You are on page 1of 18

BAB 2

Drug Induced Hepatitis


2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar
2.1.1 Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih 1,5 kg
(Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga
(Sloane, 2004). Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis
tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra dan
hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar
terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006). Hepar
tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke venae
hepaticae. Dalam ruangan antara lobuluslobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabangcabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (trias 12
hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke
vena centralis (Sloane, 2004).
2.1.2 Fisiologi Hati
Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu: a. Metabolisme
karbohidrat Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam
jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan
membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. b.
Metabolisme lemak Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk
sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan
karbohidrat. c. Metabolisme protein Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi
asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan

protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam
amino

2.2 Metabolisme Obat


Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian
besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat
di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air
dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif
terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada
fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani
langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. (Mehta, Nilesh, 2010)
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum
endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk
dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-pbenzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi.
NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan. (Mehta, Nilesh, 2010)
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan
ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam
metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami
biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat.
Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat
terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat,
asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal
mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat
sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:

Inducers
o Phenobarbital
o Phenytoin
o Carbamazepine
o Primidone
o Ethanol
o Glucocorticoids
o Rifampin
o Griseofulvin
o Quinine
o Omeprazole - Induces P-450 1A2

Inhibitors
o Amiodarone
o Cimetidine
o Erythromycin
o Grape fruit
o Isoniazid
o Ketoconazole (Mehta, Nilesh, 2010)
3

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan
absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam
metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik.
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap
obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi
tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000
pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk
setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan
alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk
lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama, Putut, 2006)

2.3 Mekanisme Hepatotoksisitas


Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi
penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang
meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak
reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan
enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini
bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogenimunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang
melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi
mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolitmetabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera
pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik
menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat
atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen).
(Bayupurnama, Putut, 2006)
4

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak
dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami
akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu
(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab). (Bayupurnama, Putut, 2006)

2.4 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit
hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansisubstansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. (Bayupurnama, Putut, 2006)
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan
dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis
akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik
secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk
mengetahui perbedaannya. (Bayupurnama, Putut, 2006)
Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat
berdasarkan :\
1

Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah
sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih
dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat
untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat.
5

Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati
paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif
(pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi
hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.

Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk
biopsy hati pada tiap kasus

Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling tidak
kenaikan dua kali lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua

dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat. (Mehta,
Nilesh, 2010)
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan
disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya
obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada
setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang
menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa
pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik
secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat. (Mehta, Nilesh, 2010)
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama
jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosist lebih dominan
maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas
reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat
nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam
beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah
obat penyebab dihentikan pemakaiannya. (Mehta, Nilesh, 2010)
6

Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemenuhan
reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram
per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang
dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi
aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. (Mehta, Nilesh, 2010)

2.4.1 Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat


1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku bangsa.
Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH).
Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar
individu.
2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak.
Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya interaksi
antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola
makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting
terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat
karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat. Alkohol
menyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan
terhadap toksisitas obat.
7

5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan
risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan
terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus
didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan
infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek
hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis
beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di
P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat
antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini
mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi
abnormal terhadap suatu obat.
7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang
yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah.
8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat
short-acting
9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan mendorong
terjadinya penyakit hati, yakni:
o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac
o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)
o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat
o Usia Muda - Salisilat, asam valproik
o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen
o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan
o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin
o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol
o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol
8

o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide


o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate (Mehta, Nilesh, 2010)

2.5 Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun
sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun, masalah TB
dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini
diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug
Resistant

Tuberkulosis

(TB-MDR).

