You are on page 1of 96
DIREKTORAT BINA TEKNIK JL Patimura No, 20 Persil Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 7396616 - 75908368 REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR SE. Shy PEDOMAN PENGELOLAAN SEDIMENTAS! WADUK November 2004 REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR DIREKTORAT BINA TEKNIK JI. Pattimura No, 20 Persil Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp, (021) 7396616 - 75908364 KATA PENGANTAR Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk mencakup panduan dan tata cara mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam penanganan sedimentasi waduk, balk pada tahap perencanaan, operasional, maupun pemeliharaan waduk. Pedoman ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi pemilik maupun pengelola bendungan dalam mengatasi permasalahan sedimentasi, sehingga waduk akan mempunyai nilai keberkelanjutan yang tinggi. Pedoman ini memuat bagian-bagian pokok pedoman, antara lain : Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Sedimentasi Waduk, Strategi Pengelolaan Sedimentasi Waduk, Penangkapan Sedimen di Hulu Waduk, Pengalihan Sedimen yang Akan Masuk Ke Waduk, Pelewatan Sedimen Melalui Waduk, Penggelontoran Sedimen Keluar dari Waduk, Pembuangan Sedimen dari Waduk Secara Mekanik, Penanganan Secara Sosial, Upaya Pemantauan (Monitoring) Sedimentasi Waduk. Pedoman ini menjelaskan aturan pokok secara garis besar untuk digunakan bersama dengan pedoman, standar dan manual yang terkait. Penyusunan pedoman ini telah melibatkan para Pakar dan Ahli dari berbagal disiplin dan instansi yang terkait dengan pengelolaan sedimentasi waduk melalui suatu Lokakarya. Saran dan masukan peserta lokakarya telah diakomodasi datam pedoman ini, namun pedoman ini perlu secara berkala dikaji dan diperbaiki. Untuk itu kritik dan saran demi perbaikan dan penyempuraan pedoman ini masih sangat kami harapkan. Semoga pedoman ini dapat mengisi kekurangan yang ada dan bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dalam pengelolaan sedimentasi waduk. ~Jakartay:\ November 2004 Direktur Bina Teknik SDA, DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BABI PENDAHULUAN 44, LATAR BELAKANG 1.2, MAKSUD DAN TUJUAN PEDOMAN 1.2.4, Maksud 1.2.2. Tujvan 1.3. RUANG LINGKUP PEDOMAN 14, PENGERTIAN BAB Il FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP 24 2.2. 224 2.2.2. 2.2.3. 224. 2.2.5. 226 227 2.2.8. 2.2.9. 2.2.10, 2.3. 24. 26. SEDIMENTAS! WADUK UMUM FISIOGRAFI Tipe tanah permukaan dan formesi geologi Penutupan lahan Tataguna lahan Topografilahan Kerapatan jaringan drainasi Morfologi Sungai Karakteristik sedimen Sistem Alur eae Karakteristika Hidrolika Sistem Alur Bentuk Kolam (Kom) Waduk HIDROKLIMATOLOG! aneata AKTIVITAS MANUSIA DI DAERAH TANGKAPAN ...... EROS! LAHAN DAN SEDIMEN YIELD Pedoman Pengetciaan Sedimentasi Waduk Halaman i ii vi vil NNR a OOM MRMEAaYNNN YS OO Halaman 2.5.1. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) 2.5.2. Metode Fourier ...... 2.6.3. Metode Soil Erosion Design Curve 2.6. POLA OPERAS! WADUK BAB Ill STRATEGI PENGELOLAAN SEDIMENTAS! WADUK 34 UMUM .. Bede 3.2, PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN 3.2.1, Kriteria Dasar Intensitas Penanganan Sedimentasi Waduk 3.2.2, Jenis Penanganan dan Tolok Ukur Keberhasilan Penanganan. 3.2.3, Tahapan dan Prioritas Penanganan 3.2.4. Matriks Pengelolaan Sedimentasi Waduk BAB IV PENANGKAPAN SEDIMEN DI HULU WADUK 44. UMUM 4.2. BENDUNG PENANGKAP SEDIMEN 4.3. BENDUNG PENAHAN SEDIMEN (CHECKDAM) 4.4. PEYUMBATAN ALUR (GULLY PLUG) 4.5. SISTEM TERAS (TERASSERING) ..... 4.6. PERBAIKAN SALURAN ALAM! BAB V PENGALIHAN SEDIMEN YANG AKAN MASUK KE WADUK 5.1. UMUM 5.2. BAGIAN-BAGIAN PENGALIHAN SEOIMEN 5.2.1. Bangunan Utama 5.2.2. Bangunan Pintu Pengambilan 5.2.3. Bangunan Terowong Pengambilan 6.2.4. Bangunan Keluaran (Outlet) 5.3. TATA PENGOPERASIAN BANGUNAN PENGALIHAN SEDIMEN 5.3.1. Pengoperasian Pada Musim Hujan 5.3.2. Pengoperasian Pada Musim Kemarau Pedoman Pengelolsan Sedimentasi Waduk " 16 16 20 21 24 a 24 24 a7 29 30 36 37 38 41 at 42 42 42 42 42 42 BAB VI PELEWATAN SEDIMEN MELALU! WADUK 6.1. UMUM 62. OPERAS! WADUK UNTUK TUJUAN PELEWATAN SEDIMEN 6.3. PERSYARATAN HIDRULIK 6.4. TEKNIK PENGOPERASIAN BAB VIl PENGGELONTORAN SEDIMEN KELUAR DARI WADUK 7.4. UMUM 7.2. KRITERIA KEBERHASILAN PENGGELONTORAN. 7.3. IMBANGAN SEDIMEN BAB Vili PENBUANGAN SEDIMEN DARI WADUK SECARA MEKANIK 8.1. UMUM a 8.2, METODE PEMBUANGAN 8.3. EKONOM! DAN LINGKUNGAN BAB IX PENANGANAN SECARA VEGETATIF 9.1. UMUM Sa 9.2, EROS! KAWASAN HULU 9.2.1. Hujan 9.2.2. Kondisi Topografi 9.2.3. Kondisi Geologi 9.2.4. Kondisi Tanah 9.2.5. Daerah Rawan Erosi / Kritis, 9.2.6. Tataguna Lahan 9.3. ZONASE TATA GUNA LAHAN DAN DESKRIPSI PENANGANAN KAWASAN HULU . eee 9.4. PENGELOLAAN TANAH DAN VEGETAS! .. BAB X PENANGANAN SECARA SOSIAL 10.1. UMUM - i 10.2, PENANGANAN SEDIMENTASI WADUK SECARA SOSIAL Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk Halaman 44 45 45 46 48 48 49 54 54 54 58 58 58 59 59 59 59 59 60 6t 1 71 10.2.1. Penyebar Luasan informasi Tentang Peraturan dan Perundang-undangan 10.2.2. Petkuatan Penerapan Peraturan dan Perundang-undangan 10.2.3. Penyelenggaraan Pendidikan / Pelatihan 10.2.4. Peningkatan / Perbaikan Kebiasaan Masyarakat 10.2.5. Pemberian Hadiah / Intensif. 10.2.6. Perkuatan Koordinasi dan Kolaborasi Antara Instansi 10.2.7. Pemantauan dan Evaluasi BAB XI UPAYA PEMANTAUAN SEDIMENTASI WADUK 11.4. UMUM 7 11.2. PERUBAHAN TATAGUNA LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN 11.2.1. Jenis Pemantavan 11.2.2. Frekuensi Pemantauan 11.2.3. Teknik Pemantauan 11.2.4. Evaluasi Hasil Pemantauan ae 11.3. LAJU ANGKUTAN SEDIMEN YANG MASUK KE WADUK . 11.4. PERUBAHAN ELEVASI DASAR WADUK 11.4.1. Jenis Pemantauan 11.4.2. Frekuensi Pemantauan 11.4.3. Teknik Pemantauan 11.4.4. Evaluasi Hasil Pemantauan DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA Pedoman Pengelolsan Sedimentasi Waduk Halaman 72 72 72 73 73 74 74 75 75 5 75 8 76 76 76 768 77 79 73 Tabel 4 Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. DAFTAR TABEL Faktor erosi parameter-parameter dan indikasi erosi tanah Matriks pengelolaan sedimentasi waduk Zona tata guna lahan coer Tipikal penanganan lahan dengan kemiringan < 40% Tipikal penanganan lahan dengan kemiringan > 40% Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk Halaman 18 26 60 et 61 Gambar 4 Gambar 2. Gambar 3, Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6, Gambar 7 Gambar 8. Gambar 9, Gamber 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13 Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21 Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Pesoman Pengelolzan Seat DAFTAR GAMBAR Kurva Faktor Erosi~ Sedimen Yield ‘Skema penanganan sedimentasi waduk Alur penyusunan strategi pengelolaan waduk lama Bagian-bagian bendung penahan .......... Contoh tipikal erosi gully dan gully plug Tipikal bangunan terassiring Bangunan terjunan dari bambu Bangunan terjunan dari kantung pasir... Contoh bangunan pengalinan Bendungan Asahi Tipikal pengoperasian waduk lewat pelewatan sedimen Kurva efisiensi tangkapan sedimen Skema pengerukan sedimentasi waduk .. Kapal keruk . Tipikal kapal keruk Zonasi kemiringan dan penanganan erosi Penanganan erosi pada kemiringan <40% Penanganan erosi pada kemiringan >85% Penanganan erosi pada lahan hutan yang mengalami kerusakan Penanganan erosi pada lahan pertanian Kemiringan <8% Penanganan erosi pada lahan pertanian Kemiringan 15 ~ 25% ... Penanganan erosi pada kawasan weterfront Penanganan erosi pada tebing di tepi jalan Tataguna Lahan Kawasan Hulu Waduk Sempor ‘Skema Evaluasi Titik Grid .. Karakteristika Tampungan Sempor, Jawa Tengah ‘Tampang Memanjang Kontur Dasar Waduk Sempor. Jalur Pengukuran Ekosounding .. . Halaman 19 25 28 36 37 39 39 40 43 47 53 56 56 57 63 64 65 68 67 68 69 70 78 80 82 82 83 BABI PENDAHULUAN 1.4, LATAR BELAKANG Bendungan merupakan salah satu prasarana pengembangan sumberdaya air yang cukup banyak dikembangkan di Indonesia. Pembangunan bendungan sudah dimulai sejak tahun 1914 berupa Bendungan Nglangon di Jawa Tengah. Sampai saat ini di indonesia telah dibangun lebih dari 100 bendungan besar. Sebagai bangunan pengairan bendungan berfungsi menampung air sungai dalam suatu waduk (reservoir). Konsekuensi dari penampungan air sungai tersebut akan ikut iertampung juga sedimen yang terbawa oleh aliran air, baik berupa endapan melayang {suspended load) maupun endapan dasar (bed load). Banyaknya sedimen yang mengendap di waduk merupakan salah satu faktor pembatas terhadap kapasitas tampungan efektif waduk, sehingga jumtah endapan sedimen di waduk biasa digunakan untuk menetapkan masa guna waduk (life time storage). Untuk itu agar perkiraan masa guna waduk menjadi akurat, dan kelestarian serta keamanan waduk dan bendungan dapat terlaksana seperti yang direncanaken, maka diperlukan suatu data, pengetahuan dan analisis yang cukup mendalam tentang sedimentasi waduk, mulai dari analisis untuk memprediksi laju sedimen (sediment yield rate), jumlah sedimen yang tertahan di waduk, maupun teknik ekploitasi waduk untuk mengatasi masalah sedimen, serta masalah sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan sedimentasi waduk. Hasil perkiraan laju sedimentasi (sediment yield rate) beberapa bendungan pada seat desain umumnya menunjukkan hasil yang lebih kecil dibandingkan kenyataan yang ada. Hal tersebut menjadikan prediksi masa guna waduk yang ditetapkan menjadi lebih pendek dibandingkan rencana semula, tentunya akan mengganggu sistim operasi waduk, yang banyak dipengaruhi oleh kapasitas tampungan efektif. Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya perbedaan hasil perkiraan laju sedimentasi, seperti kemungkinan terjadinya perubahan tataguna lahan di daerah tangkapan air (catchment area) atau analisis tidak didukung data yang memadai Mengingat pada saat ini belum tersedia pedoman atau guideline yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan strategi pengelolaan sedimentasi waduk di Indonesia, maka Pemerintah memandang perlu untuk menyiapkan pedoman yang dimaksud, yang selanjutnya disebut "Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk’, 4.2, MAKSUD DAN TUJUAN PEDOMAN 1.2.4, Maksud Maksud dari Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk adalah untuk menyediakan panduan dan tata cara mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam penanganan sedimentasi waduk, baik pada tahap perencanaan, operasional, maupun pemeliharaan waduk. Pedoman Pengelolaan Secimentasi Watuk 1 4.24, Tujuan Tujuan dari Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk adalah untuk memberikan kemudahan bagi pemilik maupun pengelola bendungan dalam mengatasi permasalahan yang ada di bendungan terutama masalah sedimen, sehingga waduk yang dibuat dapat tethindar dari permasalahan sedimentasi yang memberatkan, sera mempunyai nilai keberianjutan yang tinggi 1.3. RUANG LINGKUP PEDOMAN Pedoman ini memuat bagian-bagian pokok pedoman, antara fain 4. Pendahuluan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Sedimentasi Waduk, Strategi Pengelolaan Sedimentasi Waduk, Penangkapan Sedimen di Hulu Waduk, Pengalihan Sedimen yang Akan Masuk ke Waduk, aahon Pelewatan Sedimen Melalui Waduk, Penggelontoran Sedimen Keluar dari Waduk, 8, Pembuangan Sedimen dari Waduk Secara Mekanik, 9. Penanganan Secara Vegetatif 40, Penanganan Secara Sosial, 44, Pemantauan (Monitoring) Sedimentasi Waduk 1.4, PENGERTIAN Beberapa pengertian yang ada dalam pedoman ini adalah: 1, Aliran dispersi adalsh aliran dimana butiran sedimen akan terbawa ke hilir secera angkutan daser biasa 2. Aliran viskos adalah aliran dimana faktor kekentalan berperan banyak. 3. Adhesive adalah perekat, material yang dipakai untuk menjaga agar dua permukaan material dapat saling menempel. 4. Aliren masuk adelah aliran air cata-rata harian yang masuk selama periode tertentu (m*/dt). 5. Arus rapat massa atau density current adalah arus yang terjadi kerena perbedaan rapat massa antara lapisan-lapisan air di dalam waduk. Perbedaan rapat massa terjadi karena perbedaan kandungan suspensi, atau salinitas, atau temperatur. 