You are on page 1of 27

BAB I

LAPORAN KASUS

A.

B.

IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
No. RM
Tanggal masuk RS
Tanggal keluar RS

: Ny. N
: 33 tahun
: Perempuan
: Pisangan Timur 14/04
: Islam
: 2234617
: 16 Februari 2016
: 19 Februari 2016

ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan pemeriksaan fisik pada tanggal 16 Februari 2016 di IGD
RSUP Persahabatan Jakarta.
1. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 12 jam SMRS
2. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
Seorang perempuan usia 33 tahun datang ke IGD RSUP Persahabatan Jakarta dengan
keluhan nyeri pada perut kanan bawah sejak 12 jam SMRS. Nyeri dirasakan awalnya
jam 6 sore disekitar pusar. Nyeri awalnya hilang timbul, nyeri terutama saat berjalan
dan berkurang jika pasien posisi membungkuk. Nyeri dirasakan berpindah ke perut
kanan bawah sekitar pukul 2 pagi dan dirasakan terus menerus dan sangat mengganggu
saat menggerakan badan. Nyeri perut tersebut tidak disertai dengan demam, tetapi
disertai mual namun tidak muntah. Saat BAK tidak ada keluhan tetapi BAB cair 1 kali
1 hari SMRS, pasien masih bisa flatus. Pasien mengaku haid lancar dan jarang
merasakan sakit saat haid. Pasien menyangkal sering terjadi keputihan. HPHT 9
Februari 2016.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien menyangkal keluhan serupa sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki riwayat
operasi sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Tidak ada anggota keluarga yang memilik riwayat penyakit serupa.
5. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien jarang mengkonsumsi sayur-sayuran
atau buah dan sering mengkonsumsi makanan pedas.

C.

RESUME ANAMNESA
Seorang perempuan umur 33 tahun datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan keluhan

nyeri pada perut kanan bawah sejak 4 jam SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan sangat
mengganggu saat menggerakan badan. Nyeri perut tersebut disertai dengan mual namun tidak
muntah, demam disangkal. BAB cair 1 kali 1 hari SMRS. BAK normal. Pasien sebelumnya
merasakan nyeri perut di sekitar pusar 12 jam SMRS. Pasien menyangkal memiliki riwayat
operasi sebelumnya. Pasien jarang mengkonsumsi sayur-sayuran atau buah dan sering
mengkonsumsi makanan pedas. Pasien mengaku haid lancar dan jarang merasakan sakit saat
haid. Pasien menyangkal sering terjadi keputihan. HPHT 9 Februari 2016.
D.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Compos Mentis, GCS : E4V5M6 = 15
2. Vital Sign
TD
: 130/80 mmHg
HR
: 90 x / menit , nadi isi tegangan cukup, reguler, dan kuat angkat
RR
: 20 x /menit
: 36,6 C
T
3. Status Generalis
Kepala : normocephal
Mata : Penglihatan normal, konjungtiva anemis tidak ada, sclera ikterik tidak ada, pupil isokor,
reflek cahaya (+/+)
Hidung

: Simetris, deformitas tulang hidung tidak ada, sekret hidung tidak ada,

perdarahan tidak ada.


Telinga

: deformitas tidak ada, sekret tidak ada, darah tidak ada

Mulut

: warna bibir merah, tidak kering, stomatitis tidak ada, uvula dan tonsila tidak
membesar dan hiperemis.

Leher : Tidak ada kelainan


Pulmo :

Inspeksi :
Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi :
Fokal fremitus simetris antara paru kanan = kiri, nyeri tekan dada tidak ada

Perkusi :
Seluruh lapang paru sonor
2

Auskultasi :
Suara nafas dasar vesikular, tidak ada suara tambahan di semua lapang paru.

Jantung :

Inspeksi

: Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi

: Letak Ictus Cordis pada SIC VI di sebelah media linea Axilaris anterior

sinistra.

Perkusi

: Batas Jantung

Kanan atas

: SIC II Linea Para Sternalis dextra

Kanan bawah : SIC V Linea Para Sternalis dextra

Kiri atas

: SIC II Linea Mid Clavicula sinistra

Kiri bawah

: SIC VI Linea Axilaris anterior sinistra

Auskultasi
S1>S2, irama regular normal, tidak terdapat bising jantung.

Abdomen :

Inspeksi

: Datar

Auskultasi

: Bising usus (+) melemah.

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Terdapat defans lokal abdomen kanan bawah, nyeri tekan epigastrium

tidak ada, nyeri tekan sekitar Mc Burney ada, Rovsing sign ada, tidak terdapat obturator
sign maupun psoas sign, hepar dan lien tidak teraba besar.

