You are on page 1of 17

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 2011


TENTANG
JABATAN YANG TIDAK BOLEH DIRANGKAP OLEH
HAKIM AGUNG DAN HAKIM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah dua kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 17 ayat (3) UndangUndang Nomor 7

Tahun 1989

tentang

Peradilan

Agama

sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
dan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
dua kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha


Negara;
b . b a h w a ket e n t u a n d a l a m Pe r a t u r a n Pe m e r i n t a h Nomor
13 Tahun 1993 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Hakim
Agung dan Hakim sudah tidak sesuai dengan perkembangan
hukum dan peradilan, sehingga perlu diganti;
c.

bahwa

berdasarkan

dimaksud

dalam

per timbangan

hur uf

dan

sebagaimana

hur uf

b,

perlu

menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jabatan yang


Tidak Boleh Dirangkap Oleh Hakim Agung dan Hakim;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang

Nomor

14

Tahun

1985

tentang

Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


1985

Nomor

73,

Tambahan

Lembaran

Negara

Republik

Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dua kali


terakhir

dengan

Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14


Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327),
sebagaimana

telah

diubah

dua

ka li

tera k hir

den ga n

Unda ng -Unda ng Nom or 4 9 Tahun 2009 tentang Perubahan


Kedua Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5077);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3344), sebagaimana telah diubah dua kali terakhir
dengan

Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986


tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5079);\

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400),
sebagaimana

telah

diubah

dua

kali

terakhir

dengan

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan


Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran

Negara

Republik

Indonesia

Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 5078);
6. Undang-Undang

Nomor

48

Tahun

2009

tentang

Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia


Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG JABATAN YANG TIDAK
BOLEH DIRANGKAP OLEH HAKIM AGUNG DAN HAKIM.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.

Hakim Agung adalah Hakim pada Mahkamah Agung.

2.

Hakim adalah Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada


badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dan Hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut.

Pasal 2
Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim
yaitu:
a.

Pejabat Negara lainnya;

b.

Jabatan struktural atau jabatan fungsional pada instansi


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

c.

Arbiter dalam suatu sengketa perdata;

d.

Anggota Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara;

e.

Jabatan pada lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan


nonbank;

f.

Jabatan sebagai pimpinan dan/atau anggota pada


lembaga nonstruktural;

g.

Komisaris, dewan pengawas, direksi pada badan usaha milik


negara dan/atau badan usaha milik daerah;

h.

Notaris, Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, dan


Notaris Pengganti Khusus;

i.

Pejabat Pembuat Akta Tanah;

j.

Jabatan

lainnya

yang

berdasarkan

peraturan

perundang-

undangan dinyatakan tidak boleh dirangkap oleh Hakim; atau


k. Anggota Musyawarah Pimpinan Daerah.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1993 tentang Larangan Perangkapan
Jabatan Hakim Agung dan Hakim (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1993 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3519) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 4
Peraturan

Pemer intah

ini

mulai

berlaku

pada

tanggal

diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan

Peraturan

Pemer intah

ini

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

dengan

Diundangkan di Jakarta pada


tanggal 22 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 72
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang
Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2011
TENTANG
JABATAN YANG TIDAK BOLEH DIRANGKAP OLEH
HAKIM AGUNG DAN HAKIM
I. UMUM
Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia

Tahun

1945

menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan hal


tersebut, salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Berdasarkan prinsip tersebut, Hakim dalam menyelenggarakan peradilan harus
merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.
Untuk lebih menciptakan iklim yang kondusif agar Hakim dapat merdeka dan
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya dalam melaksanakan tugasnya dan

untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung,


Undang-Undang tentang Peradilan Umum, UndangUndang tentang Peradilan
Agama, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlu diatur
jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim. Mengenai
hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemer intah Nomor 13 Tahun
1993 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Hakim Agung dan Hakim.
Namun sesuai perkembangan hukum dan peradilan, ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah tersebut sudah tidak layak lagi sehingga perlu diganti.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang
Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim, dengan
materi pokok antara lain jenis jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim
Agung dan Hakim dan ketentuan mengenai pencabutan Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 1993 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Hakim Agung
dan Hakim.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf
Yang dimaksud dengan "Pejabat Negara lainnya", antara lain, sebagai
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), menteri/setingkat menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
Huruf b
Yang dimaksud jabatan fungsional dalam ketentuan ini adalah jabatan
fungsional dengan status PNS, contohnya peneliti, dosen tetap.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d

Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang

dimaksud

dengan

pimpinan

dan/atau

anggota

lembaga

nonstruktural antara lain pimpinan dan/atau anggota pada Komisi


Negara, Komisi, Komite, Dewan, Badan, dan Lembaga, antara lain
pimpinan dan/atau anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komite Nasional
Keselamatan
(KAN),

Transportasi

Dewan

Ketahanan

(KNKT),

Komite

Pangan

(DKP),

Akreditasi
Dewan

Nasional

Pertimbangan

Otonomi Daerah (DPOD), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP),


Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Lembaga Sensor Film (LSF), Lembaga
Koordinasi

dan

Pengendalian

Penyandang Cacat.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas. Hurufj
Cukup jelas. Huruf
k
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.

Peningkatan

Kesejahteraan

Sosial

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5228

PERFEKTIF HUKUM LARANGAN RANGKAP JABATAN BERDASARKAN PP NO.


36 TAHUN 2011 BERKAITAN DENGAN LELANG JABATAN DALAM UPAYA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Oleh

Timur Abimanyu, SH.MH


Pendahuluan :
Berkaitan Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor MA/SEK/07/III/2006 Tanggal 13 Maret 2006 1 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Sekretariat Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah untuk menjalankan
program-program kerja yang terencana agar capaian tingkat keberhasilan yang
diwujudkan

melalui

penyediaan

dan

peningkatan

Sarana

Pengadilan,

Pengembangan kelembagaan, Peningkatan kualitas SDM yang profesional. Akan tetapi


didalam implementasinya masih terjadi tumpang tindihnya kewenangan, baik antara
kewenangan dengan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan. Dan yan
masih

terlihat

jelas

adalah

mengenai

rangkap

jabatan

yang

sudah

jelas

pengaturannya dilarang oleh PP No. 36 Tahun 2011, dimana pemerintah menetapkan


sebelas jabatan rangkap yang terlarang bagi hakim. Hakim dalam pengertian ini
meliputi hakim agung dan hakim yang bertugas di badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung, termasuk peradilan khusus dan larangan ini ditetapkan demi
menjaga independensi hakim yang merupakan sebagai salah satu prinsip penting
negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.2
1.www.mahkamahagung.go.id/images/news/LAPORAN_REFORMASI_BIROKRASI_MAHKAMA
H_AGUNG_FINALE.
2. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e51c1de1caa2/sebelas-jenis-jabatanterlarang-bagi-hakim.

Atas dasar masalah inilah penulis membuat makalah yang berjudul


Perfektif Hukum Larangan Rangkap Jabatan Berdasarkan Pp No. 36
Tahun 2011 Berkaitan Dengan Lelang Jabatan Dalam Upaya Reformasi
Birokrasi Menuju Pemerintahan Yang Bersih, hal merupakan sebagai
permasalahan yang sangat krusila dan urgen yang harus diperhatikan oleh para
penegak hukum di Negara Republik Indonesia dalam rangka percepatan
Reformasi Birokrasi.
Dasar Hukum :
-

Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945.


Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-UndangNomor. 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung

Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3327), sebagaimana telah diubah dua ka li
te ra k hir

de nga n

U nda ng- U nda ng

N omor

49

Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan


Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158,
-

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077);


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344), sebagaimana telah
diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3400), sebagaimana telah diubah dua kali
terakhir

dengan

Undang-Undang

Nomor

50

Tahun

2009

tentang

Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159,
-

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078);


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

Peraturan Menteri PAN Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum

Reformasi Birokrasi.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan

Reformasi Birokrasi dan Tunjangan Kinerja Bagi Kementerian/Lembaga.


Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

MA/SEK/07/III/2006 Tanggal 13 Maret 2006.


Peraturan
Pemerintah
No.
13
Tahun

1993

yang

sudah

diganti

pemberlakukannya dengan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011 karena


-

perkembangan jaman.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011 tentang Jabatan Yang Tidak Boleh
Dirangkap Oleh Hakim Agung Dan Hakim.

Pokok Permasalahan :
Berdasarkan

uraian

tersebut

diatas,

penulis

berusaha

menguraikan

permasalah yang terjadi dan menganalisa berdasarkan ketententuan perundangundang yang berlaku :
1.Sampai seberapa jauhkan implementasi larangan rangkap jabatan yang diatur
oleh PP Nomor. 36 Tahun 2011 ?
2. Sampai seberapa jauhkah penerapan PP

Nomor 36 Tahun 2011 tersebut

diterapkan di Lingkungan peradilan ?


