You are on page 1of 52

REFERAT

DENGUE SHOCK SYNDROME DAN


DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION

PEMBIMBING:
dr. Elhamida Gusti Sp. PD

DISUSUN OLEH:
Tarash Burhanuddin
030.10.265

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 7 Maret 2016 14 Mei 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi
klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan ( mild undifferentiated febrile
illness ), demam dengue, demam berdarah dengue ( DBD ), demam berdarah dengue
disertai syok ( dengue shock syndrome = DSS ), dan DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini
memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, DBD, DSS, dan DIC sebagai kasus
yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan diatas
permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan ( silent dengue infection dan demam
dengue ) merupakan dasarnya. 1
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun
1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu
penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama
kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam
jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB
setiap tahun.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya
empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun. Departemen kesehatan telah
mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. pada awalnya strategi
yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian
strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat

penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai
sekarang belum memeperlihatkan hasil yang memuaskan. Titik berat upaya
pemberantasan vektor demam berdarah oleh masyarakat dengan melaksanakan
pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ). 2,3
Pertolongan yang cepat dan tepat sangat membantu penyelamatan hidup pada
kasus kegawatan demam berdarah dengue. Disfungsi sirkulasi atau syok pada DBD,
dengue shock syndrome (DSS), disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular
yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya perfusi organ. Sedangkan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh
deposisi fibrin sistemik dan pada saat yang sama terjadi perdarahan. Keadaan ini
mengakibatkan penggunaan berlebihan faktor pembekuan darah dan trombosit
sehingga menimbulkan defisiensi faktor pembekuan dan trombositopenia serta
fibrinolisis sekunder yang menghasilkan FDP (fibrin/fibrinogen degradation product)
yang bekerja sebagai antikoagulan. Pemberian cairan resusitasi yang tepat dan
adekuat pada fase awal syok merupakan dasar utama pengobatan DSS. (4)
Prognosis kegawatan DBD tergantung pada pengenalan, pengobatan yang
tepat segera dan pemantauan ketat syok. Oleh karena itu peran dokter sangat
membantu untuk menurunkan angka kematian. (2)

BAB II
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER
2.1 Epidemiologi
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di
daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain
Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi
diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit
dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau
hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat. 7 Jumlah
kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan
cenderung terus meningkat8 dan banyak menimbulkan kematian pada anak9 90% di
antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. 10 Di Indonesia, setiap tahunnya selalu
terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. 11 Pada
tahun-tahun beri- kutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara
bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta
kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR
0,89%.12 Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita
DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya
meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni
tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus
meninggal sebanyak 871 penderita.13

Gambar 1. Epeidemiologi demam dengue

2.2 Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4
serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. keempatnya ditemukan di
Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal
di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa

rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi


sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
menunjukkan manifestasi klinik yang berat.5,6
Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutamaAedes aegypti
dan A.albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan
infeksi virus dengue,yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes
tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak
dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali
kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat
ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission). Sekali virus dapat masuk dan
berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan
virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa
tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia,yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari
setelah demam timbul5,6.

Gambar 2. Perjalanan demam dengue

Virus
Virus dengue (DEN) adalah small single-stranded RNA virus yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri atas asam ribonukleast rantai tunggal dengan berat molekul
4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat
serotipe tersebut dapat ditemukan di Indonesia namun yang paling banyak adalah
DEN-3.

Gambar 3. Virus dengue


Vektor
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang
terinfeksi, khususnya Ae. aegypti. Nyamuk ini merupakan spesies tropikal dan
subtropikal yang menyebar luas di dunia. Perindukan nyamuk Aedes terjadi dalam
bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng yang berisi air dan tempat
penampungan air lainnya). Sehingga nyamuk yang belum matur dapat ditemukan
pada tempat-tempat tersebut.

Host
Inkubasi virus dengue terjadi dalam 4-10 hari. Setelah masa inkubasi tersebut
infeksi oleh virus dengue dapat menyebabkan spektrum penyakit yang luas, walaupun
sebagian besar infeksi asimptomatik atau subklinis.
Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
yangmenghisap darah manusia. Selama fase akut virus dapat ditemukan dalamdarah.
Respon imun humoral dan selular berkontribusi dalam melawanvirus ini dengan
membentuk antibodi netralisasi dan mengaktifkan limfositCD4+ dan CD8+.

Gambar 4. Tranmisi demam dengue


2.3 Demam Dengue
Masa tunas berkisar 3-15 hari, umumnya 5-8 hari. Permulaan penyakit
biasanya mendadak. Gejala prodormal meliputi nyeri kepala, nyeri bagian
tubuh,anoreksi, menggigil dan malaise.

