You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Industri farmasi memiliki kekhususan dibanding industri lainnya. Selain
mempunyai potensi strategis berupa potensi ekonomi dan teknologi, potensi
strategis industri farmasi yang lain adalah potensi sosietal. Industri farmasi
berperan dalam menjamin dan memperbaiki kesehatan masyarakat, menghasilkan
obat untuk mengatasi berbagai penyakit, meminimasi risiko kesehatan dan
menjamin pelayanan kesehatan yang sustainable bagi generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang (Sampurno, 2011). Dalam menjamin ketersediaan
produk obat di masyarakat, industri farmasi harus mampu menyediakan obat yang
berkualitas bagi masyarakat. Obat berkualitas mencakup 3 aspek: khasiat
(efficacy), keamanan (safety), dan kenyamanan (acceptability) dalam dosis yang
digunakan sesuai tujuan penggunaannya. Obat tersebut harus memenuhi nilai-nilai
parameter kualitas secara konstan, seperti identitas (identity), kekuatan (strength),
kemurnian (purity), dan karakteristik lainnya.
Kriteria persyaratan obat berkualitas menunjukkan bahwa produk farmasi
diatur secara ketat (highly regulated), baik oleh industri farmasi sendiri maupun
pemerintah yang berwenang. Pengaturan ini ada yang bersifat nasional di masingmasing negara; regional misalnya di Uni Eropa, ASEAN, PIC/S; maupun
internasional melalui Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization).
Di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Cara Pembuatan Obat

yang Baik (CPOB) melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


43/MENKES/SK/II/1988 pada tanggal 2 Februari 1988.
Seiring dengan perkembangan teknologi farmasi, konsep serta persyaratan
CPOB mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat. Konsep CPOB
bersifat sangat dinamis karena mengalami penyesuaian dari waktu ke waktu
mengikuti

perkembangan

teknologi

farmasi.

Demikian

halnya

pada

perkembangan penerapan CPOB di Indonesia.


Sejarah perkembangan CPOB di Indonesia dari tahun ke tahun adalah
sebagai berikut:
1969

WHO memperkenalkan konsep Good Practises in Manufacture


and Quality Control of Drug

1971

Penerapan CPOB di Indonesia secara sukarela

1988

Pedoman CPOB Edisi 1 dikeluarkan dan mulai diterapkan

1989-1994

Batas waktu pemenuhan CPOB

1990

Sertifikasi CPOB

2001

Pedoman CPOB Edisi 2 dikeluarkan dan mulai diterapkan

2005

Draft Pedoman CPOB Edisi 3

2006

Finalisasi Pedoman CPOB Edisi 3

2007

Batas waktu pemenuhan CPOB Edisi 3

2012

Resertifikasi CPOB Edisi 3


Dalam kurun waktu antara penerapan CPOB yang pertama hingga CPOB

ketiga tentunya terdapat banyak perubahan-perubahan yang harus dihadapi


industri farmasi. Perusahaan farmasi termasuk di dalamnya para individu

karyawan harus menyikapi perubahan tersebut dengan tepat dan adaptif untuk
bertahan. Foster (2008) mengungkapkan bahwa ketika organisasi berubah maka
individu di dalamnya perlu ikut berubah. Komitmen individual dalam mendukung
perubahan merupakan komponen penting dalam upaya menilai keseriusan
individu dalam menjalankan perubahan. Kotter (1985) menyatakan bahwa
komitmen individual merupakan komponen penting dalam usaha mendapatkan
dukungan pegawai dalam proses perubahan organisasional.
Meyer dan Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen merupakan bagian
psikologis atau mind-set yang mendorong individu untuk menjaga hubungan
keanggotaan mereka dalam organisasi. Meyer dan Allen (1991) membagi konsep
komitmen menjadi tiga komponen utama, yaitu komiten afektif (berkenaan
dengan hasrat dan keinginan bertahan), komitmen kontinuans (berkenaan dengan
persepsi biaya yang harus ditanggung jika meninggalkan organisasi), dan
komitmen normatif (berkenaan dengan kewajiban untuk bertahan).
Herscovitch dan Meyer (2002) mengembangkan telaah komitmen terhadap
perubahan sebagai upaya pengembangan kajian komitmen organisasional.
Komitmen terhadap perubahan merupakan sebuah kekuatan atau mind-set yang
mengikat individu untuk melakukan tindakan tertentu yang diperlukan guna
memastikan kesuksesan inisiatif perubahan. Komitmen karyawan terhadap CPOB
mengandung makna komitmen terhadap perubahan. Kesanggupan karyawan
melaksanakan CPOB artinya karyawan bersedia menerima dan menjalankan
pedoman yang baru, yang sebagian isi pedoman berbeda dengan pedoman CPOB
sebelumnya. Tiga komponen komitmen pedoman CPOB yang dijadikan telaah

