You are on page 1of 11

Angiofibroma Nasofaring

Disusun Oleh:
Reynaldo Rizky Alexander
112014082

Pembimbing:
Dr. Iwan Hertantyo, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI YUDHA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2015
BAB I
1

PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah nasofaring
yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai
kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke
daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan
dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari
arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan
fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi
nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat
meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.1
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas dan
remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14 hingga 18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun
sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring dapat berupa
hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%)
yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah meluas ke
sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,
deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita
angiofibroma nasofaring. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah
epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung
kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring.1,2

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa

struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring berhubungan dengan rongga
hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di bagian inferior. Bagian posterior nasofaring
berhubungan dengan korpus vertebra sedangkan bagian superior nasofaring dibentuk oleh os
sfenoidalis. Terdapat saluran penghubung antara telinga tegah dan nasofarng yang disebut tuba
eustachius, tuba ini memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan posterior
muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius. Selain sebagai saluran
pernafasan bagian nasofaring ini juga berfungsi sebagai pemberi ventilasi ke tuba eustachius
sekaligus ke kavum timpani. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di
bagian superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring.
Pada nasofaring bagian posterior juga terdpat tonsil (adenoids), yang merupakan bagian dari
jaringan lymphatic pada permukaan posterior lidah. Banyak terdapat foramen kranial yang
membawa struktur saraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring.
Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner
pseudokompleks.3

Gambar 1.

Anatomi

Nasofaring

Gambar 2.

Anatomi
Nasofaring

B.

Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta
sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,2
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,
juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal
tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, atau angiofibroma nasofaring
belia.3

C.

Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah satunya adalah
teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di
dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak
dikemukakan sebagai penyebab dari tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroidstimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal
yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa terjadinya JNA berhubungan erat dengan
jenis kelamin dan usia dimana umumnya terjadi pada laki laki usia anak maupun remaja.3

D.

Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas dan
remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas
25 tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah
juvenile tidak sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien
yang lebih tua. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan
hanya 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring
diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada pasien THT.1

E.

Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman pembuluh
darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta terisi pembuluh
4

vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat
tumbuh mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal
atau ke ruang intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah
posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas
dibawah mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah
anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan
memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen
sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus
maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan menimbulkan
benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua
bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut muka
kodok. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri
anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1

Gambar 3. Angiofibroma nasofaring yang sudah di operasi

F.

Gejala klinik
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan
anosmia. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media.
Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan
deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah
kongesti dari sumbatan hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang
merupakan komplikasi berat. Suara menjadi datar atau mati, pernafasan dan proses
5

menelan terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret
muko purulen. Jika pertumbuhan tumor mencapai besar tertentu, maka wajah seperti muka
kodok jelas terlihat, tulang maksila merenggang dan

tampak eksopthalmus yang

menonjol.3
Gejala

lanjut

meningkat

lebih

sesuai dengan makin

besarnya

penyerapan jaringan

tulang meningkat, kecuali

jika tumor meluas ke

luar rongga hidung atau

faring,

misalnya

seperti

intrakranial.

Pada

tumor,

berat
sampai

ke

rongga

keadaan ini nekrosis akibat

penekanan tulang tidak terlalu besar.4


G.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto
polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah
hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi sekunder
dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di tempat
tersebut.

Gejala-gejala

lain

muncul

tergantung

dari

luasnya

tumor

dan

arah

pembesarannya.1,3

Gambar 3. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi angiofibroma


yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus maksilaris dan
menyebabkan deviasi septum nasi ke kanan.

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor
yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan,
sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia
muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih
banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang
ditemukan adanya ulserasi.1
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan arteriografi.
Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral
dan posisi waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda Holman
Miller

yaitu

pendorongan

prosesus

pterigoideus

ke

belakang,

sehingga

fisura

pterigopalatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah
nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar
nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat
perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.1,4
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan vaskularisasi
tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksila interna homolateral. Kadang-kadang
juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga
vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor.1

Gambar 4. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angiofibroma sebelum embolisasi.

Gambar 5. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angiofibroma setelah embolisasi.

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering
digunakan yaitu Sessions dan Fisch.1,3
1.

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut:


a.

Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

b.

Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke


satu sinus paranasal.

c.

Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

d.

Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang
orbita.

e.

Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.

f.

Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus
kavernosus.

2.

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:


a.

Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.

b.

Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi


tulang.

c.

Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar
sampai sinus kavernosus.

d.

Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa


pituitary.

H.

Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan jaringan fibrous
yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah dengan dinding yang tipis.
Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit
mengandung elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan
angiofibroma nasofaring mudah berdarah.

Gambar 6. Gambaran histopatologi adenoma nasofaring


I.

Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi,
namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika
penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi
akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara
atau menyebabkan epistaksis menahun.1,4
Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena
resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan
lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi
sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor
yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya
diberikan radioterapi prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang
dilanjutkan dengan elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal meskipun
hasilnya tidak sebaik radioterapi. Pada pemberian hormonal terapi menggunakan
testosterone receptor blocker flutamide didapatkan penurunan staging pada staging I dan II
sebesar 44%.3
Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena tumor
terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor seringkali terjadi
kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi (penyumbatan arteri dengan
suatu bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada tumor dan
menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke
dalam pembuluh darah untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif
untuk mengatasi perdarahan hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk
mengangkat tumor.5

J.

Komplikasi
9

Anemia berat akibat epistaksis hebat dan berulang yang tidak ditangani

Exopthalmus akibat penekanan cavum orbita

Paresis dan paralisis akibat ekstensi ke intrakranial

Otitis media akibat sumbatan tuba eustachius

Meluas ke rongga hidung dan menyebabkan sumbatan ostium sinus sehingga


timbul sinusitis.

Bila tumor meluas ke orofaring maka tumor akan menekan palatum molle dan
dapat menimbulkan disfagia dan lambat laun menyebabkan sumbatan jalan nafas.

K.

Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak
memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah memenuhi rongga
tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang. Pada kasus-kasus di
mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan dapat dikatakan memiliki
prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus
yang lain, terutama pada pasien berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang
menjadi degenerasi yang ganas dan memiliki prognosis yang buruk.3
BAB III
KESIMPULAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik

jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis
kelamin laki-laki prepubertas dan remaja.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah
posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah
10

mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah
membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah
pembesarannya. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama
selain terapi hormonal atau radioterapi.
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan dapat
dikatakan memiliki prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 188-90.

2.

Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses tanggal 1


Februari 2016.

3.

Adams, George L. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Jakarta: EGC; 2012. h. 322-46.

4.

Arifputera A, Mayangsari ID. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV (2). Jakarta: Media


Aesculapsius; 2014. h. 1050.

5. Nagel P, Gurkof R. Dasar-dasar Ilmu THT. Jakarta: EGC; 2012.

11

You might also like