Pada umumnya ditemukan sindrom trias, yaitu demam tinggi, nyeri anggota
badan,dan timbul ruam (rash). Ruam biasanya timbul 6-12 jam sebelum suhu naik
pertama kali, yaitu pada hari ke 3 sampai hari ke 5 dan biasanya berlangsung selama
3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam mulamula tampak di dada, tubuh serta abdomen, lalu menyebar ke anggota gerak dan
muka.
Gejala klinis lainyang sering didapat ialah fotofobi, banyak keringat, suara
serak, batuk, epitaksis, dan disuri. Kelainan darah tepi pada penderita dengueialah
leukopeni. Neutrofili relatif dan limfopeni pada masa penyakit menular yang disusul
oleh neutropeni relatif dan limfositosis pada periode memuncaknya penyakit dan
pada masa konvalesen. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan
padapuncak penyakit. Hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam,
sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dan terdapat
trombositopeni. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.

2.4 Demam Berdarah Dengue


DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan
terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah.
Demam timbul secara mendadak disertai gejala klinis yang tidak spesifik
seperti anoreksi, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan nyeri kepala. Demam
sebagai gejala utama terdapat pada semua penderita. Lama demam sebelum dirawat
2-7 hari. Terjadinya kejang dengan hiperpireksi disertai penurunan kesadaran pada
beberapa kasus seringkali mengelabui sehingga ditegakkan diagnosis kemungkinan
ensefalitis.
Manifestasi perdarahan yang paling sering ditemukan pada DBD ialah
perdarahan kulit, uji torniket positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan

darah vena. Petekiae halus yang tersebar merata di anggota gerak, wajah dan aksila
seringkali ditemukan pada masa dini demam. Perdarahan dapat terjadi di detiap organ
tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang dijumpai, sedangkan perdarahan
saluran pencernaan hebat lebih sering lagi dan biasanya timbul setelah syok tidak
dapat diatasi.
Uji torniket sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat dinilai
sebagai uji presumtif karena tes itu positif pada hari pertama demam. Di daerah
endemis DBD, uji torniket merupakan pemeriksaan penunjang presumtif bagi
diagnosis DBD apabila dilakukan pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa
sebab yang jelas. Uji dinyatakan positif bila pada satu inchi persegi didapatkan lebih
dari 20 petekiae.
Pada penderita DBD, uji torniket umumnya memberikan hasil positif.
Pemeriksaan itu dapat memberikan hasil positif atau negatif lemah selama masa syok
berat. Bila pemeriksaan diulangi setelah syok ditanggulangi, pada umunya akan
didaptkan hasil positi, bahkan positif kuat.
Hepatomegali pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan
pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan seringkali
ditemukan tanpa disertai ikterus.
Pada sepertiga penderita DBD setelah demam berlangsung beberapa hari,
keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Hal itu biasanya terjadi pada saat atau
setelah demam menurun,yaitu antara hari ke 3 dan ke 7 sakit. Pada penderita
ditemukan kegagalan peredaran darah yaitu kulit terasa lembab dan dingin, sianosis
disekitar mulut, nadi menjadi lebih cepat dan lemah dan akhirnya terjadi penurunan
tekanan darah.

2.5 Manifestasi Klinik


Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Penyakit ini
memiliki spektrum klinis yang. Setelah masa inkubasi, dilanjutkan dengan 3 fase
yaitu fase demam, kritis dan resolusi/pemulihan.
Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak , malaise,
mual, muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya terdapat
ekstremitas dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak, gelisah,
iritabel, nyeri mid epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi dan tungkai.
Pernafasan cepat dan sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung
halus. Hati mungkin membesar dibawah tepi kosta dan biasanya keras dan agak
nyeri. Kurang dari 10% penderita menderita ekimosis atau perdarahan saluran
cerna yang nyata, biasanya pasca masa syok yang tidak terkoreksi.
1.

Fase demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik
turun tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai
40oC dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang
merah, eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa
pasien pun bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva.
Anoreksia, mual, dan muntah sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan
demam karena infeksi dengua dengan demam non dengue pada fase awal
seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket meningkatkan
kemungkinan demam dengue.

10

2.

Gambar 5. Fase Dengue


Fase kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis , pasien terlihat seakan sehat,
hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke 37 adalah fase kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang dari
24-48 jam.
Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami
kebocoran

plasma

akan membaik

keadaannya,

sedangkan yang

mengalami kebocoran plasma sebaliknya karena kehilangan volume


plasma. Ascites dan efusi pleura bisa terdeteksi tergantung dari keparahan
kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
3.

Fase resolusi

11

bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis, keadaan
umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.
Demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun
tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC
dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah,
eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun
bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia,
mual, dan muntah sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan demam
karena infeksi dengua dengan demam non dengue pada fase awal seperti
ini, tetapi dengan positifnya uji torniket meningkatkan kemungkinan
demam dengue. (17)
Tanda-tanda perdarahan
Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan
tanda perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada hari
pertama tetapi dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain
seperti epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Kadang
terdapat juga hematuria.
Hepatomegali
Umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit. Pembesaran hepar
bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus kosta.
Nyeri sendi
Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang
disebabkan replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang.18 Pada
kira-kira sepertiga kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan
umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah
demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.

