You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN
I.

DEFINISI
Sklerosis sistemik (skleroderma sistemik/morfea sistemik) adalah penyakit

jarang, yang melibatkan multi sistem organ, karena adanya proses autoimun,
cedera sel endotel vaskuler dan aktivasi fibroblas yang meluas. Penyakit ini
ditandai dengan keterlibatan kulit berupa pengerasan dan penebalan, serta
organ dalam seperti esofagus, paru-paru, jantung dan ginjal.1

Gambar 1. Sklerosis Sistemik pada jari tangan2


II.

ETIOLOGI
Etiologi belum diketahui secara pasti, diperkiran adanya reaksi kompleks

dan sekuensial akibat adanya autoantibodi yang menyerang jaringan konektif


dan pembuluh darah. Diperkirakan terdapat faktor genetik (familial) yang
berpengaruh terhadap insiden penyakit ini. Kehamilan dapat menyebabkan
presipitasi atau agravasi pada morfea.1,3
III.

PATOMEKANISME
Patomekanisme terjadinya sklerosis sistemik sangat kompleks dan

belum diketahui secara pasti. Diperkirakan terdapat interaksi antara sel


imunitas, sel fibroblas, sitokin, disfungsi endotel, serta sitokin proinflamasi dan
antiinflamasi.

Pada tahap awal, terjadi ketidakseimbangan mediator vasoaktif antara


mediator vasodilator (NO, prostasiklin, CGRP) dan vasokonstriktor (endotelin,
AT-II), yang menyebabkan fibroblas, menjadi hipoksia. Selain itu, karena suatu
faktor autoimun, juga terjadi aktivasi sel T, sel B, makrofag, yang
mengeluarkan mediator inflamasi seperti TGF-, IL-2, IL-6, IL-10. Peran sel B
adalah dapat menstimulasi pembentukan matriks ekstraseluler melalui TGF-,
dan IL-6, dan melalui produksi autoantibodi. Sedangkan peran dari sel
fibroblas adalah karena meningkatnya sitokin inflamasi dan growth factor,
maka fibroblas kemudian mengalami hiperaktivitas dengan mensekresikan
banyak maktriks ekstraseluler berupa serat kolagen, sehingga terjadi deposisi
maktriks yang berlebihan pada kulit, pembuluh darah, jantung, ginjal, paruparu, dan organ-organ lain (sistemik). Hal inilah yang menyebabkan penyakit
ini bermanifestasi sistemik.1,3

Gambar 2. Patogenesis Sklerosis Sistemik1


IV.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamenesis, tentang riwayat keluarga,

penggunaan obat-obatan, dan ada tidaknya penyakit jaringan konektif yang


lainnya (reumatik arthritis, penyakit SLE). Selain itu, dari pemeriksaan fisik

didapatkan penebalan dan pengerasan kulit pada tangan/kaki, dan mukosa.


Serta adanya riwayat fenomena Raynaud sebelumnya.1
Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan gangguan pada ginjal,
paru-paru, jantung, dan saluran cerna yang akan dijelaskan secara terperinci
pada bab selanjutnya.3
V.

DIAGNOSIS BANDING3,4
Beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding yaitu
1. Myxedema.
Myxedema ditandai dengan penebalan kulit seperti pada skleroderma,
namun lebih lunak karena berisi cairan (edema), dan disertai gejalagejala hipotiroid (lemah, lesu, bradikardi, tidak tahan dingin).
2. Skleredema
Penyakit ini timbul sesudah penyakit infeksi (influenza, tonsilitis).
Gejala klinis terdapat indurasi keras seperti kayu pada leher, toraks, dan
wajah. Secara histopatologik, skleroderma terdapat penebalan kolagen
dengan hialinisasi, sedang pada sklerodema tidak ada hialinisasi.
3. Lupus eritematous sistemik
Pada penyakit ini terdapat makula eritema, papul polimorf, dan skuama
halus pada wajah, dan punggung. Gejala sistemiknya mirip dengan
skleroderma, namun ruam kulit biasanya muncul setelah paparan sinar
matahari, dan berbentuk kupu-kupu pada wajah (tanda khas).

