You are on page 1of 18

REAKSI REVERSAL

I. PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi.1 Kusta atau yang dikenal juga sebagai
Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf
tepi.2,3,4 Bakteri ini bersifat intraseluler obligat.3,4,5 Kerusakan saraf yang paling
sering muncul dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis.6
Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik, pada kusta sering timbul suatu
reaksi, reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan
reaksi tipe 2 (ENL).1,7,8,9 Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan
atau inflamasi akut pada kulit.2 Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon CellMediated Immunity (CMI) terhadap M. leprae yang melibatkan sistem imunologi
seluler.4,5,8,9 Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar yaitu Borderline
Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa
(BL).9,10,11 Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral.1,7,9,10
Terdapat dua keadaan yang termasuk reaksi tipe 1, yaitu up-grading reaction
(reaksi reversal) dan down-grading reaction.5,11 Pada referat ini akan dibahas lebih
lanjut tentang reaksi reversal.
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Data Kusta Nasional Tahun 2000, sebanyak 5% penderita kusta
mengalami reaksi kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak 1
kali dan penderita MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder (1998),
sebanyak 12% penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama masa pengobatan dan
1,6% terjadi setelah penderita Release from Treatment (RFT). Penelitian R. Bwire dan
H.J.S Kawuma (1993) menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum

pengobatan adalah 14,8%, selama pengobatan 80,5%, dan setelah pengobatan 4,7%.
Studi dari Scollard D.M, et al, menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I
adalah 32% dan frekuensi reaksi tipe II 37%. Frekuensi terjadinya reaksi kusta
menurut jenis kelamin adalah pada wanita 47% dan laki-laki 26%.12
III. ETIOLOGI
Pada reaksi reversal atau reaksi up-grading terjadi perubahan status imunologi
pasien, yaitu peningkatan respon Cell-Mediated Immunity (CMI).1,7 Tetapi
etiopatogenesis dari peningkatan Cell-Mediated Immunity (CMI) ini tidak diketahui
secara pasti, namun diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat.1
Berbagai faktor yang merupakan faktor predisposisi terjadinya reaksi kusta
misalnya penderita dalam kondisi lemah, kehamilan, sesudah mendapat imunisasi,
dan stres.7
IV. PATOGENESIS
Meskipun reaksi kusta merupakan manifestasi klinik yang berat, penyebabnya
belum dapat diketahui dan patogenesisnya hanya sedikit yang dapat diterangkan.
Pada pendeirta kusta, Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh tubuh seperti
saraf, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Perubahan patologik dari saraf biasanya
merupakan respon dari ditemukannya Mycobacterium leprae dalam kulit yang
memunculkan reaksi imunologik pada penderita. Beberapa penderita mengalami
perluasan lesi dan rekuren yang berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahuntahun hingga menjadi kronik.12
Pada penderita yang mengalami pengobatan Multidrugs Therapy (MDT),
sebanyak 99,9% kuman kusta akan terbunuh, tetapi sekitar 30% penderita akan
mengalami reaksi tipe I.

13

Sisa kuman kusta yang mati atau pecah akan dibersihkan

sistem imun tubuh yang terkadang memicu terjadinya reaksi kusta. Reaksi kusta tipe I

merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hal ini disebabkan rangsangan kuman
patogen secara terus menerus dan berkelanjutan. 12
Antigen yang berasal dari produk akibat basil yang telah mati akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat. Pada
dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antara CMI dan basil.
Sehingga sebagai hasil akhir reaksi dapat terjadi up-grading, apabila menuju ke arah
bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan imunitas seluler) atau down-grading bila
menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan imunitas seluler).5 Pasien BT dapat
mengalami down-grading tanpa pengobatan. Pasien multibasiler, khususnya mereka
yang berada di BL, kebanyakan mengalami up-grading setelah kemoterapi. Pasien
BB merupakan pasien yang paling tidak stabil dan akan bergerak dalam kedua kasus,
tuberkulous maupun lepromatous. Aspek yang paling penting dari reaksi tipe 1 bukan
kulit namun kondisi saraf tepi, dimana proses inflamasi terjadi. Reaksi menyebabkan
peningkatan inflamasi dan edema intraneural yang merusak. 8
V. GEJALA KLINIK
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat.4,12 Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema makin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama
menjadi bertambah luas. Tidak perlu semua gejala harus ada, satu saja sudah cukup. 1,3
Kadang-kadang terjadi edema pada wajah, tangan dan kaki; nyeri dan atau kelemahan
saraf; dan penyebaran nyeri yang sangat kuat pada kulit. 2,3,9,14,15 Neuritis akut yang
melibatkan banyak saraf (meskipun hal ini tidak selalu terjadi 3) penting untuk
diperhatikan karena tanpa penanganan yang cepat hal ini dapat menyebabkan
hilangnya fungsi motoris dan sensoris saraf.2

Gambar 1:

Reaksi tipe 1 pada seorang pria Etiopia yang menderita kusta tipe
Borderline. Lesi inflamasinya mengalami peninggian, dan ulserasi.2

Gambar 2:

Gambar pasien kusta tipe Borderline (BL) yang mengalami reaksi


reversal, tumidity, corak keunguan, dan batas yang meninggi
merupakan tandanya. Lesi ini tidak nyeri. 3

Menurut Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, reaksi kusta tipe


1 ini dapat dibedakan yaitu reaksi ringan dan reaksi berat.7
Tabel 1: Perbedaan gejala reaksi reversal ringan dan berat 7
GEJALA
Lesi Kulit

REAKSI RINGAN
REAKSI BERAT
Tambah aktif, menebal, Lesi membengkak sampai
merah, teraba panas, dan ada yang pecah, merah,
nyeri tekan. Makula yang teraba panas dan nyeri,
menebal

dapat

sampai Ada kelainan kulit baru ,

membentuk plak.

tangan

dan

kaki

membengkak, sendi-sendi
Saraf Tepi

sakit.
Tidak ada nyeri tekan saraf Nyeri
dan gangguan fungsi

tekan,

dan

atau

gangguan fungi, misalnya

kelemahan otot.
Catatan: Bila ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf,
dikategorikan sebagai reaksi berat.
VI. DIAGNOSIS
Deteksi dini untuk reaksi reversal sangat penting untuk menekan tingkat
kecacatan irreversible yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa. Tingkat keberhasilan
terapi tampak lebih baik jika reaksi reversal ini dideteksi dan ditangani secara dini. 9
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Saat melakukan anamnesis, maka semua pasien yang kusta yang mengeluhkan
adanya nyeri di tubuhnya, ada demam, sakit kepala, edema, maupun adanya lesi
baru ditubuhnya, harus dicurigai sebagai pasien reaksi.16

2. Gambaran klinik

Gejala klinik tersebut diantara lain:


- Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak
- Nyeri, terdapat pembesaran saraf tepi
- Tanda-tanda kerusakan saraf tepi
- Gangguan sensorik maupun motorik
- Edema pada wajah, kaki dan tangan
- Munculnya lesi-lesi baru pada kulit1,2,3,7,9,14
3. Laboratorium,
- Berupa tes serologis yang didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae (Tes Lepromin)1,3
- Tes bakteriologis1
4. Pemeriksaan histopatologi.1,3
Untuk melihat sel Langhans, eksositosis cepat sel radang ke epidermis serta
sejumlah perubahan histologist lain yang menandai perubahan atau upgrading
tipe kusta yang khas pada reaksi reversal.3
VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

adalah sebagai berikut:


1. Laboratorium
a. Tes Imunologis dan Lepromin:
Reaksi reversal memiliki hasil Tes Lepromin yang positif. Selain itu dalam
tes imunologis, ditemukan bahwa rasio CD4:CD8 untuk reaksi reversal pada
umumnya bernilai 2:1, berbeda dengan tipe ENL yang bernilai 1:2.3
b. Bakteriologi:
-