Rectal Toucher: TSA baik, ampula tidak kolaps, mukosa licin, tidak teraba massa, nyeri
tekan tidak ada, sarung tangan: terdapat feses, tidak ada darah, tidak ada lendir

Ekstrimitas : Tidak ada kelainan, CRT < 2


E. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah
Hemoglobin
: 13,0 g/dL
Lekosit
: 10.21 u/uL
Basofil
: 1,2 %
Eosinofil
: 5,8 %
Netrofil
: 63,1 %
Limfosit
: 23,1 %
Monosit
: 6,8 %
Hematokrit
: 38 %
Eritrosit
: 5,26 10^6 /uL

(12,0-16,0) g/dL
(5,0-10,0) 10^3 /uL
(0 1) %
(2,00 4,00) %
(50 70) %
(25 40) %
(2 8) %
(35 - 47) %
(3,80 5,20) 10^6 /uL
3

Trombosit
MCV
MCH
MCHC
PT
APTT
GDS
Na+
K+
ClSGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin

: 333 10^3 / uL
: 71,7 fl
: 24,7 pg
: 34,5 g/dL
: 0,82
: 0,95
: 99
: 145,0
: 4,00
: 107,0
: 25
: 28
: 19
: 0,7

2. Urinalisa
Tes Kehamilan

(150 400) 10^3 / uL


(80 100) fl
(26 34) pg
(32 36) g/dL

: Dalam batas normal


: Negatif

3. Radiologi
USG abdomen

Kesan : suspek appendicitis, ginekologi dalam batas normal


4. Rontgen Thorax: cor dan pulmo dalam batas normal
F. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis akut

G.
DIAGNOSIS BANDING
a. Gastroenteritis
b. Salpingitis Akut
c. KET

H. SIKAP
Pro apendektomi cito
Puasa
Surat izin operasi
IVFD RL 20 tetes/menit
Gentamicyn 160 mg
Metronidazole 1500 mg
Ranitidine 3 x 1
Cek lab lengkap
Foto thorax
Toleransi operasi: Obgyn, penyakit dalam, paru, anestesi
I.

LAPORAN OPERASI
o Pasien posisi supine dalam anestesi spinal
o A dan antisepsis lokasi operasi
o Insisi oblique melalui titik Mc Burney, menembus kutis, subkutis, fascia
o Otot dipisahkan secara tumpul
o Ketika peritoneum dibuka, tampak omentum taksis ke kanan bawah
o Omentum disisihkan
o Identifikasi caecum, tampak apendiks letak antecaecal, hiperemis, ukuran 7x1x1 cm,
o
o
o
o
o
o

tidak ada perforasi, tidak ada fecalith


Dilakukan apendektomi
Puntung apendiks dibenamkan ke dalam caecum dengan jahitan kantung tembakau
Kontrol perdarahan
Rongga abdomen dibersihkan dengan kassa lembab
Luka operasi dijahit lapis demi lapis
Operasi selesai

J.

FOLLOW UP
Tanggal

17
Februari
2016

Subjektif

Objektif

Assesment

Planning

Pasien
merasa nyeri
pada
luka
bekas
operasi,
berkurang
jika
dibandingka
n pre op,
flatus ada

KU/Kes : sedang/CM ,
TD : 130/90 mmhg
Respirasi : 20 x/menit
Nadi : 88 x/menit
Suhu 36.8 oC
Status
Generalis:
DBN

appendisitis

IVFD RL 500 cc/8 jam


Ceftriaxone 1x2 gr IV
Metronidazole 3x500 mg IV
ketorolac 3x30 mg IV
ranitidine 2x50 mg IV
diet biasa
mobilisasi duduk
besok pagi aff kateter urine

akut pasca
apendektomi
H+1

18
Februari
2015

19
Februari
2016

nyeri
berkurang

tidak
ada
keluhan,
intake baik

KU/Kes : sedang/CM ,
TD : 140/80 mmhg
N : 84 x/menit
RR : 18 x/menit
T: 36.4 oC
Status
Generalis:
DBN

appendisitis

KU/Kes : sedang/CM ,
TD : 120/80 mmhg
N : 84 x/menit
RR : 18 x/menit
T: 36.5 oC
Status
Generalis:
DBN
abdomen: supel, BU
(+), flatus (+), BAB
(+), luka baik

Appendisitis

akut pasca
apendektomi
H+2

akut pasca
apendektomi
H+3

IVFD RL 500 cc/8 jam


Ceftriaxone 1x2 gr IV
Metronidazole 3x500 mg IV
ketorolac 3x30 mg IV
ranitidine 2x50 mg IV
diet biasa
GV luka tiap 2 hari
rawat jalan
cefixime 3x200 mg
ranitidine 2x50 mg
asam mefenamat 3x500 mg
GV
kontrol poli bedah digestif