VI.

PENATALAKSANAAN5
Tatalaksana penyakit ini yaitu dengan mengurangi gejala-gejala akibat
autoimunnya, yaitu dengan memberikan agent sistemik seperti kortikosteroid

VII.

PROGNOSIS5
Keadaan umum dapat membaik dalam 3-5 tahun, penebalan kulit melunak,
dan pigmentasi berkurang. Namun jika tidak ditangani dengan baik dapat
menyebabkan atrofi, dan kontraktur otot.

BAB II
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis sklerosis sistemik, bergantung pada riwayat
pasien, pemeriksaan fisik dan status dermatologik klinik, dan pemeriksaan
penunjang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut
I.

ANAMNESIS (RIWAYAT PASIEN)1,2


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyakit ini termasuk penyakit
multisistem, autoimun, dan berbasis genetik, maka diperlukan pengetahuan
yang mendalam tentang riwayat pasien.
Pertanyaan yang paling penting (90% kasus ) adalah ada tidaknya
Raynauds phenomenon (RP) yang mendahului sebelum terjadinya gejala. RP
adalah gangguan otonom berupa vasopasme pembuluh darah pada distal jari
kaki dan tangan, yang menyebabkan terjadinya nyeri, cyanosis, dan iskemik
jaringan, lalu kemudian disusul vasodilatasi, sehingga terjadi kemerahan pada
daerah yang kebiruan dan nyeri tersebut.

Gambar 3. Raynauds phenomenon1


Selain itu, apakah ada penyakit jaringan konektif lainnya, seperti
Rheumatoid

arthritis,

Systemic

Lupus

Erythematosus,

poliarteritis,

granulomatosis wagener, dll. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan


insiden yang lebih besar pada mereka yang mempunyai penyakit autoimun
sebelumnya. Selain itu, riwayat keluarga, apakah pada anggota keluarga ada

yang mengalami hal serupa, mengingat penyakit ini terkait dengan gen
(familial).
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa sindrom skelroderma ini dapat
terjadi akibat faktor lingkungan. Misalkan adanya riwayat paparan vinil
klorida, benzena, toluena, resin epoksida, obat-obatan seperti bleomicin,
pentazosin, kokain, docetaxel, metafenilediamina, dll. Adanya riwayat pernah
bekerja pada penambangan tembaga dan emas di bawah tanah juga beresiko
terkena sklerodema. Jika terjadi nyeri dada setelah makan, kemungkinan
sudah terjadi reflux, jika terjadi sesak kemungkinan terjadi hipertensi
pulmonal, fibrosis paru dan gagal jantung, jika terjadi edema, gangguan
II.

kesadaran, hipertensi grade II kemungkinan sudah terjadi gagal ginjal.


PEMERIKSAAN FISIK1,3,4,6
Diagnosis skleroderma (sklerosis sistemik) sebagian besar menjadi jelas
berdasarkan pengamatan klinis pasien.
Penyakit ini terdiri dari tiga fase, yaitu fase kelainan vasomotor, di mana
terjadi Raynauds phenomenon pada ujung jari kaki dan tangan, di wajah
terdapat telangiektasia. Pada awalnya terjadi edema, eritem pada kulit, yang
selanjutnya akan menebal dan mengeras secara perlahan. Hal ini membuat
pergerakan sendi tangan, kaki dan wajah menjadi kaku (sindaktil dan maskface/mikrostomia). Selanjutnya, dapat terjadi bula atau ulkus pada distal jarijari, kontraktur, atrofi, imobilisasi, dan deformitas.