Indeks bakteri menurun

Indeks morfologi menurun1

2. Pemeriksaan histopatologi

Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa; infiltrat limfosit yang


meningkat sehingga terjadi udem dan hiperemi, diferensiasi makrofag ke arah
peningkatan sel epiteloid dan sel Giant memberi gambaran sel Langerhans. Kadangkadang terdapat gambaran nekrosis di dalam granulosum. Penyembuhannya ditandai
dengan fibrosis.3

Gambar 3:

Reaksi kusta tipe I menunjukkan sedikit jumlah sel mast pada


pinggiran granuloma dan di dalam interstitium 17

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Reaksi reversal harus dibedakan dengan timbulnya relaps dari perjalanan
penyakit kusta. Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut7:
Tabel 2: Perbedaan reaksi reversal dengan relaps7
GEJALA DAN TANDA
Interval waktu

REAKSI REVERSAL
RELAPS
Umumnya muncul selama Biasanya muncul sesudah
pengobatan

atau

dalam pengobatan

dihentikan,

kurun 6 bulan sesudah umumnya sesudah interval


Timbul Gejala
Gangguan Sistem

penghentian pengobatan
1 tahun
Mendadak
Perlahan
Dapat disertai dengan Tidak pernah

disertai

demam
Lesi lama

dan

perasaan dengan

kurang enak
Beberapa
lesi

dan

perasaan kurang enak


atau Hanya pinggiran dari

seluruhnya menjadi eritem


lesi

demam

sebagian lesi eritem dan

infiltrat
baru Beberapa lesi baru muncul

Lesi baru

Pemunculan

Ulserasi

sangat sedikit
Lesi sering pecah dan Jarang terjadi ulserasi

Penyembuhan

terjadi ulserasi
Disertai

Keterlibatan saraf

deskuamasi
Banyak saraf dapat dengan Dapat terjadi hanya pada

dengan Tidak ada deskuamasi

nyeri tekan dan gangguan satu saraf dan gangguan

Respon terhadap

motorik

motorik muncul perlahan-

Sangat baik

lahan
Tidak jelas

kortikosteroid
(prednisone)
IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang
imunopatologi reaksi reversal sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV)
terhadap antigen M. leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah
dengan mengurangi paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat
penekanan respon Cell-Mediated Immunity (CMI). Penatalaksanaan dilakukan
dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif
dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama
fase aktif neuritis.. Jika sedang dalam pengobatan Multidrugs Therapy (MDT), maka
Multidrugs Therapy (MDT) diteruskan dengan dosis tidak diubah.9 Perlu
diperhatikan, apakah disertai dengan neuritis atau tidak. Sebab tanpa neuritis akut,

tidak perlu diberikan pengobatan tambahan. Imobilisasi dan tindakan bedah dapat
mencegah dan memulihkan gangguan saraf. 1
Penatalaksanaan reaksi reversal terdiri dari 5 aspek yang dilaksanakan secara
bersamaan karena kelima aspek tersebut sama pentingnya dan mempunyai efek
sinergis: 9,15
1. Mengendalikan neuritis untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur
2.
3.
4.
5.

dengan terapi anti inflamasi yang efektif dan lama


Menghentikan kerusakan pada mata untuk mencegah kebutaan
Mematikan basil kusta dan menghentikan progresi penyakit
Tindakan fisik untuk mencegah atau memulihkan kontraktur
Analgetik untuk meredakan nyeri.

Prinsip pengobatan pada reaksi reversal:


1. Prinsip pengobatan: 4
a)
b)
c)
d)
e)

Istirahat/immobilisasi
Pemberian analgesik antipiretik
Atasi faktor pencetus
Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat
Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan dengan
dosis tidak diubah.

