You are on page 1of 53

LAPORAN KASUS

HEPATOMA

PEMBIMBING:
Dr. R.A.H.I. Ariestina, Sp.PD

PENYUSUN:
Tarash Burhanuddin
030.10.265

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
CAWANG, JAKARTA TIMUR

Nama Co-Ass

: Tarash Burhanuddin

NIM

: 030.10.265

Tanda Tangan

Dokter Pembimbing : Dr. R.A.H.I. Ariestina, Sp.PD

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. T

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 25 tahun

Agama

: Islam

Status pernikahan

: Belum Menikah

Pendidikan

: SMK

Pekerjaan

: Karyawan swasta

Tanggal Masuk RS

: 27-3-2016

Alamat

: Jl. Kp. Sawah Jati 07/01, Kebayoran Baru Jakarta Selatan

A. ANAMNESIS
Diambil dari

: Autoanamnesis

Tanggal

: 28 Maret 2016

Pukul

: 13.00 WIB

1. Keluhan utama
Nyeri pinggang bagian kanan sejak 1 Minggu SMRS
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang bagian kanan sejak 1
Minggu SMRS. Pasien juga mengeluh kulitnya menjadi kuning 6
bulan SMRS. Pada awalnya kuning hanya pada kedua mata, lama
kelamaan kuning pada seluruh tubuh. Demam dirasakan setiap sore
hari sejak 4 hari SMRS. BAK lancar, warna seperti air teh, BAB cair
warna kuning sejak 5 hari SMRS dengan frekuensi 5x. Dirasakan
nyeri pada perut kanan atas disertai rasa tidak enak diperut, mual (+),
muntah (-), tidak nafsu makan. Penurunan berat badan 10 kg dari 3
bulan yang lalu. Pasien memeriksakan diri ke klinik 4 hari SMRS dan
dianjurkan melakukan pemeriksaan lab kemudian dirujuk ke RSUD
Budhi Asih.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama. Pasien tidak memiliki
riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal. Pasien juga tidak
pernah rawat inap dan di operasi. Menurut ibu pasien, pasien lahir
dalam keadaan normal, tetapi tidak ingat vaksin apa saja yang sudah
diberikan pada anaknya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Menurut pasien dalam keluarganya tidak ada yang memiliki keluhan
yang sama.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku sejak SMK sudah mengkonsumsi alkohol, konsumsi
alkohol tidak sering hanya pada acara-acara tertentu. Penggunaan
obat-obatan terlarang disangkal. Pasien merokok, hanya 4-5 batang per
hari, dan masih sampai sekarang, hanya berhenti beberapa hari
terakhir. Riwayat imunisasi hepatitis B kurang diketahui. Riwayat
transfusi darah disangkal. Riwayat seks tanpa menggunakan kondom
disangkal.
Anamnesis menurut sistem
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Umum
Kepala
Muka
Mata
THT
Leher
Thoraks
Abdomen

: BB menurun
: Tidak ada keluhan
: Ikterik
: Sklera ikterik +/+, konjungtiva anemis -/: Tidak ada keluhan
: Tidak ada kelainan
: Ikterik
: Ikterik, Mual (+), nafsu makan menurun, hepar teraba

membesar 3 jari b.a.c / 2 jari b.p.x, permukaan berbenjol-benjol, tepi


tumpul dan keras, nyeri tekan perut kanan atas
i. Ekstremitas
: Tidak ada keluhan

B. PEMERIKSAAN FISIK
28 Maret 2016

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran

: Kompos Mentis

Tanda Vital

: Tekanan darah

140/80 mmHg

: Nadi

68 x/menit

: Pernapasan

20 x/menit

: Suhu

36,9o C

Tinggi Badan

: 166 cm

Berat Badan

: 59 kg

BMI

: 21,7

Status Generalis
Kepala

: Normosefali

Muka

: Tidak tampak kelainan

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (+/+)

Hidung

: Normal, septum deviasi (-), sekret (-), mukosa hiperemis (-)

Mulut

: OH bagus, lidah tidak kotor

Leher

: Jejas (-), hematoma (-), KGB dan tiroid tidak membesar, JVP
5+2

Jantung
Inspeksi

:
: Pulsasi ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Teraba pulsasi Ictus Cordis di ICS V, 1 cm medial

midklavikularis kiri
Perkusi

: Batas atas (ICS III linea parasternalis kiri dengan suara

redup), batas kiri (ICS V, 1 jari medial linea midklavikula kiri dengan suara
redup), batas kanan (ICS IV linea sternalis kanan dengan suara redup)
Auskultasi

Paru
Inspeksi

: Bunyi jantung I dan II normal regular, gallop (-), murmur (-)

:
: Bentuk dada simetris dan pergerakan dada simetris saat

inspirasi dan ekspirasi. Tidak ada bagian yang tertinggal


Palpasi

: Vocal fremitus simetris pada kedua lapang paru

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru. Batas paru kanan dengan

Hepar (pada titik di garis midsternalis dextra ICS V terdengar bunyi pekak),
ketika dilakukan peranjakan pada titik di garis midsternalis dextra ICS V
terdengar bunyi redup, sedangkan pada titik garis midsternalis dextra ICS VI
terdengar bunyi pekak sehingga peranjakan paru hepar 1 cm.
Auskultasi

: Suara nafas vesikuler pada kedua

lapang paru, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi

: warna kulit ikterik, tidak terdapat shagging of the flanks,

tidak ada spider nevii, tidak tampak efloresensi bermakna, tidak tampak
dilatasi vena, tidak tampak smiling umbilicus.
Palpasi

nyeri tekan quadran kanan atas (+), hepar teraba

membesar 3 jari di bawah arcus costae / 2 jari di bawah prosessus


xyphoideum, permukaan berbenjol-benjol, tepi tumpul dan keras. Tidak
teraba pembesaran spleen.
Perkusi

: pekak pada hipokondria kanan, perkusi hepar kanan

mulai pekak 3 jari di bawah arcus costae hingga arcus costae, shifting
dullness +
Auskultasi
Ekstremitas
Atas

: Bising usus (+) 3 x/menit


:

: Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)

Bawah:Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)


Genitalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
23 Maret 2016 di Laboratorium Swasta
Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

AST/SGOT

839

<27 mU/dl

ALT/SGPT

120

<34 mU/dl

Gamma GT

144

15-90 mU/dl

87

0-15 mm/jam

2150

13.6 ng/mL

HATI

LED
Laju Endap Darah
IMUNOLOGI
PETANDA TUMOR
Alpha Fetoprotein

27 Maret 2016 di Ruangan Rawat Inap

Laboratorium
Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

Leukosit

10.300

3.6-11 ribu/L

Eritrosit

3.0

3.8-5.2 juta/L

Hemoglobin

9.1

11.7-15.5 g/dL

Hematokrit

27

35-47%

HEMATOLOGI
DARAH LENGKAP

Trombosit

396

150-440 ribu/L

MCV

89.5

80-100 fL

MCH

30.4

26-34 pg

MCHC

34.0

32-36 g/dL

RDW

14.0

<14%

AST/SGOT

155

<27 mU/dl

ALT/SGPT

37

<34 mU/dl

87

<110 mg/dL

Natrium

121

135-155 mmol/L

Kalium

4,5

3.6-5.5 mmol/L

Klorida

97

98-109 mmol/L

Bilirubin total

29.06

< 1 U/L

Bilirubin direk

19.02

< 0.3 U/L

Bilirubin indirek

10.04

< 0.6 mg/dL

HATI

METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah jam 16.00
ELEKTROLIT
ELEKTROLIT SERUM

KIMIA KLINIK
HATI

30 Maret 2016 di Ruang Rawat Inap

Laboratorium
Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

Bilirubin total

28.62

< 1 U/L

Bilirubin direk

21.79

< 0.3 U/L

Bilirubin indirek

6.83

< 0.6 mg/dL

AST/SGOT

120

<33 mU/dl

ALT/SGPT

28

<50 mU/dl

Natrium

125

135-155 mmol/L

Kalium

4.1

3.6-5.5 mmol/L

Klorida

99

98-109 mmol/L

Reaktif

Non Reaktif

Non Reaktif

Non Reaktif

KIMIA KLINIK
HATI

ELEKTROLIT
ELEKTROLIT SERUM

IMUNOSEROLOGI
HEPATITIS
HBsAg Kualitatif
HEPATITIS C
Anti HCV

10

USG Abdomen 28-03-2016 di RSUD BUDHI ASIH

HEPAR

: Membesar. Echostruktur parenchim kasar. Pembuluh darah dan

saluran bilier normal. Tak tampak SOL/kalsifikasi. Tampak lesi hyperechoik


berbatas irregullar terletak di lobus dextra volume 2599 cm3.

