You are on page 1of 20

Laporan Praktikum

Laboratorium Teknik Material


Modul B Proses Pengerolan Logam
Oleh :
Nama

: Surya Eko Sulistiawan

NIM

: 13713054

Kelompok

:2

Anggota (NIM)

: Andrian Anggadha Widatama (13713005)


Antonio Ricardo Salomo Abraham (13713024)
Adhi Setyo Nugroho (13713025)
Aldi Wendo Kohara (13713042)
Surya Eko Sulistiawan (13713054)

Tanggal Praktikum

: 20 Oktober 2015

Tanggal Penyerahan Laporan

: 26 Oktober 2015

Nama Asisten (NIM)

: Rieza (13711005)

Laboratorium Metalurgi dan Teknik Material


Program Studi Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu metode pemrosesan logam yang banyak dilakukan di industri
manufaktur adalah pengerolan logam. Pembuatan baja modern dan produksi
logam ferro, nonferro, maupun paduan secara umum melibatkan kombinasi
pengecoran kontinu dengan proses rolling (Kalpakjian,2009). Tujuan utama
proses pengerolan logam adalah untuk mereduksi ketebalan logam yang akan di
rol. Proses ini dapat dilakukan pada logam temperatur panas (hot rolling) maupun
temperatur dingin (cold rolling), tergantung dari aplikasinya.
Pemrosesan awal logam dari bentuk ingot menjadi bloom dan billet biasanya
dengan proses hot rolling. Bloom dan billet ini jika di hot rolling lebih lanjut lagi
akan menghasilkan pelat, rel, pipa dan lainnya. Selain hot rolling, cold rolling
juga menjadi proses yang tak kalah penting dalam industry. Produk-produk cold
rolling antara lain pelat lembaran dan foil dengan permukaan akhir yang halus
dan menaikkan kekuatan mekanik dengan dimensi yang tidak banyak berubah.
1.2 Tujuan Praktikum
1. Menentukan daya pengerolan pelat tembaga berdasarkan perhitungan dan
pengukuran
2. Menentukan besarnya kekerasan pelat tembaga setelah melalui proses
pengerolan

BAB II
TEORI DASAR
Pengerolan merupakan proses mendeformasi plastis logam dengan gaya
kompresi antara 2 rol yang berputar konstan. Gaya ini akan mereduksi ketebalan
logam dan mempengaruhi struktur butirnya. Reduksi ketebalan ini dapat diukur
dengan melihat perbedaan ketebalan sebelum dan sesudah reduksi. Selama operasi
pengerolan logam, bentuk geometri benda kerja berubah tapi volumenya tetap sama.
Berdasarkan temperatur kerjanya, proses pengerolan logam dibagi menjadi hot
rolling dan cold rolling. Hot rolling merupakan proses pengerolan logam dimana
benda kerja sebelum dirol dipanaskan sampai diatas temperatur rekristalisasinya.
Pemanasan diatas temperatur rekristalisasinya ini akan memberikan reduksi ketebalan
yang besar dan tidak terjadi fenomena strain hardening. Selain itu, hot rolling dapat
menimbulkan toleransi dimensi yang besar dan permukaan benda kerja menjadi
kasar.
Cold rolling merupakan proses pengerolan logam pada temperatur dibawah
temperatur rekristalisasinya. Proses cold rolling ini akan memberikan produk hasil
pengerolan memiliki toleransi dimensi yang sempit dan permukaan benda kerja
menjadi halus. Namun, cold rolling ini dapat menimbulkan fenomena strain
hardening dan jika diberi gaya yang sama dengan hot rolling reduksinya akan lebih
kecil. Dalam proses cold rolling ini, ada beberapa asumsi yang digunakan yakni :
1.

Permukaan kontak rol dengan logam berbentuk circular. Tidak ada deformasi
elastis roll

2.

Koefisian gesek konstan sepanjang titik pada bidang kontak.

3.

Tidak adanya lateral spread (penyebaran lateral) sehingga rolling bisa


dianggap plane strain.

4.

Bidang vertikal tidak mengalami perubahan

5.

Kecepatan rol konstan

6.

Deformasi elastis pada logam diasumsikan tidak ada karena perbandingannya


terlalu kecil jika dibandingkan deformasi plastisnya

7.