12

Gambar 6. Pembagian Dengue


2.8

Derajat Demam Berdarah Menurut WHO (19)


Grade I
Demam dan gejala konstitusional
Uji torniket +
Grade II
Grade 1 + Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan
lainnya)
Grade III
Kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg
Tekanan Sistolik normal
Grade IV
Syok mendalam
Hipotensi, tekanan darah tidak terdeteksi
Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD grade
I dan II dengan Demam dengue

13

Gambar 7. Spectrum of dengue haemorrhagic fever


2.9

Pemeriksaan Penunjang (14,15)


Laboratorium
a. Leukosit
normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil.
Akhir fase demam jumlah leukosit dan neutofil menurun,
sehingga jumlah limfosit relatif meningkat. Peningkatan jumlah
limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB >4%) di daerah
tepi dijumpai pada hari sakit ke 3-7.
b. Trombosit
jumlah trombosit 100.000/ul atau kurang dari 1-2
trombosit/lpb. Pada hari ke 3-7
c. Hematokrit
gambaran hemokonsentrasi. Merupakan indikator yang peka
akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan
peningkatan

secara
hematokrit

berkala.
20%

Hemokonsentrasi
atau

lebih

dengan

mencerminkan

14

peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai


hematokrit dipengaruhi oleh pergantian cairan atau perdarahan.
d. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara
e. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
f. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen,
g.
h.
i.
j.
k.

protrombin seperti faktor V, VII, IX, X


Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
Hipoproteinemia
Hiponatremia
SGOT/SGPT sedikit meningkat
Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen

terdapat pada syok yang berkepanjangan.


Radiologi
Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II didapatkan
efusi pleura, biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral dekubitus
kanan. Ascites dan efusi pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan
USG.
Serologis
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai
dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan
serologis.

Meskipun

begitu,

terdapat

hal-hal

yang

perlu

diperhatikan pada uji HI ini : (a) Uji HI sensitif tetapi tidak


spesifik, artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus apa yang
menginfeksi, (b) antibodi HI bertahan sangat lama dalam tubuh
(sampai > 48 tahun), sehingga sering dipakai dalam studi seroepidemiologi, (c) untuk diagnosis membutuhkan kenaikan titer
konvalesens 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280)
baik pada serum akut atau konvalesens dianggap sebagai positif
infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection).
2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik
rutin, oleh karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan

15

tenaga yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi


CF hanya bertahan beberapa tahun saja (2-3 tahun).
3. Uji Neutralisasi (NT test)
Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus
dengu. Uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plague
reduction Neutralization Test (PRNT) yang berdasarkan adanya
reduksi dari plak yang terjadi. Antibodi neutralisasi dideteksi
hampir bersamaan dengan HI antibodi dan bertahan lama (> 4-8
tahun). Tetapi uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu
yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgG dan IgM Elisa
Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia
yang diikuti oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya
berada dalam waktu yang relatif singkat dan akan disusul dengan
pembentukan igG. Pada kira-kira hari ke 5 terbentuklah antibodi
yang bersifat menetralisasi virus. Imunoserologi berupa IgM
(merupakan penanda infeksi saat ini) dan IgG (merupakan
penanda infeksi masa lalu). IgM akan terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari
setelahnya. Sedangkan IgG terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi
primer dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.

Gambar 8. Gambaran IgG dan IgM pada dengue

16

5. NS1-Ag tes
tes yang dapat mendiagnosis DBD dalam waktu demam 8 hari
pertama yaitu antigen virus dengue yang disebut dengan antigen
NS1.

Keuntungan

mendeteksi

antigen

NS1

yaitu

untuk

mengetahui adanya infeksi dengue pada penderita tersebut pada


fase awal demam, tanpa perlu menunggu terbentuknya antibodi.
Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi adanya
infeksi virus dengue pada fase akut, dimana pada berbagai
penelitian menunjukkan bahwa NS1 lebih unggul sensitivitasnya
dibandingkan kultur virus dan pemeriksaan PCR maupun antibodi
IgM dan IgG antidengue. Spesifisitas antigen NS1 100% sama
tingginya seperti pada gold standard kultur virus maupun PCR.
Antigen NS1 merupakan glikoprotein tersekresi 48 kDa yang
tidak terdapat pada partikel virus yang terinfeksi namun
terakumulasi di dalam supernatan dan membran plasma sel selama
proses infeksi. NS1 merupakan gen esensial di dalam sel yang
terinfeksi dimana fungsinya sebagai ko-faktor untuk replikasi
virus,

yang terdapat bersama di dalam bentuk replikasi RNA

double-stranded (Mackenzie, 1996). Immune recognition dari


permukaan sel NS1 pada sel endotel dihipotesiskan berperan
dalam mekanisme kebocoran plasma yang terjadi selama infeksi
virus dengue yang berat. Sampai saat ini, bagaimana NS1
berhubungan dengan membran plasma, yang tidak berisi motif
sekuens membrane-spanning masih belum jelas.
NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe sel
epitelial dan sel mesensimal, juga menempel secara kurang lekat
terhadap berbagai sel darah tepi. NS1-Ag tes adalah tes untuk