6. Bendungan adalah setiap penahan air buatan, jenis urugan atau jenis tainnya, yang menampung air, atau dapat menampung air, baik secara alamiah maupun buatan, termasuk pondasi, bukit, tebing tumpuan serta bangunan pelengkap dan peralatannya, yang dalam pengertian ini termasuk juga Pedoman Pengelolaan Sedimentsei Wartuk 2 10. "1 12. 13. 18. 20. 2 22, bendungan limbah galian tetapi tidak termasuk bendung dan tanggul (SNI No. 1731-1989-F), Bendung penahan sedimen adalah bendung yang bermanfaat untuk mengendalikan endapan dan aliran air permukaan dari daerah tangkapan air di bagian hulu dan meningkatkan permukaan air tanah di bagian hitienya, Bendung pengatur sedimen adalah bendung yang berfungsi untuk mengatur jumizh sedimen yang bergerak secara fluvial dan dalam kepekatan yang tinggi, sehingga jumlah sedimen yang meluap ke hilir tidak berlebihan. Bangunan pengendali sedimen adalah bangunan yang berfungsi untuk mengendalikan endapan aliran air yang ada di permukaan tanah yang berasal dari daerah tangkapan air di bagian hulunya, menaikkan permukaan air tanah di sekitarnya, memperbaiki iklim mikro setempat, dan tempat penyediaan air bagi masyarakat Bed Joad adalah angkutan sedimen yang bergerak secara menggelinding, melompat dan menggeser. Cutting in adalah metode untuk mengatur posisi perahu kettka bergerak melintasi waduk, Damping Efficiency atau effisiensi peredaman adaleh nilai_kemampuan pengendalian banjir. Debit banjir rencana adalah debit air yang digunakan untuk menghitung rencana muka air banjir dan menentukan kapasitas alir bangunan pelimpah Debris adalah runtuhan, bahan rombakan. Denudation adalah penggundulan. Disaltation adalah proses penguraian endapan yang terlanjur mengendap di dasar waduk Echosounding atau pemeruman adalah pendugaan kedalaman sungai / laut / waduk dengan menggunakan prinsip perjalanan gelombang suara dalam media air. Efisiensi tangkapan sedimen adalah perbandingan dari jumlah sedimen yang mengendap di waduk dengan jumlah sedimen yang masuk di dalam waduk, Endapan sedimen di dalam waduk adalah volume sedimen yang mengendap di dalam waduk Erodibilitas adalah tingkat kemudahan tererosi suatu tanah, ukuran kuantitatif laju erosi tanah. Erosi adalah peristiwa terkikisnya lapisan permukaan bumi oleh angin atau air. Eutropikasi adalah proses pematangan bahan organik di dalam waduk, yang biasanya disertai dengan meningkatnya unsur hara (nutrient) dan menurunnya oksigen terlarut dalam air. Pedoman Pengeloisan Sedimentasi Waduk 3 23. 24. 25, 26. 27. 28. 29 30, 31 32, 33, 38. 39, 40, Fenomena longsoran tanah adalah interaksi antara formasi-formasi geologi dengan gaya-gaya luar seperti hujan serta gerakan dinamik permukaan tanah, Gully erosion adalah erosi yang menyebabkan terbentuknya alur erosi yang semakin lama semakin besar (lerjadi karena proses erosi lanjutan). Hujan efektif adalah curah hujan total dikurangi kehilangan akibat intersepsi dan infiltrasi, Indeks muka air banjir adalah perbandingan antara kedalaman muka air banjir terhadap kedalaman di bawah muka air banjir (flood pool), dikalikan dengan persentase waktu dimana muka air waduk akan berada di dalam kisaran muka air banjir. Indeks sedimentasi adalah perbandingan antara periode penahanan (retention) dengan kecepatan debit terendah yang melewati waduk. Kalibrasi adalah pembandingan suatu alat ukur terhadap suatu standar ukur atau tethadap hasil uji yang lain. Kapasitas tersedia adalah volume yang dicadangkan untuk penggunaan air pertanian, industri, tenaga listik dan penggunaan domestik dan sebagainya Kapasitas total waduk adalah tampungan waduk antara dasar sungai dengan muka air banjir rencana. Karakteristika tampungan adalah hubungan antara elevasi muka air waduk (m) dengan luas permukaan waduk (m?) dengan volume tampungan waduk (n° Konservasi tanah adalah usaha pengawetan dengan cara pengendalian erosi Longsor adalah peristiwa meluncumya material tebing atau bidang tanah yang Jerengnya sangat miring seperti batuan, tanah, bahan-bahan pengisi tanah, biasanya dalam jumlah yang sangat banyak Laju sedimentasi waduk adalah kecepatan dari pengendapan sedimen di dalam waduk pertahun, Muka Air Banjir Rencana edalah air maksimum dibagian hulu tubuh bendungan pada keadaan debit banjir rencana mengalir melalui pelimpah bendungan. Muka Air Normal adalah muka air tertinggi selama masa tidak banjir (SNI NO. 1731- 1989-F) Muka Air Terendah adalah batas muka air waduk terendah yang depat dimanfaatkan secara efektif. Muka Air Tinggi adalah muka air yang dipakai sebagai dasar untuk perencanaan pengendalian banjir. Pemberian mulsa adalah sisa-sisa tanaman yang dikembalikan lagi ke tanah guna menurunkan laju erosi terutama pada waktu tanah masih terbuka. Riils Erosion adalah akumulasi hasil sheet erosi yang selanjutnya dibawa melalui sistim alur-alur kecil Pedoman Pengolclaan Secimentasi Waduk 4 a4 42, 43. 44, 45, 47, 48 49 50. 51. 52. 53, 54. 56. 56. 87. 58. 59. Saluran Pemisah adalah saluran yang berfungsi menampung air limpasan permukaan dari luar lahan usaha, agar air tidak masuk dan merusak bangunan-bangunan yang dibuat di dalam lahan usaha SDR (Sediment Delivery Ratio) adalah rasio antara jumlah sedimen yang masuk ke waduk dibanding jumlah hasil erosi daerah tangkapan. Sedimen adalah endapan yang terjadi di dasar sungai, saluran, kolam, waduk, dan tepi pantai. Sediment by pass adalah bangunan yang ditujukan untuk memindahken aliran sedimen dari bagian hulu waduk ke bagian hilir bendungan atau suatu sungai ke sungai yang lain. Sheet erosion adalah erosi lempeng atau erosi permukaan yang dapat terjadi karena dipicu oleh fenomena hujan dan pelapukan cuaca. . Serahan sedimen adalah sedimen yang mengalir masuk dan diangkut ke dalem sebuah waduk berasal dari daerah drainase/pengaliran di hulunya (mm/h). Sistim tumpang gilir adalah cara penanaman dimana tanaman sebelum tanaman pertama dipanen. Sistim tumpang sari adalah cara penanaman dua jenis tanaman ditanem pada waktu bersamaan dan salah satu dianggap tanaman utama. Sluicing adalah pengeluaran sedimen dari suatu waduk sebelum sedimen tersebut mengendap ke dasar waduk melalui bangunan keluaran. Strip cropping adalah sistim penanaman yang ditanam dalam barisan diantara tanaman pangan. Suction dredging adalah pengerukan dengan isapan. ‘Surcharge water fevel adalah muka ait yang diperhitungkan untuk menampung debit banjir sementara pada bendungan yang berfungsi sebagai pengendali baniir. Suspensi kolofda adalah suspensi partikel yang sangat kecil dan terpisah akibat interaksi telah ditentukan elektromagnetik pada ukuran molekul. Tampungan efektif adalah tampungan antara muka air terendah dengan muka air normal atau muka air banjir rencana. Tampungan mati adalah bagian tampungan di dalam weduk yang disediakan untuk tnenampung sedimen. Tampungan untuk Pengendalian Banjir adalah tampungan yang dipertukan untuk penampungan sementara debit banjir dalam rangka pengendalian banjir dan pencegahan bencana Terassering adalah teknik pengolahan tanah pada lahan miring yang sesuai untuk tujuan mengurangi laju eros Volume sedimen sungai adalah angkutan sedimen dasar, melayang dan koloid. Waduk adalah wadah yang dapat menampung air karena di bangunnya bendungan Pedoman Pengoloiazn Sesimonias! Wadi 5 BABII FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SEDIMENTAS! WADUK 24. UMUM Sedimentasi yang terjadi pada waduk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi fisiografi dan hidroklimatologi daerah tangkapan, aktivitas dan perilaku pemanfaatan lahan di daerah tangkapan, serta pola operasi waduk. Sedimen yang masuk ke waduk (sediment yield) sangat dipengaruhi oleh faktor fisiografi dan hidroklimatologi daerah tangkapan. Sedangkan jumiah sedimen yang diendapkan di waduk selain bergantung pada jumiah sedimen yang masuk (sediment yield) dan jenis sedimen akan dipengaruhi pula oleh bentuk dan dimensi waduk seria pola operasi waduk, 2.2. FISIOGRAFI Banyaknya sedimen yang masuk ke waduk tergantung pada jumlah sedimen yang Giproduksi oleh daerah tangkapan waduk. Kondisi fisiografi lahan daerah tangkapan yang akan mempengaruhi produksi sedimen, antara lain a. Tipe tanah permukaan dan formasi geologt, b. Penutup lahan, ‘Tataguna lahan, Topografi lahan, Kerapatan jaringan drainasi, me aoe Morfologi sungai, Karakteristika sedimen (ukuran butir dan kandungan mineral), Karakteristika hidraulik sistim alur, Laju erosi lahan, 3. Sistim alur. Dari proses erosi permukaan sedimen yang dihasilkan sebagian akan diangkut melalui sistim alur menuju ke waduk. Sebagian hasil erosi lainnya akan diangkut ketempat yang lebih rendah, tertampung untuk sementara waktu sebelum pada akhimya akan diangkut lagi oleh sistim alur untuk menuju ke terminal akhir proses deposisi. 2.2.4. Tipe Tanah Permukaan dan Formasi Geologi Sifat dapat tererosi suatu tanah_permukaan tergantung pada jenis atau tipe tanah. Tanah yang mempunyai butir lepas lebih mudah tererosi dari pada tanah yang terdiri dari butiran halus dengan kandungan koloid atau lempungan. Selain itu formasi geologi tanah permukaan (antara lain ketebalan lapis tanah permukaan, nilai porositas), juga akan Pedoman Peageloiaan Secimentasi Waduk 6 tmempengaruhi intensitas erosi lahan. Fenomena longsoran tanah permukaan merupakan interaksi antara formasi geologi dengan gaya-gaya luar seperti fenomena hujan serta gerakan dinamik permukaan tanah baik secara alami maupun aktivitas manusia. 2.2.2. Penutup Lahan Penutupan lahan juga akan mempengaruhi interaksi antara curah hujan yang jatuh, di lahan tersebut dengan permukaan tanah, Pada Iahan dengan penutup rapat, misalnya vegetasi dengan struktur daun lebar, akan menghambat gaya erosi butir hujan (splash erosion), sehingga erosi yang terjadi relatif lebih kecil daripada lahan dengan penutup kurang rapat. 2.2.3. Tataguna Lahan Butiran tanah hasil erosi permukaan lahan akan dibawa oleh aliran permukaan atau sheet flow menuju ke sistim alur. Jumlah butiran yang dapat diangkut oleh aliran permukaan akan sangat tergantung kepada intensitas aliran permukaan itu sendiri, yang merupakan fungsi dari jenis permukaan tanah. Pada jenis tanah dengan porositas tinggi, misainya lahan pasir, akan menyebabkan aliran permukaan yang relatif lebih keoil daripada lahan dengan jenis tanah yang kedap (perkerasan aspal, beton, dan lain-lain) Tataguna lahan dengan koefisien aliran permukaan relatif besar akan memberi sumbangan erosi lahan yang lebih besar pula. 2.2.4. Topografi Lahan Hasil erosi permukaan akan diangkut melalui aliran permukaan. Semakin curam kemiringan lahan maka aliran permukaan akan semakin cepat dan semakin banyak sedimen yang akan diangkut. Selain itu pada topografi dengan kemiringan yang curam juga aken mempunyai potensi longsor yang lebih tinggi daripada lahan dengan kemiringan landai. Namun demikian kehadiran cekungan pada suatu lahan akan mengurangi iaju kecepatan pengisian sedimen di waduk. 2.2.8. Kerapatan Jaringan Drainasi Jaringan drainasi merupakan fasilitas alam yang digunakan untuk pengangkutan hasil erosi permukaan. Semakin rapat jaringan drainasi maka semakin cepat pula laju pengisian sedimen pada waduk. Beberapa waduk mempunyai febih dari satu sistim alur. ‘Semakin banyak sistim alur yang masuk ke waduk, maka akan semakin banyak pula jumiah sedimen yang masuk ke waduk. 