Krieria distorsi energi dari kriteria luluh untuk plane strain : 1 - 3 =

Pada proses pengerolan logam terdapat dua gaya yang bekerja, yaitu gaya
radial (Pr) dan gaya tangensial (F). Arah gaya radial keluar bidang lingkaran pada roll
sedangkan arah gaya tangensial tegak lurus terhadap gaya radial. Gaya- gaya yang
terjadi pada proses pengerolan dapat dijelaskan berikut ini :
Keterangan:
ho: tebal awal spesimen
hf: tebal akhir spesimen
Pr: gaya radial
F: gaya gesek tangensial
Lp: panjang kontak spesimen dan rol
vo: kecepatan awal spesimen
N: Titik Netral
vf: kecepatan akhirl spesimen
Gambar 2.1 Gaya selama pengerolan

R: jari-jari rol
: sudut kontak

Titik netral merupakan titik dimana kecepatan rol sama dengan kecepatan
pelat. Antara bidang masuk dan titik netral, kecepatan benda lebih rendah daripada
kecepatan rol sehingga gaya gesek tangensial searah pengerolan. Sedangkan antara
titik netral dan bidang keluar, kecepatan benda lebih besar daripada keccepatan rol
sehingga gaya gesek tangensial berlawanan arah pengerolan.
Besarnya gaya pengerolan dapat dihitung melalui persamaan :

P=p.b. Lp.

dengan :

P= gaya pengerolan (N),


p= tekanan pengerolan rata-rata (MPa)
b= lebar pelat
Lp= panjang proyeksi busur rol daerah kontak

Lp =

Dimana :

p=
Karena

dalam

, Q = .
kondisi

P=

plane

, hm= tebal rata-rata


strain,

maka

gaya

pengerolan,

Gaya pengerolan total diasumsikan terkonsentrasi pada satu titik dengan


jarak a dari sumbu rol dimana a=.L p dan =0.5 (hot rolling) atau 0.45 (cold rolling).
Jika frekuensi putaran adalah n, maka daya pengerolan totalnya adalah :
N=

(kW)

Dalam pengerolan logam, terdapat beberapa parameter yang memengaruhi


proses tersebut, antara lain
1.

diameter rol
semakin besar diameter rol, semakin besar pula area kontak dan length of
contact (Lp) sehingga semakin besar pula gaya pengerolannya karena gaya
pengerolan sebanding dengan length of contact

2.

tegangan alir material


Tegangan alir material dapat dikorelasikan dengan ketahanan logam terhadap
deformasi plastis. Parameter ini dapat menunjukan seberapa besar logam
dapat direduksi dengan proses rolling

3.

gesekan antara rol dengan benda kerja


Koefisien gesek antara rolling dengan benda kerja harus lebih besar dari tan
agar spesimen dapat di rol. Agar specimen dapat dirol maka:

F cos Pr sin
Pr cos Pr sin
tan
umumnya nilai pada cold rolling berkisar antara 0.05-1 dan hot rolling >0.2.
4.

ada tidaknya front tension dan back tension pada pelat yag dirol.
Front tension merupakan tegangan yang dihasilkan dari bidang masuk ke arah
titik netral yang menghasilkan gaya tekan terhadap pelat sehingga
menyebabkan kecepatan benda lebih tinggi dari rol dan titik netral bergeser ke
belakang. Sedangkan back tension merupakan tegangan tarik ke belakang dari
titik netral ke arah bidang keluar (exit plane) sehingga menyebabkan
kecepatan benda lebih rendah dari rol dan titik netral bergeser ke depan.
Kedua tegangan tersebut dapat mereduksi gaya pada proses pengerolan.
Secara garis besar, cacat pada proses pengerolan antara lain roll flattening dan

roll bending. Rol flattening merupakan cacat berupa rol lebih datar akibat kekerasan
benda kerja lebih besar dari rol. Sedangkan roll bending merupakan fenomena cacat
benda kerja yang menjadi bengkok karena gaya tarik di tepi benda kerja lebih besar
daripada bagian tengah.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Menyiapkan 1 batang pelat tembaga

Mengukur dimensi awal pelat dan


kekerasannya

Melakukan pengerolan dan mencatat


besarnya reduksi dan tegangan
sebanyak 5 kali

Menyiapkan
mesin
roll
menentukan reduksi 25%

Memotong pelat bagian tepi

Mengukur kekerasan potongan pelat


tersebut

dan

Mengulangi
percobaan
seperti
langkah sebelumnya menggunakan
pelat sisa dengan proses reduksi
berikutnya (50%, 75%)