pada penelitian ini adalah komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen
normatif sesuai telaah Meyer dan Allen (1991).
Komitmen seseorang ditunjang oleh adanya motivasi kerja. Motivasi adalah
kemauan untuk memberikan upaya lebih untuk meraih tujuan organisasi yang
disebabkan oleh kemauan untuk memuaskan kebutuhan individual (Robbins,
2003). Greenberg dan Baron (1995) menyatakan bahwa orang dengan masa kerja
yang lebih lama cenderung mempunyai komitmen organisasional yang lebih
tinggi dibandingkan orang yang bekerja dengan masa kerja yang singkat. Masa
kerja tersebut berkaitan erat dengan sifat dan kualitas pengalaman kerja.
Kepala Badan POM menetapkan bahwa mulai tahun 2012, seluruh industri
farmasi di Indonesia harus telah tersertifikasi CPOB tahun 2006 (dengan masa
tenggang selama 2 tahun). Apabila sampai dengan tahun 2012, ada beberapa
konsekuensi dari industri farmasi yang bersangkutan, di antaranya:
1. Harus melakukan perbaikan menyeluruh, dan tidak melaksanakan produksi
selama perbaikan fasilitas bentuk sediaan yang belum re-sertifikasi.
2. Tidak dapat menerima kontrak pembuatan obat untuk bentuk sediaan yang
belum re-sertifikasi.
3. Khusus untuk kasus industri farmasi belum ada bentuk sediaan yg di resertifikasi hingga akhir 2012, maka kontrak pembuatan hanya untuk semua
produk yang sudah terdaftar untuk jangka waktu maksimum 2 (dua) tahun,
dengan rencana perbaikan dan tidak dapat mendaftarkan produk baru untuk
semua kategori (high, med, low risk) sampai re-sertifikasi.

PT. Berlico Mulia Farma (PT. BMF) merupakan perusahaan farmasi swasta
nasional berskala menengah kecil telah berhasil memperoleh strata B dan masuk
kelompok industri farmasi Kategori I berdasarkan penilaian pelaksanaaan CPOB
Edisi 2 tahun 2001 yang dilakukan oleh Badan POM Republik Indonesia. Pada
tahun 2012, Badan POM RI melakukan resertifikasi atau penilaian ulang terhadap
seluruh fasilitas produksi yang dimiliki PT. BMF berdasarkan ketentuan pedoman
CPOB Tahun 2006.
Proses resertifikasi ini dapat memunculkan friksi internal di kalangan
karyawan PT. BMF, sebagian besar mendukung namun mungkin ada pula yang
menolak walaupun tidak secara terang-terangan, sebab bagi sebagian orang
perubahan yang ditimbulkan dapat mengusik kenyamanan terhadap cara kerja
sebelumnya. Walau muncul friksi di kalangan pegawai, pimpinan tetap
melanjutkan program pencapaian lisensi sertifikasi hingga akhirnya sertifikasi
berhasil diperoleh. PT. BMF berhasil memperoleh sebanyak 11 sertifikat untuk
berbagai macam bentuk sediaan obat (BPOM RI, 2013). Adanya sertifikat CPOB
tersebut, memungkinkan bagi PT. BMF mengajukan pendaftaran dan pengajuan
izin edar (registrasi), baik untuk obat baru (registrasi baru) maupun pengajuan
perpanjangan izin edar untuk obat-obat yang izin edarnya telah berakhir (registrasi
ulang). Selain itu, dengan diterimanya sertifikat CPOB tahun 2006 tersebut, PT.
BMF juga dapat menerima kontrak pembuatan obat sesuai dengan bentuk sediaan
yang telah diresertifikasi. Hal inilah yang mengawali ketertarikan untuk
mengangkat permasalahan komitmen terhadap pelaksanaan CPOB pada penelitian

ini dan faktor yang mempengaruhinya, yaitu motivasi kerja dan pengalaman
kerja.

1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk melihat
pengaruh antara dua variabel, yaitu motivasi kerja dan pengalaman kerja pada
variabel komitmen pedoman CPOB. Perumusan masalah yang diajukan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah ada pengaruh motivasi kerja pada komitmen pedoman CPOB?
b. Apakah ada pengaruh pengalaman kerja pada komitmen pedoman CPOB?
c. Apakah ada pengaruh motivasi kerja dan pengalaman kerja secara bersamasama pada komitmen pedoman CPOB?

