Professional Documents
Culture Documents
TETANUS
DISUSUN OLEH
Mahfira Ramadhania
:
2010730066
DOKTER PEMBIMBING:
dr. Tut Wuri Handayani, Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas laporan kasus yang berjudul Tetanus pada
stase Ilmu Penyakit Saraf RSUD R. Syamsudin Sukabumi. Terima kasih kepada dr. Tut Wuri
Handayani, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
BAB II LAPORAN KASUS......................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah begitu juga di Indonesia. Namun demikian,
tetap saja penyakit ini belum dapat disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih
cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus
meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk
mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi
komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat, efektif
dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal sehingga
angka kematian dapat diturunkan.1
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus
the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad abad
penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan
transmisi tetanus pada kelinci Percobaan. Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi
Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan von Behring melaporkan adanya
antitoksin spesifik pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada
tahun1926, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.2
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia.
Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas
yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan
penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus.
Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara,
termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak
memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus
neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh
Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia
adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.3
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan
cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi
orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun
penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang
yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak
misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa
menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang
tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya
waktu.4,5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama
: Tn. A
Jenis Kelamin
: Laki-laki
TTL
Usia
: 47 tahun
Alamat
Pendidikan terakhir
: SMA
No.Rekam Medik
: A3101XX
Tgl Masuk RS
: 27-03-2015
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluh sulit untuk membuka mulut.
Riwayat Pengobatan
-
Pasien belum minum obat apapun selama mengalami keluhan saat ini.
Riwayat Imunisasi
-
Pasien tidak mengetahui tentang riwayat imunisasi tetanus yang pernah dimilikinya.
Riwayat Alergi
-
Riwayat Psikososial
-
Pasien merokok.
Keadaan Umum
Tampak sakit sedang.
Kesadaran
Compos mentis.
Tanda Vital
-
TD
: 130/90 mmHg
Nadi
Suhu
: 38.0 C0
Pernafasan
Antropometri
BB : 65 kg.
TB : 165 cm.
Status Generalis
Kepala
Mata
: edema palpebra -/-, conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
Hidung
Mulut
: bibir kering, trismus (+), lidah sulit keluar, faring sulit dinilai
Leher
Thoraks
Pulmo :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Cor :
Inspeksi
: Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS
VI linea midclavicula sinistra, batas atas ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur () gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Punggung
: Opistotonus (+)
Ekstremitas Atas
Spastik, tonus otot meninggi, akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Ekstremitas Bawah