17

deteksi protein non struktur NS-1 Ag yang ada dalam sirkulasi dan
dapat mendeteksi ke empat serotipe. Keunggulannya dapat
mendeteksi virus lebih awal, mulai dari hari ke-1 demam sampai
demam hari ke-9 dan mempunyai sensitivitas DEN-1 : 88,9%,
DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%, DEN-4 : 93,35%.

18

BAB III
DENGUE SHOCK SYNDROME

3.1 Definisi
Dengue shock syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.(5,6)
3.2 Patofisiologi
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. 14,15,16
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous
infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik).14,15,16
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5),
melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

19

darah sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma


intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. 14,15,16

Gambar 9. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang


akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus
dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. 14,15

20

Gambar 10. Patogenesis terjadinya syok pada DBD


Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan

21

FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.


15,16

Gambar 11. Patogenesis Perdarahan pada DBD


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di
sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan
oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi. 15,16

22

Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan
yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
a.

Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa demam


dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.

b.

Gangguan fungsi trombosit

c.

Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombin


memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin
normal. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, IX,
X dan fibrinogen.

d.

Pembekuan

intravaskuler

yang

meluas

(Disseminated

Intravascular

Coagulation DIC). 6
3.3 Dengue Shock Syndrome
Pada penderita DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung beberapa
hari keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar penderita
ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit terasa lembab dan dingin,
sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah, cepat, kecil sampai tidak teraba.
Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun
sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah dan secara cepat
masuk dalam fase kritis syok. Penderita seingkali mengeluh nyeri di daerah perut
sesaat sebelum syok timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan
gastrointestinal dan nyeridi daerah retrostrenal tanpa sebab yang dapat dibuktikkan
memberikkan petunjuk terjadinya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang
terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

23

Syok

Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu

terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh mulai
menurun hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada tahap awal
syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah normal
sistolik juga menyebabkan takikardi dan vasokontriksi perifer dengan
penurunan perfusi pada kulit menyababkan akral menjadi dingin dan
lambatnya cappilary reffill.

Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi


dan tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini
menandakan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan
plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Terdapat tanda kegagalan
sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki,
sianosis disekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan
kecil sampai tidak teraba. Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh
nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
Denyut nadi cepat dan lemah
Pasien yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral
Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat
dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.
Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau
kurang
Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang
insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.

24

Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu
12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai.
Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Nyeri
abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita sindrom syok dengue.
Gejala ini patut diwaspadai oleh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan
gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai
prognosis buruk.
3.4 Diagnosis

(14,15)

Definisi kasus untuk sindrom syok dengue ialah harus memenuhi


kriteria demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Diagnosis
DBD ditetapkan berdasarkan kriteria WHO revisi 1997, yaitu :
1. Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari, biasanya bifasik
2. Minimal terdapat satu manifestasi perdarahan berikut uji torniket positif,
petekiae, purpura, ekimosis, perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas
suntikan atau tempat lain, hematemesis atau melena
3. Trombositopenia ( 100.000/ul)
4. Terdapat minimal satu tanda kebocoran plasma karena peningkatan
permeabilitas kapiler, sebagai berikut :
- Hemotokrit meningkat 20% atau lebih dibandingkan hemtokrit rata-

ratapada usia, jenis kelamin dan populasi yang sama


Hematokit turun hingga 20% atau lebih dari hematokrit awal setelah

pemberian cairan
Terdapat efusi pleura, asites dan hipoproteinemia

Laboratorium

Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)

25

Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari

20%diatas rata-rata, atau ditandai dengan hipoproteinemia)


Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG)
dengan

enzym-linked

immunosorbent

assay

(ELISA),

antibodi

moniklonal, atau tes hemaglutinasi


Kimia darah: ketidakseimbangan elektrolit, asidemia, peningkatan
basa urea nitrogen
Tes fungsi hati: transaminase yang meningkat
Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja
Pemeriksaan penunjang lain:
Radiografi dada: efusi pleura
CT-Scan kepala tanpa kontras: Perdarahan intrakranial, edema serebri

3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibedakan berdasarkan proses yang mendasari yaitu
kebocoran plasma. Pedoman tatalaksana DD dan DBD, SSD berbeda dari segi
resusitasi cairan dan indikasi perawatan di RS. Pada dasarnya pengobatan DBD
bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma. Pasien DD dapat berobat
jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus
DBD dengan komplikasi (SSD) diperlukan perawatan intensif.14,15

Demam Dengue

Pada fase demam pasien dianjurkan :

Tirah baring, selama masih demam.