K. PROGNOSIS
o Quo ad Vitam
o Quo ad Sanam
o Quo ad Functionam

: Ad bonam
: Ad bonam
: Ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Anatomi dan Fisiologi


Apendiks adalah suatu organ yang terdapat pada sekum yang terletak pada proximal kolon,

yang hingga sekarang belum diketahui fungsinya. Pada neonatus, apendiks vermiformis (umbai
cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex sekum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi sekum,
apendiks berkembang di sebelah kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah valvula ileocaecal.
Selama anak-anak, pertumbuhan biasanya berotasi ke dalam retrocaecal namun masih di dalam
intraperitoneal. Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awan adalah kurang tepat
karena usus buntu sebenarnya adalah sekum.1,2
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm (3-15 cm).
Lumennya sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung. Keadaan ini mungkin menjadi
penyebab rendahnya insiden apendisitis pada usia tersebut.. Kebanyakan terletak intraperitoneal
dan dapat digerakkan. Pada apendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu dipersambungkan
sekum dan bisa berguna sebagai penanda tenpat untuk mendeteksi apendiks. Macam-macam
letak apendiks : retrocaecalis (64%), subcaecal (2%), pelvic (32%), preileal (1%), retroileal
(0,5%). Kebanyakan kasus, apendiks terletak intra abdominal. Posisi ini memungkinkan
apendiks bergerak bebas dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks di
penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum, di belakang kolon asenden, atau di tepi lateral kolon asenden. 1,2,6
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.
Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoapendik merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang
juga memiliki limfonodi kecil. Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan
saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes.

Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. 1

Letak Appendiks

Pangkal apendiks dapat ditentukan dengan cara pengukuran dari SIAS dextra ke umbilicus,
lalu garis dibagi 3. Pangkal apendiks terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik
Mc Burney. Ujung apendiks juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur
dari SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung apendiks terletak pada 1/6 lateral
dexter garis tersebut.1

Letak titik McBurney

Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikular yang merupakan cabang dari bagian bawah
arteri ileocolica. Arteri pada apendiks termasuk end arteri yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju nodus limfe
ileocaecal. Bila arteri ini tersumbat, misal karena adanya trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangren.1
9

Vaskularisasi Apendiks

Gejala klinis apendisitis ditentukan berdasar letak apendiks. Persarafan apendiks meliputi
simpatis dan parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti
a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.
torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.1
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
sepertinya berperan pada patogenesis apendisitis. 1,6
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Walau begitu, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali bila
dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.1,6
B.

Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari apendiks versiformis dan appendisitis akut merupakan

kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis akut merupakan
peradangan pada apendiks yang timbul mendadak dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya
hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris yang dapat menimbulkan
penyumbatan. Dapat terjadi pada semua umur, namun jarang dilaporkan terjadi pada anak
berusia kurang dari 1 tahun. Apendisitis akut memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang secara umum berbahaya. Jika diagnosis terlambat ditegakkan, dapat
10

terjadi ruptur pada apendiks sehingga mengakibatkan terjadinya peritonitis atau terbentuknya
abses di sekitar apendiks. 2,3,6
C.

Etiologi
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruktif pada lumen appendix sehingga terjadi
kongesti vaskuler, iskemik dan akhirnya terjadi infeksi. Obstruksi yang paling sering adalah
fecalith. Penyebab lain yang dapat menyebabkan obstruktif adalah :
a. Hipertrofi jaringan limfoid
b. Sayur-sayuran/ biji buah
c. Parasit -> E. Histolytica
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis akut. 2,3,6

Beberapa bakteri yang diketahui sebagai penyebab appendicitis akut: 4

11

D.

Epidemiologi
Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,

namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Pria lebih banyak daripada wanita, sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun terdapat
1% atau kurang. Anak berumur 2 sampai 3 tahun terdapat 15%. Frekuensi mulai menanjak
setelah usia 5 tahun dan mencapai puncaknya berkisar pada umur 9 hingga 11 tahun. Walaupun
appendisitis dapat terjadi pada setiap umur, namun puncak insiden terjadi pada umur belasan
tahun dan dewasa muda. 4,5

E.

Patofisiologi2,3,6
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia

folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal.
Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus
12

menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun,
elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas
lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan
apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan
iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi apendisitis perforata.
Patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang
membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis
akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan selanjutnya akan mengurai
diri secara lambat.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi membentuk
jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini
menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

F.