BAB IV
DATA PENGAMATAN
4.1 Pengujian tarik
Data uji tarik :

panjang : 97.59 mm

yield strength

: 242.7966 MPa

lebar

: 12.81 mm

ultimate strength : 251.3278 MPa

luas

: 64.05 mm2

% elongasi

: 7.14

Dari data uji tarik diatas dapat diplot kurva engineering stress-strain. Untuk
mengkonversi agar menjadi true stress-strain, maka data pada engineering stressstrain diubah dengan :

true stress = engineering stress.(1+engineering strain),


true strain = ln (1+engineering strain)

Engineering Stress-Strain
Stress (MPa)

300
200
100

0
0

0.02

0.04

0.06

Strain

0.08

0.1

0.12

True Stress (MPa)

True Stress vs True Strain


300
200
100

0
0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

True Strain

Jika data true stress-strain dilogaritma-kan di daerah uniform elongation


plastis (4 data), maka diperoleh kurva log true stress-strain sebagai berikut :

Log True Stress vs Log True Strain


Log True Stress

2.44
2.435

y = 0.043x + 2.4871

2.43

2.425
2.42

-1.6

-1.5

-1.4

-1.3

-1.2

-1.1

-1

Log True Strain

Dari kurva tersebut, persamaan regresi y = 0.043x + 2.4871 merupakan


bentuk persamaan variable y=mx+c, dimana m = koefisien strain hardening dan
c = log(koefisien kekuatan,K). Sehingga dari persamaan tersebut, koefisien strain
hardening, n = 0.043 dan koefisien kekuatan, K = 306.9729 MPa.
Data uji pengerolan : Jenis Material = Tembaga
Panjang awal = 97,59 mm
Lebar awal

= 22,83 mm

Lebar akhir

= 24,08 mm

Tebal awal

= 10,09 mm

Kekerasan

= 74 HRE, dikonversi menjadi 26 HRA

Diameter Roll = 80 mm

140.00
120.00
100.00

80.00
60.00
40.00

daya pengukuran

20.00

daya perhitungan

0.00
0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

4.2 Kekerasan mikro


tahap reduksi
awal
25% tahap 5
50% tahap 5
75% tahap 5

HRA
26
35
39.4
41.5

34.5
39.1
41.1

34.6
38.9
41.8

kekerasa

50
40

30
20
10
0
0

20

40

60

reduk

80

HRA mean
26
34.7
39.13
41.47

BAB IV
ANALISIS DATA
Praktikum proses pengerolan ini dilakukan dengan menggunakan specimen
pelat tembaga. Data yang diperoleh pada pengujian ini adalah tebal pelat sebelum dan
sesudah dirol, voltase, dan harga kekerasan di masing- masing tahap reduksi
pengerolan. Selain itu juga diperoleh kurva uji tarik yang sudah dilakukan pada pelat
tembaga sebelumnya.
Dari data uji tarik tersebut diperoleh yield strength sebesar 242.7966 MPa.
Nilai ini menjadi batasan dalam menentukan daerah plastis pada kurva uji tarik pelat
tersebut. Dari pengolahan data pada daerah plastis, diperoleh harga K dan n yaitu
sebesar 306.973 MPa dan 0.043. Penentuan nilai K dan n ini diambil dari data
logaritma true stress-strain di daerah plastis selama masih uniform elongation. Nilai
ini berbeda dengan data literature dimana besarnya K dan n adalah 320 MPa dan 0,54
untuk tembaga yang telah mengalami proses annealing. Perbedaan nilai K dan n ini
mungkin disebabkan oleh beberapa hal, seperti ketidaktelitian selama percobaan
maupun kesalahan pada interpretasi data dan perhitungan. Dalam percobaan ini data
uji tarik tidak diambil secara langsung oleh praktikan melainkan data yang sudah
diuji oleh teknisi sehingga praktikan tidak tahu apakah pelat tersebut telah mengalami
perlakuan sebelumnya atau tidak, dengan kata lain praktikan tidak mengetahui sejarah
pelat tersebut. Selain itu, perbedaan hasil K dan n ini juga dapat berasal dari
pengolahan data baik dalam hal pembulatan maupun ketidakpastian data.
Pada percobaan ini juga diperoleh perbandingan kurva daya pengerolan
berdasarkan pengukuran maupun perhitungan terhadap hm. Dari kurva tersebut
terlihat bahwa pola garis pada kurva hampir sama namun besarnya berbeda jauh.
Adanya perbedaan daya pengerolan ini disebabkan oleh beberapa factor, antara lain
perbedaan nilai K dan n, cacat selama pengerolan (roll bending), dan lebar pelat
bertambah. Pada daya perhitungan, data K dan n yang dipakai berasal dari