11

VESICA FELEA : Besar dan bentuk normal. Dinding tipis regular. Tidak tampak
batu/sludge.
LIEN

: Besar dan bentuk normal. Echostruktur homogen. Tidak tampak

batu/sludge. Vena lienalis tidak melebar


PANCREAS

: Besar dan bentuk normal, permukaan regular. Echostruktur

parenchim homogen. Tidak tampak lesi focal / SOL Ductus pancreaticus tidak
melebar.
AORTA : Bentuk dan caliber normal. Tidak tampak pembesaran pada KGB
para aorta.
REN DEXTRA : Besar dan bentuk normal. Permukaan regular. Batas cortex
dan medulla jelas. Sistem pelvicocalises normal. Tidak tampak batu/ SOL
REN SINISTRA : Besar dan bentuk normal. Permukaan regular. Batas cortex
dan medulla jelas. Sistem pelvicocalises normal. Tidak tampak batu/ SOL
BULI-BULI

: Besar dan bentuk normal. Dinding tipis regular. Tidak tampak

bayangan hiperechoik/ posterior aucoustik shadow


PROSTAT

: Besar dan bentuk normal. Permukaan regular. Echostruktur

paranchim homogen. Tidak tampak lesi/kalsifikasi.


Tampak cairan bebas di rongga abdomen.
KESAN : Hepatomegali e.c Chronic Liver Diseases dengan massa lobus dextra
DD/ Hepatoma disertai Ascites

12

D. RINGKASAN
Tn. T, usia 25 tahun datang dengan keluhan nyeri nyeri pinggang bagian kanan sejak
1 Minggu SMRS. Pasien juga mengeluh kulitnya menjadi kuning 6 bulan SMRS.
Pada awalnya kuning hanya pada kedua mata, lama kelamaan kuning pada seluruh
tubuh. Demam dirasakan setiap sore hari sejak 4 hari SMRS. BAK lancar, warna
seperti air teh, BAB cair warna kuning sejak 3 hari SMRS dengan frekuensi 5x.
Dirasakan nyeri pada perut kanan atas disertai rasa tidak enak diperut, mual (+),
muntah (-), tidak nafsu makan. Penurunan berat badan 10 kg dari 6 bulan yang lalu.
Pasien memeriksakan diri ke klinik 4 hari SMRS dan dianjurkan melakukan
pemeriksaan lab kemudian dirujuk ke RSUD Budhi Asih. Pasien tidak pernah
mengalami hal yang sama. Pasien mengaku sejak SMK sudah mengkonsumsi
alkohol, konsumsi alkohol tidak sering hanya pada acara-acara tertentu. Penggunaan
obat-obatan terlarang disangkal. Pasien merokok, hanya 4-5 batang per hari, dan
masih sampai sekarang, hanya berhenti beberapa hari terakhir. Riwayat imunisasi
hepatitis B kurang diketahui. Riwayat transfusi darah disangkal. Riwayat seks tanpa
menggunakan kondom disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik +/+, konjungtiva anemis , peranjakan
paru hepar 1 cm, hepar teraba membesar 3 jari b.a.c / 2 jari b.p.x, permukaan
berbenjol-benjol, tepi tumpul dan keras, pekak pada hipokondria kanan, perkusi hepar
kanan mulai pekak 3 jari di bawah arcus costae hingga arcus costae, shifting dullness
+.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan anemia (hemoglobin 10.3 g/dL), SGOT
meningkat (839 mU/dl), SGPT meningkat (120 mU/dl), Gamma GT (144 mU/dl),
Laju Endap Darah meningkat(87 ml/jam), bilirubin total meningkat (29.06 U/L),
bilirubin direk meningkat (19.02 U/L), bilirubin indirek meningkat (10.04 mg/dL),
hiponatremia (Na 125 mmol/L), hipoklorida (97 mmol/L), HBsAg kualitatif reaktif,
Anti HCV non reaktif. Pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan gambaran

13

berkesan hepatomegali e.c chronic liver diseases dengan massa lobus dextra DD/
hepatoma disertai ascites.
E. DAFTAR MASALAH
1. Hepatomegali e.c Hepatoma
2. Hepatitis B
3. Anemia
4. Hiponatremia
5. Ikterik
6. Asites
F. ANALISIS MASALAH
1. Hepatomegali e.c Hepatoma
Hepatomegali e.c hepatoma ditegakan berdasarkan pada anamnesis dengan
pasien, dimana pasien merasakan nyeri pinggang, kulitnya menjadi kuning,
BAK berwarna seperti air teh, dirasakan nyeri pada perut kanan atas disertai
rasa tidak enak diperut, mual (+), muntah (-), tidak nafsu makan, penurunan
berat badan 10 kg dari 6 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan SGOT meningkat (839 mU/dl),
SGPT meningkat (120 mU/dl), Gamma GT (144 mU/dl), Laju Endap Darah
meningkat (87 ml/jam), bilirubin total meningkat (29.06 U/L), bilirubin direk
meningkat (19.02 U/L), bilirubin indirek meningkat (10.04 mg/dL), HBsAg
kualitatif reaktif, Anti HCV non reaktif. Pada pemeriksaan USG Abdomen
didapatkan gambaran berkesan hepatomegali e.c chronic liver diseases dengan
massa lobus dextra DD/ hepatoma disertai ascites.

14

Hepatoma pada pasien ini belum dapat ditentukan kausanya, bisa terjadi
dikarenakan pasien sudah pernah terkena hepatitis B ketika pada saat
kelahirannya, walaupun dikatakan oleh ibunya kelahiran pasien normal.
Kriteria diagnosis HCC menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia),
yaitu :13
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP ( Alphafetoprotein ) yang menigkat lebih dari 500 mg/ml.
3. Ultrasonography ( USG ), Nuclear Medicine, Computed Tomography
Scan (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging ( MRI ), Angiogrphy,
ataupun Positron Emission Tomography ( PET ) yang menunjukkan
adanya Kanker Hati Selular.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan adanya Kanker
Hati Selular.
Diagnosis HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau
hanya satu kriteria empat atau lima.13
Adapun rencana diagnostik untuk masalah ini adalah aspirasi biopsi halus dan
pemeriksaan AFP.
Rencana terapi pada masalah ini, antara lain :

Non medikamentosa
-

Hentikan mengkonsumsi minuman beralkohol

Diet Hepar II

Diet hepar II diberikan kepada pasien dengan nafsu makannya cukup.


Menurut keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa.
Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang (20-25% dari

15

kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini
cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium
dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan
sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum
baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam I.
-

Monitoring :
Keadaan umum
Tanda-tanda vital
Tanda-tanda perdarahan
Mengedukasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai
kondisi pasien, baik penyakit yang dialaminya maupun
komplikasi yang dapat terjadi

Medikamentosa
1.
2.
3.
4.
5.