Spastik, keadaan ekstensi dan plantarfleksi, tonus otot meninggi, akral hangat, CRT
<2 detik, sianosis, edema (-), vulnus puctum ad regio plantar sinistra.
Status Neurologik
Kesadaran
Compos mentis
GCS
E4M6V5 (15)
Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk
: (-)
Kernig
Laseque
Bruinski I/II/III/IV
: (-/-/-/-)
Saraf Kranial
N.I (Olfaktorius)
Daya Pembau
N.II (Optikus )
Daya Penglihatan
Lapang Pandang
Fundus Okuli
Kiri
Tidak dinilai
Kanan
Tidak dinilai
:
:
:
Kiri
+
Baik
Tidak diperiksa
Kanan
+
Baik
Tidak diperiksa
Kiri
Kanan
:
:
:
Bulat, isokor
3 mm
Bulat, isokor
3 mm
:
:
Baik
Baik
Baik
Baik
N.III
(Okulomotorius)
Ptosis
Bentuk Pupil
Ukuran Pupil
Gerakan Mata
Atas
Bawah
:
Medial
Refleks Cahaya Direct :
Refleks
Cahaya :
Baik
+
+
Baik
+
+
Kiri
Kanan
Baik
Baik
Kiri
Spasme
Kanan
Spasme
:
:
:
:
:
:
+
+
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Sulit dinilai
+
+
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Kiri
Kanan
:
:
:
:
:
Kiri
+ (simetris)
+
Baik
Simetris
Simetris
Baik (simetris)
Tidak dilakukan
Kanan
+ (simetris)
+
Baik
:
:
:
:
Kiri
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Kanan
+
Tidak dilakukan
Kiri
Kanan
Indirect
N.IV (Trokhlearis)
Gerakan Mata
Medial bawah
N.V (Trigeminus)
Motorik
Sensibilitas
Oftalmikus
Maksila
Mandibula
Reflek Kornea
Reflek Bersin
Jaw Reflek
N.VI (Abdusen)
Gerakan Mata
Lateral
N.VII (Fasialis)
Kerutan Kulit Dahi
Mengangkat Alis
Menutup Mata
Lipatan naso-labial
Sudut mulut
Menyeringai
Daya kecap lidah 2/3
Baik (simetris)
depan
N.VIII (Vestibulochoclearis)
Tes Bisik
Tes Rinne
Tes Weber
Tes Schawabach
N.IX
&
X
:
:
:
:
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Baik
10
Reflex muntah
:
Daya kecap lidah 1/3 :
Sulit dinilai
Sulit dinilai
belakang
N.XI (Asesorius)
Memalingkan Kepala
Mengangkat Bahu
N.XII (Hipoglosus)
Sikap lidah
Atropi otot lidah
Fasikulasi lidah
Kiri
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Kanan
:
:
Kanan
:
:
:
Kiri
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Motorik
Kekuatan (Belum dapat dinilai)
5
5
5
5
Tonus
Spastik Spastik
Spastik Spastik
Atropi
- -
Sensorik
-
Nyeri
Ekstremitas Atas
: Normogesia
Ekstremitas Bawah
: Normogesia
Raba
Ekstremitas Atas
: Normostesia
Ekstremitas Bawah
: Normostesia
Suhu
Ekstremitas Atas
: Tidak dilakukan
Ekstremitas Bawah
: Tidak dilakukan
11
Refleks Fisiologis
-
: +++/+++
: +++/+++
Refleks Patologis
-
Babinski
: -/-
Chaddock
: -/-
Oppenheim
: -/-
Gardon
: -/-
Fungsi Vegetatif
-
Miksi
Defekasi
: Baik
: Baik
Fungsi Luhur
Tidak dilakukan
2.4 Resume
Pasien laki-laki, usia 47 tahun, datang dengan mulut sulit membuka sejak 3 hari
SMRS. Os merasakan kaku seluruh badan, perut keras seperti papan serta punggung
melengkung, tangan dan kaki sulit untuk digerakkan, bagian tubuh yang kaku terasa
pegal. Terdapat luka akibat tertusuk bambu 1 minggu SMRS, demam (+). Dari
pemeriksaan fisik risus sardonikus (+), trismus (+), kuduk kaku (+).
TD
: 130/90 mmHg
Nadi
: 92 x/menit
Pernafasan
: 22 x/menit
Suhu badan : 38 oC
Tonus otot
: Spastik
:5
Ekstremitas bawah : 5
Refleks Fisiologis :
BPR
5
/
: meningkat / meningkat
12
TPR
: meningkat / meningkat
KPR
: meningkat / meningkat
APR
: meningkat / meningkat
2.5 Diagnosis
Diagnosis Klinis : Tetanus
Diagnosis Topis : Neuromuscular junction
Diagnosis Etiologi:Tetanus toksin
Diferensial Diagnosis
Meningitis, ensefalitis, epilepsi
2.6 Usulan Pemeriksaan
13
mendapatkan perawatan yang baik. Kondisi ini memberikan kesempatan bagi kuman C.
Tetanii untuk masuk serta bereplikasi di dalam tubuh (port dentree).
Pada pemeriksaan Fisik didapatkan gejala yang medukung untuk ditegakkanya diagnosis
tetanus yaitu adanya kaku kuduk (+), trismus (+), dan Perut tegang dan keras seperti papan,
punggung yang melengkung (opistotonus).