2. Pengobatan reaksi ringan: 4


a)
b)
c)
d)

Berobat jalan, istirahat di rumah


Pemberian analgetik, atau penenang bila perlu
Atasi faktor pencetus
Jika sedang dalam pengobatan Multidrugs Therapy (MDT), maka
Multidrugs Therapy (MDT) diberikan terus dengan dosis tidak diubah

3. Pengobatan reaksi berat:4


a)
b)
c)
d)
e)

Atasi faktor pencetus


Pemberian prednisone (kortikosteroid)
Pemberian analgetik, dan sedative
Immobilisasi lokal
Bila memungkinkan penderita dirawat inap (di rumah sakit).

Obat-obatan yang dapat diberikan pada reaksi reversal :

1. Kortikosteriod (Glukokortikoid)
Dasar pemakaian kortikosteroid disini adalah efek antiinflamasinya dan
kemampuan untuk menekan reaksi imun. Pada keadaan yang perlu
penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakan
jaringan yang parah dan menimbulkan kecacatan, penggunaan kortikosteroid
mungkin berbahaya bagi penyebabnya sehingga perlu disertai penanganan
yang tepat bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan
kerja sedang misalnya prednison atau prednisolon dengan dosis serendah
mungkin. 18
Pada reaksi reversal, dikarenakan resiko kerusakan permanen dari nervus,
pengobatan dengan terapi prednison (0,5-1 mg/kg/hari) direkomendasikan
(tetapi tetap dalam pengontrolan) untuk menekan proses inflamasi. Dosis dari
prednison dikurangi seiring dengan perbaikan dari nervus, gejala pasien dan
evaluasi sensorik dari tangan dan kaki. Sekali digunakan, terapi harus
dikurangi perlahan dan dilanjutkan selama minimal 6 bulan. Penggunaan
prednison dimulai dengan dosis 40-80 mg sehari, kemudian diturunkan
menjadi 40 mg setelah beberapa hari, dan lalu 5-10 mg setiap 2-4 minggu, dan
diakhiri dengan dosis 10 mg. 2,19

WHO (World Health Organization) merekomendasikan pemberian


kortikosteroid (prednison) dengan dosis:
a) Pada orang dewasa: 7

2 minggu I
2 minggu II
2 minggu III
2 minggu IV
2 minggu V
2 minggu VI

: 40 mg/hari (1 x 8 tab) pagi hari sesudah makan.


: 30 mg/hari (1 x 6 tab) pagi hari sesudah makan
: 20 mg/hari (1 x 4 tab) pagi hari sesudah makan
: 15 mg/hari (1 x 3 tab) pagi hari sesudah makan
: 10 mg/hari (1 x 2 tab) pagi hari sesudah makan
: 5 mg/hari (1 x 1 tab) pagi hari sesudah makan

b) Pada anak:7

10

Untuk pengobatan reaksi berat pada anak harus dikonsultasikan ke


dokter atau dirujuk, karena steroid dapat mengganggu proses pertumbuhan.
Dosis maksimum prednison pada anak tidak boleh melewati 1 mg/kg BB.
Minimal pengobatan 12 minggu-3 bulan.
Regimen tersebut dapat diterapkan pada penderita kusta tipe Borderline
Tuberculoid (BT) dan umumnya mendapatkan terapi selama 2-4 bulan.
Sedang penderita Kusta tipe Borderline Borderline (BB) dan Borderline
Lepromatous (BL) membutuhkan terapi yang lebih lama karena dengan
pengobatan seperti diatas masih sering terjadi reaksi ulangan. Pada kusta tipe
BL, dibutuhkan terapi 20 minggu dengan cara pemberian yaitu 40 mg sehari
selama 2 minggu, 30 mg sehari selama 4 minggu, 20 mg sehari selama 4
minggu dan 5 mg sehari selama 2 minggu. Sebagian besar reaksi dan neuritis
dapat diterapi dengan baik dengan pengobatan standar prednison selama 12
minggu. Jika timbul neuritis diberikan kortikosteroid (misal: prednison) 30-60
mg/hari. 9,15
Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tibatiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian
kortikosteroid

jangka

lama

yang

dihentikan

secara

tiba-tiba

dapat

menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia


artralgia dan malaise. 18
Kortikosteroid, selain efek umum lain yang dikenal, juga bisa
menyebabkan eksaserbasi keberadaan beberapa penyakit, sepeti tuberkulosis,
hepatitis B, dan beberapa parasit gastrointestinal. 2
2. Klofazimin (Lamprene)
Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis lepramatosis, tetapi juga
memiliki efek antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya eritema
nodosum.