Aminofusin hepar : NaCl 0,9% 500cc = 1:1 / 12 jam


Curcuma 3x2
Bio curlif 3x1
Sistenol 3x1 k/p
Ranitidine k/p

2. Hepatitis B
Hepatitis B ditegakan berdasarkan pada anamnesis dengan pasien, dimana
pasien kulitnya menjadi kuning, BAK berwarna seperti air teh, dirasakan
nyeri pada perut kanan atas disertai rasa tidak enak diperut, mual (+), muntah
(-).
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan SGOT meningkat (839 mU/dl),
SGOT meningkat (120 mU/dl), Gamma GT (144 mU/dl), bilirubin total
meningkat (29.06 U/L), bilirubin direk meningkat (19.02 U/L), bilirubin

16

indirek meningkat (10.04 mg/dL), HBsAg kualitatif reaktif, Anti HCV non
reaktif.
Adapun rencana diagnostik untuk masalah ini adalah pemeriksaan IgM Anti
HBc, IgG Anti HBc, HBeAg, anti-HBe, dan anti-HBc
Rencana terapi pada masalah ini, antara lain :

Non medikamentosa
-

Hentikan mengkonsumsi minuman beralkohol

Diet Hepar II

Medikamentosa
1.
2.
3.
4.
5.

Aminofusin hepar : NaCl 0,9% 500cc = 1:1 / 12 jam


Curcuma 3x2
Bio curlif 3x1
Sistenol 3x1 k/p
Ranitidine k/p

3. Hiponatremia
Hiponatremia ditegakkan berdasarkan pada pemeriksaan laboratorium
elektrolit, didapatkan hiponatremia (Na 125 mmol/L) dan hipoklorida (97
mmol/L). Adapun rencana diagnostik untuk masalah ini adalah pemeriksaan
elektrolit per hari. Untuk rencana terapi pada masalah ini, antara lain:

Non medikamentosa
Monitoring kadar elektrolit

Medikamentosa
NaCl 0.9%

17

4. Anemia
Anemia ditegakkan berdasarkan keluhan lemas dan pada pemeriksaan
laboratorium hemoglobin didapatkan nilai hemoglobin 9.1 g/dL.
Anemia pada pasien ini bisa disebabkan oleh kurangnya asupan
makanan dikarenankan tidak nafsu makan. Selain itu anemia pada pasien ini
bisa berasal dari hepatoma. Pada pasien hepatoma dapat terjadi anemia yang
disebut anemia pada penyakit kronik atau anemia pada kanker. Anemia pada
penyakit kanker dapat disebabkan karena pemendekan masa hidup eritrosit,
gangguan metabolisme besi, atau gangguan produksi eritrosit akibat tidak
efektifnya rangsangan eritropoetin.
Adapun rencana diagnostik untuk masalah ini adalah pemantauan
darah rutin. Untuk rencana terapi pada masalah ini, antara lain:

Non medikamentosa
Konsumsi makanan dengan gizi seimbang

Medikamentosa
B. Complex 3x1

5. Ikterik
Ikterik ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik didapatkan
sclera ikterik +/+, pemeriksaan laboratorium fungsi hati yaitu tedapat SGOT
meningkat (839 mU/dl), SGOT meningkat (120 mU/dl), Gamma GT (144
mU/dl), bilirubin total meningkat (29.06 U/L), bilirubin direk meningkat
(19.02 U/L), bilirubin indirek meningkat (10.04 mg/dL). Ikterik pada pasien
ini disebabkan karena adanya gangguan saluran intra hepatik oleh hepatoma.

18

Sehingga bilirubin mengalir di peredaran darah. Rencana terapi pada masalah


ini adalah dengan mengobati kausa.
6. Ascites
Ascites ditegakan berdasarkan pada anamnesis dengan pasien, dimana pasien
merasa tidak enak diperut, mual (+), muntah (-), tidak nafsu makan.
Pada

pemeriksaan

USG

Abdomen

didapatkan

gambaran

berkesan

hepatomegali e.c chronic liver diseases dengan massa lobus dextra DD/
hepatoma disertai ascites.
Ascites pada pasien ini disebabkan karena adanya bendungan vena porta oleh
hepatoma. Bendungan vena menyebabkan cairan tidak dapat dialirkan menuju
jantung dan menetap di abdomen.
G. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad malam

19

H. FOLLOW UP KOASS
28 Maret 2016
S
O

Mata kuning, nyeri perut


KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 120/80
HR : 68 kali/menit
RR : 20 kali/menit
S

: 37,80C

Muka

: Kuning

Mata

: CA -/-, SI +/+

Leher

: dalam batas normal

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : BU (+) 3x/menit, NT quadran kanan, hepar teraba membesar


hingga 3 jari b.a.c / 2 jari b.p.x, permukaan berbenjol-benjol, tepi tumpul
dan keras.
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-), CRT <2
A

detik
1. Icterus susp hepatomegali
2. Anemia

3. Hiponatremi
Diagnostik
1. USG
2. Pemeriksaan Bilirubin total, direk dan indirek
Non medikamentosa
Diet Hepar
Medikamentosa
1. Aminofusin hepar : NaCl 0,9% 500cc = 1:1 / 12 jam
2. Curcuma 3x2

20

3. Bio curlif 3x1


4. Sistenol 3x1 k/p
5. Ranitidine k/p

29 Maret 2016
S
O

Nyeri perut berkurang, badan pegal-pegal


KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 120/80
HR : 68 kali/menit
RR : 18 kali/menit
S

: 37.20C

Muka

: Kuning

Mata

: CA -/-, SI +/+

Leher

: dalam batas normal

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : BU (+) 3x/menit, hepar teraba membesar hingga 3 jari b.a.c / 2


jari b.p.x, permukaan berbenjol-benjol, tepi tumpul dan keras.
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-), CRT <2
A

detik
1. Icterus susp hepatomegali
2. Anemia

3. Hiponatremi
Non medikamentosa
Diet Hepar
Medikamentosa
1.
2.
3.
4.
5.

Aminofusin hepar : NaCl 0,9% 500cc = 1:1 / 12 jam


Curcuma 3x2
Bio curlif 3x1
Sistenol 3x1 k/p
Ranitidine k/p

21

30 Maret 2016
S
O

BAB cair 1x, nyeri ulu hati


KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 140/80
HR : 70 kali/menit
RR : 18 kali/menit
S

: 36,90C

Status generalis :
Muka : Kuning
Mata : CA -/-, SI +/+
Leher

: dalam batas normal

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : BU (+) 3x/menit, NT epigastrium, hepar teraba membesar


hingga 3 jari b.a.c / 2 jari b.p.x, permukaan berbenjol-benjol, tepi tumpul
dan keras.
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-), CRT <2
A

detik
1. Icterus susp hepatoma
2. Anemia

3. Hiponatremi
Diagnostik
1. Pemeriksaan Fungsi hati
2. Pemeriksaan Bilirubin total, direk dan indirek
3. Pemeriksaan elektrolit
4. Pemeriksaan HBsAg dan Anti HCV
Non medikamentosa

22

Diet Hepar
Medikamentosa
1.
2.
3.
4.
5.

Aminofusin hepar : NaCl 0,9% 500cc = 1:1 / 12 jam


Curcuma 3x2
Bio curlif 3x1
Sistenol 3x1 k/p
Ranitidine k/p

31 Maret 2016
S
O

Lemas, begah
KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 130/80
HR : 76 kali/menit
RR : 18 kali/menit
S

: 37,20C

Status generalis :
Muka : Kuning
Mata : CA -/-, SI +/+
Leher

: dalam batas normal

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : BU (+) 3x/menit, NT epigastrium, hepar teraba membesar


hingga 3 jari b.a.c / 2 jari b.p.x, permukaan berbenjol-benjol, tepi tumpul
dan keras.
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-), CRT <2
A

detik
1. Icterus susp hepatoma
2. Anemia

3. Hiponatremi
Boleh Pulang

23

Diagnostik
Besok kontrol ke poli untuk diberikan surat rujukan ke RSCM
Non medikamentosa
Diet Hepar
Medikamentosa
1. Curcuma 3x2
2. Bio curlif 3x1
3. Sistenol 3x1 k/p
4. Ranitidine k/p

24

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Hepatoma (Karsinoma Hepatocelullar/HCC)


Hepatoma (Karsinoma Hepatocelullar/HCC) adalah tumor ganas hati primer
yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan
hepatoblastoma.