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Dasar Pengobatan :
Serum anti tetanus dosis 20.000 IU/hari selama 3-5 hari sebagai anti toksin
pada toksin tetanus yang masih beredar dalam darah
Diazepam dosis awal 10 mg i.v/ drips dalam dextrose selama kejang sebagai
antikonvulsi dan menekan semua tingkatan saraf pusat dan meningkatkan GABA
yang berperan sbagi neuromtransmitter inhibitor
Pada kasus ini pasien telah diberikan ATS 20.000 U/IM yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut.
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani.
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.
b. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah
organisme bersifat obligat anaerob pembentuk spora, gram positif, bergerak, yang
berhabitat ditanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai binatang, kadang feces
manusia.
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat anaerob murni.
Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora dan karena bentuk yang khas.
Ujung sel menyerupai tongkat pemukul gendering atau raket squash.
Spora clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak kena
sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptic,
pemanasan 100 c dan bahkan pada otoklaf 120 c selama 15-20 menit. Dari berbagai
studi yang berbeda, spora ini tidak jarang ditemukan pada feses kuda, anjing dan kucing.
Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
c. Pathogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
15
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai
pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame
larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan dikelola dengan teliti
16
Ganglion
Otak
Sumsum Tulang
Tonus otot
Menjadi kaku
Saraf
-Keringat berlebihan
-Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
-Takikardi
Hipoksia berat
Kekakuan
O2 di otak
Sistem
-Ggn. Eliminasi
-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut)
Sistem
-Ketidakefektifan jalan
jalan nafas
-Gangguan Komunikasi
Verbal
Kesadaran
-PK. Hipoksemia
-Ggn. Perfusi Jaringan
-Ggn. Pertukaran Gas
-Kurangnya pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa, Perawatan
d. Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat
masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum
17
semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.
Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi,
mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi
sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya
memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan
kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama
berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter
bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia
dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek.
Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa
bulan.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang
belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang
sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu
yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel,
sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi
menjadi empat (4) tingkatan.
e. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Langkah Diagnosis
Anamnesis
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat
yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren
gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.
Pemeriksaan fisik
Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit
19
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun
demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus,
dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan
prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa
gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan
pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan
bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa
system scoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Philips, Dakar, Ablett, dan
Udwada. System scoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis.
Tabel 1. Skor Phillips untuk menentukan derajat Tetanus
Masa inkubasi
Lokasi infeksi
Status imunisasi
Parameter
< 48 jam
Nilai
5
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
>14 hari
Internal dan umbilical
1
5
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Tidak diketahui
Tidak ada
1
10
2
20
Imunisasi lengkap
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa
0
10
4
2
1
System scoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan factor pemberat.
Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasikan sebagai berikut:
1. Skor < 9 : tetanus ringan
2. Skor 9-16 : tetanus sedang
3. Skor > 16 : tetanus berat
Table 2. Sistem scoring Tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
21
Grade II (sedang)
Skor 1
< 7 hari
< 2 hari
Umbilicus, luka bakar, uterus,
Skor 0
7 hari atau tidak diketahui
2 hari
Penyebab lain dan penyebab
injeksi intramuscular.
Ada
> 38, 4 C
Dewasa > 120 kali/menit
Tidak ada
< 38,4 C
Dewasa < 120 kali/menit
22
Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%
f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis
bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat
kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif
kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
g. Tatalaksana
a. Secara Umum
1. Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.
2. Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus makanan diberi
pada sonde parenteral.
3. Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.
4. Oksigen pernafasan dan trakeotomi bila perlu.
5. Mengatur cairan dan elektrolit.
b. Obat obatan
1. Antitoksin
Antitoksin 20.000 IU/I.M/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan
tidak ada reaksi hipersensitivitas.
2. Anti kejang/Antikonvulsan
23
3. Antibiotik
h. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas
dapat diturunkan hingga 10-30% dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak
faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi,
masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa
inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran
dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai
prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al. Management
and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003
Ritarwan K. 2004. Tetanus. diakses 10 Juni 2012.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf
24
25