Tujuan Penulisan Dan Kegunaannya :
1.

Untuk mengetahui

secara

lebih mendalam mengenai tugas dan

fungsi

hakim dilingkungan peradilan didalam mengemban tugas-tugas negara yang


mulia tersebut, untuk memenuhi rasa keadilan dan rasa kepuaan bagi para
pencari keadilan.
2. Untuk mengetahui secara mendalam, sampai seberapa jauh implementasi PP
No. 36 Tahun 2011 tentang larangan jabatan bagi Hakim Agung dan Hakim
untuk dipatuhi dan jabatan-jabatan apa saja yang dilarang

PP No. 36 Tahun

2011 sebagai ketentuan yang melarang secara internal maupun secara


eksternal.
Implementasi larangan rangkap jabatan yang diatur oleh Peraturan
Pemerintah Nomor. 36 Tahun 2011, berdasarkan Surat Keputusan Bersama yaitu
masih membolehkannya hakim menjabat sebagai pengurus atau anggota
organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem hukum,
administrasi

peradilan,

lembaga

pendidikan

dan

sosial

kemasyarakatan,

sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian hakim. Dan atas dasar


Peraturan Pemerintah Nomor. 36 Tahun 2011 dimana pemerintah menetapkan

sebelas jabatan rangkap yang terlarang bagi hakim yaitu hakim dalam pengertian
yang meliputi hakim agung dan hakim yang bertugas di badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung (Kekuasaan Kehakiman), termasuk peradilan khusus, adapaun
larangan tersebut adalah untuk menjaga independensi hakim, yang merupakan
salah satu prinsip penting negara hukum adalah menjamin

penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun
juga.
Pada tahun-tahun sebelumnya sudah ada pengarturan mengenai rangkap
jabatan oleh Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1993 dan telah diganti oleh
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011 yaitu tentang larangan rangkap jabatan
bagi hakim tidak

boleh merangkap menjadi pejabat negara lainnya seperti

pimpinan atau anggota DPR, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, menteri,


gubernur, dan bupati/walikota.

Dan yang paling krusial adalah larangan untuk

menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional

pada instansi

pemerintah pusat dan daerah. Jabatan fungsional dimaksud adalah jabatan


fungsional dengan status pegawai negeri sipil seperti peneliti dan dosen tetap.
Dan selain ketiga jabatan tersebut di atas, hakim terlarang menduduki jabatan
sebagai arbiter dalam suatu sengketa perdata. Terlarang juga menjadi anggota
Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara (PUPLN). Dari segi bisnis, hakim tidak
boleh menduduki jabatan sebagai komisaris, dewan pengawas, atau direksi di
BUMN/BUMD.
Begitu pula jabatan krusial lainnya yaitu menduduki jabatan pimpinan atau
anggota pada lembaga non-struktural. Misalnya pimpinan Komisi-komisi negara,
Komisi, Komite, Badan, dan Lembaga. Jadi, hakim dilarang menjadi anggota KPK,
Komite Akreditasi Nasional, Komite Nasional Keselamatan Transportasi, dan
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Begitu pula adalah larangan lainnya yaitu
menjadi notaris, pejabat sementara notaris, notaris pengganti, dan notaris
pengganti khusus, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan selanjutnya, hakim
dilarang menduduki jabatan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
tidak diperbolehkan, misalnya menjadi advokat. Terakhir, hakim dilarang menjadi
anggota Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).
Yang menjadi pertanyaan dan harus dijawab oleh para pembaca adalah
bagaimana jabatan-jabatan dalam kaitannya Lelang Jabatan, dimana para hakim
masih berusaha untuk menduduki Jabatan-Jabatan Strutural

pada Direktorat

Jenderal Badan Peradilan yang berada dibawah Kekuasaan Kehakiman dan


Mahkamah Agung ? (tanyakan pada rumput yang bergoyang, mau kemana arah
dan tujuan peradilan di Indonesia ini).