Tumor

ganas

hati

lainya,

kolangiokarsinoma

(Cholangiocarsinoma =CC) dan sistoadenokarsinoma berasal dari sel epitel billier,


sedangkan angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal dari sel masenkim. HCC
merupakan salah satu tumor ganas hati primer yang sering ditemukan yang berasal
dari sel hepatosit. 1,3
II.2 Epidemiologi Hepatoma
HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta menempati
peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan sebagai kanker
tersering di dunia, dan urutan ketiga dari kanker system saluran cerna setelah
kanker kolorectal dan kanker lambung. Tingkat kematian (rasio antara mortalitas
dan insidensi) HCC juga sangat tinggi, di urutan kedua setelah kanker pancreas.
Secara geofrafis, di dunia terdapat tiga kelompok wilayah tingkat kekerapan HCC,
yaitu tingkat kekerapan rendah (kurang dari tiga kasus); menengah (tiga hingga
sepuluh kasus); dan tinggi (lebih dari 10 kasus per 100.000 penduduk). Tingkat
kekerapan tertinggi terletak di Asia Timur dan Tenggara setelah Afrika Tengah,
Sedangkan yang terendah di Eropa Utara, Amerika Tengah, Australia dan Selandia
Baru.1,3,4
Sekitar 80% dari kasus HCC di dunia berada di Negara berkembang seperti
Asia Timur dan Asia tenggara serta Afrika Tengah (Sub-Sahara), yang dikenal
sebagai wilayah dengan prevalensi Hepatitis virus yang tinggi. Di Negara Maju

25

dengan tingkat kekerapan HCC rendah atau menengah, Prevalensi infeksi HCV
berkorelasi baik dengan angka kekerapan HCC. 1,3
HCC jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang endemik
infeksi HBV serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Umumnya di wilayah
dengan kekerapan HCC tinggi, umur pasien HCC 10-20 tahun lebih muda daripada
umur pasien HCC di wilayah dengan angka kekerapan HCC rendah. Pada semua
populasi, kasus HCC laki-laki jauh lebih banyak (dua-empat kali lipat) daripada
kasus HCC perempuan. Di Wilayah dengan angka kekerapan HCC yang tinggi,
rasio kasus laki-laki dan perempuan dapat sampai delapan berbanding satu, masih
belum jelas apakah hal ini disebabkan oleh lebih rentannya laki-laki terhadap
HCC, atau karena laki-laki lebih banyak terpajan oleh factor resiko HCC seperti
virus Hepatitis dan alkohol. 1,3
Tabel 1 angka insidens kanker hati per 100.000 penduduk berdasarkan jenis
kelamin serta wilayah geografis.1
Wilayah geografis
Angka insidens

Global
Afrika
Afrika timur
Afrika Tengah
Afrika Utara
Afrika Selatan
Afrika Barat
Asia
Asia Timur
Asia Tenggara
Asia Tengah Selatan
Asia Barat
Kepulauan pasifik
Eropa
Eropa Timur

Laki-laki

Perempuan

14,97

5,51

14,44
24,21
4,95
6,16
13,51

6,02
12,98
2,68
2,07
6,16

35,46
18,35
2,77
5,60

12,66
5,70
1,45
2,04

12,98

6,38

5,80

2,55

26

Eropa Utara
Eropa Selatan
Eropa Barat

Amerika
Karibea
Amerika Tengah
Amerika Selatan
Amerika Serikat &kanada
Australia dan Selandia Baru

2,61
9,84
5,85

1,39
3,45
1,61

7,58
2,06
4,80
4,11

4,17
1,64
3,68
1,68

3,60

1,19

Sumber: Bosch Fx, Ribes J, Borres J. Epidemiologi of primary liver cancer.


Semin Liver Dis 1999;19:271-286.
II.3 Etiologi Hepatoma1,3
1. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan HCC terbukti kuat, baik secara
epidemiologi, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang
hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Juga di
tenggarai bahwa kekerapan HCC yang berikatan dengan HBV pada anak
jelas menurun setelah diterapkan vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur
saat terjadinya infeksi sangat penting, karena infeksi HBV pada usia dini
akan menyebabkan terjadinya presistensi (kronisitas). Karsinogenesitas HBV
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi
hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas
protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya,
perubahan sel hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif
bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati.

Siklus sel dapat

diaktifkan secara tidak langsung melalui kompensasi proliperatif merespons


nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
beberapa gen yang berubah akibat HBV. Koinsidensi HBV dengan pajanan
agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC
tanpa melalui sirosis hati (HCC pada hati non sirotik). Transaktivasi beberapa
promoter selular atau viral tertentu oleh agen-X HBV (HBx) dapat

27

mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi protein yang


disandi HBx mampu menyebabkan akselerasi proliferasi Hepatosit. Dalam
hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme
protektif dari apoptosis sel. Genotipe HBV ditengarai memiliki kemampuan
yang ebrbeda dalam mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Relevansi
genotype HBV semakin jelas diketahui. Sebagai contoh, dibandingkan
dengan genotype C, Genotipe B dihubungkan dengan serokonversi HBeAG
yang lebih awal, progresi ke sirosis hepar lebih lambat serta lebih jarang
berkembang menjadi HCC. 1,3
2. Virus Hepatitis C (HCV)
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan factor
resiko penting dari HCC. Prevalensi anti-HCV pada pesien HCC di Cina dan
Afrika Selatan sekitar 30% sedangkan di Eropa Selatan dan jepang 70-80%.
Meta analisis dari 32 penelitian kasus-kelola menyimpulkan bahwa infeksi
HCV adalah 17 kali lipat disbanding resiko pada bukan pengidap.
Koeksistensi infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau dengan peminum
alkohol meliputi 20% dari kasus HCC. Pada kelompok pasien penyakit hati
akibat transfuse darah dengan anti-HCV positif, interval antara saat transfusi
hingga terjadi HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat
infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.
1,3

3. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan factor resiko utama HCC di dunia dan melatar
belakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun tiga sampai lima persen
dari pasien SH akan menderita HCC, dan HCC merupakan penyebab utama
kematian SH. Otopsi pada pasien SH mendapat 20-80% di antaranya telah
menderita HCC. Pada 60-80% dari SH makronoduler dan tiga sampai
sepuluh persen dari SH mikronodular dapat ditemukan adanya HCC.
Prediktor Utama HCC pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan

28

alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktifitas
proliferasi sel hati. 1,3
4. Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di
Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan
terjadi nya peningkatan angka mortalitas sebesar lima kali akibat kanker hati
pada kelompok individu dengan berat badan tinggi (indeks masa tubuh: IMT
35-40KG/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMTnya
normal. Sepeti diketahui, obesitas merupakan factor resiko utama nonalcoholic

fetty

liver

disease

(NAFLD),

khususnya

non-alkoholic

steathohepatis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hepatis dan


kemudian berlanjut menjadi HCC. 1,3
5. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun
RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsino-genesisnya adalah kemampuan
AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. 1,3
6. Diabetes Melitus
Telah lama ditengarai bahwa DM menupakan faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronik maupun untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati
dan steatohepatitis non alkoholik (NASH). Disamping itu DM dihubungkan
dengan peningkatan insulin dan insulin like growth factor (IGFs) yang
merupakan factor promotif potensial untuk kanker. 1,3
7. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat
alkohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) beresiko untuk menderita HCC
melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya
sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV dan HCV. Sebaliknya, pada

29

sirosis alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien


dengan HBaAg-positif atau anti HCV-positif. Ini menunjukkan adanya peran
sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. Efek
hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan sedikit
alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya HCC. 1,3
8. Non alcolholic steatohepatis (NASH)
Mekanisme yang tepat dibalik pengembangan HCC pada NASH masih
belum jelas, meskipun

mekanisme patofisiologi NASH terkait dengan

resistensi insulin dan inflamasi kronis yang

kemungkinan berkontribusi

terhadap potensi karsinogenik dari NASH. Obesitas dan diabetes jelas telah
ditetapkan sebagai faktor risiko terjadinya NASH, dan telah terlibat dalam
pertumbuhan beberapa kanker, termasuk HCC. Resistensi insulin terkait
dengan obesitas, sindrom metabolik, dan diabetes yang

menyebabkan

peningkatan pelepasan FFA dari adiposit, pelepasan beberapa sitokin


proinflamasi termasuk tumor nekrosis faktor-alpha (TNF-a), interleukin-6
(IL-6), leptin, dan resistin, serta penurunan jumlah adiponektin. Proses ini
mendukung

perkembangan

steatosis

hati

dan

inflamasi

hati.

