Professional Documents
Culture Documents
Pengantar
Sebelum terjadinya krisis yang melanda perekonomi Indonesia, proses
kegiatan pendidikan di Indonesia menyiratkan tanda-tanda kebangkitan, terutama dari
segi kuantitas yang ditunjukkan dengan angka partisipasi pendidikan di sekolah dasar
(termasuk Madrasah Ibtidaiyah) yang mendekati angka 100 %. Meski juga harus
diakui bahwa hasil yang menggembirakan tersebut belum dibarengi dengan
keberhasilan dari segi kualitas, justru untuk permasalahan rendahnya kualitas
pendidikan terjadi pada hampir semua jenjang, jenis dan satuan pendidikan (Tilaar,
1998; dan Ditdikmenum Ditjen Dikdasmen, 2000).
Hasil investigasi Bank Dunia (1998: 23) dilaporkan bahwa kompetensi dalam
berhitung, membaca dan keterampilan nalar para lulusan dari sistem pendidikan dasar
di Indonesia berada pada tingkat yang rendah. Sementara dengan melihat hasil output
para lulusan Sekolah Menengah Atas (SMU, SMK, MA) harus pula diakui jauh dari
potensi yang diharapkan. Dengan begitu, sudah waktunya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Terlebih persaingan
global, tidak lagi menyisakan ruang bagi mereka yang berkualitas rendah. Meski
demikian, di lain sisi harus pula disadari bahwa peningkatan kualitas pendidikan
bukan pekerjaan mudah, yang dapat dilakukan dalam kurun waktu singkat. Pelbagai
upaya dan program telah banyak dikonsentrasikan bagi proses tersebut, dan pada
1
Makalah disampaikan dalam forum Pelatihan Pengembangan Madrasah Bagi Pengurus BP3/POMG/POMG
Madrasah Aliyah se DIY tanggal 20 Agustus 2001 di PSBB MAN Yogyakarta III.
pendidikan
yang
kurang
mendapat
perhatian
dalam
sisi
profesionalitasnya.
sekolah. Persoalannya adalah, saat ini tidak jelas lagi siapa stakeholders sekolah kita?
Orang tua murid melalui organisasi BP3/POMG, organisasi guru, LSM di bidang
pendidikan, masyarakat dengan para tokoh-tokohnya, secara ideal menjadi
stakeholders sekolah.
3
sumbangan
dana
sering
telah
ditetapkan
sebelum
pertemuan
Untuk madrasah,
antara institusi
yang dikelola
pemerintah
demikian, hal ini bukan berarti bahwa peran BP3/POMG sebagai institusi wakil
masyarakat di sekolah hanya sebatas itu saja, ada peran-peran lain yang sebenarnya
potensial untuk dikembangkan.
Seperti diungkap di muka, bahwa jika hendak mengadopsi konsep MBS, maka
masyarakat melalui BP3/POMG akan memiliki peran yang sangat signifikan dalam
pengembangan mutu sekolah.
Dengan
penerapan
sendirinya konsep lama tentang peran BP3/POMG harus diubah, dengan format baru
yang lebih memfungsikan BP3/POMG bukan lagi sekadar sebagai pengumpul dana.
Beberapa fungsi yang dapat dikembangkan adalah:
1. Penggalangan dana bagi pemenuhan fasilitas pendidikan serta penyelenggaraan
pendidikan. Seperti diungkap di muka, fungsi ini adalah fungsi yang telah lama
dilakukan oleh BP3/POMG. Namun perlu diubah format penggalangannya, tidak
seperti praktek sekarang ini, mengadakan pertemuan untuk menghalalkan
keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Penggalangan dana dilakukan setelah
BP3/POMG menginventarisir kebutuhan-keubutuhan sekolah yang tidak mungkin
lagi didanai sekolah, dan berdasar skala prioritas. Dengan begitu bentuk
sumbangan-sumbangan dari orang tua akan secara jelas terfokuskan pada sisi
mana. Selain itu, perlu pula dilakukan upaya mengubah model sumbangan yang
selalu berwujud uang, dengan wujud sarana belajar. Misalnya dari hasil
inventarisasi dibutuhkan 10 unit komputer untuk praktek siswa di sekolah, yang
selama ini dilakukan adalah menjumlah besar dana yang dibutuhkan lalu membagi
sebanyak orang tua siswa. Cara lain yang mungkin perlu dicoba adalah
menawarkan pada orang tua siswa, siapa yang berkehendak menyumbang
perangkat-perangkat komputer CPU, monitor, printer, atau meja komputernya-,
5
dan penawaran ini dilakukan di forum pertemuan BP3/POMG dengan orang tua
siswa. Anda ada 3 orang tua siswa menyanggupi untuk menyediakan satu unit
monitor, biarkan mereka melakukan dengan caranya, dan sekolah menerima
monitor dari mereka, bukan sekolah yang membelikannya. Lalu di monitor
tersebut ditulis, monitor ini sumbangan dari (1) Bapak Amir (orang tua dari siswa
Amin Kelas II A); (2) Bapak Iman (orang tua dari siswa Aman Kelas III, dan
seterusnya. Konsep ini dapat terus dikembangkan misalnya dengan memberi nama
ruang-ruang tertentu dengan nama para penyumbang. Labelisasi ini merupakan
wujud terima kasih sekolah pada para penyumbangnya, sehingga suatu saat
sekolah akan memiliki ruang pertemuan Suta, karena yang membangun adalah si
Suta.