Dalam upaya menjalankan dan percepatah Reformasi Birokrasi upaya dari


Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011 adalah sebagai upaya untuk membuat
batasan jabatan rangkap hakim, jika tidak dibuat batasan/larangan, maka hakim
akan berpotensi melakukan intervensi kekuatan luar. Apalagi jika hakim atau
Ketua Pengadilan Negeri setempat masuk dalam Muspida, maka potensi
intervensi itu lebih besar mengingat kemungkinan Pemda atau satuan kerja di
lingkungan Pemda menjadi pihak dalam perkara yang akan ditangani oleh hakim
(sebagai Yang Mulia). Jelaslah bahwa Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011
adalah untuk mendorong para hakim lebih profesional dan dapat fokus didalam
memeriksa, mempertimbangkan dan memutus perkara di peradilan

sebagai

pelayanan yang prima bagi kepentingan para pencari keadilan. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 2011 melarang secara tegas dalam Pasal 2 huruf a
yang isinya adalah

Jabatan struktural atau jabatan fungsional pada instansi

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.


Sebagaimana kita ketahui bahwa sikap kemandirian hakim telah dijelaskan
dalam Surat Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial 8 April 2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Mandiri berarti mampu bertindak
sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas
dari pengaruh apapun. Penerapannya dapat dilihat dari sikap bebas hakim dari
hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta
kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian hakim dan badan
peradilan.
Terhadap penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 2011,

khususnya di lingkungan peradilan dalam percepatan Reformasi Birokrasi, sampai


saat ini masih terjadi penyimpangan-penyimpangan dari apa yang diatur oleh
Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 2011, seperti jabatan struktural (direktur

maupun kepala biro) yang berada pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan. Jika
kita melihat pada permasalahan rangkap jabatan pada tahun 2008 sampai
dengan tahun 2011 pada Mahfud MD dan Abdul Mukthie Fadjar memang baru saja
mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) periode 2008-2011 di ruang sidang MK, Kamis (21/8). Kemudian
Gabungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Aliansi
Masyarakat untuk MK (AMUK) menyambangi ruang kerja Mahfud selang beberapa
jam setelah pelantikan, dimana tujuan mereka adalah beraudiensi dengan Mahfud

dan Mukthie seputar dugaan rangkap jabatan yang kemungkinan dilakukan oleh
para hakim konstitusi.3
Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin
meminta agar Pasal 17 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
melarang para hakim konstitusi melakukan rangkap jabatan. Ada lima jabatan
yang tak boleh dirangkap oleh hakim konstitusi, ingat Firman. Kelima jabatan itu
adalah pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau
pegawai negeri. Firman meminta agar para hakim konstitusi menggelar deklarasi
telah terbebas

dari rangkap

jabatan yang

dilarang itu. Ini bagian dari

transparansi. Jangan sampai ada prasangka mereka sudah melepaskan jabatan


sebelumnya atau tidak, tambahnya. Taufik Basari dari LBH Masyarakat menilai
deklarasi ini memang hanya berupa simbol independensi dan imparsialitas para
hakim konstitusi. Tapi ini sangat penting untuk masyarakat, tambahnya.

Berdasarkan masukan tersebutMahfud menyambut baik masukan ini dan akan mengecek satu
persatu (para hakim konstitusi) mengenai pelaksanaan Pasal 17, akan tetapi secara pribadi, Mahfud
mengatakan ia telah mundur dari jabatan-jabatan ketika sudah menjadi hakim konstitusi, dan dalam
berbagai kesempatan, ia mengatakan telah mundur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dua minggu
sebelum ditetapkan sebagai hakim konstitusi. Dan begitu pula Mukthie yang hadir mendampingi
Mahfud juga menegaskan hal serupa. Mukthie mengatakan ia telah pensiun sebagai pegawai negeri
sipil saat dilantik sebagai hakim konstitusi pada tahun 2003.
Kemudian hakim konstitusi periode pertama HAS Natabaya juga dipensiunkan karena faktor
usia. Namun, tambah Mukthie, hakim konstitusi yang berusia di bawah 56 tahun hanya dinonaktifkan
sementara. Sebagai contohnya, I Dewa Gede Palguna. Sekarang dia diaktifkan kembali (karena sudah
tak menjabat sebagai hakim konstitusi lagi), dan akan atau bakal kembali ke almamaternya di
Universitas Udayana, Bali.
3.http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19967/mahfud-akan-pastikan-tak-adahakim-konstitusi-yang rangkap-jabatan.
4 http://pa-pelaihari.go.id/index.php?content=mod_berita&id=40.