18.

Klofazimin digunakan pada penderita reaksi reversal yang

membutuhkan terapi Kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama, atau timbul
efek samping steroid. Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari, setelah

11

2-4 minggu dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis


ditingkatkan ke dosis semula dan dipertahankan selama 2-4 minggu apabila
setelah penurunan dosis tidak menunjukkan perbaikan gejala klinis.
Penurunan dosis yang lebih lambat biasanya akan berhasil dan Kortikosteroid
biasanya dihentikan setelah 6-12 bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari
tidak dapat ditoleransi oleh penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan
menjadi 100 mg sehari selama 1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut
mengakibatkan kegagalan pengobatan reaksi. Penggunaan klofazimin pada
reaksi reversal masih kontroversial dan tidak bermanfaat pada fase akut
reaksi. Efek samping dari klofazimin yaitu dapat menyebabkan terjadi
perubahan warna kulit mulai dari warna merah jambu sampai coklat-hitam.
1,9,15

Efek samping paling sering adalah discoloration pada kulit, dari dari
warna merah ke abu-abu hitam, derajat discoloration tergantung dari dosis.
Pigmentasi ini akan hilang setelah 6-12 bulan penghentian klofazimin. Urin,
sputum dan keringat mungkin berubah menjadi warna pink. Efek samping
gastrointestinal, yaitu mild cramp sampai diare dan weight loss, mungkin
terjadi akibat deposit kristal klofazimin pada dinding dari usus halus. 2,1
3. Dapson (4-4, diaminodifenilsulfon)
Dapson (DDS) dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar
menimbulkan efek supresif terhadap reaksi reversal. Prevalensi reaksi reversal
selama masa pengobatan penyakit kusta dibeberapa negara berkurang setelah
WHO menganjurkan penggunaan

Multidrugs Therapy (MDT) yang

menggunakan dapson 100 mg sehari. Prevalensi reaksi reversal meningkat


setelah

masa

pengobatan

kusta

selesai,

yang

menunjukkan

efek

imunosupressif dapson. Penderita reaksi dapat diterapi dengan kombinasi


dapson dan Kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih
membutuhkan Kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan

12

terapi dengan mengganti dapson dengan klofazimin. Dapson memiliki efek


samping yakni efek sistemik yang berat, atau efek toksik. 9
Sindrom DDS, yang kadang muncul pada pengunaan DDS, muncul
setelah 6 minggu penggunaan DDS dengan manifestasi dermatitis exfoliatif
disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, demam dan hepatitis dan bisa
berakibat fatal. Agranulositosi, jaundice hepatitis dan kolestatik jarang terjadi
dengan terapi DDS. 2
4. Kloroquin (7-kloro-4(4 dietilamino-1-metil-butilamino)
Selain sebagai antimalaria, kloroquin juga memperlihatkan

efek

antiradang. Efek ini kadang-kadang dimanfaatkan dalam pengobatan arttritis


reumatoid, lupus eritomatosus,lupus diskoid, dan lain-lain. Pada reaksi yang
ringan dapat diberikan kloroquin 3 kali 1 tablet selama 3-5 hari sementara
antilepra tetap diteruskan kalau perlu diberi analgetik dan sedatif. 18
Efek samping yang mungkin ditemukan pada pemberian kloroquin adalah
sakit kepala ringan, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, dan gatalgatal. Kloroquin harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit
hati,atau pada pasien dengan gangguan saluran cerna, neurologik dan darah
yang berat. Bila gangguan terjadi selama terapi, maka pengobatan harus
dihentikan.18
5. Metotreksat (4-amino, N10-metil asam folat)
Metotreksat diketahui menurunkan produksi sitokin proinflammatory,
menurunkan ekspresi dari Th1 cytokines dan meningkatkan ekpresi dari antiinflammatory Th2 cytokines. Mekanisme lain dari metotreksat yaitu
menghambat sintesis purin, promosi dari pelepasan adenosin, supresi
proliferasi limfosit, kemotaksis dan adherensi neutrofil, dan mereduksi serum
imunogobulin. Penelitian mengindikasikan bahwa mekanisme kerja yang
paling penting dari metotreksat dosis rendah adalah meningkatkan level
adeonosin dan mereduksi level dari proinflammatory cytokine dan