Klasifikasi

Adapun klasifikasi appendisitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:3,6


1. Appendicitis Akut
13

a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)


Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi
mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam
ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia,
edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc
Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga
terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami
gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.

2. Mukokel Appendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi cairan musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril,
musin akan tertimbun tanpa infeksi.
14

Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadanga teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi,
akan timbul tanda appendisitis akut.
3. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
4. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi
parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub
mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak
dilatasi.
G.

Manifestasi Klinis
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus

yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat pula keluhan lain seperti
anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya pula terdapat keluhan
konstipasi, tak jarang pula terjadi diare, mual, dan muntah.
Pada permulaan, timbulnya penyakit ini belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan
pemeriksaan yang seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri yang maksimal.

15

Perkusi ringan di kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas
dan spasme biasanya akan muncul. Bila ada tanda Rovsing, psoas, dan obturator positif, akan
semakin menyakinkan diagnosis klinis apendisitis.2,3,6
H.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologi. 2,3,4,5,6
Anamnesis

Nyeri / Sakit perut

Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Terjadi karena peristaltik untuk
mengatasi obstruksi yang terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan
pada seluruh perut. Mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila
telah terjadi inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat
somatik.

Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan
dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap
penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu
dipertanyakan. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika
urinaria.

Obstipasi karena penderita takut mengejan

Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal
yang merangsang daerah rektum.

Demam (infeksi akut)

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0 38,50C tetapi
bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Pemeriksaan Fisik
16

Inspeksi : pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis dari appendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada
perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di
perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut
tanda Blumberg (Blumberg Sign).

Rovsings Sign & Blumbergs Sign

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan
pada appendisitis pelvika.

17

Psoas Sign

Obturator Sign

Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada appendisitis, untuk


menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada appendisitis pelvika.

Alvarado Score: 5

18

Interpretasi :
Score 1-4 : Sangat mungkin bukan appendisitis
Score 5-7 : Sangat mungkin appendisitis
Score 8-10 : Pasti appendisitis

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 20.000/ml
( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum
yang meningkat.

Radiologi : terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan. Pada


pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum.

Rontgen foto polos, tidak spesifik, secara umum tidak cost effective. Kurang dari 5%
pasien akan terlihat adanya gambaran opak fekalith yang nampak di kuadran kanan
bawah abdomen.

USG : pada kasus appendisitis akut akan nampak adanya : adanya struktur yang
aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum. Dinding apendiks nampak jelas, dapat
dibedakan, diameter luar lebih dari 6mm, adanya gambaran target, adanya
appendicolith, adanya timbunan cairan periappendicular, nampak lemak pericecal
echogenic prominent.

19

CT scan : diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding
appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran dinding
appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan inflamasi
periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding, phlegmon, free fluid,
free air bubbles, abscess, dan adenopathy.

I.

Diagnosis Banding
Gastroenteritis akut merupakan kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada

kelainan ini terdapat keluhan muntah dan diare yang lebih sering. Demam dan leukosit
meningkat dengan jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri yang
dirasakan tidak jelas dan dapat berpindah-pindah. Gejala yang khas adalah dijumpainya
hiperperistaltik. Kelainan ini biasanya berlangsung akut dan perlu adanya observasi berkala
untuk menegakkan diagnosis gastroenteritis.
Adenitis mesenterikum juga menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan
apendisitis. Penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak dengan biasanya diawali infeksi
saluran napas. Lokasi nyeri perut di bawah kanan tidak konstan dan menetap, dan jarang terjadi
true muscle guarding.
Salpingitis akut kanan juga dapat didiagnosis banding dengan appendisitis namun pada
salpingitis peningkatan suhu lebih nyata, nyeri perut bawah lebih difus jika dibandingkan dengan
appendisitis, biasanya disertai keputihan dan riwayat infeksi saluran kemih, dan pada vagina
toucher akan didapatkan nyeri hebat jika uterus segmen bawah digoyang.
Kehamilan ektopik terganggu (KET) ditandai dengan adanya riwayat telat haid pada
wanita, nyeri mendadak dan difus didaerah pelvis, syok hipovolemik, dari VT didapatkan cavum
douglas menonjol dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, salpingitis
akut, kehamilan ektopik terganggu, dan kista ovarium terpuntir juga sering dikacaukan dengan
apendisitis.

J.

Penatalaksanaan2,3,4,5,6

20

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendiktomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu
diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.
Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi.
Apabila appendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang
pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita.
Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala
membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut,
yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8
minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau
gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda
radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk
membatalkan tindakan bedah.