2.2.6. Morfologi Sistim alur dan sungai merupakan penghubung pengangkutan sedimen dari permukaan lahan menuju ke cekungan permukaan ataupun waduk. Sungai dengan bentuk lurus akan membawa sedimen lebih cepat dari sungai yang memiliki banyak belokan. Sedangkan semakin besar ukuran sungai, umumnya semakin besar sedimen yang akan diangkut oleh sungai tersebut, dan dengan demikian semakin cepat pula laju pengisian sedimen pada waduk. ungai Pedoman Pengelolaen Sedimentasi Waduk 7 2.2.7, Karakteristika Sedimen a. Ukuran butir sedimen Sedimen yang masuk ke waduk dapat berasal dari berbagai jenis angkutan sedimen, baik angkutan dasar (bed /oad), angkutan melayang (suspended load), maupun wash load. Dengan demikian ukuran butir sedimen yang masuk ke waduk juga akan bervariasi. Sedimen dengan ukuran besar serta butiran lepas akan mengendap lebih cepat pada bagian hulu waduk atau di sekitar muara sungai yang masuk ke waduk, sedangkan ukuran yang relatif lebih halus akan diendapkan di bagian waduk yang lebih dalam atau bahkan di daerah di dekat bangunan pengambilan ataypun bangunan keluaran bawah. Sedimen dengan butiran lebih halus aken bergerak secara suspensi ke bagian hilir waduk dan akan mengendap pada lokasi di dekat bendungan. b. __ Kandungan mineral Kandungan mineral sedimen yang masuk ke waduk sangat bervariasi, tergantung pada karakteristika tanah penutup serta aktivitas pemanfaatan lahan di daerah tangkapan. Daerah tangkapan dengan tekstur tanah lempungan akan menyebabkan endapan yang masuk ke waduk berupa sedimen dengan kandungan mineral lempung cukup menoniol. Demikian juga sebaliknya, daerah tangkapan yang banyak didominasi oleh tanah dengan struktur lepas dan non-kohesif akan menyebabkan sedimen waduk kurang mempunyai sifat lempungan. 2.2.8. Sistim Alur Sistim alur sungai yang masuk ke waduk sangat beragam, Waduk dengan bentuk tampungan memanjang mempunyai jumlah alur sungai yang bermuara di waduk relatif lebih sedikit dari pada waduk dengan bentuk tampungan melebar. Sistim alur sungai yang bermuara di waduk akan mempengaruhi laju pengisian sedimen di waduk serta pola endapan yang terjadi. Kontribusi atau sumbangan sedimen dari suatu sungai yang bermuara di waduk akan berbeda antara sungai satu dengan sungai lainnya. Hal ini disebabkan karena masing-masing sungai dapat mempunyai karakteritika hidraulik yang saling berlainan. Sebab yang lain adalah adanya kemungkinan pengelolaan daerah tangkapan yang saling berbeda antara sungai satu dengan lainnya. 2.2.9. Karakteristik hidraulika sistim alur Sistim alur dapat mempunyai sifat aliran superkritk, krtik, ataupun subkritik. Pada sistim alur yang mempunyai sifat aliran superkritik maka jumlah sedimen yang diangkut akan umumnya akan lebih banyak dibanding dengan pada sistim alur dengan sifat pengaliran kritik dan atau subkritik. Namun demikian hal ini juga masih dipengaruhi oleh erodibilitas tampang basah sungai, dimana pada tampang basah yang masif dan solid maka jumlah sedimen yang diangkut tidak akan relatif akan sedikit, walaupun sungai mempunyai sifat aliran superkritik 2.2.10. Bentuk kolam (kom) waduk Bentuk kolam atau kom waduk akan mempengaruhi pole distribusi sedimen yang masuk ke waduk, Pada bentuk kolam memanjang make aliran air di dalam waduk akan sedemikian hingga sedimen yang masuk ke waduk lebih cepat terbawa menujy ke daerah Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Wacuk 8 di sekitar bangunan pengambilan atau bangunan keluaran bawah. Sebaliknya pada waduk yang mempunyai bentuk kolam melebar, sedimen yang masuk ke waduk akan lebih lambat mengisi daeah di sekitar bangunan pengambilan atau bangunan keluaran bawah. Keberadaan cekungan-cekungan pada dasar waduk juga dapat memperlambat laju pendangkalan di sekitar bangunan pengambilan atau bangunan keluaran bawah. 2.3, HIDROKLIMATOLOGI Parameter penting dari kondisi hidroklimatologi yang dipandang berpengaruh dalam proses sedimentasi waduk adalah hujan (umlah dan intensitas), iklim di daerah tangkapan, serta respon kejadian hujan di daerah tangkapan terhadp aliran yang ditimbuikan di sistim alur. Seperti hainya fenomena longsoran, interaksi antara hujan (dengan suatu karakteristikanya), dengan permukaan tanah akan menyebabkan terjadinya erosi permukaan yang berlainan antara suatu kawasan dengan kawasan yang lain. Karakteristike hujan hujan ditunjukkan tidak hanya besarnya hujan dalam sehari, namun juga intensitas hujan (jam-jaman). Karakteristika hujan yang digunakan dalam analisis erosi permukaan diberikan dalam bentuk peta iso-erodent, yaitu peta yang menunjukkan garis kontur yang mempunyai faktor curah hujan yang sama (Wischmeier dan Smith, dalam CT. Yang, 1998). Iklim akan mempengaruhi sifat interaksi antara hujan dengan tanah permukaan, dimana amplitudo temperatur harian yang sangat tinggi akan menyebabkan tanah permukaan lebih terurai sehingga sifat dapat tererosi (erodibiltas) tanah meningkat. Iklim menentukan nilai indeks erosivitas hujan. Yang menentukan dalam hal ini adalah intensitas curah hujan, yaitu banyaknya hujan per-satuan waktu. Makin besar intensitas curah hujan dan makin besar butir-butir hujan maka makin besar kemungkinan erosi permukaan dan intensitas erosi permukaan. 2.4, AKTIVITAS MANUSIA DI DAERAH TANGKAPAN Seiting dengan pertambahan jumlah penduduk, aktifitas dan pemanfaatan lahan di daerah tangkapan waduk akan meningkat, baik secara ekspansi lahan maupun peningkatan intensitas lahan. Dengan adanya aktifitas tersebut akan terjad! perubahan sifat dan krakteristika daerah tangkapan. Beberapa aktifitas manusia yang secara umum memberikan kontribusi tethadap peningkatan laju erosi permukaan antara lain pemanfaatan hasil hutan, pembangunan permukiman, pengolahan tanah, pembangunan infrastruktur (jalan, jaringan air bersih, bangunan utilitas umum, dan lain-lain). Laju erosi yang cukup besar di beberapa waduk pada satu dekade terakhir lebih diwamai oleh adanya pengaiihan fungsi pemantaatan lahan oleh masyarakat yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan lahan yang telah ditetapkan pemerintah. Misainya kawasan yang berfungsi sebagai hutan konservasi atau lindung berubah menjadi areal permukiman atau areal pertanian dengan tanaman berumur pendek atau semusim. Hal ini akan sangat berdampak pada besarya laju erosi, bila penanaman tersebut ditakukan di lereng-lereng gunung/ bukit dan dalam jumiah yang beser. Peningkatan laju erosi juga diakibatken oleh kenaikan nilai kepadatan penduduk yang tidak seimbang sehingga akan berdampak negatif terhadap kemampuan / daya dukung lahen pertanian. Pada kenyataannya kenaikan jumlah penduduk di Indonesia adalah berbanding terbalik dengan areal / lahan yang ada. Akibatnya akan terjadi perluasan lahan yang secara tidak Pedeman Pengeloiaan Sedimentasi Waduk 8 langsung akan mengganggu konservasi tanah. Tingkat dan sumber pendapatan penduduk yang mata pencahariannya dari kegiatan pemanfaatan lahan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap upaya rehabilitasi ataupun konservasi tanah. Kecenderungan penduduk mengupayakan / mengeksploitasi lahan pada saatnya akan melebihi daya dukung lahan, sebagai akibatnya adalah adanya peningkatan laju erosi permukaan. 2.8. EROS! LAHAN DAN SEDIMENT YIELD Erosi lahan didefinisikan sebagai pelepasan atau pemindahan partikel batuan oleh air atau oleh angin, Air merupakan media yang paling penting. Pelapukan batuan akibat cuaca menyiapkan batuan induk menjadi sumber erosi dan hujan bertindak sebagai pengangkut hasil erosi. Efek gabungan dari pelapukan dan erosi disebut sebagai denudation (penggundulan) mekanis. Tingkatan denudation mekanis diukur dengan berat material yang dipindahkan per unit area dan waktu, misalnya tonikm’/tahun atau sebagai ketebalan rata-rata dari lapisan kerak yang dipindahkan terhadap unit waktu, misainya mm/tahun. Ketika diaplikasikan di anak-anak sungai / drainase, denudation mekanis juga diukur berdasarkan sedimen yang dihasilkan oleh tingkatan massa outflow sedimen pada ‘suatu ruas sungai. ‘Asal muatan padat di sungai-sungai terjadi dari pelapukan batuan Induk secara kimiawi, mekanis dan proses biokimia. Dua jenis material berbeda yang dihasilkan dari pelapukan berupa larutan komponen mineral dan kerak. Larutan komponen mineral tampak sebagai zat padat yang terlarut dalam aliran sungai, akan tercuci secara terus- menerus di dalam siklus migrasi sedimen. Proses-proses ini berlangsung secara bergantian antara penarikan, pengangkutan, dan pengendapan, sehingga partikel sedimen mengalami serangkaian tahapan transportasi dan deposit / penumpukan. Proses penumpukan dalam skala geologi umumnya berlangsung dalam hitungan abad. Hasil erosi dan pelapukan selanjutnya akan dibawa ke hilir oleh berbagai media pengangkut, antara lain air, Lahan di sebelah hulu waduk umumnya memberi kontribusi yang signifikan terhadap sedimentasi waduk, baik oleh Karena erosi lahan ataupun oleh karena fongsoran. Erosi lahan akan sangat pesat apabila bukit tersebut diusik atau diolah untuk suatu keperluan, misalnya budidaya tanaman pangan. Semakin tinggi laju erosi lahan maka akan semakin banyak sedimen yang mengisi sistim alur dan selanjutnya semakin cepat sedimen menuju terminal deposisi (cekungan, bagian ruas sungai, dan lain-lain), serta waduk, Erosi di lahan adapat berlangsung melalui tiga jenis erosi, yaitu * Erosi Lempeng (Sheet Erosion), merupakan erosi permukaan yang dapat dipicu oleh fenomena hujen dan pelapukan cuaca, + Erosi Rills, merupakan akumulasi hasil erosi lempeng yang selanjutnya dibawa melalui sistim alur-alur kecil, + Erosi Alur (Gully Erosion), merupakan erosi rills yang membesar. Kajian erosi lahan dan "sediment yield” sangat penting untuk dilakukan sebelum menetapkan kegiatan yang akan ditempuh terkait dengan strategi pengelolaan sedimentasi waduk. Erosi yang terjadi pada sistim lahan tidak semuanya masuk ke datam sistim alur dan bahkan ke waduk, beberapa cekungan permukaan sudah barang tentu akan mempengaruhi tingkat penyampaian hasil erosi tersebut ke sistim alur. Tingkat Pedoman Pengeloizan Sedimentasi Waduk 10 penyampaian hasil erosi tersebut ke sistim alur disebut Sediment Delivery Ratio (SDR). Dengan mengalikan erosi bruto dengan SDR akan diperoleh nilai laju sedimen (sedimen yiold) ditokasi yang ditinjau. Disamping kondisi fisiografi, hidroklimatologi serta aktifitas manusia, faktor yang lain yang mempengaruhi strategi pengelolzan sedimen waduk adalah kecermatan dalam memprediksi laju sedimentasi (sediment yield), karena hasil prediksi laju sedimentasi ini akan digunakan dalam desain konstruksi bendungan, sistim penanganan sedimentasi dan pola operasi waduk. Prediksi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada akan menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap keberadaan bendungan. Kondisi over estimate akan menjadikan konstruksi bendungan dan sistim operasional menjadi mahal, sementara kondisi under estimate akan mengakibatkan masa guna waduk berkurang sehingga nilai kelayakan proyek menjadi tidak tercapai. Permasalahan pokok yang terjadi dalam menganalisis erosi lahan di Indonesia adalah disatu sisi dituntut suatu analisis yang akurat, sementara disisi lain kenyataan yang terjadi di indonesia adalah adanya keterbatasan data, bahkan untuk beberapa daerah bisa dikatakan tidak terdapat data yang dapat menunjang analisis. Sementara metode empiris maupun model matematis yang banyak digunakan untuk analisis sedimentasi memertukan kalibrasi dari data hasil pengukuran sedimentasi Pada saat ini telah dikembangkan beberapa metode empiris yang telah disusun oleh para ahli, diantaranya adalah; Universal Soil Loss Equation (USLE), Fourier Equation, dan Soil Erosion Design Curve. 2.5.1. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) Sedimen adalah hasil akhir dari proses erosi lempeng (sheet erosion) pada permukaan tanah dan erosi alur (gully erosion) yang diangkut oleh air. Erosi lempeng ditambah erosi alur disebut sebagi erosi bruto (gross erosion). Tidak semua hasil erosi akan terangkut sampai di sungai, sebagian diantaranya akan mengendap di saluran drainasi, sungai, dan bantaran.Bagian dari hasil erosi yang terangkut sampai ditempat pengukuran dibilir, disebut hasil sedimen (sediment yield). Laju sedimen rata-rata (sediment yield rate) adalah laju sedimen per satuan luas daerah aliran sungai atau DAS. Salah satu metoda umum digunakan untuk memperkirakan laju sedimen pada daerah aliran sungai (DAS) kecil berdasarkan persamaan empiris yaitu, Wischmeier dan Smith (1965), yang dikenal dengan metode Universal Soil Loss Equation (USLE). Metode USLE pada awalnya didasarkan pada analisis statistik dari 47 lokasi dari 24 negara bagian di Amerika Tengah dan Timur. Pengembangan keberlakuan metode USLE telah dijadikan dalam tata perundangan, yaitu Panduan Perencanaan Bendungan Urugan (Dit. Bina Teknik, DitJen Pengairan, Departemen PU, 1999). Metode ini akan menghasilkan perkiraan kasar besamya erosi bruto. Untuk menetapkan besamya sedimen yang sampai fempat studi, erosi gross harus dikalikan dengan ratio pelepasan sedimen (sedimen delivery ratio). Secara normal metode ini hanya sesual untuk digunakan pada DAS yang juasnya kurang dari 10 Km®, sedangkan untuk DAS yang lebih besar seyogyanya dilakukan dengan pengukuran sedimen sampling. ___ Faktor-faktor yang perlu diperhitungan dalam analisis erosi lahan dengan metode USLE adalah: - Ero fas hujan, Pedoman Pengelciaan Secimentast Weduk " - Erodibitas tanah, = Panjang dan kemiringan lereng, - Konservasi tanah dan pengelolaan tanaman, = Laju erosi potensial, = Laju erosi actual, - _Laju sedimentasi potensial. a. Erosivitas hujan Erosivitas hujan (sheet erosion) sangat tergantung dari sifat hujan yang jatuh dan ketahanan tanah terhadap pukulan butir-butir hujan serta sifat gerakan aliran air di atas, permukaan tanah sebagai limpasan permukaan. Untuk menghitung besamya indeks erosivitas hujan digunakan rumus empiris sebagai berukut : Ely = Exl,yx107 weve (1) EB =14374RM% eittott tt Q) R ly oe 3 FT VTB+1,010R e Dengan Ely = indeks erosivitas hujan (ton cm/Ha.Jam) E ;nergi kinetik curah hujan (ton miHa.Cm) R yah hujan bulanan lo = Intensitas hujan maksimum selama 30 menit b. _Erosibilitas tanah Erodibilitas merupakan ketidak sanggupan tanah untuk menahan pukulan but butir hujan. Tanah yang mudah tererosi pada saat dipukul oleh butir-butir hujan mempunyai erodibilitas yang tinggi. Erodibilitas dapat dipelajari hanya kalau terjadi eros. Erodibilitas dari berbagai macam tanah hanya dapat diukur dan dibandingkan pada saat terjadi hujan, Tanah yang mempunyai erodibilitas tinggi akan tererosi lebih cepat, bila dibandingkan dengan tanah yang mempunyai erodibilitas rendah. Erodibiitas tanah merupakan ukuran kepekaan tanah terhadap erosi, dan hal ini sangat ditentukan oleh sifat tanah itu sendiri, khususnya sifat fisik dan kandungan mineral liainya. Faktor kepekaan tanah juga dipengaruhi oleh struktur dan teksturnya, serta semakin kuat bentuk agregasi tanah dan semakin halus butir tanah, maka tanahnya tidak mudah lepas satu sama lain sehingga menjadi lebih tahan terhadap pukulan air hujan. Erodibilitas tanah dapat dinilai berdasarkan sifat-sifat fisik tanah sebagai berikut 4) Tekstur tanah yang meliputi : = fraksi debu (2-50, m) - fraksi pasir sangat halus (60-100) m) -fraksi pasir (60-100p. m) Pedoman Pengelelaan Sedimentast Waciuk 12 2) Kadar bahan organik yang dinyatakan dalam % 3) Permeabilitas yang dinyatakan sebagi berikut : ~ sangat lambat {<0,12 cmijam) ~lambat (0,125 - 0,5 cmfjam) ~sedang (2,0 - 6,25 cmijam) - agak cepat (6,25 ~ 12,25 cmijam) ~cepat (12,5 cmifjam) 4) Struktur dinyatakan sebagai berikut ~ granular sangat halus : tanah liat berdebu - granular halus tanah liat berpasir - granular sedang lempung berdebu ~ granular kasar lempung berpasir ¢. Panjang dan kemiringan lereng (LS) Dari penelitian yang telah ada, dapat diketahui bahwa proses erodi dapat terjadi pada lahan dengan kemiringan lebih besar dari 2%. Derajat kemiringan lereng sangat penting, Karena kecepatan air dan kemampuan untuk memecah/melepas dan mengangkut partikel-partikel tanah tersebut akan bertambah secara eksponensial dari sudut kemiringan. Secara matematis dapat ditulis, kehilangan tanah = c.S* dengan’ c= konstanta k= konstanta S = kemiringan lereng (%) Pada kondisi tanah yang sudah dibajak tetapi tidak ditanami, eksponen K berkisar antara 1,1 sampai dengan 1,2. Menurut Weischmeier dengan kawan-kawan di Universitas Purdue (Hudson 1976) menyatakan bahwa nilai faktor LS dapat dihitung dengan menggunakan rumus: - Untuk kemiringan lereng lebih kecil 20% LS = L/100 (0,76 + 0,53 + 0,076 $4) ..-soess poe (AY dalam sistim metrik rumus tersebut berbentuk LS = L/100 (1,38 + 0,985 S + 0,198 84) oncnreeenerernsnes ) - Untuk kemiringan lereng lebih besar dari 20% : Le 7s LS=|—— = - ft (ea) ‘ (5) kemiringan lereng (%) Pedoman Pengelclaan Seximentas! Waduk 13 Nitai faktor LS sama dengan 1 jika panjang lereng 22 meter dan kemiringan lereng 9%. Panjang lereng dapat diukur pada peta topografi, tetapi untuk menentukan batas awal dan ujung dari lereng tersebut mengalami kesukaran. Atas dasar pengertian bahwa erosi dapat terjadi dengan adanya run off (overland flow) maka panjang lereng dapat diartikan sebagai panjang lereng overtand flow. d. _ Faktor konservasi tanah dan pengelolaan tanaman Pada suatu daerah tangkapan akan terdapat berbagai kegiatan pemanfaatan lahan yang berbeda antara lahan satu dengan lahan lainnya, dan kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan konservasi ataupun Kegiatan pengelolaan tanaman. Kedua kegiatan tersebut akan mempengaruhi besamyai erosi permukaan dan harus dipertimbangkan sebagai fakior-faktor yang berpengaruh, yaitu: 1) Faktor indeks konservasi tanah (Faktor P) Nilai indek konservasi tanah dapat diperoieéh dengan membagi kehilangan tanah dari lahan yang diberi perlakuan pengawetan, terhadap tanah tanpa pengawetan. 2) Faktor indeks pengelolaan tanaman (Faktor C), merupakan angka perbandingan ‘antara erosi dari lahan yang ditanami sesuatu jenis tanaman dan pengelolaan tertentu dengan lahan serupa dalam kondisi dibajak tetapi tiak ditanami. 3) Faktor indeks pengelolaan tanaman dan konservasi tanah (Faktor CP) Jika faktor Cdan P tidak bisa dicari tersendiri, maka faftor indeks C dan P digabung menjadi Faktor CP. e. _ Pendugaan Laju Erosi Potensial (E-Pot) Erosi potensial adalah erosi maksimum yang mungkin tejadi di suatu tempat dengan keadaan permukaan fanah gundul sempuma, sehingga terjadinya proses eros! hanya disebabkan oleh faktor alam, yaitu iki, khususnya curah hujan, sifat-sifat internal tanah dan keadaan topografi tanah, (tanpa adanya keterlibatan manusia maupun faktor penutup permukaan tanah, seperti tumbuhan dan sebagainya) Dengan demikian, maka erosi potensial dapat dinyatakan sebagai hasil ganda antara faktorfaktor curah hujan, erodibiitas tanah dan topografi (kemiringan dan panjang lereng). Pendugaan erosi potensia! dapat dihitung dengan pendekatan rumus berikut E-pot = RxKxLSxA a” dengan E-pot Erosi potensial (ton/tahun) R Indeks erosivitas hujan K Erodibilitas tanah Ls Faktor panjang dan kemiringan lereng A = Luas daerah aliran sungal (Ha) Pendugaan Laju Erosi Aktual (E-Akt) Erosi aktual terjadi karena adanya campur tangan manusia dalam kegiatannya seharichari, misalnya pengolahan tanah untuk pertanian dan adanya unsure-unsur penutup tanah, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang dibudidayakan oleh Pedeman Pengelolaan Sedimentasi Waduk “ manusia. Penutupan permukaan tanah gundul dengan tanaman, maka akan memperkecil terjadinya erosi, sehingga dapat dikatakanbahwa laju erosi aktual selalu lebih kecil daripada laju erosi potensial. ini berarti bahwa adanya keterlibatan manusia misalnya dengan usaha pertanian, akan selalu memperkecil laju erosi potensia. Dapat dikatakan bahwa erosi aktual adalah hasil ganda antara erosi potensial dengan pola penggunaan lahan tertentu, sehingga dapat dihitung dengan rumus (Weischmeier dan Smith, 1958) berikut: E-Akt =E-pot x CP a (8) dengan: E-Akt = Erosi aktual di DAS (ton/haith) E-pot Erosi potensial (ton/ha/th) cP = Faktor tanaman dan pengawetan tanah g. Pendugaan Laju Sedimentasi Potensial Sedimentasi potensial adalah proses pengangkutan sedimen hasil dari proses erosi potensial untuk diendapkan dl jaringan irigasi dan lahan persawahan atau tempat- tempat tertentu seperti waduk. Tidak semua sedimen yang dihasilkan erosi aktual menjadi sedimen, dan ini tergantung dari ratio antara volume sedimen hasil erosi aktual dengan volume sedimen yang bisa diendapkan di tempat studi / waduk (SDR= Sediment Delivery Ratio). Nilai SDR ini tergantung luas DAS, yang erat pula hubungannya dengan pola penggunaan lahan. Dan dapat dirumuskan dalam suatu hubungan fungsional, sebagai berikut: SUl-0,8683A° 02 spr = +0,08683 A" i 9 2(S+50n) i dengan SDR Ratio pelepasan sedimen, nilainya 0 20mm. Es = 27.12 (P?/Pa)-475.40 ©. Untuk slope > 1% dan Pa > 600 mm Es = 52.49 (P?/ Pa)~ 613.20 a. Untuk slope > 1% dan 200 mm 8 8 Tim, Rasio distribusi 0-3 1 Hujan | 30-50 2 | ( os } 50-70 3 | P | 70-90 4 | i > 90 8 Tanah Tipe tanah [ Lempung (Bx 0.002) 7 dijabarkan dalam | Pasir kasar (1 ~ 0.5) 2 | isfilah Diameter | Pasir sedang (0.5 — 0.25) 3 pee ee Pasir halus (0.25 ~ 0.05) 4 Lumpur (0.05 ~ 0.002) 5 Penggunaan Laban | Tbe Hutan Alam +, | Hutan (woodland) 2 | Padang rumput 3 | Pertanian 4 Tanah terbuka 5 | Frekuensi 1 dalam 100 tahun 1 | Pengolahan top soil ‘dalam 30 tahun | 2 | Grazing | 3 ‘Annual Cultivation 4 Multtipte annual & 5 vegatition Clearance Pedoman Pengelolaan Secimentasi Waduk 8 npemn |sewouipas ueetobved vewops.s IIx jusUpes — 1S019 JOYE AINy| “4 LeqUIED 000'0} ooo! ool 4 TIT TET Tt 7 ( Ap/wt )uqeq 4ro f | OL gap uep 1Ised uedepua euejue ye16 Uep Isexyuapup yedeq ueJos6u07 |senuesuoy (316 )siseg uebunpuey, 2.6. POLA OPERAS! WADUK Pola operasi waduk perlu dirancang sedemikian terkait dengan jumiah ketersediaan air serta prediksi jumlah sedimen yang masuk ke waduk. Tidak semua metode yang ditawarkan dapat langsung diterapkan pada usaha pengelolaan sedimentasi waduk. Fasilitas-fasiltas bangunan yang ada atau yang direncanakan harus disesuaikan dengan ketersediaan air, karakteristika sedimen, frekuensi atau interval waktu pengoperasian, serta nilai ekonomi kegiatan pengoperasian tersebut. Penyusunan strategi pengelolaan waduk perlu didasarkan pada laju sedimentasi yang terjadi pada waduk yang bersangkutan serta jenis butiran sedimen yang masuk waduk berikut distribusinya di dalam waduk. Metode analisis sedimentasi waduk sebagaimana tercantum dalam SNI 03-6737-2002 "Metode Perhitungan Awal Laju Sedimentasi Waduk’, menunjukkan bahwa tidak semua sedimen yang masuk ke waduk diendapkan di dasar waduk, akan tetapi sebagian dari sedimen tersebut (terutama suspended load) akan keluar dari waduk melalui sistim pelepasan air maupun bangunan pelimpah. Selain itu bentuk dan dimensi serta pola operasional waduk akan menentukan pola distribusi endapan sedimen di waduk. Sejumlah sedimen yang masuk ke waduk tidak terdistribusi merata di dasar waduk, dimana butir yang besar akan mengendap relatif, dekat hulu waduk, sebaliknya butir yang lebih halus akan mengendap relatif dekat hil waduk Kegiatan pemantauan sedimentasi waduk yang sudah ada dapat bermanfaat untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan penyusunan pola operasi waduk yang akan dibangun. Sebaliknya pemantauan sedimentasi waduk yang bersangkutan akan bermanfaat untuk meningkatkan strategi pola pengoperasian waduk tersebut Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 2 BAB Ill STRATEGI PENGELOLAAN SEDIMENTASI WADUK 3.1. UMUM Secara umum terdapat dua kelompok kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi laju sedimentasi waduk, yaitu kelompok kegiatan pada daerah tangkapan, serta kelompok kegiatan pada waduknya sendiri. Tingkat kemudahan dan keberhasilan dari kegiatan yang dilakukan sangat tergantung pada tingkat permasalahan sedimentasi dari waduk yang bersangkutan. Namun demikian, pada umumnya penanganan sedimentasi dengan cara evakuasi atau pembuangan sedimen dari dalam waduk dengan cara pengerukan merupakan alternatif terakhir yang sebaiknya dihindari Untuk itu suatu strategi pengelolaan sedimentasi waduk perlu disusun secara cermat, sehingga pilihan jenis kegiatan penanganan akan merupakan pilihan terbaik baik dari segi teknis ataupun non-teknis. Penyusunan strategi pengelolaan sedimentasi waduk perlu didesarkan pada runtutan kajian yang memandu kearah pilihan terbaik atas kegiatan penanganan yang harus dilakukan. 3.2, PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN 3.2.1. Kriteria Dasar intensitas Penanganan Sedimentasi Waduk Yang dimaksud intensitas penanganan mencakup jenis, jumlah, serta periode penanganan. Intensitas penanganan sedimentasi dapat berbeda antara suatu waduk dengan waduk yang lain, tergantung pada kondisi fisik / non-fisik serta cara pengoperasian waduk yang bersangkutan. Kriteria dasar intensitas penanganan disusun berdasarkan hasil kajian erosi daerah tangkapan dan hasil kajian sedimentasi waduk, dengan memperhatikan aspek struktural dan non-struktural yang paling sesuai untuk waduk yang bersangkutan. 