Professional Documents
Culture Documents
TETANUS
Pembimbing:
dr. Bardan, Sp.S
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama
: Tn. I
Umur
: 45 tahun
: Setu
Pekerjaan
: Buruh
MRS
: 01 juli 2013
RR
t
: 20 x/menit
: 36,7 C
Kepala-Leher
Kepala : Normocepali, bentuk simetris
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Wajah : Trismus (+)
Leher : kaku, kaku kuduk (+), tidak ada pembesaran KGB.
Thorax-Cardiovascular
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri warna kulit normal,
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), peradangan pada kulit (-), warna kulit dalam batas
normal.
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh dinding abdomen.
Palpasi : nyeri tekan (-), perut tegang dan keras, massa (-).
Status lokalis
Pada Wajah : adanya trismus (+),
Pada Leher : kaku kuduk (+),
Abdomen : perut tegang dan keras seperti papan,Risus sardonikus (+)
V. Resume
Pasien laki-laki, usia 45 tahun, datang dengan kaku badan sejak 5 hari SMRS. Os
merasakan mulut tidak dapat membuka lebar ,Tidak terdapat Luka, Demam
(-),Trismus (+), Gigi Karies(+). Sebelumnya pasien mempunyai kebiasaan
membersihkan gigi menggunakan benda yang tidak bersih .
VI. Diagnosis
Diagnosis Klinis :Trismus
Diagnosis Topis :
Diagnosis Etiologi:Tetanus
3
Kimia Klinik
GDS : 156
Ureum 32 mg/dl
Kreatinin : 0,8 mg/dl
SGOT :47 u/l
SGPT :63 U/L
Elektrolit
Na : 151 mEq/l
Kalium : 3,6 mEq/l
Klorida : 1,09 mg/dl
IX. Rencana Diagnosis
Pemeriksaan Darah Rutin
Anjuran CT Scan
EKG
X. Rencana Terapi
Medikamentosa:
IVFD RL 28 tpm + Diazepam 10 Ampul drips
Metronidazole 500 mg/8 jam
Injeksi ATS 20. 000 IU/I.M
Ceftriakson 1 gr/ 8 jam dalam NaCl
Kalneco 2 ampul + NaCL 100 cc/ 8 jam
Nonmedikamentosa:
Isolasi pada ruangan yang tenang dan bebas dari rangsangan luar
Pasang NGT
Konsultasi Gigi
ANALISIS KASUS
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Tetanus berdasarkan dari anamesis didapatkan
pasien mengaku lemah badan dan mulut tidak dapat membuka dengan lebar. Pasien juga
mempunyai kebiasaan buruk membersihkan gigi menggunakan benda yang tidak bersih. Dari
Pemeriksaan Fisik didapatkan gejala yang medukung untuk ditagakkanya diagnosis tetanus
yaitu adanya kaku kuduk (+), trismus (+), dan Perut tegang dan keras seperti papan(Risus
Sardonikus).
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Penatalaksanaan
Pada kasus ini pasien telah diberikan ATS 20.000 U/IM yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut.
TETANUS
a. Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani.
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.
b. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah
organisme bersifat obligat anaerob pembentuk spora, gram positif, bergerak, yang
berhabitat ditanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai binatang, kadang feces
manusia.
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat anaerob murni.
Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora dan karena bentuk yang khas.
Ujung sel menyerupai tongkat pemukul gendering atau raket squash.
Spora clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak kena
sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptic,
pemanasan 100 c dan bahkan pada otoklaf 120 c selama 15-20 menit. Dari berbagai
studi yang berbeda, spora ini tidak jarang ditemukan pada feses kuda, anjing dan kucing.
Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
c. Pathogenesis
6
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai
pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame
larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan dikelola dengan teliti
Terpapar kuman
Eksotoksi
Pengangkutan toksin melewati saraf
Ganglion
Sumsum
Otak
Saraf
Tonus otot
Menjadi kaku
-Keringat berlebihan
-Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
-Takikardi
Hilangnya keseimbangan
Hipoksia berat
Kekakuan
O2 di otak
Sistem
-Ggn. Eliminasi
-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut)
Sistem
-Ketidakefektifan jalan
jalan nafas
-Gangguan Komunikasi
Verbal
Kesadaran
-PK. Hipoksemia
-Ggn. Perfusi Jaringan
-Ggn. Pertukaran Gas
-Kurangnya pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa, Perawatan
d. Gejala Klinis
8
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat
masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum
semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.
Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi,
mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi
sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya
memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan
kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama
berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter
bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia
dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek.
Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa
bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki
derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki
prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan
derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi
telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf
fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki
masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang
belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang
sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu
yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel,
sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi
menjadi empat (4) tingkatan.
e. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Langkah Diagnosis
Anamnesis
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat
yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren
gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun
demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus,
dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan
10
prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa
gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan
pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan
bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa
system scoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Philips, Dakar, Ablett, dan
Udwada. System scoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis.
Tabel 1. Skor Phillips untuk menentukan derajat Tetanus
Masa inkubasi
Lokasi infeksi
Status imunisasi
Factor Pemberat
Parameter
< 48 jam
Nilai
5
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
>14 hari
Internal dan umbilical
1
5
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Tidak diketahui
Tidak ada
1
10
Imunisasi lengkap
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa
0
10
2
11
ASA derajat I
Sumber : Farrar, el al, 2000
System scoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan factor pemberat.
Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasikan sebagai berikut:
1. Skor < 9 : tetanus ringan
2. Skor 9-16 : tetanus sedang
3. Skor > 16 : tetanus berat
Table 2. Sistem scoring Tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
kali/menit.
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi
berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.
Grade II (sedang)
Skor 1
< 7 hari
< 2 hari
Umbilicus,
luka
Skor 0
7 hari atau tidak diketahui
2 hari
bakar, Penyebab lain dan penyebab
f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis
bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat
kelainan likuor serebrospinal.
13
2. Anti kejang/Antikonvulsan
- Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/I.M. untuk anak diberikan mula-mula 60100 mg/I.M lalu dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200 mg/hari).
Klorpromasin 3 x 25 mg/I.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam.
3. Antibiotik
h. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas
dapat diturunkan hingga 10-30% dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak
faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi,
masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa
inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
14
buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran
dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai
prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus
Daftar Pustaka
Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al. Management
and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003
Ritarwan K. 2004. Tetanus. diakses 10 Juni 2012.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf
Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic Studies
During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine, New Series.
1992.
Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of
Postgraduate Medicine. 2009
15