You are on page 1of 6

1

PENGANTAR HUKUM INDONESIA


Hukum Adat
a. Pengertian Hukum Adat
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu
pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan.
Dengan kata lain, hukum adat adalah adat istiadat yang mempunyai akibat hukum.
Istilah hukum adat, adalah terjemahan dari adatrecht yang pertama kali
diperkenalkan oleh Prof. Dr.C.Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers
pada tahun 1893. Kemudian digunakan oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven yang
dikenal sebagai penemu hukum adat dengan sebutan Bapak hukum adat dan
penulis buku Het Adatrecht van Nederlands Indie.1 Menurut Kusumadi
Pudjosewojo, memang ada kesamaan antara hukum adat dan adat recht, akan
tetapi hukum adat ialah segala hukum yang tak tertulis, sedangkan adatrecht
untuk sebagian meliputi juga hukum tertulis.2
Prof. Mr. B.Ter Harr Bzn, Hukum Adat ialah seluruh peraturan yang ditetapkan
dalam keputusan keputusan yang berwibawa (dengan tanpa termasuk surat
surat perintah raja2x, kepala2x adat, dan sebagainya) dari Para fungsionaris
Hukum (misalkan para hakim adat, kepala adat, kepala desa dan lain sebagainya)
yang langsung berdasarkan pada ikatan2x struktural dalam masyarakat dan
ikatan2x lainnya dalam hubungannya antara satu sama lain dan dalam ketentuan
yang timbal balik. Prof. Dr. Soepomo, istilah Hukum adat ini dipakai sebagai
sinonim dari Hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatief (nonstatutory law); hukum yang hidup sebagai konvensi di badan2x hukum Negara
(parlemen), Dewan2x Propinsi dan sebagainya; hukum yg timbul karena putusan
putusan Hakim (Judgemade law); hukum yang hidup sbg peraturan kebiasaan
yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota2x maupun di desa2x
(customary law); semua inilah merupakan Adat atau Hukum yang tidak tertulis
yang disebut Pasal 32 UUDS Tahun 1950. Menurut Hazairin, hukum adat itu
1

Yulies Tiena Masriani, 2009, Pengantar Hukum Indonesia, Cet.V. Sinar Grafika, Jakarta, h.

134.
2

Kusumadi Pudjosewojo, 2008, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Cet.XI. Sinar
Grafika, Jakarta, h. 88.

merupakan seluruh lapangan hukum yang mempunyai hubungan dengan


kesusilaan, langsung ataupun tidak langsung. Dengan demikian maka dalam
sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras
atau bertentangan dengan kesusilaan. (di dalam Pidato inaugurasi yg berjudul
Kesusilaan dan Hukum Tahun 1952). Dari definisi definisi diatas dapat
dinyatakan bahwa, Adatrecht tersebut ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang
berlaku bagi bumiputera dan orang timur asing, yang mempunyai upaya pemaksa
dan tidak terkodifikasi.3 Berlakunya suatu peraturan hukum adat, tampak dalam
penetapan, (putusan putusan), petugas hukum, Misalnya Putusan Kepala Adat,
Putusan Hakim Perdamaian Desa, dan sebagainya sesuai dengan lapangan
kompetensinya masing masing. Kata hukum dalam pengertian hukum adat
lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa. Hal itu karena terdapat peraturan
peraturan yang selalu dipertahankan keutuhannya oleh pelbagai golongan tertentu
dalam lingkungan kehidupan sosialnya, seperti masalah pakaian, perangkat
pertunangan dan sebagainya.
b. Sistem Hukum Adat
Sistem hukum adat bersumber pada peraturan peraturan hukum tidak
tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Hukum adat itu mempunyai tipe yang bersifat tradisional dengan
berpangkal kepada kehendak nenek moyang. Peraturan peraturan hukum adat
juga dapat berubah tergantung dari pengaruh kejadian kejadian dan keadaan
hidup silih berganti. Perubahannya sering tidak diketahui, bahkan kadang
kadang tidak disadari masyarakat. Hal itu karena terjadi pada situasi sosial
tertentu di dalam kehidupan sehari hari.4 Van Vollenhoven, membagi peraturan
hukum adat di berbagai daerah menjadi 19 (sembilan belas) lingkaran hukum adat
sebagai persekutuan hukum, yaitu:5
1. Aceh
3
4

Ibid, h. 79.
R.Abdoel Djamali, 2009, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.

73.
5

Yulies Tiena Masriani, loc.cit.

2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak beserta Nias,


3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai,
4. Sumatra Selatan,
5. Daerah Melayu (Sumatra Timur, Jambi, dan Riau),
6. Bangka dan Belitung,
7. Kalimantan,
8. Minahasa,
9. Gorontalo,
10. Daerah Toraja,
11. Sulawesi Selatan,
12. Kepulauan Ternate,
13. Maluku, Ambon,
14. Irian (Papua)
15. Kepulauan Timor,
16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat),
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur (beserta Madura),
18. Surakarta dan Yogyakarta
19. Jawa Barat.
Persekutuan hukum tersebut adalah merupakan kesatuan kesatuan yang
mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal, serta memiliki pengurus sendiri
dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan immateriil. Pada
sistem hukum adat dikenal sistem perkawinan adat, hukum adat waris dan hukum
tanah adat.
Sistem Perkawinan Adat dikenal 3 (tiga) sistem, yaitu sebagai berikut;
1. Sistem Endogami, dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin
dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem ini jarang sekali
terdapat di Indonesia. Menurut van Vollenhoven, sistem ini terdapat di
Toraja, namun sudah semakin jarang karena interaksi masing masing
anggota masyarakat.
2. Sistem Eksogami, dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang
di luar suku keluarganya. Misalnya: Daerah Gayo, Alas Tapanuli, Sumatra
Selatan, Minangkabau, Buru, dan Seram.
3. Sistem Eleutherogami, dalam sistem ini tidak mengenal larangan atau
keharusan seperti halnya dalam Endogami dan Eksogami. Larangan yang
ada biasanya menyangkut masalah nasab (keturunan dekat) dan
musyawarah (pariparan).

