You are on page 1of 13

LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS

1. Konsep Dasar Sirosis Hepatis


A. Pengertian Sirosis Hepatis
Istilah Sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang berasal dari
kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena terjadi perubahan warna
pada nodul-nodul hati yang terbentuk.
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah
diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan
terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi hati dan
bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh
darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi
portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa
nyeri bila ditekan.
B. Etiologi
Adapun etiologi yang dapat menyebabkan penyakit sirosis hepatis menurut FKUI
(2005) adalah:
a) Malnutrisi
b) Virus hepatitis
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun
1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi
sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
c) Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatica
Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis
sentrilobuler.
d) Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan).
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang- orang
muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan

terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari
seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.
e) Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu: Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan
absorpsi dari Fe. Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
f) Zat toksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis
atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat
hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
C. Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis,

konsumsi

minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi
gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada
sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang
utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun
demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan
minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan
konsumsi alkohol yang tinggi (Smeltzer & Bare, 2002).
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding individu
lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan meminum
minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan
peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen
terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah lakilaki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada wanita, dan mayoritas
pasien sirosis berusia 40-60 tahun (Smeltzer & Bare, 2002).
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi

utama akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik,
dan sirosis alkoholik (Tarigan, 2001).

WOC SIROSIS HEPATIS

D. Manisfestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain:
a) Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit
yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut
menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati
akan teraba berbenjol-benjol (noduler).
b) Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis
dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ
digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena
hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran
darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan
konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis;
dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan
demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini
cenderung menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan
pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan
asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau
gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang
sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
c) Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga
mengakibatkan

pembentukan

pembuluh

darah

kolateral

dalam

sistem

gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam


pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita
sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok
serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh
darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian
bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah

kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid
tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume
darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat
mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus
mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi
dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami
hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises
pada lambung dan esofagus.
d) Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi
untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan
retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
e) Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak
memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin
tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan
dengan

defisiensi

vitamin

K.

Gastritis

kronis

dan

gangguan

fungsi

gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan


fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis.
Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan
mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan
aktivitas rutin sehari-hari.
f) Ikterik
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia
sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika
liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk
beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita
selama perjalanan penyakit.
g) Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati
dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu
dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan
kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Smeltzer & Bare (2001) pemeriksaan Penunjang yang dilakukan untuk
pasien dengan sirosis hepatis adalah :

a) Darah lengkap
Hemoglobin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia terlihat
dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai
akibat hiperplenisme, kenaikan kadar SGOT, SGPT, albumin serum menurun,
pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia, pemanjangan masa protombin,
glukosa serum : hipoglikemi, fibrinogen menurun, BUN meningkat.
b) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
c) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
d) USG
e) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
f) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
g) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan menurut Tarigan (2010) adalah:
a) Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang
teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak
secukupnya.
b) Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti
a. Alcohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol
akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi
kalori (300 kalori), kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk
menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan pemberian
penicilamine dan Cochicine.
b. Hemokromatis
Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi
(desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2 kali seminggu sebanyak 500 cc
selama setahun.
c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
c) Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali
sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.

Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan


furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari.
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa
hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b. Perdarahan varises esofagus
1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui
apakah perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung.
2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas
100 x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan
pemberian dextrose/salin dan tranfusi darah secukupnya.
3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin
pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
c. Ensefalopati
1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada
hipokalemia.
2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan member diet sesuai.
3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada
varises.
4) Pemberian antibiotik campisilin/sefalosporin pada keadaan infeksi
sistemik.
5) Transplantasi hati.
d. Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatic
Mengatur keseimbangan cairan dan garam.
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati :
a) Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang sering terjadi
akibat hipertensi portal. Dua puluh sampai 40% pasien sirosis dengan varises
esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat
tinggi, sebanyak dua pertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun
walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa
cara. Risiko kematian akibat perdarahan varises esofagus tergantung pada tingkat
keparahan dari kondisi hati dilihat dari ukuran varises, adanya tanda bahaya dari
varises dan keparahan penyakit hati. Penyebab lain perdarahan pada penderita
sirosis hati adalah tukak lambung dan tukak duodeni.
b) Ensefalopati hepatikum

Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat


disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia),
selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum
dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan
oleh nekrosis hati yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka
metabolism tidak dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum
sekunder, yaitu koma hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara
langsung, tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi
terhadap asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
c) Peritonitis bakterialis spontan
Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri
tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa
gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
d) Sindroma hepatorenal
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai oleh
kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri menyebabkan
vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR. Sehingga dapat terjadi
gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa
adanya kelainan organik ginjal.
e) Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang dianggap
merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik, sirosis
hati dan hepatokarsinogen dalam makanan.Meskipun prevalensi dan etiologi dari
sirosis berbeda-beda di seluruh dunia, namun jelas bahwa di seluruh negara,
karsinoma hepatoseluler sering ditemukan bersama sirosis, terutama tipe
makronoduler.
f) Asites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem pengaturan
volume cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi retensi air dan
natrium. Asites dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites berat dengan
jumlah cairan banyak menyebabkan rasa tidak nyaman pada abdomen sehingga
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
g. Klasifikasi
Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :

a) Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas


mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
b) Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
c) Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).
2. Manajemen Keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien sirosis hepatis menurut
Doenges (2000) antara lain:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada
kulit.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.
8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia dalam
darah.
C. Intervensi Keperawatan
Menurut Doenges (2000) pada klien sirosis hepatis ditemukan diagnosa keperawatan
dengan intervensi dan rasional sebagai berikut:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pola nafas
menjadi efektif.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan pengurangan gejala sesak nafas.
b. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18 x/menit) tanpa
terdengarnya suara pernapasan tambahan.
c. Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan
dangkal.
d. Tidak mengalami gejala sianosis.
Intervensi :
1) Awasi frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan.
Rasional : Pernapasan dangkal cepat/ dispnea mungkin ada hubungan dengan
akumulasi cairan dalam abdomen.
2) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi, posisi miring.
Rasional : Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada
diafragma.
3) Ubah posisi dengan sering, dorong latihan nafas dalam, dan batuk.
Rasional : Membantu ekspansi paru dan memobilisasi sekret.

4) Berikan tambahan oksigen sesuai indikasi.


Rasional : Untuk mencegah hipoksia.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan
nutrisi tubuh terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan peningkatan berat badan secara progresif.
b. Tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi :
1) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.
Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan.
2) Berikan makan sedikit tapi sering.
Rasional : Buruknya toleransi terhadap makanan banyak mungkin
berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen/ asites.
3) Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan.
Rasional : Klien cenderung mengalami luka dan perdarahan gusi dan rasa
tidak enak pada mulut dimana menambah anoreksia.
4) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indikator
langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/ asites.
5) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin, total
protein dan amonia.
Rasional : Glukosa menurun karena gangguan glukogenesis, penurunan
simpanan glikogen, atau masukan tidak adekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam terjadi
balance cairan.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan volume cairan stabil dengan keseimbangan pemasukan dan
pengeluaran.
b. Berat badan stabil.
c. Tanda vital dalam rentang normal dan tidak ada edema.
Intervensi :
1) Ukur masukan dan haluaran, catat keseimbangan positif.
Rasional : Menunjukkan status volume sirkulasi.
2) Auskultasi paru, catat penurunan/ tidak adanya bunyi napas dan terjadinya
bunyi tambahan.
Rasional : Peningkatan kongesti pulmonal dapat mengakibatkan konsolidasi,
gangguan pertukaran gas, dan komplikasi.
3) Dorong untuk tirah baring bila ada asites.
Rasional : Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk dieresis
4) Awasi TD dan CVP.
Rasional : Peningkatan TD biasanya berhubungan dengan kelebihan volume
cairan.

5) Awasi albumin serum dan elektrolit.


Rasional : Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotik koloid
plasma, mengakibatkan edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam klien toleran terhadap
aktivitas.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan klien.
b. Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.
c. Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya
kekuatan.
Intervensi :
1) Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses
penyembuhan.
2) Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
3) Motivasi klien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat.
Rasional : Menghemat tenaga klien sambil mendorong klien untuk melakukan
latihan dalam batas toleransi klien.
4) Motivasi dan bantu klien untuk melakukan latihan dengan periode waktu
yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada
kulit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam integritas kulit
terjaga.
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubuh.
b. Tidak memperlihatkan luka pada tubuh.
c. Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna
atau peningkatan suhu didaerah tonjolan tulang.
Intervensi :
1) Batasi natrium seperti yang diresepkan.
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
2) Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrien dan
sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3) Balik dan ubah posisi klien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi
edema.
4) Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.

5) Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, dan tonjolan tulang lain.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika
dilakukan dengan benar.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolism protein.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak terjadi
perdarahan.
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan.
b. Menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan.
Intervensi :
1) Kaji adanya tanda-tanda dan gejala perdarahan gastrointestinal.
Rasional : Traktus GI paling bisa untuk sumber perdarahan sehubungan
dengan mukosa yang mudah rusak dan gangguan dalam homeostasis karena
sirosis.
2) Observasi adanya petekie, ekimosis, perdarahan dari satu atau lebih sumber.
Rasional : Adanya gangguan faktor pembekuan.
3) Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada.
Rasional : Peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat
menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi lanjut.
D. Implementasi Keperawatan
E. Evaluasi Keperawatan

You might also like