Hiperinsulinemia mengatur produksi insulin-like growth factor-1 (IGF1),


yang merupakan hormon peptida yang merangsang pertumbuhan melalui
proliferasi sel dan penghambatan apoptosis dalam sel hepar. Insulin juga
mengaktifkan substrat reseptor insulin-1 (IRS-1), yang terlibat dalam jalur
sinyal sitokin dan telah terbukti dalam terjadinya HCC. Mannose 6phosphate/IGF2
pertumbuhan

reseptor

sel

dengan

(M6P/IGF2R)

terlibat

mengaktifkan

inhibitor

dalam

mengatur

pertumbuhan

dan

menonaktifkan IGF2, stimulator pertumbuhan. M6P / IGF2 reseptor


berfungsi

sebagai

penekan

tumor. Mutasi

menyebabkan

hilangnya

heterozigositas pada reseptor ini telah ditemukan di 61% dari pasien dengan
HCC. Adiponektin adalah spesifik anti-inflamasi polipeptida pada jaringan
adiposa yang menurun dalam insulin-resisten, dan telah terbukti menghambat

30

angiogenesis melalui modulasi apoptosis pada hewan model. Ini merupakan


kompleks faktor yang berhubungan dengan suatu resisten insulin-,
meningkatkan pertumbuhan sel tanpa hambatan dan tampaknya memainkan
peran penting dalam pengembangan HCC pada NASH. 1,3
Perkembangan NASH juga berhubungan dengan oksidatif stres dan
pelepasan spesies oksigen reaktif (ROS) yang sepertinya memberikan
kontribusi dalam pembentukan HCC. Percobaan pada tikus obesitas dengan
resistensi insulin menunjukkan bahwa produksi ROS meningkat dalam
mitokondria hepatosit dengan infiltrasi lemak, dan stres oksidatif dapat
terlibat dalam hiperplasia hepar. Selama karsinogenesis, epitel hiperplasia
dan displasia umumnya mendahului kanker dalam beberapa tahun. Stres
oksidatif dapat mendukung tumorigenesis melalui proliferasi steatosis,
inflamasi, dan proliferasi sel, atau dapat menyebabkan mutasi sel secara
langsung. Trans-4-hidroksi-2-nonenal, produk peroksidasi lipid, telah
terbukti menyebabkan mutasi dari gen supresor p53. Nuclear respiratory
factor-1 (Nrf1) adalah transkripsi faktor yang penting dalam mediasi
oksidatif stres. Dalam model binatang, Xu et al. Menunjukkan bahwa sel
hepatosit yang memiliki sedikit faktor transkripsi Nrf1 telah meningkatkan
kerentanan terhadap stres oksidatif. Histologi hati pada kasus kurang Nrf1
menunjukkan steatosis, apoptosis, nekrosis, peradangan, dan fibrosis. 1,3
Hepatokarsinogenesis di NASH dapat juga secara parsial memediasi
melalui peningkatan pelepasan faktor

inflamasi dan penghambat sitokin

seperti TNF-a, IL-6, dan NF-kB. Bukti menunjukkan molekul kompleks


saling terkait dengan sitokin inflamasi yang mengarah pada kematian
hepatosit, kompensasi proliferasi, dan akhirnya karsinogenesis. NF-kb
mengatur respon imun dan inflamasi pada beberapa tumor dan menghambat
apoptosis. Penelitian oleh Luedde et al. menunjukkan bahwa penghambatan
NF-kb di hati tikus dapat menginduksi steatohepatitis dan akhirnya terjadi
HCC melalui sensitisasi sel hepatosit untuk spontan apoptosis. Siklus cedera

31

kronis ini,

kematian sel, dan regenerasi melalui kompensasi seluler

proliferasi mungkin berkontribusi terhadap pengembangan HCC. C-Jun


amino-terminal kinase 1 (JNK1) baru-baru ini juga dikaitkan dengan
obesitas, resistensi insulin, NASH, dan pengembangan HCC. JNK1
merupakan mitogen activated protein kinase. Obesitas dikaitkan dengan
aktivitas JNK abnormal. Asam lemak bebas, TNF-a, dan ROS dirilis pada
hiperinsulinemia dan semua itu merupakan aktivator poten dari JNK, yang
pada gilirannya merubah phosphorylates IRS-1. Puri et al. Menunjukkan
bahwa pasien manusia dengan NASH memiliki signifikan peningkatan JNK
tingkat terfosforilasi dibandingkan untuk pasien dengan NAFLD. Temuan
menunjukkan bahwa anti-JNK terapi dapat mencegah pengembangan dari
NASH serta steatohepatitis kronis. Inhibitor JNK telah digunakan dalam
pengobatan. Baru-baru ini, bukti telah mengungkapkan hubungan yang
signifikan antara aktivasi JNK berkelanjutan dan terjadinya HCC. JNK1
terlalu aktif di lebih dari 50% pada sampel dengan HCC. Aktivasi berlebihan
yang berkelanjutan dari JNK1 mengarah ke peningkatan penyimpangan
dalam beberapa gen untuk proliferasi hepatosit. Dengan penelitian lebih
lanjut, gen ini berpotensi dapat dijadikan terapi sepsifik target. 1,3

32

Gambar 1: Pathogenesis NASH menjadi HCC10


II.4 Faktor Resiko lain1,3
Selain yang telah disebutkan diatas, bahan atau kondisi lain yang merupakan
factor resiko HCC namun lebih jarang ditemukan antara lain:
1. Penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun; PBC/sirosis bilier primer).
2. Penyakit hati metabolic (hemokromatosis genetic; defisiensi antitrypsinalfa; penyakit Wilson)
3. Kontasepsi oral
4. Senyawa kimia (thorotrast; vinil klorida; nitrosamine; insektisida
organoklorin; asam tanik)
5. Tembakau (masih kontroversial)
II.5 Patologi1,3
Secara mikroskopis tumor biasanya berwarna putih, padat, kadang nekrotik
kehijauan atau hemorogik. Acap kali ditemukan thrombus tumor di dalam vena
hepatica atau porta intra hepatic. Berdasarkan tipe morfologinya:
1. Ekspansif, dengan batas yang jelas
2. Infiltrative, menyebar/menjalar

33

3. Multifokal
Tipe ekspansif lebih sering ditemukan pada hati nonserotik. Menurut WHO
secara histologik HCC dapat diklasifikasikan berdasarkan organisasi structural sel
tumor sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Tubercular (sinusoidal)
Pseudoglandular (asiner)
Kompak (padat)
Sirous

Karakteristik penting untuk memastikan HCC pada tumor yang diameternya


lebih dari 1,5 cm adalah bahwa sebagian besar tumor terdiri semata-mata dari
karsinoma yang berdiferensiasi baik, dengan sedikit atipia selular atau struktural.
Bila tumor ini berproiferasi, sebagai variasi histologik beserta dediferensiasinya
dapat terlihat di dalam nodul yang sama. Nodul kanker yang berdiameter kurang
dari satu cm seluruhnya terdiri dari jaringan kanker yang berdiferensiasi baik. Bila
diameter tumor antara 1 dan 3 cm, 40% dari nodulnya terdiri atas lebih dari 2
jaringan kanker dengan derajat diferensiasi yang berbeda-beda. 1,3
Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :

Ia : Tumor tunggal diameter 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis

kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh


Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter 5 cm di separuh hati,

tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan 10cm di
separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan 5 cm di kedua belahan hati
kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal

ataupun jauh
IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan 10 cm di
separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan 5 cm di kedua belahan
hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh

34

IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama
vena porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal jauh

salah satu daripadan ya


IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis
(Desen, 2008).

