You are on page 1of 15

LAPORAN KASUS

TETANUS

Pembimbing:
dr. Bardan, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK BAGIAN/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2013

LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama

: Tn. I

Umur

: 45 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Alamat

: Setu

Pekerjaan

: Buruh

MRS

: 01 juli 2013

Pemeriksaan : 01 juli 2013

II. Keluhan Utama : Kaku pada badan sejak 5 hari SMRS


III.Anamnesis
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Kab Bekasi dengan keluhan badan kaku sejak 5
hari SMRS , Selain itu pasien mengeluh mulut tidak biSa membuka dengan
lebar, Kejang, demam disangkal oleh pasien. Os mengatakan memiliki
kebiasaan membersihkan gigi dengan benda yang tidak bersih.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Os tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya, riwayat hipertensi (-), diabetes (-),
asma (-).
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada didalam keluarga yang mengalami hal serupa seperti dirasakan oleh os saat
ini. Riwayat hipertensi (-), diabetes (-), asma (-).

IV. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis:
Kesadaran : Komposmentis
TD
: 160/90 mmHg
N
: 92 x/menit
2

RR
t

: 20 x/menit
: 36,7 C

Kepala-Leher
Kepala : Normocepali, bentuk simetris
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Wajah : Trismus (+)
Leher : kaku, kaku kuduk (+), tidak ada pembesaran KGB.

Thorax-Cardiovascular
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri warna kulit normal,

penggunaan otot bantu nafas (-).


Palpasi : pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri, otot dada kaku (+).
Perkusi : sonor pada kedua dinding thorak, batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi :
Pul : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/ Cor : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : distensi (-), peradangan pada kulit (-), warna kulit dalam batas

normal.
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh dinding abdomen.
Palpasi : nyeri tekan (-), perut tegang dan keras, massa (-).

Status lokalis
Pada Wajah : adanya trismus (+),
Pada Leher : kaku kuduk (+),
Abdomen : perut tegang dan keras seperti papan,Risus sardonikus (+)
V. Resume
Pasien laki-laki, usia 45 tahun, datang dengan kaku badan sejak 5 hari SMRS. Os
merasakan mulut tidak dapat membuka lebar ,Tidak terdapat Luka, Demam
(-),Trismus (+), Gigi Karies(+). Sebelumnya pasien mempunyai kebiasaan
membersihkan gigi menggunakan benda yang tidak bersih .
VI. Diagnosis
Diagnosis Klinis :Trismus
Diagnosis Topis :
Diagnosis Etiologi:Tetanus
3

VII. Diferensial Diagnosis


(-)
VIII. Usulan Pemeriksaan
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap
HB : 16,1gr/dl
Leukosit :28300/mm
Eritrosit :6,5 jl/mm3
Hematokrit :57,8 %
Trombosit : 534.000/mm3

Kimia Klinik
GDS : 156
Ureum 32 mg/dl
Kreatinin : 0,8 mg/dl
SGOT :47 u/l
SGPT :63 U/L
Elektrolit
Na : 151 mEq/l
Kalium : 3,6 mEq/l
Klorida : 1,09 mg/dl
IX. Rencana Diagnosis
Pemeriksaan Darah Rutin
Anjuran CT Scan
EKG
X. Rencana Terapi
Medikamentosa:
IVFD RL 28 tpm + Diazepam 10 Ampul drips
Metronidazole 500 mg/8 jam
Injeksi ATS 20. 000 IU/I.M
Ceftriakson 1 gr/ 8 jam dalam NaCl
Kalneco 2 ampul + NaCL 100 cc/ 8 jam
Nonmedikamentosa:
Isolasi pada ruangan yang tenang dan bebas dari rangsangan luar
Pasang NGT
Konsultasi Gigi

ANALISIS KASUS
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Tetanus berdasarkan dari anamesis didapatkan
pasien mengaku lemah badan dan mulut tidak dapat membuka dengan lebar. Pasien juga
mempunyai kebiasaan buruk membersihkan gigi menggunakan benda yang tidak bersih. Dari
Pemeriksaan Fisik didapatkan gejala yang medukung untuk ditagakkanya diagnosis tetanus
yaitu adanya kaku kuduk (+), trismus (+), dan Perut tegang dan keras seperti papan(Risus
Sardonikus).
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Penatalaksanaan
Pada kasus ini pasien telah diberikan ATS 20.000 U/IM yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut.