21

Open Apendektomi4

22

Apendektomi Laparoskopik4

23

K.

Komplikasi2,3,6

1. Massa periapendikular
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau di
bungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikuler dengan
pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generaliata.
2. Peritonitis
Perorasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung.
Nyeri tekan dan defans muskular terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum
maksimum di regio iliaka kanan; peristaltik usus dapat menurun sampai menghiang akibat
adanya ileus paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisisr di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan sub diafragma.

BAB III
24

ANALISIS KASUS
Pasien seorang perempuan berusia 33 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah yang dirasakan sejak 12 jam SMRS. Dari keluhan utama dapat diambil diagnosis banding
yakni adanya akut abdomen dimana organ yang paling sering terkena akut abdomen yang
berlokasi di perut kanan bawah ialah appendisitis akut, salpingitis akut kanan. Pasien juga
mengeluh adanya BAB cair 1 kali 1 hari SMRS juga mengarahkan kemungkinan keterlibatan
organ intestinal seperti pada gastroenteritis. Namun anamnesa yang lebih mendalam mengenai
awal nyeri dirasakan diperut sekitar umbilicus, tidak ada demam serta penyangkalan mengenai
keluhan disekitar organ genitalia serta riwayat haid yang teratur menguatkan dugaan kearah
appendisitis akut. Kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan defans local abdomen kanan
bawah, nyeri tekan sekitar Mc Burney, Rovsing sign (+), dan Psoas serta obturator sign yang
negative menguatkan dugaan aappendisitis akut antecaecal. Dari pemeriksaan penunjang,
didapatkan adanya leukositosis, urinalisa dalam batas normal, tes kehamilan negative, dan dari
usg abdomen bawah, didapatkan lumen appendiks yang melebar yang dicurigai sebagai
appendisitis sementara organ ginekologik dalam batas normal semakin menguatkan dugaan
appendisitis akut dan melemahkan diagnosis banding lainnya. Sehingga operasi apendiktomi
adalah operasi yang tepat sebagai penatalaksanaan dalam kasus ini.

BAB IV
25

PENUTUP
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks versiformis dan merupakan kegawatdaruratan
bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis akut merupakan peradangan pada
apendiks yang timbul mendadak dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris yang dapat menimbulkan
penyumbatan. Jika diagnosis terlambat ditegakkan, dapat terjadi ruptur pada apendiks sehingga
mengakibatkan terjadinya peritonitis atau terbentuknya abses di sekitar apendiks.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Anamnesis akan didapatkan adanya nyeri abdomen
terutama di kanan bawah sesuai dengan letak anatomis dari apendiks, dapat juga ditambah
dengan adanya gejala gastrointestinal lain seperti mual, muntah, hingga gangguan defekasi. Pada
apendisitis akut juga didapatkan demam. Dari pemeriksaan fisik dapat ditegakkan dengan adanya
tanda Mc Burney, Rovsing, Blumberg, Psoas, dan Obturator sign sesuai dengan letak apendiks
dan dapat ditambah dengan pemeriksaan colok dubur bila didapatkan nyeri antara arah jam 9-12
maka diagnosis apendisitis pelvic dapat ditegakkan. Untuk pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan mulai dari pemeriksaan lab darah akan didapatkan leukositosis pada apendisitis akut,
foto polos abdomen walaupun tidak semua pasien apendisitis akan memperlihatkan kelainan
pada gambaran foto polos, dapat juga dilakukan USG abdomen untuk melihat diameter apendiks
yang meradang, hingga CT scan abdomen.
Jika diagnosis apendisitis sudah dapat ditegakkan maka penatalaksanaannya berupa
operatif pada apendisitis akut, dan dapat dilakukan konservatif pada apendisitis kronis maupun
apendisitis infiltrate. Penatalaksanaan operatif pada apendisitis dapat dilakukan open
appendektomi maupun apendektomi laparoskopik.

BAB V
26

DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Ed.6. Jakarta: EGC, 2006.
2. Sjamsuhidayat, R dan Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. ECG: Jakarta.
3. Mansjoer, Arif., Triyanti, Kuspuji., Savitri, Rakhmi., dll. (2001). Kapita Selekta Kedokteran
(3th ed.). Jakarta: Media Aesculapius.
4. Acosta, J., et al. 2007. Sabiston Textbook of Surgery (ed 18th). Elsevier: U.S.A.
5. Brunicardi, F.C., et al. 2010. Schwartzs Principle of Surgery (ed 9th). The McGraw-Hill
Companies: U.S.A.
6. Staf Pengajar FKUI Bagian Bedah. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta: Binarupa
Aksara, 1995.

27

You might also like