Penyebaran
Metastasis intrahepatik dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe, atau
infiltrasi langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika, vena
porta atau vena cava. Dapat terjadi metastasis pada varises esofagus dan di paru.
Metastasis sistemik seperti kekelenjar getah bening di porta hepatis tidak jarang
terjadi, dan dapat juga sampai kemediastinum. Bila sampai ke peritoneum, dapat
menyebabkan asites hemoragik yang berarti sudah memasuki stadium terminal. 1,3
II.6 Patogenesis Hepatocellular carcinoma (Hepatoma) 1,3
Mekanisme karsinogenesis HCC belum sepenuhnya diketahui. Adapun agen
penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan
perputaran (turn-over) sel hati yang diinduksi oleh cidera (injury) dan regenerasi
kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat
menimbulkan perubahan genetic seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen
selular atau inaktivasi gen supresor tumor, yang mungkin bersama dengan kurang
baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi factorfaktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alkohol dan penyakit
hati metabolik seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin-alfa 1, mungkin
menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan
sirosis), Dilaporkan bahwa HBV dan mungkin juga HCV dalam keadaan tertentu
juga berperan langsung pada pathogenesis molekular HCC.

Aflatoksin dapat

menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa
factor lingkungan juga berperan pada tingkat molekular untuk berlangsungnya
prose hepato karsinogenesis. 1,3

35

Hilangnya heterozigositas (LOH= lost of heterozygosity) juga dihubungkan


dengan inaktivasi gen supresor tumor. LOH atau delesi alelik adalah hilangnya
satu salinan (kopi) dari bagian tertentu genom. Pada manusia, LOH dapat terjadi di
banyak bagian kromosom. Infeksi HBV dihubungkan dengan kelainan di
kromosom 17 atau pada lokasi di dekat gen p53. Pada kasusu HCC, lokasi
integrasi HBV DNA di dalam kromosom sangat bervariasi (acak). Oleh karena itu,
HBV mungkin berperan sebagai agen mutagenic insersional non selektif. Integrasi
acap kali menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dan selanjutnya
menyebabkan proses translokasi, duplikasi terbalik, penghapusan (delesi) dan
rekombinasi. Semua perubahan ini dapat berakibat hilangnya gen-gen supresi
tumor maupun gen-gen selular penting lain. Dengan analisis southern blot,
potongan (sekuen) HBV yang telah terintegrasi ditemukan didalam jaringan
tumor/HCC, tidak ditemukan diluar jaringan tumor. Produk gen X dari HBV,
lazim disenut HBx, dapat berfungsi sebagai transaktivator transkripsional dari
berbagai gen selular yang berhubungan dengan kontrol pertumbuhan. Ini
menimbulkan hipotesis bahwa HBx mungkin terlibat pada hepatokarsinogenesis
oleh HBV. 1,3
Di wilayah endemic HBV ditemukan hubungan yang bersifat dose-dependent
antara pajanan AFB1 dalam diet dengan mutasi pada kodon 249 dari p53. Mutasi
ini spesifik untuk HCC dan tidak memerlukan integrasi HBV kedalam DNA tumor.
Mutasi gen p53 terjadi pada sekitar 30% kasus HCC di dunia, dengan frekuensi
dan tipe mutasi yang berbeda menurut wilayah geografik dan etiologi tumornya. 1,3
Infeksi kronik HCV dapat berjuang pada HCC setelah berlangsung puluhan
tahun dan umumnya didahului oleh terjadinya sirosis. Ini menunjukkan peranan
penting dari proses cidera hati kronik diikuti oleh regenerasi dan sirosis pada
proses hepatokarsinogenesis oleh HCV. 1,3
Selain yang disebutkan diatas, mekanisme karsinogenesis HCC juga
dikaitkan dengan peran dari
1. Telomerase
2. Insulin-like growth factor (IGFs)
3. Insulin receptor substrate 1 (IRS1)

36

Untuk proliferasi HCC yang diduga berperan penting adalah vascular


endothelial growth factor (VEGF) dan basic fibroblast growth factor (bFGF),
berkat peran keduanya pada proses angiogenesis.

Gambar 2: risk factor for HCC and different pathways of pathogenesis


II.7 Karakteristik klinis
Manifestasi HCC sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga gejala dan tanda
yang sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan
adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Pasien
sirosis hati yang semakin memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri dada di
kuadran kanan atas; atau teraba pembengkakan lokal di hepar patut di curigai
menderita HCC. Demikian pula bila tidak terjadi perbaikan pada asites ,
perdarahan varises atau pre-koma setelah diberi terapi yang adekuat; atau pasien
penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti HCV positif yang mengalami
perburukan kondisi mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh
di abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa
demam. 1,3

37

Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi dan


diare. Sesak nafas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan
diafragma, atau karena sudah adanya metastasis ke paru. Sebagian besar pasien
HCC sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi,
maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise,
anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus. 1,3
Temuan fisik tersering pada HCC adalah hepatomegaly dengan atau tanpa
bruit hepatik, splenomegaly, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari
pasien yang dirujuk kerumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau
peritonitis bacterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC. Pada suatu
laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% pasien HCC telah menderita asites
hemoragik, yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10% hingga
40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya
produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya
kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma.1,3
II.8 Pemeriksaan Penunjang1,3
Penanda tumor
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel
hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal.
Rentang normal AFP serum adalah 0-20ng/ml. Kadar AFP meningkat pada
60% sampai 70% dari pasien HCC, dan kadar lebih dari 400 ng/mL adalah
diagnostic atau sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal dapat ditemukan juga
pada HCC stadium lanjut. Hasil positif-palsu dapat juga ditemukan oleh
Hepatitis akut atau kronik dan pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk HCC
adalah des-gamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya
meningkat pada hingga 91% dari pasien HCC, namun juga dapat meningkat
pada defisiensi Vitamin K, hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma.
Ada beberapa lagi penanda HCC seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa-L-

38

fucosidase serum, dll. Tapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas &
spesifisitas melebihi AFP, AFP-L3 dan PIVKA-2.3
Sensitivitas alphafenoprotein (AFP) untuk mendiagnosis pasien HCC adalah
60-70%, artinya hanya 60-70% pasien dengan HCC yang mengalami
peningkatan AFP, sedangkan pada 30-40% penderita memiliki nilai AFP
normal. Nilai normal sering ditemukan pada HCC stadium lanjut. Spesifisitas
AFP hanya 60%, artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai AFP
yang tinggi, belum bisa dipastikan pasien tersebut menderita HCC, sebab AFP
dapat meninggi pada keadaan sirosis hepatis, hepatitis kronis, kanker testis,
dan terratoma.14
Aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
Aspirasi jarum halus terutama ditujukan untuk menilai apakah lesi yang
ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu
benar pasti suatu HCC. Tindakan biopsi ini hendaknya dipandu dengan
menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scan fluoroscopy sehingga

hasil yang diperoleh akurat.13


Gambaran radiologi
Foto toraks perlu dikerjakan secara rutin dan berguna untuk melihat peninggian
diafragma kanan dan ada tidaknya gambar metastasis ke paru. Pada umumnya
tumor hati yang letaknya dekat diafragma, bila mengalami pembesaran akan
mendesak diafragma. Kanker hepatoselular ini bisa dijumpai di dalam hati
berupa benjolan berbentuk kebulatan ( nodule ) satu buah, dua buah atau lebih
atau bisa sangat banyak

dan diffuse ( merata pada seluruh hati atau

berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang

bisa berkapsul.13
Ultrasonografi abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap 3 bulan. Untuk tumor kecil pada
pasein dengan resiko tinggi USG lebih sensitif daripada AFP serum berulang.
Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70% hingga 80%.
Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran Mosaik, formasi