perhitungan uji tarik yang sebelumnya sudah dibahas ketidaksamaannya dengan


literature sedangkan pada daya pengukuran data K dan n yang dipakai merupakan
data ideal yang berasal dari literature. Selain itu, bentuk pelat hasil rolling
melengkung, artinya pelat tersebut mengalami fenomena cacat roll bending. Pelat
yang mengalami cacat ini tentu akan mempengaruhi besarnya gaya penekanan rol
yang juga secara tidak langsung mempengaruhi daya pengerolan. Lebar pelat hasil
rolling yang bertambah dari 22.83 mm menjadi 24.08 mm turut juga mempengaruhi
perbedaan daya pengerolan ini. Seharusnya hal itu tidak terjadi karena dalam proses
rolling tidak ada perpanjangan kearah lebar.
Harga kekerasan pelat tembaga juga naik seiring peningkatan nilai reduksi.
Adanya kenaikan harga kekerasan ini disebabkan pengujiannya dilakukan dengan
proses cold rolling yang menimbulkan fenomena strain hardening setelah dideformasi
plastis. Strain hardening ini terjadi karena kerapatan dislokasi pada tembaga tersebut
setelah dicold working semakin bertambah. Walaupun hasilnya sesuai dengan teori,
tetapi dalam proses pengambilan data pelat yang digunakan bentuknya tidak
rata/tidak tegak lurus terhadap indentor. Hal ini dapat mempengaruhi ketidakakuratan
harga kekerasannya.
Pelat tembaga sesaat setelah proses pengerolan dilakukan terasa panas. Hal ini
disebabkan oleh proses pengerolan dengan cold rolling memerlukan gaya pengerolan
yang cukup besar untuk mereduksi ketebalan pelat. Gaya pengerolan yang besar ini
juga ditambah gaya gesek antara pelat dan mesin roll yang cukup besar. Agar pelat
dapat dirol, maka gaya pengerolan harus bisa mengatasi gaya gesek yang besar ini
sehingga dibutuhkan gaya pengerolan yang lebih besar lagi. Gaya pengerolan ini akan
memunculkan energy pengerolan yang nantinya akan dikonversi untuk mengatasi
gesekan pelat dengan mesin roll dan menjadi panas.
Setelah proses pengerolan, pelat tembaga mengalami pelebaran kesamping dan
bentuknya bergelombang tidak lurus. Bentuk pelat yang bergelombang ini disebabkan

oleh posisi pelat saat masuk ke mesin roll tidak tegak lurus terhadap mesin roll. Oleh
karena itu sebelum pelat masuk mesin roll seharusnya ujung pelat yang belum masuk
mesin roll ditekan ke papan base untuk memastikan pelat tetap datar dan tegak lurus
mesin roll. Sedangkan pelebaran kesamping pelat hasil rolling disebabkan oleh
pembebanan yang dilakukan melebihi tegangan ultimatenya sehingga menyebabkan
terjadinya aliran material dan pelat mengalami deformasi terlokalisasi.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Daya pengerolan pelat tembaga berdasarkan perhitungan dan pengukuran

dapat dilihat pada kurva daya pengerolan terhadap hm.


2. Harga kekerasan pelat tembaga sebelum dirolling adalah 26 HRA, sedangkan
harga kekerasan pelat tembaga setelah dirol dengan reduksi berturut-turut
sebesar 25%,50%, dan 75% naik secara eksponensial menjadi 34.7 HRA,
39.13 HRA, 41.47 HRA.
5.2 Saran
1. Sebelum pelat tembaga masuk mesin roll, ujung pelat diusahakan ditekan agar
pelat tetap tegak lurus mesin roll
2. Sebelum melakukan proses pengerolan, sebaiknya harus tahu terlebih dahulu
sejarah pembebanan pada pelat yang akan dirolling.