3.2.2, Jenis Penanganan Dan Tolok Ukur Keberhasilan Penanganan Penanganan sedimentasi waduk secara umum dapat dibedakan menjadi empat jenis kegiatan atau usaha, yaitu : a). Menekan laju erosi kawasan hulu, b). Meminimalkan beban sedimen yang masuk ke waduk, c). Meminimalkan jumlah sedimen yang mengendap di waduk, 4d). Mengeluarkan endapan sedimen di waduk. a. Penekanan laju erosi kawasan hulu Penekanan laju erosi kawasan hulu merupakan tindakan penting yang harus dilakukan dalam upaya pengurangan masalsh sedimentasi waduk. Tindakan penekanan laju erosi Kawasan hulu dapat dilakukan secara struktural (perlakukan sipil dan vegetasi), ataupun tindakan non-struktural (sosial). Pada umumnya penexanan laju erosi kawasan Padoman Pengelolasn Secimentasi Wecuk ea hulu akan berhasil baik apabila usikan atau sentuhan manusia terhadap lahan kawasan hulu dikurangi atau bahkan bila memungkinkan dihitangkan. Namun hal ini tidak mungkin mengingat pemanfaatan lahan oleh manusia akan selalu meningkat dari waktu ke waktu, sehingga yang terpenting adalah melakukan penataan kegiatan pengusikan lahan tersebut sehingga erosi kawasan hulu dapat terkurangi. Penekanan laju erosi kawasan hulu dengan cara vegetatif dan sosial akan diuraikan secara terpisah pada berturut-turut pada Bab IX dan Bab X. b. Usaha meminimalkan / memperkecil beban sedimen yang masuk ke waduk Fenomena aliran sedimen yang masuk ke waduk sebagai kelanjutan migrasi ‘sedimen hasil erosi permukaan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Sejauh jumiah yang masuk ke dalam waduk tidak dalam jumlah yang berlebinan maka hal tersebut tentunya bukan merupakan keberatan. Dengan demikian persoalannya terletak pada bagaimana usaha yang harus dilakukan dalam upaya memperkecil jumlah sedimen yang masuk ke waduk tersebut. Pengurangan beban sedimen yang masuk ke waduk dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu penangkapan sedimen melalui sistim alur ataupun cekungan, serta pengalihan sedimen yang akan masuk ke waduk tersebut ke daerah lain di luar waduk. Pada cara pertama umumnya ditempuh dengan membangun checkdam dan kantong pasir, sedangkan pada cara yang kedua ditempuh dengan cara membangun sudetan atau sand bypass. Perlu diingat bahwa fungsi bangunan dalam menahan material untuk tidak mengalir menuju ke waduk adalah terbatas. Selain tergantung pada ketersediaan aliran air, juga tergantung pada jenis sedimen yang dapat ditahan ataupun oleh bangunan-bangunan tersebut. Pada umumnya hanya material berukuran relatif besar (ukuran butir pasir dan yang lebih besar) yang dapat ditahan oleh bangunan- bangunan tersebut. Sedangkan butir-butir halus (lebih kecil dari ukuran pasir) akan tetap lolos dan mengalir menuju ke waduk. ¢. Usaha meminimaikan / memperkecil jumlah sedimen yang mengendap di waduk ‘Walaupun jumlah sedimen yang masuk ke waduk cukup besar, permasalahan sedimentasi masih dapat diatasi dengan cara mencegah terjadinya deposisi sedimen yang masuk tersebut ke dasar waduk. Cara ini umumnya disebut pelewatan (sivicing) sejumiah sedimen yang masuk ke waduk tersebut. Beberapa persyaratan umum yang dapat menunjang keberhasilan kegiatan pelewatan sedimen antara lain adalah + Tersedia volume air yang cukup selama waktu pelewatan sedimen, © Bentuk kolam waduk memanjang, * Jenis sedimen yang akan dikeluarkan mempunyai ukuran relatif kecil (fraksi lumpur atau lempung). ‘Suatu contoh teknik pelewatan atas sejumlah sedimen yang masuk ke waduk adalah kajian model fisik pengelolaan bendungan Three Gorges di China (Jiazhu, 2000), dimana keberhasilan program pelewatan sedimen diyakini melalui beberapa penelitian, baik secara model numerik serta model fisik. Di perkirakan bahwa dengan sistim operasi tersebut selama umur waduk 30 tahun diyakini tidak akan terjadi gangguan pada pemanfaatan waduk untuk pelayanan navigasi ataupun pembangkit listrik. Selanjutnya selama umur waduk 100 tahun juga diperkirakan kapasitas waduk masih berada pada rentang 86 ~ 92% dari kondisi awal sesudah dibangun. Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 2 d, Pemindahan (Evacuation) sedimen keluar dari waduk Usaha pengurangan jumlah sedimen yang masuk ke waduk serta pencegahan sedimen yang mengendap di dasar waduk kemungkinan tidak cukup untuk mengatasi permasalahan sedimentasi waduk Apabila dijumpai kondisi yang demikian maka pemindahan sedimen keluar dari waduk merupaken upaya terakhir yang tetap harus dilaksanakan. Dua cata yang sering ditempuh adalah dengan cara penggelontoran (fushing) melalui fasilitas keluaran bawah (bottom outlet), serta pengerukan (dredging). Persyaratan tindakan penggelontoran sedimen adalah hampir sama dengan persyaratan tindakan pelewatan sedimen, antara lain : © Tersedia volume air yang cukup selama waktu penggelontoran sedimen, * Jenis sedimen yang akan dikeluarkan mempunyai ukuran relatif kecil (fraksi lumpur atau lempung), © Hanya sedimen yang berada di dekat daerah pintu pengambilan saja yang dapat digelontor, * Perlu disertai dengan penguraian sedimen yang terlanjur memadat, misalnya dengan metode penyemprotan dengan bubble jet. Sedangkan ha-hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan pengerukan atau dredging adalah * Volume sedimen yang akan dikeruk, © Lokasi pengerukan yang tidak membahayaken stabilitas struktur bendungan, ‘+ Lokasi tempat pembuangan bahan hasil pengerukan, + Masalah jingkungan lainnya (pencemaran jalan akses, dl). Dari keempat kelompok kegiatan tersebut selanjutnya penanganan sedimentasi waduk dapat dilakukan dengan berbagai cara atau alternatif, yang secara garis besar terdapat tujuh cara, yaitu : 4). Penangkapan sedimen di sebelah hulu waduk, 2). Pengalihan sedimen yang menuju ke waduk, 3). Pelewatan sedimen yang melalui waduk, 4). Penggelontoran sedimen di waduk, 5). Pemindahan sedimen dari waduk secara mekanis, 6). Penanganan secera vegetatif, serta 7). Penanganan secara sosial. Ketujuh bentuk penanganan sedimen di atas sesungguhnya merupakan altematif pengelolaan sedimentasi waduk, dalam pemilihan salah satu alternatifnya harus disesuaikan dengan jenis atau sifet dari material yang akan ditinjau. Sebagai contoh, penangkapan sedimen di kawasan hulu hanya dapat terselenggara untuk butiran sedimen relatif kasar. Butiran halus akan akan tetap terlepas dan masuk ke waduk. Sebaliknya pelewatan sedimen yang masuk ke waduk hanya dapat untuk butiran-butiran sedimen Pesoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 2 yang bergerak dalam suspensi, Butit-butir kasar akan mengendap jauh di sebelah hulu waduk. Setiap usaha penanganan, baik di sistim lahan, sistim alur, ataupun di waduknya sendiri, harus mempunyai tolok ukur, dan sedapat mungkin dikuantifikasi. Tolok ukur keberhasilan penanganan sedimentasi waduk ditetapkan berdasar beberapa pendekatan, antara lain a). Menurunnya nilai erosi daerah tangkapan, b). Menurunnya jumlah sedimen yang masuk ke waduk, ). Menurunnya gradien perubahan nitai SOR, 4). Bertahannya kapasitas tampung waduk, €). Meningkatnya peran serta masyarakat dalam usaha konservasi daerah tangkapan, 3.2.3. Tahapan dan Prioritas Penanganan Setelah intensitas penanganan ditetapkan selanjutnya perlu disusun suatu program penanganan melalui tahapan dan prioritas. Penyusunan tahapan dan prioritas perlu ditetapkan bersama-sama dengan sektor lain yang terkait, antara lain sektor pekerjaan umum, sektor kehutanan, serta sektor pertanian. Untuk memudahkan penetapan kebijakan yang terkait dengan penyusunan tahapan dan prioritas penanganan sedimentasi waduk, suatu mekanisme pengambilan keputusan perlu disediakan. Dengan demikian strategi yang disusun merupakan strategi yang disepakati bersama untuk menuju keberlanjutan fungsi waduk, serta sedemikian rupa sehingga pengaruh negatif yang ditimbulkan terhadap jumlah pelepasan air dan kinerja utilitas bangunan pemanfaatan air seminimal mungkin. Penyusunan strategi pengelolaan waduk peru dilakukan baik untuk waduk yang baru di bangun maupun waduk yang sudah dibangun. Penyusunan rencana penanganan sedimentasi waduk pada waduk yang baru harus dilakukan dengan mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan tataguna lahan di daerah tangkapan yang dapat meningkatkan laju erosi lahan yang berlebihan. Hal-hal yang terkait dengan rencana operasional bendungan untuk tujuan penanganan sedimentasi waduk selama usia waduk perlu dirancang sedemikian dengan memperhatikan pola ketersediaan air serta tingkat kemudahan pengoperasian bendungan. Penanganan sedimentasi pada waduk yang sudah dibangun (waduk tama) perlu dirancang sedemikian dengan memperhitungkan semua alternatif yang dapat ditempuh, baik pada taraf pengelolaan daerah tangkapan maupun pengelolasn bendungan, untuk selanjutnya ditetapkan salah satu metode penanganan yang dipandang paling layak secara teknis, ekonomi, maupun fingkungan. Tahapan dan prioritas penanganan sedimentasi waduk untuk waduk lama ataupun baru disajikan dalam bentuk skema seperti disajikan pada Gambar 2. Pedoman Pengelolaan Sedimentas! Waduk 2% Kajian Daerah Tangkapan \ ’ Kajian Laju Sedimentasi ‘Meminimalkan Yang ‘Mengendap di Waduk, Evakuasi Endapan di Waduk Gambar 2. Skema penanganan sedimentasi waduk 3.2.4, Matriks Pengelolaan Sedimentasi Waduk Tergantung pada fase pembangunan waduk, jenis kegiatan pengelolaan sedimentasi waduk yang saling berbeda antara waduk yang berada pada fase perencanaan, fase pembangunan maupun fase operasi dan pemeliharaan. Pada Tabel 2. disajikan matriks pengelolaan sedimentasi waduk menurut fase posisi / keberadaan waduk. Pedomsn Pengelclaan Secimentasi Waduk 6 Tabel 2. Matriks Pengelolaan Sedimentasi Waduk Fest woo No Kepiatan | Perencanaan | Pembangunan | Operasi dan | Pemetinaraan | 1. | Kejian empiis dan semi empitis erost lahan : (kawasan hulu) | 2 | Kajian empiris dan semi empiris angkutan v Y | sedimen sungai | 23 | Koja prediksi ju sedimentasi im : ¥ 4 | Kajian mekanisme pengelotaan sedimen i (melalui sistim operasi waduk) | 5. | Kalian model pengelolaen sedimentasi i; 7 waduk (fisik dan matematis) | 6 _| Pemantauan dan evaluasitaju sedimentasi | v | ° 7 | Pemantavan den evaluasi perubahan | ‘ # a kerakterstka lehan 8 | Kajian area pembuangan lahan pengerukan | i - sedimentasi weduk Keterangan : - Tidak pertu dilakukan V- Perlu dilakukan © Sangat periu dilakukan Pedoman Pengeloiaan Sedimentasi Weduk BAB IV PENANGKAPAN SEDIMEN DI HULU WADUK 44. UMUM Jenis sedimen dari kawasan hulu waduk dapat bervariasi karakteristikanya, tergantung dari sumber atau asal sedimen tersebut. Karakteristika sedimen dicirikan oleh sifat indeks partikel sedimen, antara lain rapat massa, ukuran butir, gradasi butir, dll. Sedimen yang berasal dari sebelah hulu waduk dapat mempunyai kerakteristika yang berbeda satu sama lain, tergantung dari mana asal atau sumber sedimen tersebut. Karakter sedimen yang berasal dari gunung berapi akan sangat berbeda dengan karakter sedimen yang berasal dari pelapukan batuan, longsoran tebing, ataupun erosi permukaan yang lain. Laju migrasi atau pergerakan sedimen dari kawasan hulu ke kawasan hilir dipengaruhi oleh mekanisme migrasi sedimen tersebut, baik di sistim lahan ataupun sistim alur, secara alami ataupun campur tangan manusia. Jumiah sedimen (unstable sediment) yang berasal dari daerah hulu dapat dibedakan seperti berikut 1. sedimen yang berasal dari erosi lereng, 2, sedimen yang berasal dari iongsoran, 3. sedimen yang berasal dari erosi tebing sungai, dan 4. sedimen yang berasal dari dasar sungai. Basin-basin pada lereng gunung yang menjadi sumber utama sedimen, kondisinya sangat berbeda antara satu basin dengan basin lainnya. Kondisi dari endapan sedimen ini sangat tidak stabil, dan akan menjadi sumber sedimen yang sangat besar pada sungai- sungai yang berada di bawahnya. Jumiah sedimen yang berasal dari erosi lereng dapat diperoleh dari hasil interpretasi photo udara (dengan membedakan daerah progressive devastated land dan normal devastated