2. Peran berikut yang dapat diemban adalah fungsi pengawas terhadap kinerja
sekolah. Selama ini peran ini tidak pernah berani dilakukan oleh BP3/POMG,
sebab asumsi yang dibangun adalah BP3/POMG tidak terkait dengan proses
langsung penyelenggaraan pendidikan, sehingga tidak mungkin dapat memahami
kinerja sekolah secara baik. Di lain sisi, sekolah sendiri sepertinya memang
sengaja memposisikan BP3/POMG seperti itu, agar sekolah steril dari campur
tangan orang luar, sebaliknya jika sekolah membutuhkan dana baru menarik
orang luar tersebut untuk membantu menyelesaikannya. Tentunya logika ini
tidak fair, dan tidak mendidik masyarakat untuk ikut memikirkan keberhasilan
proses pendidikan. Pengawasan atas kinerja sekolah ini termasuk di dalamnya
kinerja guru dan kepala sekolah, bahkan idealnya (jika berani) BP3/POMG
memungkinkan untuk merekomendasikan penggantian kepala sekolah/madrasah
jika memang kepala tersebut dianggap tidak profesional dalam menangani proses
6
pendidikan di sekolah, serta mengusulkan calon kepala baru yang dipandang lebih
handal. Ide ini memang ekstrim jika tidak ingin menyebutnya gila-, namun
dalam model sistem manajemen berbasis sekolah, ide ini mungkin saja diterapkan.
Sebab dalam aplikasinya, MBS banyak menuntut kinerja seorang menejer sekolah
yang handal, memiliki kemampuan menejerial pendidikan yang baik. Jika kepala
sekolah/madrasah hanya sekadar bisa, maka jangan berharap akan tercapai
otonomi dalam pendidikan. Lantas pertanyaannya adalah, siapkah BP3/POMG di
satu sisi, dan sekolah/madrasah (pihak pimpinan terutama) untuk menerapkan
fungsi ini? Jika tidak, jangan berharap banyak dengan BP3/POMG untuk dapat
berkontribusi dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah?
3. Fungsi kepengawasan tersebut dapat pula dilakukan untuk menilai keberhasilan
proses pendidikan, sehingga BP3/POMG memiliki peluang untuk ikut
menentukan kurikulum apa yang akan diberikan sekolah kepada siswa-siswanya.
BP3/POMG ikut pula menentukan bahan ajar apa yang harus diberikan pada
siswa, dan mana yang harus dikurangi. Lagi-lagi pertanyaan yang mengemuka
adalah, siapkah masing-masing komponen untuk menjalankan fungsi baru ini.
BP3/POMG dituntut untuk terus mengikuti perkembangan kurikulum di sekolah,
dan sekolah menyedikan informasi yang memadai tentang kurikulum yang
diterapkan di sekolahnya. Barangkali akan muncul kegelisahan dari para guru,
karena merasa otoritasnya sebagai pendidik dicemari campur tangan BP3/POMG.
Terlebih bagi mereka yang merasa memiliki kualifikasi pada bidangnya. Situasi
ini perlu dijelaskan bahwa campur tangan BP3/POMG hendaklah dimaknai
sebagai bantuan untuk memilihkan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa di
masa depan. Perlu juga dipahami, terkadang isu yang dilontarkan para guru, tidak
7
lagi relevan dengan kondisi di masyarakat, sementara karena sang guru dahulu
menerima materinya hanya itu, dan tidak sempat mengikuti perkembangan
terbaru di masyarakat, bersikukuh mempertahankan isu yang tidak lagi menarik
itu.
4. Bersama-sama pihak sekolah menyusun rencana anggaran pembiayaan sekolah
(RAPS). Selama ini proses penyusunan anggaran sekolah dilakukan oleh pihak
sekolah sendiri, tanpa melibatkan unsur manapun. Konsekuensi logis dari model
MBS adalah transparansi alokasi dana dan penyusunan RAPS.
5. Dalam upaya untuk mengaktifkan masyarakat, BP3/POMG harus menjadi
semacam public relation-nya sekolah. Dalam hal ini peran aktif anggota pengurus
BP3/POMG untuk menginformasikan kepada masyarakat sekitar tentang aktivitas
sekolah.
Tentu
ACUAN
Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah. Buku 1. Edisi 2 Revisi. Jakarta: Depdiknas.
H.A.R. Tilaar. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspektif Abad 21. Magelang: Yayasan Tera Indonesia.
Idrus, M. (1995). Menugatkan Keberadaan Sekolah Swasta. Yogya Post, 28 Juli 1995.
---------. (1996). Tentang Reduksi Institusi Pendidikan. Yogya Post, Jumat Pahing, 8
Maret 1996.
---------. (1997). Sekolah Berjuang Sendiri. Surabaya Post, Sabtu 4 Januari 1997.
The World Bank. 1998. Education in Indonesia: From Crisis to Recovery. Report No.
18651-IND.