Mengacu pada kebijakan pemerintah ini, Mukthie menilai Hakim Konstitusi Maria Farida
Indrati dan Achmad Sodiki seharusnya juga sudah pensiun mengingat usianya di atas 56 tahun. Namun,
ia meminta kepada Aliansi Masyarakat untuk MK (AMUK) agar bersabar, karena mereka baru
beberapa hari dilantik sebagai hakim konstitusi. Pak Sodiki mau ke Malang, ujarnya. Sodiki merupakan
dosen di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Apabila Maria dan Sodiki dicurigai belum
mundur dari jabatan PNS nya sebagai dosen, beda lagi dengan Akil Mochtar. Mantan Anggota Komisi
III DPR RI ini memiliki latar belakang sebagai anggota Partai Golkar dan juga advokat. Pak Akil
memang bukan PNS, tapi dia advokat, ujar Mukthie.
Dari uraian diatas bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1993 yang telah
diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011 tentang jabatan rangkap Hakim Agung dan
Hakim, masih terlihat terjadi penyimpangan-penyimpangan yang sangat menyolok, apalagi di era
Reformasi Birokrasi sekarang masih saja pelanggaran-pelanggaran rangkap jabatan terjadi di lembagalembaga maupun instansi pemerintahan, apalagi dalam upaya keterbukaan informasi khususnya yang
berkaitan dengan lelang jabatan, masih terlihat para hakim yang menyadang predikat jabatan
fungsioanl, masih saja berambisi untuk menduduki jabatan-jabatan struktural di Direktorat jenderal,
yang seharusnya tugas para hamim adalah memeriksa, mempertimbangkan dan memutus perkara di
peradilan dan harus tunduk kepada Mahkamah Agung sebagai yang menjalankan Kekuasaan
Kehakiman.
Demikianlah usalan saya ini, semoga menjadi pertimbangan bagi para pembaca mengenai
sepercik Pemberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor. 36 Tahun 2011 tentang larangan Rangkap
Jabatan bagi Hakim Agung dan Hakim.
Kesimpulan :
1.

Pada dasar pemerintah telah menuangkan kebijakannya kedalam peraturan


dan sudah berusaha melakukan pemisahan jabatan yaitu antara jabatan
fungsional dan jabatan struktural, sebagaimana yang diatur oleh Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 1993 yang telah diganti dengan

Peraturan

Pemerintah No. 36 Tahun 2011. Akan tetapi di dalam implementasinya dan di


Era Reformasi Birokrasi dianggap belum efektif, hal ini terlihat masih adanya
tumpang tindihnya antara kebijakan internal dan kebijakan eksternal terhadap
pemberlakuan Peraturan Pemerintah tersebut.
2. Dalam upaya melaksanakan Reformasi Birokrasi dan keterbukaan informasi,
dalam kaitannnya dengan dasar hukum dan salah satunya adalah Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 2011 tentang larangan Rangkap Jabatan oleh Hakim
Agung dan Hakim harus benar-benar dipatuhi, agar tidak terjadinya tumpang
tindingnya kebijakan yaitu antara kebijakan dasar internal dengan kebijakan
dasar eksternal didalam negeri ini, apalagi yang berkaitan dengan pelayanan
prima bagi para pencari keadilan.

Daftar Pustaka :
1. Republik Indonesia, Undang Undang Dasar 1945.
2. Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-UndangNomor. 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
3. Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327), sebagaimana
telah diubah dua ka li te rak hir de nga n U nda ng-U nda ng N om or 49
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5077).
4. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344), sebagaimana
telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5079).
5. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400), sebagaimana
telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5078).
6. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
7. Peraturan Menteri PAN Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum
Reformasi Birokrasi.
8. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi dan Tunjangan Kinerja Bagi Kementerian/Lembaga.
9. Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
MA/SEK/07/III/2006 Tanggal 13 Maret 2006.
10. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1993 yang sudah diganti
pemberlakukannya dengan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011 karena
perkembangan jaman.
11. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2011 tentang Jabatan Yang Tidak Boleh
Dirangkap Oleh Hakim Agung Dan Hakim.
12.www.mahkamahagung.go.id/images/news/LAPORAN_REFORMASI_BIROKRASI_M
AHKAMAH_AGUNG_FINALE.

13.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e51c1de1caa2/sebelas-jenisjabatan-terlarang-bagi-hakim.
14.http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19967/mahfud-akan-pastikan-takada-hakim-konstitusi-yang rangkap-jabatan.
15. http://pa-pelaihari.go.id/index.php?content=mod_berita&id=40.

You might also like