26

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, dll

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari
setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan sulit membedakan
antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun,
yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal
kegagalan sirkulasi (syok). 14,15

Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue


Tidak ada terapi spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama adalah

terapi suportif yaitu pemeliharaan volume cairan sirkulasi akibat kebocoran plasma.

Protokol 1. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok

Petunjuk dalam memberi pertolongan pertama pada penderita atau tersangka DBD di
Unit Gawat Darurat serta dalam memutuskan indikasi rawat. Tersangka DBD di UGD
dilakukan pemeriksaaan darah lengkap, minimal Hb, Ht dan trombosit. Bila hasil
trombosit normal atau turun sedikit (100.000 150.000) pasien dipulangkan, wajib
kontrol 24 jam berikut atau bila memburuk segera harus kembali ke UGD. Bila hasil
Hb dan Ht normal, trombosit <100.000, pasien dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat,
trombosit normal atau turun, pasien dirawat. 14

27

Gambar 12. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok

Protokol 2. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok, diberi cairan infuse kristaloid dengan rumus volume cairan yang diperlukan per
hari :
1500 + (20 x (BB dalam kg 20)
Monitor Hb, Ht, trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-20% dan
trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan monitor per 12
jam. Bila hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan
pemberian cairan sesuai Protokol 3.14

28

Gambar 13. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan sebanyak


5%. Terapi awal pemberian cairan, infuse kristaloid dengan dosis 6-7ml/kg/jam.
Monitor dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter nilai perbaikan
adalah kadar Ht, frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila didapatkan
tanda perbaikan maka dosis cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila 2 jam
kemudian keadaan tetap dan ada perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila keadaan tetap membaik dalam 24-48 jam kemudian, pemberian cairan infuse
dapat dihentikan. Bila keadaan tidak membaik setelah terapi awal maka dosis cairan
infus naik menjadi 10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan membaik, cairan dikurangi
menjadi 5 ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15 ml/kgBB/jam.Bila tanda
syok (+) masuk ke protokol syok.14

29

Gambar 14. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah epistaksis,
perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena atau hematoskesia), saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak, dan yang tersembunyi, dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok.
Pemeriksaan tanda vital, Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta pemeriksaan

30

trombosis dan hemostasis. Heparin diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen
darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi bila Hb <10 g/dl. Trombosit hanya diberi
pad pasien perdarahan spontan masif dengan kadar trombosit <100.000 dengan atau
tanpa tanda KID. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor pembekuan (PT dan
aPTT memanjang).14

Gambar 15. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok hipovolemia


pada SSD. Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu evaluasi 15-30
menit kemudian. Bila renjatan telah teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil, pemberian cairan
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 120 menit kemudian tetap stabil, dosis
menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil selama 24-48 jam, hentikan infus karena jika

31

reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi terjadi (ditandai dengan Ht yg


turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi hipervolemi, edema paru dan gagal jantung.
14

Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan
darah perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin. Harus
dilakukan pengawasan dini terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48
jam. Karena proses patogenesis penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid
hanya menetap 20% dalam pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis
diusahakan 2 ml/kgBB/jam.14
Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi
20-30 ml/kgBB evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi,
perhatikan nilai Ht. Bila ht meningkat, perembesan plasma masih berlangsung, maka
pilihan cairan koloid. Bila Ht menurun kemungkinan perdarahan dalam (internal
bleeding) maka dapat diberikan transfuse darah segar 10 cc/kgBB (dpt diulang sesuai
kebutuhan). Tanda hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30/o
dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1
atau 3:1.14,15
Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB, evaluasi
setelah 10-30 menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Pilihan
sebaiknya yang tidak menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan
mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam
jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi
maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Pada kasus SSD apabila setelah
pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat
diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. 14,15
Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan, Sasaran tekanan
vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatian dan koreksi

32

ganggguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID dan infeksi sekunder.
Bila tekanan vena sentral sudah sesuai dengan target namun renjatan belum teratasi,
maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor (dopamin, dobutamin, atau
epinephrine). 14,15
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan
apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana
pasien menjadi lebih kompleks.Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma
diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat,
maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak
diperlukan.15
Pemberian

antibiotik

perlu

dipertimbangkan

pada

SSD

mengingat

kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna.
Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di
tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak
mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.15

33

Gambar 16. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

34

Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)(15)

1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
2. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD


Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai

keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl


starch (HES).15
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka
pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena
akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan
selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5
jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan
cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII,

35

terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh
diberikan pada pasien dengan KID.15
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar
2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. 15
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES
450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah
larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10/o HES 200/0,5 menetap dalam
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 812 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang
dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung
trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin
parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.15