13

meningkatkan level dari anti-inflammatory cytokine. Semua efek ini


merupakan kelebihan metotreksat dalam pengobatan reaksi kusta.10
Dosis rendah metotreksat (5-7,5 mg/minggu) dapat menjadi suatu
alternatif pengobatan bagi pasien yang tidak bisa mendapatkan terapi
Kortikosteroid.9 Toksisitas obat ini terutama mengenai saluran cerna, sumsum
tulang dan mukosa mulut. Obat ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan
gangguan sumsum tulang, hati dan terutama gangguan ginjal karena
metotreksat hanya dieliminasi melalui ginjal. Pengobatan dengan metotreksat
harus dihentikan bila stomatitis dan diare muncul karena enteritis hemoragik
dan perforasi dapat terjadi. Metotreksat tidak boleh diberkan pada trimester
pertama kehamilan karena dilaporkan menyebabkan abortus. 18

Pembedahan
Selama episode neuritis terdapat peningkatan volume cairan dalam saraf,
epineurium menebal dan jaringan sekitarnya membengkakan sehingga tekanan
intraneural meningkat. Pembengkakan pada saraf juga mengakibatkan aliran
darah ke saraf terganggu. Tindakan bedah dilakukan apabila setelah terapi
Kortikosteroid selama 48 jam belum tampak pengurangan nyeri atau tidak terjadi
pemulihan fungsi saraf. 9,19
X. PROGNOSIS
Reaksi reversal ini terjadi karena meningkatnya status imunologis penderita
umumnya setelah pengobatan disertai penurunan jumlah kuman pada pemeriksaan
bakteriologi. Prognosis reaksi reversal ditentukan dari seberapa cepat reaksi ini
terdeteksi dan diobati. 9
Semakin cepat diterapi maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat
dideteksi dan ditangani akan menimbulkan kecacatan irreversible pada sistem saraf
tepi yang terkena. Pengobatan yang terlambat mungkin akan menimbulkan kerusakan

14

nervus permanen deangan claw-hand atau facial paralysis. 7,8, 15 Reaksi reversal dapat
menimbulkan relaps. Seringkali pasien mengalami gangguan sensorik maupun
motorik secara tiba-tiba dan jika tidak mendapat pengobatan segera akan
menimbulkan gejala sisa, walaupun penyakitnya teratasi, yaitu timbulnya kecacatan
permanen (sensorik maupun motorik), dan beresiko tinggi untuk terjadinya suatu
deformitas. 9,15
XI. KESIMPULAN
Reaksi reversal merupakan episode akut dari penyakit kusta yang disebabkan
oleh peningkatan respon Cell-Mediated Immunity (CMI) terhadap M. leprae. Reaksi
ini ditandai oleh adanya inflamasi akut pada kulit dan/atau neuritis akut disertai
pembesaran dan hilangnya fungsi saraf. Reaksi reversal sering muncul dalam 6 bulan
pertama pengobatan Multidrugs Therapy (MDT) dan dapat muncul pada kusta
PaucyBacillary (PB) maupun MultyBacillary (MB), tetapi umumnya pada
PaucyBacillary (PB).
Prinsip pengobatan pada reaksi reversal adalah, istirahat/immobilisasi,
pemberian analgesik antipiretik, atasi faktor pencetus, pemberian obat anti reaksi
pada reaksi berat, jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan dengan
dosis tidak diubah. Obat-obatan yang dapat diberikan pada reaksi reversal, antara lain
: kortikosteroid (prednison), klofazimin (lamprene), dapsone (DDS), kloroquin,dan
metotreksat. Tindakan bedah dilakukan apabila setelah terapi kortikosteroid selama
48 jam belum tampak pengurangan nyeri atau tidak terjadi pemulihan fungsi saraf.
Prognosis reaksi reversal ditentukan dari seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan
diobati. Semakin cepat terapi pengobatan maka prognosis semakin baik, sedangkan
jika tidak cepat dideteksi atau ditangani akan menimbulkan kecacatan irreversible
pada sistem saraf tepi yang terkena.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih A, Wisnu IM, Daily ES, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2000. p.73-88
2. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Brethnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rooks Textbook of Dermatology.7th edition. Australia: Blackwell Publishing;
2004. p.29.1-29.21
3. Modlin TRR. Leprosy. In: Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Kate SI, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.
4th edition. New York: Hill; 1993. p.208
4. Family Doctor editorial staff. Leprosy. (online). 2009. [2010 October 15].
Available from http://familydoctor.org
5. Silva MR, Castro MCR. MycobacteriaL Infection. In: Bolognia JL, Jorisso L,
Rapini RP, editors. Dermatology. London: Mosby; 2003. p 1145-1152
6. Anonym. Leprosy (Hansen Disease). (Online). 2008. [2010 October 15].
Available from http://niaid.nih.gov