Gambar 4. Sindaktil dan mikrostoma pada pasien SS1

Fase kedua yaitu terkenanya mukosa oral yang menyebabkan terjadinya


indurasi di lidah dan ginggiva, serta terdapat paroksisma vasomotorik dan
kelainan sensibilitas.
Fase ketiga adalah keterlibatan organ-organ dalam. Pada sistem saluran
cerna, terdapat kelemahan otot sfingter esofagus, sehingga dapat terjadi reflux
esofagitis, dan terdapat perlambatan pengosongan lambung. Pada sistem
kardiopulmonal, terdapat PAH (Pulmonary arterial Hipertension), akibat
sklerosis arteri pulmonal (>20mmHg), dan akan berujung ke gagal jantung
kanan. Selain itu, terdapat sklerosis pada arteri ginjal yang dapat
mengakibatkan renal hypertension (>150/85 mmHg), proteinuri (>200 mg/gr
kreatinin urin), dan gagal ginjal akut (>30% pengurangan laju filtrasi
III.

glomerulus).
PEMERIKSAAN PENUNJANG1,5,7
Dalam rangka membantu diagnosis sklerosis sistemik, maka dibutuhkan
pemeriksaan penunjang dalam hal ini pemeriksaan laboratorium dan
histopatologi.
Untuk pemeriksaan

laboratorium,

dibutuhkan

pemeriksaan

ANA

(antinuclear antibody), ESR, anti-single stranded DNA, anti double stranded


DNA (lebih jarang). Ini dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya proses
autoimun yang sedang berlangsung. Pemeriksaan lab yang lain ditujukan
untuk memantau kondisi organ viseral. Misalkan pemeriksaan urin, LFG,
kateterisasi jantung kanan, EKG, tes fungsi paru, kadar kreatinin, dan lainlain tergantung gejala yang terjadi dan suspek organ yang mengalami
kelainan.
Sedangkan untuk pemeriksaan histopatologi, pada kulit terdapat deposisi
berlebihan dari serat kolagen di matriks ekstraseluler dermis, kadang disertai
hiper dan parakeratosis, telangiektasia, kerusakan kelenjer ekrin, apokrin dan
folikel rambut.

Gambar 4. Lesi awal pada kulit (kiri) terdapat infiltrasi sel radang, lesi
lanjut (kanan) terdapat hiperkolagenosa, kerusakan folikel rambut dan
keringat serta sedikitnya vaskularisasi.1

Gambar 5. Penebalan tunika media dan intima dari salah satu arteriol
akibat sklerosis sistemik 7

BAB III
PENATALAKSANAAN

DAFTAR PUSTAKA
1. P. Moinzadeh, Christopher P. Denton, T. Krieg, & Carol M. Black.
Scleroderma. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine 8th ed.
New York: McGraw-Hill; 2012. p. 642, 1694-701
2. Frank Breuckmann, Thilo Gambichler, Peter Altmeyer and Alexander
Kreuter - UVA/UVA1 phototherapy and PUVA photochemotherapy in
connective tissue diseases and related disorders: a research based review,
BMC Dermatology 2004, 4:11. doi:10.1186/1471-5945-4-11
3. Djuanda, Suria . In : Adhi Djuanda, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
ed 5th. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p.264-271.
4. James, William, et al. Andrews Disease of the Skin, Clinical Dermatology
ed 10. 2008. Canada : Elsevier Saunders.
5. Tony Burns, et al. Rooks textbook of Dermatology ed 8th. 2010.
Singapore : Wiley-Blackwell.
6. Siregar R. Atlas Berwarna Saripati Kulit ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003. p 154-155
7. Jens T Van Praet. Histopathological cutaneous alterations in systemic
sclerosis: a clinicopathological study. Arthritis Research & Therapy
February 2011, 13:R35. Open access.
8. Thomas Harr and Lars E French. Toxic epidermal necrolysis and StevensJohnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases 2010, p 5:39
9. de Prost N, Ingen-Housz-Oro S, Duong T, et al. Bacteremia in StevensJohnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: epidemiology, risk
factors, and predictive value of skin cultures. Medicine (Baltimore). Jan
2010;89(1):28-36
10. David A. Wetter, MD and Michael J. Camilleri, MD. Clinical, Etiologic,
and Histopathologic Features of Stevens-Johnson Syndrome During an 8Year Period at Mayo Clinic. Mayo Clin Proc. Feb 2010; 85(2): 131138.
11. Rapini RP, Bolognia JL, Jorizzo JL (2007). Dermatology: 2-Volume Set.
St. Louis: Mosby.

You might also like