DAFTAR PUSTAKA
1. DeGarmos. Materials and Processes in Manufacturing 10th edition. John Wiley
& Sons, Inc. 2008.
2. Dieter, G.E. Mechanical Metallurgy SI Metric Edition. McGraw Hill Book Co.
1988.
3. Kalpakjian,S & Schmid, S. Manufacturing Engineering and Technology 6 th
edition. Pearson. 2009.
4. Groover,M.P. Fundamental of Modern Manufacturing 4 th edition. John Wiley &
Sons, Inc. 2010.

RANGKUMAN
Ada 2 jenis proses pengerolan pelat, yaitu hot rolling dan cold rolling. Hot
rolling merupakan proses pengerolan logam dimana benda kerja sebelum dirol
dipanaskan sampai diatas temperatur rekristalisasinya. Pemanasan diatas temperatur
rekristalisasinya ini akan memberikan reduksi ketebalan yang besar dan tidak terjadi
fenomena strain hardening. Selain itu, hot rolling dapat menimbulkan toleransi
dimensi yang besar dan permukaan benda kerja menjadi kasar karena adanya oksida
yang menempel di permukaan. Pada hot rolling, butir yang semula berbentuk
equiaksial setelah di rolling bentuknya akan tetap equiaksial karena temperatur
kerjanya masih diatas temperatur rekristalisasi.
Cold rolling merupakan proses pengerolan logam pada temperatur dibawah
temperatur rekristalisasinya. Proses cold rolling ini akan memberikan produk hasil
pengerolan memiliki toleransi dimensi yang sempit dan permukaan benda kerja
menjadi halus. Namun, cold rolling ini dapat menimbulkan fenomena strain
hardening dan jika diberi gaya yang sama dengan hot rolling reduksinya akan lebih
kecil. Pada cold rolling, butir yang semula berbentuk equiaksial setelah di rolling
bentuknya menjadi elongated karena temperatur kerjanya dibawah temperatur
rekristalisasi. Dalam proses cold rolling ini, ada beberapa asumsi yang digunakan
yakni :
1. Permukaan kontak rol dengan logam berbentuk circular. Tidak ada deformasi
elastis roll
2. Koefisian gesek konstan sepanjang titik pada bidang kontak.
3. Tidak adanya lateral spread (penyebaran lateral) sehingga rolling bisa
dianggap plane strain.
4. Bidang vertikal tidak mengalami perubahan
5. Kecepatan rol konstan

6. Deformasi elastis pada logam diasumsikan tidak ada karena perbandingannya


terlalu kecil jika dibandingkan deformasi plastisnya
7. Krieria distorsi energi dari kriteria luluh untuk plane strain : 1 - 3 =

Gaya-gaya yang terjadi pada proses pengerolan dapat dijelaskan berikut ini :
Keterangan:
ho: tebal awal spesimen
hf: tebal akhir spesimen
Pr: gaya radial
F: gaya gesek tangensial
Lp: panjang kontak spesimen dan rol
vo: kecepatan awal spesimen
N: Titik Netral
vf: kecepatan akhirl spesimen
R: jari-jari rol
: sudut kontak
Dalam pengerolan logam, terdapat beberapa parameter yang memengaruhi
proses tersebut, antara lain
1. diameter rol
semakin besar diameter rol, semakin besar pula area kontak dan length of contact
(Lp) sehingga semakin besar pula gaya pengerolannya karena gaya pengerolan
sebanding dengan length of contact
2. tegangan alir material

Tegangan alir material dapat dikorelasikan dengan ketahanan logam terhadap


deformasi plastis. Parameter ini dapat menunjukan seberapa besar logam dapat
direduksi dengan proses rolling
3. gesekan antara rol dengan benda kerja
Koefisien gesek antara rolling dengan benda kerja harus lebih besar dari tan
agar spesimen dapat di rol.
4. ada tidaknya front tension dan back tension pada pelat yag dirol.
Kedua tegangan tersebut dapat mereduksi gaya pada proses pengerolan.