Kemudian dikenal juga sistem hukum adat waris yaitu; norma norma hukum
yang menetapkan harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil yang
dapat diserahkan kepada keturunannya, serta yang sekaligus juga mengatur saat,
cara, dan proses peralihannya. Di Indonesia terdapat tiga sistem kewarisan adat,
yaitu;
1. Sistem Kewarisan Indovidual, cirinya adalah harta peninggalan dapat
dibagi bagikan di antara para ahli waris.
2. Sistem Kewarisan Kolektif, cirinya adalah harta peninggalan itu diwarisi
oleh sekumpulan ahli waris yang bersama sama merupakan semacam
badan hukum untuk harta tersebut, disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi
bagikan.
3. Sistem Kewarisan Mayorat, cirinya adalah harta peninggalan diwariskan
keseluruhannya (sebagian besar sejumlah harta pokok dari satu keluarga)
pada seorang anak saja.
Hukum adat di Indonesia mengakui adanya kaidah kaidah yang berkenaan
dengan peraturan tanah, dalam hal penetapan hak, pemeliharaan, pemindahan hak,
dan sebagainya disebut Hukum Tanah. Sebagai kaidah yang pokok adalah apa
yang disebut hak ulayat (Beschikkingrecht). Istilah ini berasal dari van
Vollenhoven, hak ini juga disebut hak pertuanan. Hak ini mempunyai arti ke luar
dan ke dalam. Berdasarkan atas berlakunya hak ke luar masyarakat yang
mempunyai hak itu dapat menolak orang lain berbuat demikian. Hak ke dalam
berarti masyarakat itu mengatur pemungutan hasil oleh anggota

anggotanya,

berdasarkan atas hak dari masyarakat secara bersama sama dan agar masing
masing anggota mendapatkan bagian yang sah.
Hukum Internasional
a. Pengertian Hukum Internasional
Istilah hukum internasional kebanyakan hanya digunakan dalam arti
Hukum Internasional Publik. Sementara itu, hukum internasional publik itu
bertugas mengatur hubungan hukum yang terjadi antarnegara dan organisasi

antarnegara dalam kaitannya dengan ketentraman hidup bernegara. 6 Hukum ini


sering pula disebut Hukum Antarnegara, atau dengan istilah yang digunakan oleh
Prof. Kranenburg, yaitu tussen staatsrecht, hukum yang digunakan untuk
mengatur pergaulan antara negara negara yang berdaulat dan merdeka. 7 J.G.
Starke dalam bukunya An Introduction to International Law, memberikan definisi
sebagai berikut;
Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai kumpulan hukum yang
sebagian besar terdiri atas asas asas dan peraturan tingkah laku yang mengikat
negara negara, dan karena itu ditaati dalam hubungan negara negara.
b. Subjek Hukum Internasional
1. Negara, yang diakui sebagai subjek hukum internasional hanyalah negara
yang berdaulat, negara yang tidak tergantung kepada negara lain.
2. Takhta Suci (Vatikan), yaitu Gereja Katolik Roma yang diwakili oleh
Paus, walaupun bukanlah suatu negara namun dianggap sebagai negara,
hal ini terjadi setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci
pada tanggal 11 Februari 1929 (LateranTreaty) yang mengembalikan
sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan
didirikannya negara Vatikan yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk
dan diakui.
3. Palang Merah Internasional, mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah
hukum internasional yang berkedudukan di Jenewa. Suatu subjek hukum
internasional (dengan ruang lingkup yang terbatas) lahir karena sejarah
berdasarkan Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban
Perang.8
4. Organisasi Internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang
6

R.Abdoel Djamali, op.cit. h.213.


Yulies Tiena Masriani, op.cit, h.109.
8
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, h. 101.
7

ditetapkan dalam konvensi konvensi internasional yang merupakan


semacam anggaran dasarnya.9
5. Orang Perorangan (Individu), dalam arti yang terbatas orang perorangan
sudah agak lama dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Dalam perjanjian Perdamaian Versailles Tahun 1919 yang mengakhiri
Perang Dunia antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan masing
masing sekutunya, sudah terdapat pasal pasal yang memungkinkan
orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkaman Arbitrase
Internasional.
6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (Bellingerent), menurut hukum
perang pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak
yang bersengketa (belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu.
Dengan melihat subjek hukum internasional, kita tidak dapat lagi begitu saja
mengatakan bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antara negara
negara, dan bahwa negara merupakan satu satunya subjek hukum internasional
yang bukan negara telah kian bertambah.
c. Sumber Sumber Hukum Internasional
Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional mengatakan bahwa
dalam mengadili perkara perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah
Internasional akan menggunakan:
1. Traktat atau perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun
khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh
negara yang bersengketa;
2. Kebiasaan internasional sebagai buki dari suatu kebiasaan umum yang
telah diterima sebagai hukum;
3. Asas atau prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa bangsa yang
beradab;
4. Keputusan pengadilan dan ajaran sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaidah hukum;

Ibid.

You might also like