You are on page 1of 2

Indonesia Yang Mandiri Dalam Energi: Mimpi?

Isu ketahanan energi masih menjadi buah bibir hangat di bincang-bincang sore hari membahas negeri.
Mendengar kata energi, asosiasi utamanya pasti menuju ke minyak bumi. Si primadona kini telah
diragukan kemampuannya lantaran cadangan minyak Indonesia yang kian dilematis proses eksekusinya.
Pasalnya, titik-titik mudah terjangkau sudah bersih, sementara untuk melakukan eksplorasi ke titik-titik
yang menantang dibutuhkan iming-iming ini-itu sebagai motivasi. Kenyataannya sekarang, nilai jual
minyak masih terlalu rendah untuk dapat memenuhi bayang-bayang ekspektasi gol investor. Celakanya,
kebutuhan masyarakat akan minyak bumi belum dapat tersubstitusi. Penerapan solusi perlu direalisasi
lewat perkembangan teknologi serta strategi penanaman modal yang tepat. Hal ini menjadi sorotan
mengingat jatuhnya ketahanan energi dapat membawa keruntuhan pilar ketahanan ekonomi nasional.
Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) misalnya, merupakan salah satu upaya merapikan carut-marut
isu energi kita. Proyek CCS sudah diuji coba sejak 2010 dan hingga kini maih berjalan. Salah satu dosen
Teknik Geofisika ITB, Dr. rer. nat. R. M. Rachmat Sule adalah penggagas ide CCS untuk diterapkan di
Lapangan Gundih, Jawa Tengah. CCS merupakan upaya untuk menangkap karbon dioksida hasil emisi
produksi energi, seperti migas ataupun batubara, dan menginjeksikannya ke reservoir. Setelahnya,
dilakukan monitoring pada reservoir untuk memastikan tidak ada kebocoran.
Berkaca pada rencana Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26% pada tahun 2020,
hal ini menjadi penting untuk diteliti agar dapat diaplikasikan. Ujung dari proyek yang merupakan kerja
sama dari banyak pihak ini diharapkan dapat melahirkan standard operasi CCS tatkala diterapkan di
Indonesia. Saat ini pengerjaan proyek CCS Gundih telah sampai pada survei guna mengetahui preferensi
area penelitian. Rencananya, di tahun 2017 injeksi karbon dioksida dan monitoring sudah dilakukan.
Tidak hanya disimpan, nantinya karbon dioksida yang diinjeksikan dipergunakan untuk EOR (Enhance
Oil Recovery) yaitu mendorong minyak tua.
Yang lain lagi adalah potensi besar Indonesia yang tak boleh luput dari pengetahuan kita: energi panas
bumi. Indonesia adalah negara dengan kandungan panas bumi yang besar yaitu tempat bernaung 40% dari
potensi dunia. Hidrotermal berupa uap panas, air panas, atau campuran keduanya yang masih terjangkau
dengan pemboran adalah sumber utama yang dapat dimanfaatkan. Hidrotermal membangkitkan listrik
dengan mengalirkan uap di permukaan ke turbin sehingga menggerakkan sudut turbin ke generator. Uap
akan masuk ke kondensator sehingga dihasilkan air yang kemudian dialirkan kembali ke sumur injeksi.
Sistem ini dapat dilihat di Kamojang dan Darajat. Di samping itu, terdapat pula sumur yang
mengeluarkan dua fasa panas berupa uap dan air. Sumur jenis ini, seperti yang terdapat di Wayang Windu

dan Salak, terlebih dahulu harus dilakukan pemisahan fasa. Potensi panas bumi dapat didayagunakan
untuk berbagai hal, antara lain pemanas ruangan, pemanasan tanah pada pertanian, pemandian air panas
(Ciater), sterilisasi media jamur (Kamojang), efektivitas pengolahan gula aren (Tomohon), pengeringan
kopra (Lampung), hingga pengadaan geopark.
Menjadi ironi jika potensi di atas tidak dapat diubah menjadi kekuatan utama motor ketahanan energi
negeri ini. Sejauh ini perkembangan teknologi di bidang panas bumi masih terpentok dengan sulitnya
eksekusi. Praktik teknis seringkali dianggap masyarakat sebagai eksploitasi berlebihan yang dapat
membahayakan kelangsungan hidup mereka. Salah satu alasan ogahnya investor menanam modal untuk
panas bumi khususnya di Indonesia tidak melulu mengenai perputaran uang yang lama kembali, tapi lebih
kepada tetek-bengek regulasi yang terlampau banyak memiliki prasyarat jika sudah bersentuhan dengan
ingin dan angan warga lokal. Ini yang menjadi tantangan utama pemerintah dalam mengembangkan panas
bumi di Indonesia. Seberapapun sempurnanya regulasi pusat, jika tidak bisa seirama dengan kepentingan
serta pemahaman warga setempat, niat baik tidak akan pernah dapat terwujud.
Salah satu penyebab kebutuhan energi fosil yang masih menjadi pilar utama adalah transportabilitasnya
yang efisien. Ketergantungan yang sama di negara ini memberi dampak besar pada harga minyak di
dalam negeri saat terjadi perubahan pasokan dan kebutuhan dunia. Agar dapat bertahan, Indonesia perlu
mengubah pola pikir. Menurut Abdul Hamid Batubara, Presiden Komisaris PT Chevron Pacific Indonesia,
dibutuhkan sense of crisis untuk melakukan suatu usaha yang berbeda dan membandingkan hasil
pendapatan. Maksudnya, perlu kepekaan bahwa kita tak bisa bergantung pada keadaan seperti sekarang.
Menipisnya cadangan migas bisa menjadi titik balik yang tepat untuk tidak sekadar menjadikannya
komoditas, namun juga penggerak ekonomi. Selain itu pengembangan energi terbarukan perlu dibarengi
dengan penyuluhan yang merata agar perubahan dapat diterima masyarakat dengan tangan terbuka.

Vinskatania Agung Andrias, lahir 12 Maret 1994. Sekarang mahasiswa tingkat akhir Teknik Geofisika
ITB dan aktif mengisi berita di laman itb.ac.id.

You might also like