LAMPIRAN
Tugas Setelah Praktikum 1
1. Pada cold rolling ini, deformasi yang diukur adalah deformasi plastis, sedangkan
gaya yang terukur menunjukan gaya pengerolan yang dibutuhkan untuk deformasi
total. Jelaskan mengapa demikian dan dengan kurva terhadap buatlah
hubungan antara f dan i lalu berikan analisa
2. Buatlah kurva antara daya (baik perhitungan maupun pengukuran) terhadap tahap
reduksi. Analisislah hasilnya dan kaitkan dengan pengertian steady state pada
proses cold rolling
3. Gambarkan kurva kekerasan mikro terhadap regangan. Diskusika n hasilnya.
4. Dari perhitungan dan pengukuran terhadap gaya dan daya, apabila terjadi
perbedaan diantara keduanya, tunjukan kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi
dan berikan saran saudara
5. Tunjukan dan jelaskan perbedaan struktur mikro dan sifat mekanik antara plat asal,
plat yang telah mengalami cold rolling dan plat yang telah mengalami proses
annealing.
Jawab :

1. Dalam cold rolling, deformasi elastis tidak perlu diukur karena pengukuran akan
berfokus pada perubahan ketebalan pelat yang merupakan deformasi plastis selain
untuk mencari nilai K dan n.

305.00

Gaya

295.00

yang

pengerolan

diperlukan
juga

pada

mengandung

arti gaya yang diperlukan untuk


mendeformasi elastis dan plastis
benda

sehingga

gaya

285.00

ef

275.00

ei

265.00

yang

terukur merupakan gaya total

255.00
0.00

0.50

1.00

1.50

untuk mendeformasi elastis dan


plastis. Kurva diatas merupakan kurva perbandingan antara terhadap i dan f.
Dari kurva tersebut terlihat semakin besar semakin besar pula . Namun i lebih
pendek daripada f karena i merupakan perbandingan logaritma natural antara
ketebalan awal dan akhir dari satu tahap reduksi sedangkan f merupakan
perbandingan logaritma natural ketebalan awal dan akhir dari mulai proses
reduksi.
2. Kurva

100

disamping

merupakan

80

perbandingan daya pengerolan rata-rata

60

terhadap reduksi. Steady state pada cold


rolling merupakan kondisi yang tidak

perhitungan

40

pengukuran

20

0
0

berubah terhadap waktu.


3. Kurva

disamping

merupakan

50

100

kurva

kekerasan terhadap regangan rata-rata.

45
40
35

30
25

0.2

0.4

0.6

0.8

4. Adanya perbedaan daya pengerolan ini disebabkan oleh beberapa factor, antara
lain perbedaan nilai K dan n, cacat selama pengerolan (roll bending), dan lebar
pelat bertambah. Saran saya pembebanan tidak terlalu besar karena spesimennya
bersifat lunak. Selain itu dipastikan pelat sebelum masuk mesin roll tegak lurus
terhadap mesin roll.
5. Plat asal butirnya cenderung quiaksial, setelah mengalami cold rolling butirnya
menjadi elongated, dan setelah diannealing akan tumbuh butir baru yang
equiaksial.

Tugas Setelah Praktikum 2


1. Jelaskan yang dimaksud dengan recovery, rekristalisasi, dan grain growth
2. Mengapa bisa muncul tan ?
Jawab :
1. Recovery merupakan fase awal dari proses annealing yang memiliki karakteristik
sebagai berikut :
- Logam dipanaskan

sampai temperatur

tertentu

di bawah

temperatur

rekristalisasinya.
- Terjadi peristiwa difusi atau pergerakan atom dalam keadaan padat
- Terjadi penataan ulang atau rekonfigurasi dislokasi
- Terjadi pembebasan lattice strain energy
- Hasil recovery adalah pelunakan logam
Rekristalisasi merupakan fase kedua dari proses annealing yang memiliki
karakteristik sebagai berikut :

- Terjadi

ketika

proses

pemanasan

logam

telah

mencapai

temperatur

rekristalisasinya
- Inti butir baru dengan regangan bebas mulai terbentuk
- Inti dari butir baru tersebut terus tumbuh dan berkembang
- Terbentuk butir Kristal yang berbentuk bulat (equiaxial) dengan densitas
dislokasi yang dihasilkan rendah
- Restorasi sifat mekanik dari logam
- Kekerasan berkurang, tensile strength berkurang, dan keuletan meningkat
Grain growth merupakan fase akhir dari proses annealing yang memiliki tahapan
sebagai berikut :
- Pertumbuhan butir baru akan berlanjut pada temperatur tinggi di atas temperatur
rekristalisasi
- Terjadi migrasi dari batas butir
- Terjadi fenomena grain cannibalism dimana butir Kristal yang besar akan
mengekspansi butir Kristal yang kecil
- Terjadi proses reduksi area batas
butir

2. Dari kesetimbangan gaya,


F cos = Pr sin
Pr cos = Pr sin
= tan

You might also like