TETANUS
a. Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani.
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.
b. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah
organisme bersifat obligat anaerob pembentuk spora, gram positif, bergerak, yang
berhabitat ditanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai binatang, kadang feces
manusia.
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat anaerob murni.
Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora dan karena bentuk yang khas.
Ujung sel menyerupai tongkat pemukul gendering atau raket squash.
Spora clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak kena
sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptic,
pemanasan 100 c dan bahkan pada otoklaf 120 c selama 15-20 menit. Dari berbagai
studi yang berbeda, spora ini tidak jarang ditemukan pada feses kuda, anjing dan kucing.
Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
c. Pathogenesis
6

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai
pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame
larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan dikelola dengan teliti

Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)

Terpapar kuman
Eksotoksi
Pengangkutan toksin melewati saraf

Ganglion
Sumsum

Otak

Saraf

Tonus otot

Menempel pada Cerebral


Gangliosides

Mengenai Saraf Simpatis

Menjadi kaku

Kekakuan dan kejang khas


pada tetanus

-Keringat berlebihan
-Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
-Takikardi

Hilangnya keseimbangan

Hipoksia berat

Kekakuan

O2 di otak
Sistem

-Ggn. Eliminasi
-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut)

Sistem

-Ketidakefektifan jalan
jalan nafas
-Gangguan Komunikasi
Verbal

Kesadaran
-PK. Hipoksemia
-Ggn. Perfusi Jaringan
-Ggn. Pertukaran Gas
-Kurangnya pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa, Perawatan

(Sumber: Asuhan Keperawatan dengan Tetanus.)

d. Gejala Klinis
8

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat
masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum
semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.
Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi,
mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi
sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya
memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan
kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama
berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter
bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia
dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek.
Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa
bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki
derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki
prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan
derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi
telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf
fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki
masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang
belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang
sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu
yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel,
sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi
menjadi empat (4) tingkatan.
e. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Langkah Diagnosis
Anamnesis

Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat
yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren

gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.

Pemeriksaan fisik

Adanya kekakuan lokal atau trismus.


Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun
demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus,
dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan
10

prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa
gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan
pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan
bukan tetanus.

Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa

system scoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Philips, Dakar, Ablett, dan
Udwada. System scoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis.
Tabel 1. Skor Phillips untuk menentukan derajat Tetanus

Masa inkubasi

Lokasi infeksi

Status imunisasi

Factor Pemberat

Parameter
< 48 jam

Nilai
5

2-5 hari

6-10 hari

11-14 hari

>14 hari
Internal dan umbilical

1
5

Leher, kepala dan dinding tubuh

Ekstremitas atas

Ekstremitas bawah

Tidak diketahui
Tidak ada

1
10

Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonates)

> 10 tahun yang lalu

< 10 tahun yang lalu

Imunisasi lengkap
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa

0
10

Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa

Keadaan yang tidak mengancam nyawa

Trauma atau penyakit ringan

2
11

ASA derajat I
Sumber : Farrar, el al, 2000

System scoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan factor pemberat.
Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasikan sebagai berikut:
1. Skor < 9 : tetanus ringan
2. Skor 9-16 : tetanus sedang
3. Skor > 16 : tetanus berat
Table 2. Sistem scoring Tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada

Grade II (sedang)

distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.


Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30

Grade III A (berat)

kali/menit, disfagia ringan.


Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120

Grade III B (sangat berat)

kali/menit.
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi
berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.

Sumber: Cottle, 2011


Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut beberapa
literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan Udwadia (1992) kemudian
sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia.
Table 3. Sistem scoring Tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada

Grade II (sedang)

distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.


Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30

Grade III A (berat)

kali/menit, disfagia ringan.


Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
12

memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40


kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120
Grade III B (sangat berat)

kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.


Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.

Sumber: Udwadia 1992


Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada
tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul
gejala klinis pertama.
Table 4. Sistem scoring Dakar untuk Tetanus
Factor prognostic
Masa inkubasi
Periode onset
Tempat masuk

Skor 1
< 7 hari
< 2 hari
Umbilicus,

luka

Skor 0
7 hari atau tidak diketahui
2 hari
bakar, Penyebab lain dan penyebab

uterus, fraktur terbuka, luka yang tidak diketahui


Spasme
Demam
Takikardi

operasi, injeksi intramuscular.


Ada
Tidak ada
> 38, 4 C
< 38,4 C
Dewasa > 120 kali/menit
Dewasa < 120 kali/menit
Neonates > 150 kali/menit

Neonates < 150 kali/menit

Sumber: Ogunrin 2003


Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:

Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%


Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis
bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat
kelainan likuor serebrospinal.
13

2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme


karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif
kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
g. Tatalaksana
a. Secara Umum
1. Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.
2. Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus makanan diberi
pada sonde parenteral.
3. Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.
4. Oksigen pernafasan dan trakeostomi bila perlu.
5. Mengatur cairan dan elektrolit.
b. Obat obatan
1. Antitoksin
Antitoksin 20.000 IU/I.M/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan
tidak ada reaksi hipersensitivitas.

2. Anti kejang/Antikonvulsan
- Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/I.M. untuk anak diberikan mula-mula 60100 mg/I.M lalu dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200 mg/hari).
Klorpromasin 3 x 25 mg/I.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam.

3. Antibiotik

Penizilin prokain 1, juta IU/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/I.V Dapat


memusnakan oleh tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.
Penisilin G 100.000 200.000 IU/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis.
Metronidazole 500 mg/6 jam/I.V

h. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas
dapat diturunkan hingga 10-30% dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak
faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi,
masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa
inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
14

buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran
dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai
prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus

Daftar Pustaka

Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al. Management
and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003
Ritarwan K. 2004. Tetanus. diakses 10 Juni 2012.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf
Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic Studies
During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine, New Series.
1992.
Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of
Postgraduate Medicine. 2009
15

You might also like