39

septum, bagian perifer senolusen (ber-halo), bayangan lateral yang dibentuk


oleh pseudokapsul fibrotic, serta penyangkatan eko posterior. Berbeda dari
tumor metastasis, HCC dengan diameter kurang dari 2 sentimeter mempunyai
gambaran bentuk cincin yang khas. USG color Doppler sangat berguna untuk
membedakan HCC dari tumor hepatic lainnya. Tumor yang berada dibagian
atas-belakang lobus kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian
juga yang berukuran terlalu kecil dan isoeskoik.1,3
Dengan USG hitam putih (gray scale) yang sederhana (konvensional) hati
yang normal tampak keabu-abuan dan tekstur merata (homogen). Bila ada
kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan (nodul) berwarna
kehitaman atau berwarna kehitaman bercampur keputihan dan jumlahnya
bervariasi pada tiap pasien, bisa satu, dua atau lebih atau banyak sekali dan
merata pada seluruh hati, ataukah satu nodul yang besar dan berkapsul atau
tidak berkapsul. USG konvensional hanya dapat memperlihatkan benjolan
dengan diameter 2-3 cm, tapi bila USG konvensional dilengkapi perangkat
lunak

harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan dengan ukuran 1-2 cm,

namun nilai akurasi ketepatan diagnosisnya hanya 60%. Rendahnya nilai


akurasi ini disebabkan karena USG konvensional tidak dapat menilai adanya
neovaskuler. Neovaskuler merupakan ciri khas kanker yaitu pembuluh darah
yang terbentuk sejalan dengan pertumbuhan kanker yang gunanya untuk
menghantarkan oksigen dan makanan ke sel kanker tersebut. Semakin banyak
neovakuler maka semakin ganas kankernya. Walaupun USG color sudah dapat
memberikan warna dan mampu memperlihatkan neovaskuler disekeliling
nodul, tetapi belum dapat memastikan keberadaan neovaskuler. Dengan
pesatnya perkembangan teknologi kini sudah ada alat USG yang lebih canggih,
yaitu color Doppler flow imaging (CDFI), yaitu USG yang selain mampu
memperlihatkan neovaskuler disekitar sel kanker, juga dapat memperlihatkan
kecepatan dan arah aliran darah di dalam neovaskuler tersebut, selain itu juga
dapat melihat adanya portal vein tumor trombosis. Dari hasil USG ini sudah

40

dapat diarahkan dengan tepat tindakan pengobatan yang akan dilakukan,


apakah akan dilakukan operasi membuang sebagian hati (reseksi hepatektomi
parsial) atau tidak, apakah bisa diembolisasi atau tidak ataukah hanya
dilakukan infus kemoterapi intra arterial. Tapi bila sudah jelas adanya tumor
trombus didalam vena porta dan sudah menyumbat vena, maka tindakan
operatif dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan satu-satunya cara
untuk menyelamatkan penderita adalah dengan cara transplantasi hati.15
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan sekali. Untuk tumor
kecil pada pasien dengan risiko tinggi, USG lebih sensitif daripada AFP serum
berulang. Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi kadang
diperlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena beberapa kelebihan, USG

masih tetap merupakan alat diagnostik yang paling populer dan bermanfaat.3.
Strategi skrining dan surveilans
Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik pada populasi
umum, sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang pemeriksaan
diagnostic pada populasi yang beresiko untuk suatu penyakit sebelum ada bukti
bahwa penyakit tersebut sudah terjadi.Karena sebagian dari pasien HCC,
dengan atau tanpa sirosis, adalah tanpa gejala, untuk mendeteksi dini HCC
diperlukan strategi khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg
atau anti-HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan
(doubling time) diameter HCC yang berkisar antara 3 sampai 12 bulan (rerata 6
bulan), dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan AFP serum dan USG
abdomen setiap 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik B
atau C. Cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien HCC yang
terlambat dideteksi dan sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil
(dini). Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian juga
terjadi penurunan mortalitas (liver-related mortality). 1,3

II.9

Diagnosis

41

Untuk tumor dengan diameter lebik dari 2cm, adanya penyakit hati kronik,
hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP serum
400ng/mL adalah: 1,3
Table.2.2 Kriteria diagnostic HCC menurut Barcelona EASL Conference.1
Kriteria sito histologis
Kriteria non-Invasif (khusus untuk pasien sirosis hati):
Kriteria
radiologis:
koinsidensi
2
cara
imaging
spiral/MRI/angiografi)
Lesi fokal >2cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kriteria kombinasi : satu cara imaging dengan kadar AFP serum:
Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kadar AFP serum 400ng/mL

(USG/CT-

Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi


berdiameter > 2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan
terapi. Untuk tumor berdiameter kurang dari 2 cm, sulit menegakkan diagnosis
secara non-invasif karena beresiko tinggi terjadinya diagnosis negative palsu akibat
belum matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan
biopsy tidak diperoleh diagnosis defenitif, sebaiknya ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan.1,3
Dengan perkembangan teknologi yang kian canggih dan kian maju pesat,
maka berkembang pulalah cara-cara diagnosa dan terapi yang lebih menjanjikan
dewasa ini. HCC yang kecil pun sudah bisa dideteksi awal terutamanya dengan
pendekatan radiologi yang akurasinya 70%-95% dan pendekatan laboratorium
alphafetoprotein yang akurasinya 60%-70%.
Kriteria diagnosis HCC menurut PPHI ( Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia ),
yaitu :13
6. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
7. AFP ( Alphafetoprotein ) yang menigkat lebih dari 500 mg/ml.

42

8. Ultrasonography ( USG ), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scan (CT


Scann), Magnetic Resonance Imaging ( MRI ), Angiogrphy, ataupun Positron
Emission Tomography ( PET ) yang menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.
9. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.
10. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan adanya Kanker Hati
Selular.
Diagnosis HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu
kriteria empat atau lima.13
Sistem staging pada HCC2,3,8
Terdapat banyak sistem staging yang dipakai pada HCC. Sistem yang banyak
digunakan untuk menilai status fungsional hati dan prediksi pada pasien sirosis adalah
sistem Child-Turcotte-Pugh. Namun sekarang ini, sistem staging yang banyak
digunakan dalam HCC adalah Okuda staging system dan Barcelona Clinic Liver
Cancer (BCLC) staging system. Sistem staging ini bermanfaat dalam memberikan
terapi yang tepat pada pasien HCC.

Tabel 2. sistem Okuda staging HCC6

43

Tabel 3. sistem Child-Turcotte-Pugh HCC6

Tabel 4. sistem BCLC (Barcelona Clinic Liver Cancer) staging HCC6

Tabel 5. American Joint Comitte Cancer (AJCC) TNM Staging for Liver
Tomors6

44

II.10

Penatalaksanaan
Pilihan terapi yang diberikan pada pasien HCC didasarkan pada staging yang

diperoleh dari penilaian pada pasien tersebut. Karena sirosis hati yang
melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multinodularitas, resektabilitas HCC
sangat rendah. Beberapa terapi yang digunakan dalam penanganan HCC adalah. 1,3

45

1. Reseksi
Tujuan terapi reseksi hepatik yaitu menghilangkan keseluruhan tumor dari
jaringan hepar. Terapi ini dapat dilakukan pada pasien yang mempunyai tumor
kurang 3 cm dan fungsi hepar masih baik, idealnya tanpa adanya sirosis karena
dapat memicu timbulnya gagal hati dan menurunkan angka harapan hidup. Oleh
karena itu diperlukan kriteria seleksi pada pasien dengan sirosis. Parameter yang
dapat digunakan untuk seleksi adalah scor child pugh dan derajat hipertensi portal
atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan
bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya
dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis
ekstrahepatik, HCC difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit
penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien selama menjalani proses
operasi reseksi. 1,3
2. Transplantasi
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan
untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami
disfungsi. Dilaporkan angka harapan hidup 3 tahun mencapai 80%, bahkan
perbaikan seleksi pasien dan terapi preoperatif dengan obat antiviral dapat dicapai
angka harapan hidup 5 tahun sebesar 92%.1,3
3. Ablasi
Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alkohol, asam
asetat) atau dengan modifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser, dan
crioablation). Injek etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor
kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah.
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih
tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3
cm, namun tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Guna mencegah
terjadinya rekurensi dari tumor, pemberian asam poliprenoik (polypreoic acid)
selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi secara bermakna.
1,3

