan penyebab
pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia
prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial.
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang
sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun.
Pneumonia merupakan penyebab kematian nomor satu pada anak berusia
di bawah lima tahun, membunuh sekitar 935.000 anak setiap tahunnya, yang
berarti lebih dari 2500 anak meninggal akibat pneumonia per hari. Pneumonia
menyebabkan 15% kematian pada anak di bawah lima tahun di seluruh dunia,
dimana 2% merupakan bayi baru lahir.
Indonesia berada di urutan ke-7 negara dengan kematian balita akibat
pneumonia tertinggi pada tahun 2013 dengan jumlah korban 22.000 jiwa.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, period prevalence
pnumonia tertinggi berada pada kelompok umur 1-4 tahun, dimana tertinggi
terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7%).

Period prevalence

pneumonia balita adalah 18,5 permil, dimana yang berobat hanya 1,6 per mil.
Lima provinsi dengan Period prevalence pneumonia balita tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur, Aceh, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Tengah.
Berdasarkan data laporan tahunan Puskesmas Rawasari pada tahun 2014,
diperkirakan jumlah penderita pneumonia pada balita adalah 303 kasus dari 3032
balita yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Rawasari, namun hanya sebanyak
33 kasus (10,8%) pneumonia yang ditemukan dan ditatalaksana.
Berdasarkan hal ini peneliti ingin mengetahui gambaran kasus pneumonia
pada anak yang berumur 2 bulan-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Rawasari
periode April 2014-April 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Bagaimana gambaran kasus pneumonia pada anak yang berumur 2 bulan-5
tahun di wilayah kerja Puskesmas Rawasari periode April 2014-April 2015.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran penderita pneumonia di empat wilayah kerja
Puskesmas Rawasari
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi pneumonia berdasarkan umur
b. Mengetahui prevalensi pneumonia berdasarkan jenis kelamin
c. Mengetahui prevalensi pneumonia berdasarkan wilayah tempat tinggal
yang merupakan wilayah kerja dari Puskesmas Rawasari

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat bagi Peneliti

a. Meningkatkan dan memperbaharui pengetahuan mengenai pneumonia dan


pencegahannya.
b. Mengetahui gambaran kasus pneumonia pneumonia pada anak yang
berumur 2 bulan-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Rawasari
c. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam melakukan penelitian
1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pneumonia pada balita
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam mencegah
terjadinya penyakit pneumonia.
1.4.3 Manfaat bagi Puskesmas
a. Membantu melaksanakan program puskesmas yaitu Pemberantasan
Penyakit Menular Infeksi Saluran Pernapasan Akut khususnya pneumoni
pada balita.
b. Merupakan bagian dari kegiatan promosi kesehatan yang menjadi salah
satu fungsi puskesmas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun
banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi,
namun sangat sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal.
Pneumonia adalah penyakit klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan
tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi klasik menyatakan
bahwa pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak
nafas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat pada foto polos dada.
Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya kurang
lebih sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah
inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru
non infeksi. Namun hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli.
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Pneumonia adalah
proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian
alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan bendabenda asing.
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan
menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia),
pneumonia interstisialis.
2.2 Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita
anak-anak di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia
pada dewasa. Di Amerika Serikat dan Eropa yang merupakan negara maju angka
kejadian pneumonia masih tinggi diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per
1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur
5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada 9 tahun dan remaja.

Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering


didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak.
Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia
anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkembang juga
berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas
tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak
dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang.
2.3 Etiologi Pneumonia
Sebagian

besar

pneumonia

disebabkan

oleh

mikroorganisme

(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia
(hidrokarbon, lipoid substances), benda asing yang teraspirasi.
Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan
distribusi umur pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus
sebagai penyebab tersering respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus,
influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, Staphylococcus
aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.
Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda,
kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn,
paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan
faktor resiko untuk terjadinya pneumonia. Faktor predisposisi yang lain untuk
terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan anatomi kongenital (contoh fistula
trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun (penggunaan
sitostatika dan steroid jangka panjang, gangguan sistem imun berkaitan penyakit
tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskular, kontaminasi
perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, aspirasi
benda asing atau disfungsi silier.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran


langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra
abdomen. Dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring
hingga unit terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa
mekanisme termasuk barier anatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan
tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah
filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi
benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan
mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal
imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen,
sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated immunity.
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi
patogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada
penjamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya.
Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy
dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa
kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi
awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular.
Sejumlah kecil sel-sel PMN akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila
proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel-sel
inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan
obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan
adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon
inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang intersitial yang
terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan
terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik.
Infiltrasi ke intersitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada
anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya
barier mukosa.
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadangkadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia
tergantung dari interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu.
Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan
tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli
maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan
tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk antibodi
imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag
alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui

perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi


oleh karena bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae.
Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN
dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga
akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti
vaskular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia
oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang
berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area
edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral
yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan
bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi
merah).
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif
oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui
degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotoksik
terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur
seluler paru.
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan
lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan
membersihkan debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi
keterlibatan instertitial), parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan
epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada
paru minimal.
Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan
disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman.
Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang
terdapat di dinding sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari
fibrinogen, fibronektin, kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari
Staphylococcus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda
pula. dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu atau lebih kemampuan
dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh penjamu, melokalisir infeksi,
menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang
mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus
aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan berinteraksi
dengan opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan
Staphylococcus aureus yang memproduksi koagulase. Produksi coagulase atau
clumping factor akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi dengan
fibrinogen dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh:
pembentukan abses, pneumatosel). Beberapa strain Staphylococcus aureus akan
membentuk beberapa enzim seperti catalase (meng-nonaktifkan hidrogen

peroksida, meningkatkan ketahanan intraseluler kuman) penicillinase atau


lactamase (mengnonaktifkan penisilin pada tingkat molekular dengan membuka
cincin beta laktam molekul penisilin) dan lipase.
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat
kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat
gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara
meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat
takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan
ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5)
yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya
sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan
berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang
berakibat terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi ISPA dalam program P2 ISPA juga dibedakan untuk golongan
umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur balita 2 bulan 5 tahun :
a. Golongan umur kurang dari 2 bulan ada 2 klasifikasi yaitu:
1) Pneumonia Berat.
Anak dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau nafas cepat
(60x per menit atau lebih). Tarikan dinding dada kedalam terjadi bila paru-paru
menjadi kaku dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik nafas.
Anak dengan tarikan dinding dada ke dalam, mempunyai resiko meninggal
yang lebih besar dibanding dengan anak yang hanya menderita pernafasan
cepat. Penderita pneumonia berat juga mungkin disertai tanda-tanda lain
seperti:
a). Napas cuping hidung, hidung kembang kempis waktu bernafas.
b). Suara rintihan
c). Sianosis (Kulit kebiru-biruan karena kekurangan oksigen).
d). Wheezing yang baru pertama dialami.
2) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan adanya tarikan kuat ke dalam dinding dada bagian bawah
atau nafas cepat yaitu < 60 kali per menit (batuk, pilek, biasa). Tanda bahaya
untuk golongan umur kurang dari 2 bulan ini adalah : kurang bisa minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, gizi buruk, demam/dingin.
b. Golongan umur 2 bulan 5 tahun ada 3 klasifikasi, yaitu :
1) Pneumonia Berat, bila disertai nafas sesak dengan adanya tarikan dada bagian
bawah ke dalam waktu anak menarik nafas, dengan catatan anak harus dalam
keadaan tenang, tidak menangis dan meronta.
2) Pneumonia, bila hanya disertai nafas cepat dengan batasan :
(a) Untuk usia 2 bulan kurang 12 bulan = 50 kali per menit.
(b) Untuk usia 1 tahun 5 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
3) Bukan Pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam atau nafas cepat (batuk pilek biasa). Tanda bahaya untuk golongan
umur 2 bulan 5 tahun adalah: tidak dapat minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, wheezing dan gizi buruk.
2.6 Manifestasi Klinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada
anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang
luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih
sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada beratringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan Gastro Intestinal Tarcktus (GIT) seperti
mual, muntah atau diare: kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara

napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis

pneumonia

utamanya

didasarkan

klinis,

sedangakan

pemeriksaaan foto polos dada perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping
untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat. Foto posisi
anteroposterior (AP) dan lateral (L) diperlukan untuk menentukan luasnya lokasi
anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan kemungkinan adanya komplikasi
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumatokel, dan abses paru dan
efusi pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi.
Foto polos dada umumnya akan normal dalam 3-4 minggu.
Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif tidak perlu
dilakukan, tetapi pemerikdsaan laboratorium mungkin akan membantu dalam
memperkirakan mikroorganisme penyebab. Leukositosis >15.000/UL seringkali
dijumpai. Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya
positif pada 10-15% kasus penumonia pada anak. Kultur darah juga
direkomendasikan pada kasus pneumonia yang aberat dan pada bayi usia kurang
dari 3 bulan.
2.8 Diagnosis
Diagnosis penumonia yang terbaik ditegakkan berdasarkan etiologi, yaitu
dengan pemeriksaan mikrobiologik. Upaya untukmendapatkan spesimen atau
bahan pemeriksaan guna mencari etiologi kuman penyebab dapat meliputi
pemeriksaan sputum, sekret nasofaring bagian posterior, dan aspirasi trakea bila
diperlukan. Tapi pemeriksaan ini banyak kendalanya dari segi teknis maupun
biaya.