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD

seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium
untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang tersedia selama
24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD.
Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang
diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta
mencatat jumlahnya.15

Kriteria Memulangkan Pasien(15)


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
1. Tampak perbaikan secara klinis

36

2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik


3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

37

BAB IV
DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION
4.1

Etiologi
DIC dapat diklasifikasikan atas keadaan akut atau kronis. Pada DIC akut,

proses koagulasi normal lokal tidak dapat mengkompensasi dan kelainan pun menjadi
sistemik dan maladaptive. Sedangkan pada DIC kronik,proses yang terjadi sama
dengan DIC akut namun aktivasi dari sistem koagulasi cenderung ringan,
berkepanjangan dan lebih terkontrol. Biasanya respon kompensasi masih mampu
bekerja dengan baik. Risiko perdarahan cenderung lebih rendah, tetapi di sisi lain
meningkatkan kondisi hiperkoagulasi yang dapat menimbulkan thrombosis vena atau
arteri.
Beberapa kondisi penyakit yang sering menyebabkan DIC adalah :

Infeksi

bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia)

virus (HIV, varicella, CMV, hepatitis, virus dengue)

fungal (histoplasma)

parasit (malaria)

Keganasan

Hematologi (AML)

Metastase(mucin secreting adenocarcinoma)

Trauma kepala berat

Kebakaran

Reaksi transfusi

Gigitan ular

Penyakit hati

: gagal hati akut

Keganasan

: tumor solid, leukemia

: aktivasi tromboplastin jaringan.

38

Obstetri

: intrauterin fetal death, ablasio plasenta

Hematologi

: sindrom mieloproliferatif

Vaskular

: rematoid artritis, penyakit Raynaud

Cardiovascular

: infark miokard

Inflamasi

: ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis

4.2

Patofisiologi DIC

Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya :


1. Consumptive Coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan
darah secara sistemik.Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin
bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar
yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi
aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah,
sehingga menyebabkan thrombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah
pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut,
akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi
sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian
kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat
menyebabkan perdarahan.Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis
sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan
untuk dikenali dan ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup
kompleks.Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan thrombin
dengan perantara faktor pembekuan darah.Kedua, terdapat disfungsi fisiologis
antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat
pembentukan trombin secara terus-menerus.Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni

39

terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis,


akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Sistem-sistem yang tidak
berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik
PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi
peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan
2. Depresi Prokoagulan
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi
faktor-faktor pembekuan darah dapat melipat gandakan pembentukan trombin dan
ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III,
terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi
dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah
substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal.
Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan
mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan
menyebabkan terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Gangguan pada sistem protein C dapat menganggu regulasi aktivitas
koagulasi. Penurunan aktivitas protein C disebabkan oleh gabungan sintesis protein,
penurunan aktivitas trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin dan kurangnya
kadar protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah menjadi protease aktif
oleh thrombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue factor yang merupakan
pencetus DIC dihambat oleh tissue factor-pathway inhibitor (TFPI).
3. Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis
akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh
darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan
menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang
umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C,dan

40

aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus
menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC
akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokarsinoma (mis.
kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan
di mana-mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut
menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun
drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat
menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.

Gambar 17. Patofisiologi DIC Menurut Porth


4.3

Gejala Klinis DIC


DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis

kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ,
dan perdarahan.

41

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:


a. Sirkulasi
Dapat terjadi syok hemoragik
b. Susunan saraf pusat
Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma
Perdarahan Intrakranial
c. Sistem Kardiovaskular
Hipotensi
Takikardi
Kolapsnya pembuluh darah perifer
d. Sistem Respirasi
Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang dapat
menyebabkan kematian.
e. Sistem Gastrointestinal
Hematemesis
Hematochezia
f. Sistem Genitourinaria

Hematuria
Oliguria
Metrorrhagia
Perdarahan uterus

g. Sistem Dermatologi

Petechiae
Jaundice (akibat disfungsi hati atau hemolysis)
Purpura
Bulae hemoragik
Acral sianosis
Nekrosis kulit pada ekstrimitas bawah (purpura fulminans)
Infark lokal / gangrene
Hematom dan mudah terjadinya perdarahan pada tempat luka
Thrombosis

42

Gambar 18, Thrombosis perifer pada penderita DIC


2.4

Diagnosis DIC
Sistem scoring untuk DIC menggunakan skoring yang dikemukakan pada

pertemuan Scientific and Standarization Committee International

Society on

Thrombosis and Homeostasis (2001).