2. Keaslian penelitian
Kalyal (2009) menelaah tentang berbagai faktor pendorong upaya
pelaksanaan perubahan organisasional di organisasi pemerintah Pakistan.
Fokus penelitian Kalyal mengungkapkan bahwa pegawai di lini manajemen
menengah dan bawah memiliki peran penting dalam mengaktualisasi
keputusan manajemen puncak sebagai agen pembaharu perubahan. Sejalan
dengan Kalyal (2009), Herscovitch dan Meyer (2002) juga menempatkan
komitmen terhadap perubahan sebagai anteseden keluaran keperilakuan.
Telaah pengaruh komitmen terhadap perubahan pada keluaran keperilakuan
merupakan faktor penting, sebab pelaku perubahan dapat secara riil

memperlihatkan kepedulian dan dukungan terhadap proses perubahan melalui


perilaku yang menyertai.
Hayuningrum (2012) melakukan penelitian untuk mengkaji komitmen
perubahan karyawan suatu rumah sakit milik pemerintah dalam menghadapi
diterapkannya wajib administrasi dan akreditasi rumah sakit. Penelitian
tersebut mendeskripsikan komparasi komitmen afektif, komitmen kontinuans,
dan komitmen normatif terhadap perubahan dengan mengaklasifikasikan
pegawai berdasar kategori jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan, masa
kerja, profesi, dan kepangkatan.
Penelitian lain tentang komitmen terhadap perubahan dilakukan oleh
Satria (2009) yang menelaah tentang pengaruh keadilan organisasional pada
komitmen terhadap perubahan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
DIY dengan hasil menunjukkan bahwa sebagian aspek elemen keadilan
organisasional berpengaruh pada komitmen terhadap perubahan, sedangkan
sebagian lainnya tidak berpengaruh pada komitmen terhadap perubahan.
Penelitian tentang pengaruh faktor motivasi kerja dan pengalaman kerja
pada komitmen pedoman CPOB belum pernah dilakukan. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian tentang komitmen terhadap perubahan
sebelumnya adalah peneliti sama-sama berupaya menempatkan komitmen
terhadap perubahan sebagai rerangka dari faktor (variabel terikat) yang
ditelaah, dalam penelitian ini berupa komitmen pedoman CPOB. Adapun
pembeda dengan penelitian sebelumnya adalah faktor (variabel bebas) yang
diteliti berupa motivasi kerja dan pengalaman kerja. Penelitian ini dilakukan

pada karyawan sebuah perusahaan farmasi yang terlibat secara langsung dalam
proses pembuatan obat. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi
kajian alternatif bagi penelitian sebelumnya terkait analisis komitmen terhadap
perubahan pada sektor industri kesehatan yang diatur secara ketat oleh
pemerintah.

3. Urgensi (kepentingan) penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara
empiris maupun praktis sebagai berikut:
a. Secara empiris, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi
praktisi manajemen perusahaan farmasi, yaitu berupa pemahaman lebih jauh
mengenai faktor individual terkait penerapan CPOB.
b. Secara praktis
1) Bagi PT. BMF
Hasil penelitian dapat menjadi bahan kajian alternatif dalam perencanaan
program peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam
pembuatan obat dalam upaya mendorong tercapainya keberhasilan
penerapan CPOB.
2) Bagi peneliti
a) Dapat

memberikan

pemahaman

tentang

faktor

yang

dapat

mempengaruhi komitmen karyawan di industri farmasi terhadap


CPOB.
b) Dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menerapkan teori

yang pernah diterima selama kuliah dan mendorong penulis untuk


belajar memahami, menganalisa, dan memecahkan masalah.
3) Bagi sivitas akademika
Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian bagi penelitian lain yang
berkaitan dengan topik pelaksanaan CPOB.

B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan

latar

belakang

dan

perumusan

masalah

yang

telah

dikemukakan, maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
sejauh mana motivasi kerja dan pengalaman kerja mempengaruhi komitmen
pedoman CPOB.
Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh motivasi kerja pada komitmen pedoman CPOB.
2. Mengetahui pengaruh pengalaman kerja pada komitmen pedoman CPOB.
3. Mengetahui apakah faktor motivasi kerja dan pengalaman kerja berpengaruh
secara bersama-sama pada komitmen pedoman CPOB.

You might also like