Dengan

demikian,

penumonia

didiagnosis

terutama

berdasarkan

manifestasi klinis dibantu pemeriksaaan penunjang yang lain seperti foto polos
dada.
2.9 Tatalaksana
Idealnya tatalaksana pneumonia disesuaikan dengan kuman penyebabnya.
Namun, karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien
pneumonia diberikan antibiotik secra empiris. Golongan beta laktam (penisilin,

10

sefalosporin, karbapenem dan monobaktam) merupakan jenis-jenis antibiotika


yang dikena cukup luas. Biasanya digunakan untuk terapi penumonia yang
disebabkan oleh bakteri. Pada kasus yang berat diberikan golongan sefalosporin
sebagai pilihan, sedangan pada kasus yang ringan sedang, dipilih golongan
penisilin.
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada perbaikan
klinis dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh.
Lama pemberian antibiotik tergantung keadaan klinis penderita, hasil laboratoris,
foto polos, dan jenis kuman penyebab.
WHO menyarakan untuk pengobatan pneumonia (adanya napas cepat
tanpa penarikan dinding dada) sebaiknya dirawat secara poliklinis dengan
menggunakan antibiotik oral. Pilihan antibiotik yang digunakan adalah
amoksisilin, ampisilin, trimetiprim/sulfametoksazol atau penisilin prokain selama
5 hari. Tetapi ketika didiagnosis dengan penumonia berat (adanya tarikan dinidng
dada) maka pasien dirawatinapkan dan diberikan antibiotik secra parenteral.
Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila
terdapat :

Penderita tampak toksik,

Umur kurang dari 6 bulan

Distress pernap[asan berat

Hiposekmia

Dehidrasi

Kondisi imunokompromais

Ketidakmampuan orang tua untuk merawat

Didapatkan penyakit penyerta lain

Pasien memburtuhkan pemberian antibiotika secara parenteral

Terdapat efusi pleura atau abses paru

Terapi suportif yang diberikan kepada penderita pneumonia


1. Pemberian oksigen melaui kanul nasal atau masker.

11

2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Paien yang mengalami


sesak yang berat dapat dipuasakan, tetapi bila sesak sudah
berkurang asupan oral dapat segera diberikan. Pemberian asupan
oral diberikan bertahap melaui NGT (selang nasogastrik) drip susu
atau mkanan cair.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misalnya
hipoglikemia dan asidosis metabolik.
4. Mengatasi penyakit poenyerta seperti kejang demam, diare serta
komplikasi bila ada.
2.10 Pencegahan
Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau mengurangi
faktor resiko dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu dengan
pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan
dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan pneumonia,
penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan waktu untuk merujuk yang
tepat dan segera bagi kasus yang pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk
pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan
pengurangan polusi udara didalam ruangan dapat pula mengurangi faktor resiko.
Menurut Kartasamita usaha untuk mencegah pneumonia ada 2 yaitu:
a. Pencegahan Non spesifik, yaitu:
1) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi.
2) Menurunkan kemiskinan.
3) Meningkatkan tingkat pendidikan.
4) Menurunkan angka balita kurang gizi.
5) Meningkatkan derajat kesehatan.
6) Menurunkan morbiditas dan mortalitas.
7) Lingkungan yang bersih, bebas polusi
b. Pencegahan Spesifik
1) Cegah berat bayi lahir ringan (BBLR).
2) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang.
3) Berikan imunisasi

12

Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia


adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus influenzae
type b) dan pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan
campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara,
termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh
WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah kematian 1.075.000
anak setahun. Namun karena harganya mahal belum banyak negara yang
memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama bulan Jui-September 2015 di Kota
Jambi.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Target
Populasi penelitian adalah anak yang berusia 2 bulan-5 tahun yang
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Rawasari.
3.3.2 Populasi Terjangkau

13

Populasi terjangkau adalah anak yang berusia 2 bulan-5 tahun yang


bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Rawasari dan
tercatat dalam database periode 2014.
3.3.3 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah anak yang berusia 2 bulan-5 tahun yang
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Rawasari dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
1. Anak yang berusia 2 bulan-5 tahun yang berobat di
Puskesmas

Rawasari

yang

telah

didiagnosis

pneumonia pada periode April 2014-April 2015


b. Kriteria Eksklusi
1. Data tidak lengkap

3.3.4 Cara Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil data pasien
anak yang berusia 2 bulan-5 tahun yang telah didiagnosis
pneumonia yang berkunjung ke Puskesmas Rawasari periode April
2014-April 2015.
3.3.5 Besar Sampel
Besar sampel ditentukan berdasarkan jumlah pasien pneumoia
yang berusia 2 bulan-5 tahun yang tercatat di Puskesmas Rawasari
periode April 2014-April 2015.
3.4 Cara Kerja
Data yang telah dikumpulkan dari database Puskesmas Rawasari
kemudian diolah dengan menggunakan komputer dan disajikan dalam
bentuk grafik.
3.5 Definisi Operasional

14

3.5.1 Pneumonia
Pneumonia merupakan infeksi saluran pernafasan akut bagian
bawah yang mengenai parenkim paru dengan keadaan klinis yang
ditandai dengan gejala demam, batuk, sesak napas, dan adanya
ronkhi basah halus.
3.6 Etika Penelitian
Identitas pasien penderita pneumonia pada penelitian ini dirahasiakan.
Penelitian ini telah mendapatkan izin dari Kepala Puskesmas Rawasari.

15

You might also like