Setiap

tahun

diperkirakan

ada

satu

juta

kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. (Amin dan Asril, 2006)
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk
dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat
TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini
pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan
dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen
pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R),
Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3
obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut,
pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi
tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan
status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau
HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi
gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
2.5.1 Definisi Hepatotoksisitas Imbas OAT
Kerusakan hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan obat OAT.
9

2.5.2 Epidemiologi Hepatotoksisitas Imbas OAT


Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang. Perempuan
cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang dewasa lebih rentan
terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel
hepatosit yang rusak seperti pada orang muda.
2.5.3 Mekanisme Hepatotoksisitas Imbas OAT
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan
hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang
bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll.
Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Kishore, dkk,
2010).
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan
gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnose
hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti
kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing
dan kencing yang berwarna hitam pekat
2.5.4 Efek Hepatotoksik OAT
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase
(ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali
dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh
lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika
tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi
masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
Isoniazid (INH)

10

Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati
ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan
konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan
menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas
kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali
nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi
pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari
mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi)
terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat
Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis
dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa
300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada
anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas
pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis
maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun
demikian, kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk
TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak). (Kishore, dkk, 2010)

Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi.
Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka
dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah
pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan
transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien,
dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas.
Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan
dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi
pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan
diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini
tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
11

Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat
terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control
(CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen
2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11
meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan
terapi. (Kishore, dkk, 2010)

Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati
yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang
dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)
2.5.5 Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug
induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
-

Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop

Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop

Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop

SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop

SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan

Paduan obat yang dianjurkan


-

Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)


12

Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali
normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi
sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa
laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal,
tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).
Sehingga paduan obat menjadi RHES.

Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas
terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif
dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid,
Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling
tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi
yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid
dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas
normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis
viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan
kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk, 2010).
2.5.6 Rekomendasi Mengelola OAT
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk
mengelola

hepatotoksisitas

imbas

OAT

antara

lain:

Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut harus
dihentikan
Tunggu

sampai

jaundice

hilang

atau

sembuh

terlebih

dahulu

Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan
Streptomisin,

INH

dan

Etambutol

diikuti

oleh

10

bulan

INH

dan

Etambutol.

Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai 8
13

bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar.
(Kishore, dkk, 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg / hari
setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75 mg / hari
lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50
kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan.
Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g
setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg). (Kishore, dkk, 2010)
2.5.7 Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT
Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai

pengobatan TB dan sebaiknya

dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien dengan
gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya
menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus
dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya
mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada
dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu
makan, mual, muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis
pasien harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan
tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis
reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin.
(Kishore, dkk, 2010)
2.5.8 Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan Hepatotoksisitas
Imbas OAT
1.Periksa

kimia

normal

hati

sebelum

memulai

rejimen

obat

OAT
14

2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian OAT
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis standar, sendiri atau
dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang abnormal.
4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST> 120 IU /
L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg / dl).
5.

Tidak

ada

penyebab

jelas

lainnya

untuk

peningkatan

chemistries

hati.

6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari kimia
hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)

2.5.9 Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas


Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang memiliki
tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis: Pirazinamid, INH
dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak mungkin untuk membedakan
antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda dan gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa
pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu
memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah
memulai pengobatan dan kemudian setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang
terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi
bilirubin) dan namun biasanya kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk
mengimbangi produksi). Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga
minggu pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka tidak
ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan harus dihentikan jika
penyakit

kuning

menjadi

bukti

klinis.

Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus
dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat
dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai kadar transaminase
kembali

normal

(kedua

obat

tidak

berhubungan

dengan

hepatitis).

Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan dalam
suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang perawat harus
15

hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit selama minimal
empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan terjadi dalam waktu enam
jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit
dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam
urutan ini.:

* Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis


* Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis
* Hari 3: INH dengan dosis penuh
* Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis
* Hari 6: RMP pada dosis penuh
* Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis
* Hari 9: EMB pada dosis penuh
Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus dihentikan
sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya, pasien hanya menerima
RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien melengkapi sembilan hari dosis tes,
maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji
PZA perlu dilakukan.

Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena kedua
obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji pertama: PZA
adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga merupakan obat yang bisa
paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika pola kepekaan organisme TB tidak diketahui
dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing
menghilangkan

obat

standar

tercantum

di

bawah

ini.

Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak adanya obat16

obatan

dari

rejimen

pengobatan

sangat

merusak

kemanjurannya

2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir (dan
mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)

Daftar Pustaka
1

Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.


Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.

Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006


Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001

Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced
Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment.
Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260

Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and
Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267

Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Druginduced Hepatotoxicity The Role of Hepatitis C


Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami School of

7
8
9

Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine


Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology
and Hepatology. 2010
World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Program.
2003
www.wikipedia.org

17

18

You might also like