land), dengan persamaan VSE=Alad1+A2ad2 (19) Dengan: VSE = jumlah sedimen dari erosi lereng Al interpretasi dari luas areal progressive devastated land dari peta (m*) A2 = interpretasi dari luas areal normal devastated land dari peta (m*) a _= 1/cos @, dimana @ adalah kemiringan lereng 1, d2 = perkiraan erosi lereng (m); progressive devastated land , d1 = 0.3, m/tahun, sedangkan untuk normal devasteted land , d2 = 0,1 m/tahun, ‘Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan. Salah satu metode yang sering digunakan untuk menghitung jumiah sedimen yang berasal dari longsoran adalah metode Naniwa, Besamya sedimen yang berasal dari longsoran dapat dihitung dengan persamaan : VSF =Ad (20) Pexoman Pengeictaan Sedimentas! Waduk a Dengan VSF jumlah sedimen yang berasal dari longsoran lereng (m*) A = luas areal yang mengalami longsoran lereng d lebal rata-rata longsoran lereng Tebal rata-rata longsoran lereng ditentukan dari hasi! survey lapangan, dan luas areal dari longsoran lereng dihitung dengan persamaan sebagai berikut : A=BbR eae é (21) Dengan: 8 = luas sub basin (m*) >’ te of mountaineous area di sub basin (%) R rate of slope failure Rate of mountainos area didefenisikan sebagai daerah dimana_kemiringan Jerengnya lebih besar dari 20°, yang dianggap sebagai daerah yang paling sering terjadi longsoran (slope failure) dan dinyatakan dalam [%]. Rate of mountainous area dalam sub basin (b) dapat ditentukan dengan menggunakan peta topografi skala 1:25000. Jumlah sedimen yang berasal dari erosi tebing sungai dipengaruhi oleh tinggi tebing sungai (low terrace dan high terrace). seperti diperihatkan pada Gambar 3. high Terrace Potensial erosi J Low Terrace \ Gambar 3. High Terrace dan Low Terrace sebagai sumber sedimen Jumiah sedimen yang berasal dari dasar sungai diperoleh melalui kegiatan survei dan didukung dengan menggunakan photo udara, khususnya untuk tempat-tempat yang sulit dilakukan dengan kegiatan survei lapangan. Khusus untuk kawasan hulu yang mempunyai sumber sedimen berasal dari ‘gunung berapi, migrasi sediment juga dapat terselenggara melalui terjadinya aliran debris. Aliran debris sering pula dikenal sebagai “aliran Ishar’. Selama atau beberapa saat Pedoman Pengeloiaan Sedimentesi Waduk 2 setelah terjadinya letusan gunung berapi, sejumlah material hasil letusan akan mengendap di lereng-lereng pegunungan. Pada waktu hujan, materal hasil letusan yang masih belum memadat ini berubah menjadi massa sedimen dengan konsentrasi tinggi (high density masses) dan akan mengalir ke bawah dengan kecepatan yang sangat tinggi, membentuk aliran debris volkanik pada sungai-sungai bagian atas dan tengah. Material inilah yang selanjutnya akan menjadi sumber sedimen pada sungal-sungai yang dilaluinya. Aliran lahar (debris flow) merupakan aliran campuran dari air, batuan, pasir dan lumpur. Aliran debris bergerak seperti bubur sedimen dengan konsentrasi tinggi, dimana prosentase partikel solid (batu, pasir dan lumpur) dapat mencapai 60 - 70 % (volume). Kecepatan gerakan aliran lahar dapat berkisar antara 10 — 25 km/jam. Dengan massa partikel solid yang sangat besar dan kecepatan aliran yang sangat tinggi, aliran debris dapat menimbulkan bencana yang sangat besar pada daerah (sungal) yang dilaluinya Namun, di sisi lain, aliran debris juga dapat memberikan manfaat yang besar bagi manusia, terutama yang terkait dengan pemanfaatan bahan Galian C (pasir, kerikil dan batuan). Sampai pada saat ini pengendalian sedimentasi waduk dengan cara menangkap sejumiah sedimen di hulu waduk masih dinilai paling layak untuk dilakukan, dibanding dua cara yang lain (mengurangi sedimen yang mengendap di waduk ataupun mengeluarkan sedimen yang terlanjur mengendap di waduk). Cara penangkapan sedimen di hulu waduk dilakukan dengan membangun bangunan sistim alur (antara lain bendung penangkap sedimen, bendung penahan sedimen, serta penyumbatan alur atau gully plug). Jenis-jenis bangunan bangunan penangkapan sedimen di sebelah hulu waduk perlu disesuaikan dengan karakteristika sedimen yang akan ditangkap. Khusus untuk sedimen yang berasal dari gunung berapi, dianjurkan untuk melakukan pengendalian sedimen dengan menggunaken rekayasa atau teknologi sabo. 4.2, BANGUNAN PENANGKAP SEDIMEN “Bendungan lumpur’ telah dibangun secara besar-besaran di Afrika Selatan. Bendungan tersebut dibangun khusus untuk menangkap sedimen yang dalam karena terkikis erosi. Sewaktu delta terbentuk dan meluas ke alur sungai di hulu cekungan, volume sedimen yang terakumulasi sering dua sampai tiga kali kapasitas awal “initial level poo? dari cekungan. Meskipun bendungan ini efektif untuk menangkap sedimen, tetapi dinilai tidak ekonomis ditinjau dari volume tampungan untuk mengendapkan sedimen waduk yang terletak di hilinya. Secara umum, makin besar waduk, makin kecil biaya yang diperlukan per satuan volume tampungan. Pembangunan bendungan lumpur kurang menguntungkan jika dibangun di daerah kering karena mencegah sejumiah besar air larian mencepai waduk penampung. Bendungan ini sangat, efektif untuk mencegah berkembangnya erosi alur dan membangun kembali dasar lembah, serta menaikkan muka air tanah. Jika puncak pelimpahnya terlalu tinggi, maka delta akan terbentuk di atas dasar lembah lama. Kemudian sepasang alur baru terbentuk dengan mudah di kedua sisi delta tersebut. Alur-alur tersebut dapat menembus sisi tubuh bendungan lumpur. Untuk mencegahnya, dianjurkan agar puncak pe limpah dibuat cukup rendah sehingga banjir yang terjadi rata-rata sekali dalam 20 tahun dapat melimpasi tebing. Vegetasi (misalnya Praghmites australis dan berbagai jenis rerumputan) sangat efektif untuk merangsang pembentukan delta. Pohon-pohon tertentu yang banyak tumbuh_ di delta dan sebagainya cenderung kurang efektif dalam menangkap sedimen karena menghambat pertumbuhan rumput di bawahnya. Lokasi yang dipandang paling ideal untuk penempatan bendung penangkap sedimen adalah lokasi yang mempunyai volume Pedoman Pengaiclaan Sedimertasi Weduk 2a tampungan cukup besar. Pembangunan bangunan penangkap sedimen perlu disertai dengan rencana pengoperasian atau pemanfaatan sedimen, di mana pada saat-saat tertentu dapat diselenggarakan penarikan sedimen keluar dari bangunan penangkap sedimen. Salah satu bangunan penangkap sedimen yang termasuk dalam rekayasa bangunan sabo adalah kantong pasir (sand pocket). Lokasi bangunan kantung pasir harus berada pada lahan yang mempunyai kapasitas tampung cukup besar dengan jalan akses menuju ke lokasi tampungan cukup baik. Tampungan dengan bentuk melebar umumnya lebih menguntungkan karena jalan akses akan relatif lebih landai dan lebih Pendek, sehingga pengosongan tampungan akan lebih mudah_ terselenggara. Pengosongan tampungan bangunan penangkap sedimen perlu direncanakan secermat mungkin dengan memperhatikan intensitas pasokan/suplai sedimen dari sebelah hulu, serta harus dikendalikan agar tidak menimbulkan dampak negatif berupa erosi alur ataupun kerusakan lingkungan lainnya, 4.3. BANGUNAN PENAHAN SEDIMEN (CHECKDAM) Bangunan penahan sedimen, sesuai namanya, dimaksudkan untuk menahan sedimen agar tidak terlalu cepat untuk memasuki waduk. Seringkali bendung penahan sedimen ini cepat terisi, misalnya sekali pada saat satu musim hujan. Bendung penahan sedimen yang telah terisi penuh masih dinilai berfungsi untuk mengendalikan sedimen yang akan memasuki waduk. Hal ini mempunyai pengertian bahwa dengan penuhnya sedimen di sebelah hulu bendung maka akan terbentuk dasar sungai yang baru dengan kemiringan yang lebih landai dari kemiringan dasar sungai semula. Hal ini akan menyebabkan rasio pelepasan sedimen sungai menurun, dan dengan demikian akan mengurangi laju sedimen menuju ke waduk. Pembangunan bendung penahan sedimen Perlu dirancang sedemikian sehingga masalah erosi di sebelah hilir bendung penahan sedimen tidak menimbulkan banyak masalah. Bangunan penahan sedimen dapat ditujukan untuk mengurangi pasokan sedimen yang ditranspor melalui sungai. Altematif Pemasangan bangunan penahan sedimen ditempatkan pada sungai utama yang memasok air pada waduk, dengan mempertimbangkan beberapa kriteria pemilihan lokesi Kriteria tersebut antara lain : kapasitas tampungan, lebar sungai, jalan masuk menuju lokasi dan kondisi geologi dimana bendung penahan tersebut akan ditempatkan. Luas daerah tampungan atau kapasitas tampung dipengaruhi oleh lebar rata-rata sungai, semakin besar lebamya semakin efektif fungsi pengendalian namun biaya konstruksi akan semakin mahal. Alur sungai dengan bentuk botle neck adalah sangat menguntungkan. Kemudahan jalan masuk merupakan salah satu pertimbangan yang menentukan dalam pemilihan lokasi bangunan pengendali sedimen. Semakin sult jalan masuk menvju lokasi, semakin besar biaya pembangunan daiam pelaksanaan konstruksi Kondisi geologi yang baik dengan struktur batuan yang stabil pada dasar dan tebing sungai di lokasi altematif, merupakan pertimbangan penting dalam penentuan lokasi bangunan pengendali sedimen. Dengan pembuatan bangunan pengendali sedimen ini diharapkan dapat menahan, mengendalikan, dan menampung material sedimen pada alur sungai, dapat melindungi bangunan-bangunan fasilitas penting dan daerah potensial lainnya; dapat memperlambat kecepatan banjir, dapat merubah sifat aliran massa menjadi aliran individu dan juga dapat menstabilkan alur sungai. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perancangan bangunan penahan sedimen atau checkdam dapat dilakukan dengan merujuk pada tatacara pembangunan bangunan Penahan sedimen, antara lain menyangkut tujuan umum, pemilihan lokasi, kondisi sungai, serta tampang tipikal bangunan penahan sedimen. Pedoman Pengelolaan Seimentasi Waduk 20 a). Tujuan Bangunan penahan sedimen ditujukan untuk beberapa maksud, antara lain * Mencegah terjadinya erosi ke arah vertikal ataupun ke arah samping karena adanya dasar sungai yang landai, ‘+ Memperkokoh stabilitas lereng gunung dan mencegah longsomya tanah, * Menampung dan mengatur batuan sedimen berupa batu-batu besar dan pasir, * Mengatur arah aliran sungai di daerah pengendapan dan di daerah banjir yang sudah tidak teratur. Kecuali hal-hal tersebut di atas, bangunan penahan sedimen digunakan pula sebagai sarana untuk memanfaatkan air, yaitu dengan cara membangun bangunan pengambilan (intake) pada bangunan penahan sedimen tersebut. b). Pemilihan Lokasi Lokasi bangunan penahan sedimen dipilih dengan mempertimbangkan beberapa kriteria seperti berikut ‘* Di tempat terjadinya perubahan dari daerah produksi lahar (debris) ke daerah pengangkutan lahar, + Didaerah sebelah hilir pertemuan dengan anak sungai, + Didaerah di mana kapasitas penampungan cukup besar dan kemiringan dasar sungai di bagian hilir cukup landai, © Didaerah di mana alur sungai cukup sempit Bila terdapat belokan sungai, maka lokasi bangunan penahan sedimen harus ditempatkan agak ke sebelah hilir dari belokan tersebut dengan maksud untuk ‘mengurangi tekanan air terhadap tebing sungai di bagian hilir. c). Kondisi Sungai Beberapa hal tentang kondisi sungai yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan bangunan penahan sedimen antara lain adalah : * Bangunan penahan sedimen sebaiknya diletakkan pada dasar sungai berupa batuan yang keras di mana ke dua lereng atau tebingnya tidak terlalu jauh dari permukaan dasar sungai * Apabila sungai pada lokasi yang dipilih tidak mempunyai dasar berupa batuan keras maka dasar sungai harus berupa deposit sedimen dengan gradasi dan sifat indeks yang cukup baik untuk menahan konstruksi bangunan penahan sedimen. @). Tinggi Bangunan Tinggi bangunan penahan sedimen perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan unsur ekonomi dan dampak yang ditimbulkan pada ruas sungai di bagian hilir bangunan penahan sedimen, Bangunan penahan sedimen yang tinggi akan memerlukan biaya yang lebih banyak dengan fenomena degradasi dibagian hilir cukup dalam, dan sebaliknya, Namun demikian bangunan penahan sedimen yang tinggi mempunyai kemampuan untuk mengendalikan daya rusak aliran debris lebih baik. Beberapa kriteria atau petunjuk yang Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk ot dapat digunakan