Skor DIC :
1. Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan
DIC ? Jika tidak, penilaian tidak dianjurkan
2. Uji Koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)
3. Skor :
Jumlah Trombosit
: > 100.000/mm3
:50.000 100.000/mm3
:<50.000/mm3
D-dimer
: Tidak meningkat (D-dimer <500)
:Meningkat sedang (D-dimer 500-1000)
:Sangat meningkat (D-dimer > 1000)
Pemanjangan PT
: <3 detik
: 4-6 detik
: >6 detik
Fibrinogen
: <100 mg/dl
: >100 mg/dl

=0
=1
=2
=0
=2
=3
=0
=1
=2
=1
=0

4. Jumlah skor
>5 : Sesuai DIC

: Skor diulang tiap hari

43

<5 : Sugestif DIC

: Skor diulang dalam 1-2 hari

Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil uji laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis DIC dengan cara :
1. Pemeriksaan D-dimer.

D-dimer adalah produk pemecahan fibrin (FDP) yang berasal dari

lisis plasmin dirubah menjadi fibrin dan diaktifkan oleh faktor XIII.
Adanya fragmen ini menunjukkan adanya trombin dan plasmin(fibrinolisis)
Uji Antibodi monoklonal memiliki spesifitas yang paling baik dan paling

terpercaya untuk mendiagnosis DIC.


D-dimer merupakan test yang paling dipercaya untuk menilai kemungkinan
DIC.

2. Kadar Antithrombin III.

Fungsi antithrombin III fungsional menurun pada DIC.


Pemeriksaan substrat sintetis merupakan uji yang terpercaya dan berguna
untuk monitoring diagnosis dan terapi.

3. Fibrinogen dan fibrin degradation product (FDP).

Produk degradasi meningkat sebagai akibat aktivasi fibrinolitik.


Uji ini bukan untuk menegakkan diagnosis DIC, oleh karena kadar ini
meningkat pada 85-100% penderita.

4. Fibrinopeptide A.

Pemeriksaan cara ELISA atau radioimmunoassay digunakan untuk mengukur

fibrinopeptide A (FPA).
FPA merupakan hasil pemecahan dari fibrinogen yang menunjukkan aktivitas

dari trombin.
Pada DIC terdapat peningkatan kadar FPA

5. Jumlah trombosit.

Jumlah trombosit menurun bervariasi. Pada umumnya ditemukan pada


hapusan darah tepi.

44

Berkurangnya fungsi trombosit sering tampak dan tak diperlukan pemeriksaan


lebih lanjut.

6. Fibrinogen.
Uji trombin time digunakan untuk mengukur kadar fibrinogen. Fibrinogen
adalah reaktan fase akut dan biasanya meningkat paling awal sebagai akibat dari
penyakit yang mendasari.
7. Prothrombin time.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan suatu bahan yang berasal dari
jaringan (biasanya dari otak, plasenta dan paru-paru) pada plasma sitrat dan dengan
memberikan kelebihan Ca2+, kemudian diukur waktu terbentuknya bekuan.
Pemanjangan Masa Protrombin berhubungan dengan defisiensi faktor-faktor
koagulasi jalur ekstrinsik seperti faktor VII, faktor X, faktor V, protrombindan
fibrinogen, kombinasi dari faktor-faktor ini, atau oleh karena adanya suatu inhibitor.

Uji prothrombin time (PT) untuk menguji faktor ekstrinsik dan jalur umum

(common pathways).
PT dapat normal, memanjang dan memendek pada DIC.
Secara umum bukan merupakan uji yang dapat dipercaya untuk D1C oleh
karena 50-75% penderita dapat memanjang.

8. Activated partial thromboplastin time (aPTT)


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan aktifator seperti kaolin,
ellegic acid atau celite dan juga fosfolipid standard untuk mengaktifkan faktor kontak
pada plasma sitrat.Lalu ditambahkan ion kalsium dan diukur waktu sampai
terbentuknya bekuan. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi kelainan kadar dan
fungsi faktor faktor koagulasi jalur intrinsik ; prekallikrein, HMWK, faktor XII,
faktor XI, faktor IX, faktor VIII dan aktifitas jalur bersama ; faktor X, faktor
V, protrombin dan fibrinogen, serta adanya inhibitor.

Pemeriksaan aPTT untuk menguji faktor intrinsic dan common pathways.


Nilanya tak dapat diperkirakan pada DIC.

45

Bukan merupakan uji yang dapat dipercaya untuk diagnosis DIC, oleh karena
50-60% penderita dapat memanjang

9. Thrombin time.
Pemeriksaan

ini

dilakukan

dengan

menambahkan

trombin

eksogen

pada plasma sitrat, lalu dilakukan waktu terjadinya bekuan. Defesiensi atau
abnormalitas fibrinogen dan adanya heparin atau fibrinogen degradation product
( FDP) adalah yang paling sering menyebabkan perpanjangan TT.

Digunakan untuk mengukur perubahan fibrinogen menjadi fibrin.


Seharusnya memanjang pada DIC.