16

7. Instalasi Penyakit Kusta dan Penyakit Infeksi Endemik Rumah Sakit Penyakit
Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. Modul Program Pengendalian Penyakit Kusta
Untuk Co Ass. Makassar: Pusat Latihan Kusta Nasional; 2010. p.46-51
8. Lucas S. Bacterial Disease. Elder DE, Elenitsas R, Johnson BI, Murphy GF,
editor. Levers Histopathology of the Skin. Chicago: Lippincott; 2007. p.574-576
9. Ranque B, et al. Age Is an Important Risk Factor for Onset and Sequelae of
Reversal Reactions in Vietnamese Patients with Leprosy. Chicago Journals 2007;
44: 33-40
10. Biosca G, Casallo S, Velez RL. Methotrexate Treatment for Type 1 (Reversal)
Leprosy Reactions. Chicago Journals 2007; 45: e7-e9
11. Anonym. Leprosy-Reactional States Type One and Two. (online). 2007. [2010
October 15]. Available from: www.webspawner.com
12. Prawoto. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Terjadinya Reaksi
Kusta.

(online).

2008.

[2010

October

15].

Available

from:

eprints.undip.ac.id/18745/2/PRAWOTO.pdf
13. Walker SL, Lockwood DN. Leprosy Type 1 (Reversal) Reaction and Their
Management. Lepr Rev. 2008; 79(4): 372-86
14. Nery JAC, Vieiera LMM, De Matos HJ, Sarno EN. Reactional States In
Multibacillary Hansen Disease Patients During Multidrug Therapy. Rev. Inst.
Med.trop.1998;40.

15. Burdick AE, de Paz AC, Frankel S. Leprosy. In: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR,
editors. Tropical Dermatology. New York: Churchill Livingstone; 2006. p. 266269.
16. Motta ACF, et al. The recurrence of leprosy reactional episodes could be
associated with oral chronic infections and expression of serum IL-1, TNF-, IL6, IFN- and IL-10. Braz.Dent.J 2010; 21.
17. Saadany SE, Kalla FE, NadIa E, Tatawy RE, Helmy A, Shorbagy SHE. Role of
Mast Cells and Cytokine Profile [TNF-, IFN-, IL4 and IL-4 mRNA] in

17

Different Types of Leprosy. (online). 2008. [cited 2010 October 15]. Available
from http://knol.google.com
18. Setoabudy R, Mariana Y. Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran
Kemh. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi
Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 633-637.
19. Smith DS. Leprosy: Treatment and Medication. (online). 2008. [cited 2010
October 15]. Available from http://emedicine.com

18

You might also like