4. Terapi paliatif

46

Sebagian pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah sampai lanjut


(intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan
metaanalisis,

pada

stadium

embolization/chemoembolization)

ini
saja

hanya
yang

TAE/TACE
menunjukkan

(transarterial
penurunan

pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan angka harapan hidup pasien HCC
yang tidak resektabel. 1,3
Beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel adalah
imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, androgen, okreotid, radiasi
internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan. 1,3
Medika mentosa
a. Sorafenib
Sorafenib merupakan inhibitor tirosin kinase. Sorafenib bekerja dengan cara
membidik sel tumor dan sistem pendarahan tumor. Dalam uji preklinis, Sorafenib
terbukti mampu menghambat dua jenis kinase yakni profilerasi sel dan angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah) di mana keduanya berperan besar dalam proses
pertumbuhan kanker. Proses ini penting pula bagi sel normal, sehingga terapi target
dari Sorafenib juga bisa mempengaruhi beberapa sel normal. Sorafenib sudah
menjadi sistem standar untuk terapi kanker hati stadium lanjut. Obat ini adalah satusatunya terapi yang telah menunjukkan adanya peningkatan survival rate bagi para
penderita kanker hati hingga 47 persen.
b. Bevacizumab
Bevacizumab merupakan suatu rekombinan monoklonal antibody yang mengalami
humanised dan berikatan pada vascular endothelial growth factor (VEGF), suatu
protein yang telah diidentifikasi sebagai mediator kunci angiogenesis tumor. Ini
adalah anti-angiogenic yang pertama dan satu-satunya yang terbukti meningkatkan
harapan hidup penderita kanker pada studi fase 3. Dengan menghambat VEGF (

47

Vascular Endothelial Growth Factor) maka akan menghambat pertumbuhan tumor,


mencegah penyebaran ke seluruh tubuh(metastasis) dan meningkatkan efektifitas
kemoterapi pada tumor.
c. Erlotinib
Erlotinib memiliki mekanisme kerja yang disebut HER1/EGFR TKI atau Human
Epidermal Receptor 1 /Epidermal Growth Factor Receptor Tyrosine Kinase Inhibitor
atau secara sederhana dapat dijelaskan sebagai penghambat aktivasi enzim tyrosine
kinase yang dilepas dari reseptor nya yang disebut HER1/EGFR, sehingga Tarceva
akan menghambat terjadinya mekanisme proliferasi, metastasis, angiogenesis dan
merangsang proses apoptosis. Erlotinib ini tergolong dalam biological targeted
therapy. Yang dimaksud dengan biological targeted therapyadalah golongan obat anti
kanker yang bersifat memusnahkan hanya pada selkanker saja tanpa merusak sel-sel
sehat.
Tindakan Non-bedah Hati
a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datangnya
bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel
baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi
banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari
pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan
(feedingartery). Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan
katetermelalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke
pembuluh nadi besar di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke
pembuluh darah hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery.
Lalu feeding artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam
sehingga aliran darah dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen
ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Sebelum dilakukan
embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat

48

kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat
yang mematikan. Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar
terjamin mati dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi
kemoterapi intra-arterial dikembangkan.
b. Infus Sitostatika Intra-arterial
Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari
vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan
oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor
maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut
akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada
penyumbatan vena porta ini. Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena
porta sampai kecabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien
tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau
karena pasien menolak atau karena ketidak mampuan pasien. Sitostatika yang dipakai
adalah mitomycin C 10 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg dicampur
dengan NaCl (saline) 100 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5
FluoroUracil). Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus
sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen ballon
catheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah ballon
dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaan
ballon mengembang selama 30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak
sitostatika dengan tumor.
c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua tindakan
atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu membiayai
tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-satunya. Tindakan
injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman,efek samping ringan, biaya
murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada

49

pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Pemeriksaan histopatologi
setelah tindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang lengkap.
d. Terapi Non-bedah Lainnya
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan bila
terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial
Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan
lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA), Proton
Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy(3DCRT), Cryosurgery
yang ke semuanya ini bersifat palliatif bukan kuratif keseluruhannya.

50

Gambar 3: Algoritma penanganan HCC berdasarkan staging14,15,16


II.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis HCC adalah jelek. Tanpa pengobatan biasanya
terjadi kematian kurang dari satu tahun sejak keluhan pertama. Pada pasien
HCC stadium dini yang dilakukan pembedahan dan diikuti dengan
pemberian sitostatik, umur pasien dapat diperpanjang antara 4-6 tahun,
sebaliknya HCC stadium lanjut mempunyai masa hidup yang lebih pendek.
1,3

51

DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadiasubrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.
2. Parikh S, Hyman D. Hepatocellular cancer: a guide for the internist. AJM. 2007.
[ cited 2012 August 3
3. Budihusodo U. Karsinoma hati dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Aru W,
Bambang S, Idrus A, Marcellus S, Siti S editor. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia; 2007: 455-9
4. Price SA, Lorraine MW. Hepatocellular carcinoma. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Vol. 1. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2009 : 493-501.
5. Axelrod DA. Hepatocellular carcinoma. Emedicine. 2012. [ cited 2012 August 3].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/197319
6. Schafer DF, Sorrel MF. Hepatocellular carcinoma. Lancet. 1999
7. Smith CS, Paauw. Hepatocellular carcinoma identifying and screening populations
at increased risk. Postgrad. Med. 1993.
8. El-serag HB, Marero JA, Rudolph J, Reddy KR. Diagnosis and treatment of
hepatocellular carcinoma. Gastroenterology. 2008; 134: 1752-1763.
9. Davila JA, et.al. use of surveilence for hepatocellular carcinoma among patients
with cirrhosis in the United States. Hepatology. 2010; 52 (1). 132-141
10. Blum HE. Hepatocellular carcinoma. Theraphy and prevention. World J.
gastroenterol. 2005; 11 (47): 7391-7400
11. Hamid NA. Update to risk factors for hepatocellular carcinoma. Int J. Med. Med.
Sci. 2009; 1 (3): 038-043Blum HE. Hepatocellular carcinoma. Theraphy and
prevention. World J. gastroenterol. 2005; 11 (47): 7391-7400
12. Starley BQ, Calcagno CJ, Harrison SA. Nonalcoholic fatty liver disease and
hepatocellular carcinoma: a weight connection. Hepatology. 2010. [ cited 2012
August3].Availablefrom: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/hep.23594/pdf

52

13. Rasyid A. pentingnya peranan radiologi dalam deteksi dini dan pengobatan kanker
hati primer. USU press.2006
14. Soresi M, Maglirisi C, Campgna P. alphafetoprotein in diagnosis of hepatocellular
carcinoma. Anticancer Research. 2003.
15. Richard LB, Mark S, Peterson. Screening the cirrhotic liver for hepatocellular
carcinoma with CT and MRI imaging opportunities and pitfalls RSNA. 2001
16. Ryder SD. Guidelines for the diagnosis and treatment of hepatocellular carcinoma
(HCC) in adults. 2003.
17. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 60th ed. Sugiharto L,Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jajarta: EGC. 2006
18. Putz R., Pabst R. Sobotta: Atlas Anatomi . 22nd ed. Suvono J.Sugiharto L.
Novrianti A. Liena, Penerjemah. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22.
Jakarta: EGC, 2007

53

You might also like