10. Uji Protamine

Uji protamine adalah uji parakoagulan untuk mendeteksi fibrin monomer di

plasma.
Seharusnya positif pada penderita DIC

11. Penurunan faktor koagulasi.


Faktor V, VII, VIII, IX, X, XIII, Protein C.
2.5

Penatalaksanaan DIC
Pengelolaan yang benar pada penderita DIC masih kontroversial dan belum

ada keseragaman.Hal ini disebabkan sangat sukar untuk melakukan percobaan


pengobatan klinik maupun penilaian hasil percobaan karena etiologi beragam dan
beratnya DIC juga bervariasi.
Yang utama adalah mengetahui dan melakukan pengelolaan penderita
berdasarkan penyakit yang mendasarinya dan keberhasilan mengatasi penyakit
dasarnya akan menentukan keberhasilan pengobatan. Dalam mengelola penderita
DIC ada 2 prinsip yang harus diperhatikan yaitu :
1. Khusus pengobatan individu : mengatasi keadaan yang khusus dan yang
mengancam jiwa. Pengobatan baru didasarkan etiologi DIC, umur, keadaan
hemodinamik, tempat dan beratnya perdarahan, tempat dan beratnya thrombus dan
gejala klinis yang ada hubungannya.

46

2. Umum :

Mengobati atau menghilangkan proses pencetus. Dengan mengobati faktor


pencetus proses DIC dapat dikurangi atau berhenti. Mengatasi syok dan

mcngembalikan volume dapat menghentikan proses DIC.


Menghentikan proses patologis pembekuan intravascular (proses koagulasi).
Dapat dengan melakukan pemberian antikoagulan seperti heparin, AT III dan

obat seperti hirudin rekombinan dan gabexate.


Terapi komponen atau substitusi. Dapat dilakukan pemberian plasma beku
segar atau kriopresipitat. Bila trombosit turun sampai kurang dari 25.000,

pemberian trombosit konsentrat perlu diberikan.


Menghentikan sisa fibrinolisis. Anti fibrinolisis hanya diberikan bila jelas
trombosis tidak ada dan fibrinolisis yang sangat nyata.Anti fibrinolisis tidak
diberikan bila DIC masih berlangsung dan merupakan kontraindikasi.

47

BAB III
KESIMPULAN
Infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh
dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka kematian
berkisar 24.000. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat fatal.
Kegawat daruratan DBD dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan global.
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Keadaan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi,namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Pengobatan DSS dan DIC bersifat suportif. Resusitasi cairan merupakan
terapi terpenting. Tatalaksana berdasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa
perembesan

plasma

dan perdarahan. Deteksi dini terhadap adanya perembesan

plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok.
Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan
keberhasilan

pengobatan.

Penegakkan

diagnosis

DBD

secara

dini

kunci
dan

pengobatan yang tepat dan cepat akan menurunkan angka kematian DBD.20

48

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumarno S., Herry G., Sri Rezeki H.H. 2002. Buku Ajar Kesehatan Anak
Infeksi dan Penyakit Tropik. Edisi I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman
176-208.
2. Sri Rezeki H.H., Hindra Irawan. 2000. Demam Berdarah Dengue. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. Halaman 16-17, 30-31, 55-62, 73-79, 136-140.
3. Demam

berdarah.

Available

at:

http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm. Cited
on Februay 1, 2016
4. Dengue Buletin. Availbable at: http://w3.whosea.org/linkfiles/dengue-bulletinvolume-25-chg.pdf. Cited on February 1, 2016
5. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.
BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter
Spesialis PenyakitDalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta. 2006
6. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue

di Sarana Pelayanan

Kesehatan.Departemen Kesehatan RI. 2005


7. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue
Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural Resources
Defense Council Issue Paper; 2009.
8. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquitoborne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis
and Po- tential candidates of Future Emerging Dis- eases. Vet Microbiol.
2010;Vol 140:271- 80.

49

9. Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue


dan Dengue Syndrome Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002;Vol
134:46-9.
10. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection.
Postgraduate Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.
11. Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggu- langan Demam Berdarah Dengue Di
Indo- nesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005.
12. Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009
dan Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.
13. Demam Berdarah Biasanya Mulai Meningkat Di Januari. Kementrian
Kesehatan

Indonesia.

Available

at

http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarahbiasanya-mulai-meningkat-di-januari.html. Cited on February 1, 2016


14. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI. 2010. Hal.155-181
15. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 1-43
16. Hardiono D., Sri Rezeki. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004
17. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever, Degue Shock Syndrome In The
Context Of The Integrated Management Of Childhood Illness. 2005. Hal 1-34
18. Dengue
Shock
Syndrome.
didapat
dari
:
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=6628 diunduh pada
1 februari 2016

50

19. Tim Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Draft Panduan Pelayanan Medis
Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: Balai Penerbit RSCM. 2007.
20. Renny N.M, Utama S, Parwati T. Kelainan Hematologi pada Demam
Berdarah Dengue. J Peny Dalam 2009;10(3): 222

51

You might also like