untuk menetapkan tinggi bangunan penahan sedimen antara lain adalah: e). Untuk mengurangi erosi ke arah vertikal pada dasar sungai maka bangunan penahan sedimen cukup dibuat rendah, Tinggi bangunan penahan sedimen harus ditentukan sedemikian rupa agar kemiringan dasar sungai cukup stabil dengan mempertimbangkan ketinggian daerah pengrusakaan dan rencana kemiringan dasar sungai, Untuk mencegah luapan endapan material pada dasar sungai maka tinggi bangunan penahan sedimen sebaiknya mendekati tinggi dasar sungal sesudah mempertimbangkan stabilitas kemiringan dasar sungai, Untuk tujuan penampungan dan pengaturan material endapan maka tinggi bangunan penahan sedimen harus ditentukan berdasar masing-masing bagian volume penampungan dan pengaturannya terhadap seluruh material endapan yang direncanakan ‘Tampang Tipikal ‘Tampang tipikal bangunan penahan sedimen ditetapkan dengan memperhatikan kemiringan rencana dasar sungai di sebelah hulu bangunan, dengan beberapa kriteria antara lain Apabila kemiringan dasar sungai asii (lo) sangat curam dan jumlah volume endapan sangat banyak serta ukuran butiran cukup besar, maka kemiringan dasar sungai rencana (Ir) dapat diambil antara 0,67 sid 0,78 lo, Untuk menentukan kemiringan dasar sungai yang sesuai dengan kemiringan rencana umumnye sangat sulit Karena umumnya sifat sedimen yang tidak homogen baik ukuran maupun bentuknya, Kemiringan rencana dapat dikoreksi melalui uji model hidraullk, sehingga tinggi bangunan penahan sedimen dapat dibuat lebuh tinggi atau lebin rendah, Apabila kemiringan rencana menghasilkan bangunan penahan sedimen yang terlalu tinggi maka dapat diatasi dengan mebuat bangunan penahan sedimen yang lebih rendah ditambah dengan bangunan penahan sedimen lain di dekat sebelah hilimya, Manfeat lain yang didapat dari pemasangan atau pembuatan bangunan penahan sedimen disamping untuk mengurangi sedimen masuk ke waduk adalah juga dapat mendatangkan mata pencaharian bagi penduduk sekitar untuk mengambil hasil pasir/ sedimen yang tertampung untuk ditambang sebagai bahan material untuk bahan bangunan. Beberapa bangunan yang termasuk dalam bangunan penahan sedimen antara lain adalah ) Bendung Pengendalian Banjir Lahar Sedimen luruh sebagai aliran debris dapat terselenggara menurut berbagai mekanisme, yang selanjutnya diklasifikasikan sebagai berikut a) b) Sedimen luruh yang berasal dari timbunan sedimen yang longsor dari suatu lereng, Sedimen luruh yang disebabkan jebolnya tanggul-tanggul alam yang terbentuk karena terjadinya longsoran endapan pada tebing-tebing atau lereng-lereng gunung yang kemudian membentuk tanggul alam melintang sungai atau melintang lembah sungai, Pedoman Pengelel 1 Secimentasi Wade n ©) Sedimen luruh yang disebabkan naiknya permukaan air rembesan pada tebing sungai arus deras yang kemiringannya terjal dan di dalamnya telah terdapat sedimen yang besar volumenya dan sudah tertimbun bertahun-tahun lamanya yang berasal dari bahan hasil letusan gunung berapi, d) Sedimen luruh akibat meluapnya air panas dari kawah gunung berapi, ) Sedimen turuh dari bahan-bahan hasil letusan gunung berapi yang tertimbun di sekitar kawah dan tertimpa hujan lebat. Dari kelima jenis sedimen luruh tersebut, yang paling sering terjadi di daerah gunung berapi adalah seperti uraian pada butir-butir c), d) dan e) yang disebut banjir lahar, Pencegahan jenis sedimen luruh seperti yang tertera pada butir-butir a), b), d) dan e), sangatlah sulit dilaksanakan, karena sukamya memperkiraken saat terjadinya, sehingga hanya dapat dilaksanakan kegiatan pengamanan setelah terjadinya sedimen luruh tersebut. Jadi terbatas pada kegiatan yang bersifat penanggulangan guna mengurangi kerugian serta korban yang terjadi akibat bencana alam tersebut Sedangkan banjir lahar jenis seperti yang tertera pada butir c) frekuensi kejadiannya dapat dikurangi bahkan dapat dicegah dengan pembuatan-pembuatan sistim pengendalian banjir lahar yang komponen utamanya terdiri dari bendung penahan dan kantong-kantong lahar. Bentuk, konstruksi serta bagian-bagian bendung penahan seperti yang tertera pada Gambar 4. 2) Bendung Penahan Sedimen Walaupun mungkin terdapat sedikit perbedaan perilaku gerakan sedimen (baik secara massa maupun secara fluvial), tetapi metode pembuatan desain untuk pengendalian kedua jenis gerakan sedimen tersebut hampir sama, kecuali mungkin ada perbedaan pada konstruksi sayap mercunya serta ukuran pelimpahnya dan bahan tubuh bendung. Untuk bendung pengatur gerakan sedimen secara fluvial yang bahannya berbutir halus, mercunya dapat dibuat lebih tipis. Demikian pula sayap-sayapnya di kanan-kiri mercu tersebut yang biasanya digunakan untuk lalu lintas pejalan kaki, Bahan untuk tubuh bendung di samping beton dan pasangan batu dapat pula dibuat dari kayu, bronjong kawat atau tumpukan batu. Sedangkan untuk bendung penahan gerakan massa (banjir lahar) biesanya digunaken beton dan pasangan batu. Tipe bendung yang biasanya dipakai adalah tipe gravitasi yang umumnya lebih rendah dari 15 m (tinggi pondasi sampai dengan puncak mercu) dan akan diureikan lebih lanjut di bawah ini. 3} Bendung Pengatur Sedimen Di samping dapat pula menahan sebagian gerakan sedimen, fungsi utama bendung (dam) pengatur adalah untuk mengatur jumlah sedimen yang bergerak secara fluvial dalam kepekatan yang tinggi, sehingga jumlah sedimen yang meluap ke hilir tidak beriebihan. Dengan demikian besarnya sedimen yang masuk akan seimbang dengan kemampuan daya angkut aliran air sungainya, sehingga sedimen pada daerah kipas pengendapan dapat dihindarkan. Pada sungai-sungai yang diperkirakan tidak akan terjadi banjir lahar, tetapi banyak menghanyutkan sedimen dalam bentuk gerakan fluvial, maka bendung-bendung pengatur dibangun berderet-deret di sebelah hulu daerah kipas pengendapan. Untuk sungai-sungai yang berpotensi banjir lahar, maka bendung-bendung ini dibangun di antara lokasi sistim pengendalian lahar dan daerah kipas pengendapan. Pedoman Pengeloizan Sedimentasi Waduk 33 Tetapi jika di bawah kipas pengendapan dibangun pula kantong lahar, maka tidak diperlukan bendung pengatur. Tetapi fungsi dari bendung pengatur tersebut tidaklah sesederhana seperti uraian di atas, khususnya pada sungai-sungai yang berpotensi banjir lahar. Hal tersebut disebabkan sulinya menetapkan jumiah bendung dan kantong lahar pada suatu sistim pengendalian banjir lahar, karena belum ada cara yang tepat untuk menentukannya. Kadang-kadang volume massa banjir lahar demikian besamya dengan kecepatan yang tinggi pula, sehingga bagian depan banjir lahar melintasi pelimpah kantong lahar terhilir, kemudian menghantam deretan bendung-bendung pengatur yang berlokasijauh di sebelah hilimya. Dengan demikian bendung-bendung yang sedianya berfungsi sebagai pengatur debit sedimen yang bergerak secara fluvial, harus pula menerima beban yang lebih berat dari gaya-gaya hempasan banjir lahar dan benturan batu-batu besar. Akan tetapi sebagian enersi banjir lahar telah diredam oleh bendung-bendung penahan dan kantong-kantong lahar, maka energi yang tersisa sudah sangat berkurang. Selain enersi yang terkandung pada batu-batu besar yang lepas ke sebelah hilir kantong lahar sudah sangat menurun, lebih-lebih setelah mencapai alur sungai yang kemiringannya sekitar 1 30 sudah tidak mempunyai daya yang berarti 4) Bendung Konsolidasi Apabila elevasi dasar sungai telah dimanfaatkan oleh adanya bendung-bendung konsolidasi, maka degradasi dasar sungai yang diakibatkan oleh gerusan dapat dicegah Dengan demikian dapat dicegah pula keruntuhan bangunan perkuatan lereng yang ada pada bagian sungai tersebut. Selanjutnya bendung-bendung konsolidasi dapat pula mengekang pergeseran alur sungai dan dapat mencegah terjadinya gosong pasir. Pada dasar sungai yang masih alamiah, biasanya terdapat endapan pasir-kerikil (gosong pasir- kerikil) yang pada kondisi debit normal tidak tenggelam. Air sungai melintasi salah satu sisi gosong-gosong tersebut dan membentuk belokan-belokan. Gosong-gosong it biasanya muncul ke permukaan air sungai menyerupai pulau-pulau. Munculnya gosong- gosong pasir-kerikil pada suatu ruas sungai menyebabkan berubahnya arah aliran sungai dan menyebabkan timbuinya gerusan lokal. Apabila lokasi gerusan tepat di depan pondasi suatu bangunan, maka lapisan dasar pondasi dapat tergogos dan dapat membahayakan stabilitas bangunan tersebut. Selain itu dengan adanya gosong-gosong ini, maka penampang sungainya akan mengecil dan kapasitas pengalirannye mengecil pula sehingga di saat terjadi banjir dapat terjadi Iuapan-luapan. Luapan-luapan yang terjadi pada tanggul atau pada mercu perkuatan lereng dapat menyebabkan jebolnya tanggul atau rusaknya perkuatan lereng yang terlimpasi. Aliran yang merusak tersebut biasanya disebabkan oleh gosong-gosong pasir-kerikil berbaris tunggal dan bendun: bendung konsolidasi dapat mencegah terbentuknya gosong-gosong semacam ini. Bendung-bendung tersebut mempunyai tinggi tekanan yang dapat menggelontor gosong- gosong pasir-kerikil yang baru terbentuk Pedoman Pengelolzan Sedimentasi Waduk 3 se singe jseaUIpag VEEIO}PEUD UEWOPO ueyeued Sunpueg uebeq-ueibeg “y 1equieg (tsopuod ) 6unpueq soseq SIBsop 4yy 166ug ( ewoyn Sunpueg ) Bunpuy) 1yu07, Oeleastont! uovadoy 6UNPUN 19}UDI 40997 uojoqayay, pul 1yUo} Bucfuog Gujdwos Suipuig > doko, 465ud upib0g ea rosette fecietiadion tits 21 Penempatan bendung konsolidasi Tempat kedudukan bendung konsolidasi ditentukan berdasarkan_ tujuan pembuatannya dengan persyaratan sebagai berikut (1). (2). 44. Untuk tujuan pencegahan degradasi dasar sungai, bendung-bendung konsolidasi ditempatkan pada ruas sungai yang dasamya selalu menurun. Jarak antara masing masing bendung didasarkan pertimbangan kemiringan sungai yang stabil Apabila terdapat anak sungai, seyoayanya dipertimbangkan penempatan bendung bendung konsolidasi pada lokasi yang terletak di sebelah hilir muara anak sungai tersebut, Untuk tujuan pencegahan gerusan pada lapisan tanah pondasi suatu bangunan sungai, bendung-bendung konsolidasi ditempatkan di sebelah hilir bangunan tersebut, Untuk menghindarkan tergerus dan jebolnya tanggul pada sungai-sungai arus deras serta mencegah keruntuhan lereng dan tanah longsor, bendung-bendung konsolidasi ditempatkan langsung pada kaki-kaki tanggul, kaki lereng den kaki tebing bukit yang akan diamankan, Apabila pembangunan sederetan bendung-bendung konsolidasi dikombinasikan dengan perkuatan tebing, jarak antara masing-masing bendung yang berdekatan supaya diambil 1,5 - 2.0 kali lebar sungai. PEYUMBATAN ALUR (GULLY PLUG) Penyumbatan alur atau gully plug dmaksudkan untuk menahan supaya erosi yang terjadi pada sistim alur curam tidak berlanjut atau membesar. Dengan demikian material- material halus masih dimungkinkan untuk tetap mengalir dari sebelah hulu ke sebelah hilir guily plug. Gully plug tidak hanya berfungsi untuk menahan longsoran namun juga mengurangi laju erosi vertikal maupun horisontal bagi kawasan di sekitamya Pada topografi daerah yang bergelombang, seperti halnya daerah tangkapan waduk, seringkali dijumpai adanya sistim alur yang berawal dari proses erosi vertikal yang lambat laun membentuk alur curam (gully). Kondisi alur yang demikian sering kurang stabil dan mudah longsor, atau erosi menjadi semakin intensif. Untuk mencegah erosi alur yang berkelanjutan selanjutnya dilakukan penyumbatan pada sistim alur tersebut. Pada Gambar 5. disajikan contoh kawasan rawan erosi alur dan penanganan dengan gully plug. Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 6 Erosi gully Gully Plug Gambar 5. Contoh tipikal erosi gully dan gully plug 4.8, SISTIM TERAS (SENGKEDAN ATAU TERASSERING) Lahan dengan kemiringan relatif besar sering mengkontribusi terhadap terjadinya lerosi lahan, terlebih apabila dipicu oleh adanya hujan, ataupun oleh gerakan tanah Pengolahan tanah pada lahan miring perlu disertai dengan teknik tertentu yang dapat menekan laju erosi permukaan. Teknik pengolahan tanah pada lahan miring yang sesuai untuk tujuan pengurangan laju erosi permukaan adalah membuat tanah menjadi berkontur atau disebut sistim teras (terassering). Mengingat sebagian daerah tangkapan mempunyai kelerengan cukup besar, maka perubahan kemiringan lahan dapat diatasi dengan ferassering agar erosi lahan dapat terhambat. Dengan ferassering ini kecepatan Pedoman Pengelolaan Seclimentasi Wad 7 aliran permukaan (run off) akan terkurangi. Tetapi perlu diperhatikan terassering ini hendaknya tidak dibuat pada daerah yang berpotensi longsor, karena justru akan menyebabkan tanah jenuh air dan mempermudah kelongsoran. Pada pembuatan teras iperlu dilengkapi dengan saluran pengumpul (diversion), saluran pembuang air (grass water ways), terjunan, serta bendung penghambat. Saluran pengumpul dibuat dibagian luar daerah lahan usaha. Saluran pengumpul berfungsi untuk menampung air limpasan permukaan dari luar daerah lahan usaha, agar air tidak masuk dan merusak bangunan- bangunan yang dibuat di dalam daerah lahan usaha. Saluran tersebut dihubungkan dengan saluran pembuangan air, untuk mengeluarkan air yang tertampung. Pada umumnya saluran yang dibuat dengan tenaga manusia berbentuk trapesium. Saluran pembuang air dibuat untuk menampung dan mengalirkan air limpasan yang sudah tidak tertampung pada teras, yang dibuat sejajar kemiringan lereng dan disalurkan ke saluran alamiah. Untuk kelerengan yang curam dapat dipotong bagian per bagian mengikuti teras, Pada Gambar 6. disajikan contoh bangunan teras tipikal. Selanjutnya pada bagian terjunan dapat menggunakan bambu atau karung plastik yang diisi dengan pasir (Gambar 7). Pada saluran atau parit perlu dibuat ambang (grounasill yang dapat menghambat kecepatan aliran. Ambang ini dapat dibuat dari batu, bambu, dan kayu. Pada ambang penghambat ini dimaksudkan akan terjadi pengendapan tanah yang terbawa aliran air. Pada teras bangku dapat juga dibuat rorak (sill pit) yang bertujuan untuk menangkap air limpasan permukaan maupun tanah yang tererosi 4.8. PERBAIKAN SALURAN ALAM! Pengendalian erosi di alur sungai perlu dilakukan dengan dengan cara melindungi bagian-bagian yang lemah dari pada alur sungai. Bagian-bagian alur sungai yang perlu dilindungi terhadap kemungkinan terjadinya erosi adalah: a. Bagian sungai yang mempunyai kemiringan dasar besar, dimana kemungkinan gerusan pada kaki tebing dan dasar sungai cukup beser. Usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan membuat bangunan pengendali dasar sungai atau groundsill. b. Bagian tikungan luar alur sungai, dilindungi dengan konstruksi krib. Konstruksi krib dapat dibuat antara lain dengan; tiang beton, baja, pasangan batu, bronjong atau batu kosong dan dapat juga dengan tiang kayu dan ranting pohon. c. Bagian sungai yang Kondisi tebingnya Kurang kuat sehingga mudah tergerus lindungi dengan revetment, dengan konstruksi cukup aman untuk tujuan perlindungan dan perkuatan tebing. Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Weduk 38 Gambar 6. Tipikal bangunan terassering Keterangan Bambu 2. Arah aliran a: Gambar 7. Bangunan terjunan dari bambu Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Watiuk Keterangan 4. Bambu 2. Kantong pasir 3. Arah aliran Gambar 8. Bangunan terjunan dari kantung Pedoman Pengelclasn Sedimentasi Waduk BABV PENGALIHAN SEDIMEN YANG AKAN MASUK KE WADUK 5.1. UMUM. Pengalihan sedimen (sediment by pass) yang akan masuk ke waduk merupakan tindakan mengurangi jumlah sedimen yang akan masuk ke waduk dengan cara mengalihkan sedimen untuk tidak mengalir menuju ke waduk. Beberapa persyaretan yang harus diperhatikan antera lain adalah * Volume air yang tersedia cukup banyak, © Sedimen yang dialirkan mempunyai ukuran batir tidak terlalu besar, umumnya butir pasir, © Topografi daerah rencana bangunan pengalihan memungkinkan mendapatkan kemiringan energi yang cukup namur tidak merusak bangunan. Pengalihan sedimen dilakukan dengan membuat bangunan pengelak atau diversion yang berfungsi untuk membelokkan aliran yang mengangkut sejumlah material, baik sebagai angkutan dasar ataupun angkutan melayang. Aliran air dan sedimen selanjutnya diarahkan menuju ke hilar bendungan melalui saluran terbuka atau terowong di samping bendungan. Gerakan aliran masa air dan atau sedimen dapat bersifat aliran viskos dimana faktor kekentalan akan berperan banyak, namun dapat juga bersifat aliran dispersi, dimana butiran sedimen akan terbawa ke hilir secara angkutan dasar biasa. Pembangunan bangunan pengalihan sedimen biasanya biasanya dilengkapi dengan pengaturan atau control berupa pintu pengatur debit. Jumlah sedimen yang dapat dialinkan tergantung besamya aliran air serta geometri atau tata letak bangunan pengalihan. Kapasitas bangunan pengalihan (sediment by pass) harus dirancang pada suatu debit banjir dominan, misalnya antara Q2 s/d Qzo, dengan memperhatiken beberapa persyaratan berikut : a. Setiap tahun (terutama pada musim hujan) dapat terjadi pengalihan sedimen, b. Tidak terjadi penyumbatan (blocking), . Pengaliran bersifat aliran muka air bebas atau free flow, d. Diameter sedimen yang dapat dialihkan adalah diameter dominan (dso). Selain itu pembangunan bengunan pengalihan juga harus mempertimbangkan nilai ekonomi, yaitu bahwa biaya pembangunan harus dapat dimbangi oleh manfaat yang diperoleh dari usaha pengalihan sejumiah sedimen. 5.2. _BAGIAN-BAGIAN BANGUNAN PENGALIHAN SEDIMEN Bagian-bagian atau komponen bangunan pengalihan sedimen seluruhnya harus terdiri dari a) Bendung pengarah aliran, b) Bangunan pengambilan (intake), ) Terowong atau saluran pengelak, Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk “ d) Bangunan keluaran (outlet). ‘Semua bangunan tersebut harus mampu dan berfungsi dengan baik untuk tujuan pengalihan sedimen berupa bed load, suspended load, maupun wash load. Diameter butir yang diharapkan dapat terangkut adalah sekurangnya berupa diameter rerata dari sedimen yang terangkut pada alur sungai yang dialihkan 5.2.4, Bangunan Utama Bangunan utama berupa weir atau bendung harus dirancang sedemikian hingga geometri (ukuran lebar, panjang, serta mercu bendung) mampu mengalihkan seluruh angkutan sedimen masuk kedalam bangunan pengambilan. Selain persyaratan geometri, bangunan utama berupa weir atau bendung juga harus tahan terhadap benturan dengan butiran sedimen atau aliran debris, serta mempunyai angka keamanan yang cukup tethadap bahaya geser serta bahaya guling. 5.2.2, Bangunan Pintu Pengambilan (intake) Bangunan pintu pengambilan harus dirancang sedemikian hingga geometri (ukuran leber dan tinggi pintu) maupun tata letak, mampu mengalirkan seluruh angkutan sedimen yang masuk ke alur sungai. Bangunan tersebut harus cukup terhadap benturan dengan butir-butir sedimen, serta tidak tersumbat oleh adanya aliran yang cukup besar. 5.2.3. Bangunan Terowong Pengelak Bangunan terowong pengambilan harus dirancang sedemikian hingga geometri (ukuran luas dan tampang) serta tata letak yang mampu mengalirkan seluruh angkutan sedimen yang masuk ke alur sungai. Alinemen horizontal maupun vertikal dari bangunan terowong pengambilan harus dirancang sedemikian hingga perolehan energi sebanyak- banyaknya dan kehilangan energi sekecil-kecilnya. Belokan tajam sebaiknya dihindari, kemiringan memanjang bangunan terowong cukup besar namun tidak terlalu banyak menimbulkan persoalan erosi. 5.2.4. Bangunan Peluaran (outlet) Bangunan keluaran (outlet) peru dirancang sedemikian hingga lokasi pembuatan tidak terlalu banyak menimbulkan persoalan lingkungan. Penempatan bangunan outlet sebaiknya tidak berdekatan dengan bangunan penting di sungai seperti hainya jembaten, perkampungan, dan atau fasilitas umum lainnya. Tata letak bangunan dipilin sedemikian hingga kondisi sungai disekitar bangunan keluaran tetap bersih dari sedimen. 5.3, TATA PENGOPERASIAN BANGUNAN PENGALIHAN SEDIMEN 5.3.1. Pengoperasian pada Musim Hujan Bangunan pengalihan sedimen hendaknya dapat dioperasikan dengan baik pada musim hujan, dimana aliran sedimen cukup besar dan pengisian waduk masin dapat Pedoman Pengelolasn Sesimentasi Waduk 2 berjalan dengan baik. Pada saat pengalihan sedimen yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : a) Tidak seluruh aliran air dialihkan ke bangunan pengalihan, b) Hanya sejumlah kecil air yang dipindah untuk membawa sedimen ke bangunan pengalihan, ©) Hanya sejumiah kecil sedimen yang masuk ke waduk. 5.3.2, Pengoperasian pada Musim Kemarau Pada musim kemarau pengoperasian bangunan pengalihan sedimen tidak dilakukan untuk pengalihan sediment, melainkan untuk pemeliharaan alur di sekitar bangunan pengambilan (intake) dan di sekitar bangunan keluaran (outlet). Pemeliharaan alur dimaksudkan agar pada musim hujan berikutnya seluruh bangunan pengalihan sedimen dapat berfungsi dengan baik. Kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan antara lain: a) Pembersihan ruas sungai disebelah hulu bangunan utama (weir), daerah didepan pintu pengambilan dan daerah didepan bangunan pintu keluaran, b) Pembersihan dan pelumasan pintu pelayanan, dan lain-lain. ) Bypass tunnel Intake Outlet Asahi reservoir Okuyoshino PP (Underground ) Asahi Dam Weir Flood water Gambar 9. Contoh bangunan pengalihan Bendungan Asahi Pedoman Pengelclaan Sedimentasi Waduk a BAB VI PELEWATAN SEDIMEN MELALUI WADUK 6.41. UMUM Pelewatan sedimen (s/uicing) melalui waduk diartikan sebagai usaha menghindari terjadinya pengendapan sedimen yang sudah terianjur masuk ke dalam waduk. Jenis sedimen yang dapat dilewatkan umumnya terbatas pada sedimen kohesif atau sedimen dengan akuran yang relatif kecil. Tindakan pelewatan dilakukan dengan sistim pengoperasian bangunan keluaran bawah (bottom outlet) dengan mempertimbangkan tiga hal berikut * Tersedia volume air yang cukup selama waktu pelewatan sedimen, * Bentuk kolam waduk memanjang, + Jenis sedimen yang akan dikeluarkan mempunyai ukuran relatif kecil (fraksi lumpur atau lempung). Dengan persyaratan tersebut di atas maka tampak bahwa pelewatan sedimen melalui waduk hanya dapat dilekukan pada musim hujan. Pada kondisi musim hujan volume air yang masuk ke waduk cukup besar dan akan membawa sedimen dalam jumiah yang relatif besar. Sedimen dengan ukuran besar akan diendapkan di bagian hulu waduk, sedangkan sedimen yang berukuran kecil akan terbawa masuk sampai ke dekat bagian hilir waduk. Sedimen yang terbawa sampai ke dekat bagian hilir waduk selanjutnya dikeluarkan melalui pengoperasian bangunan keluaran bawah, dengan memperhatikan lama waktu pengoperasian serta kecepatan aliran keluar. Lama waktu pengoperasian dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah ketersediaan air, sedangkan kecepatan aliran keluar diatur dengan mempertimbangkan lebar bukaan bangunan keluaran baweh. Kecepatan aliran ke arah hilir harus masih cukup besar untuk mencegah terjadinya proses pengendapan. Sebagai ilustrasi, dapat diambil pelajaran dari “The Three Gorges Project’, yang merupakan bendungan terbesar di Cina bahkan di dunia. Three Gorges Project yang memanfaatkan sungai Yangtze mempunyai daerah tangkapan air seluas kurang lebih satu juta km?, dengan laju sedimen sebesar 526 juta ton/tahun. Dengan konsep "Impounding the Clear and Discharging the Turbid’, sistim operasional waduk untuk mengatasi sedimentasi menggunakan fasilitas pelewatan sedimen, dipadu dengan pelestarian daerah tangkapan air, diperkirakan setelah masa operasi 80 - 100 tahun, kapasitas tampungan efektif masih mencapai 86% — 92% terhadap kondisi semula. Pelajaran yang dapat diambil adalah untuk menganalisis sedimentasi waduk ini telah diadakan suatu kajian selama lebih dari 30 tahun terus menerus, berupa kajian yang komprehensif meliputi “prototype observation’, analisis model matematis, model tes fisil analisis analogi dan perbandingan terhadap proyek-proyek lain. Dengan kata lai perencanaan dilakukan dengan matang, didukung suatu kajian yang lengkap, dengan data yang sangat memadai Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk “ 6.2. OPERASI WADUK UNTUK TUJUAN PELEWATAN SEDIMEN Operasi waduk yang ditujukan untuk melewatkan sedimen yang masuk ke waduk dimaksudkan untuk mengeluarkan air waduk pada kondisi keruh. Pada kondisi lain pada saat aliran air cukup jernih maka yang dilakukan adalah berusaha menampung aliran air tersebut. Metode yang dipandang dapat meminimasi jumlah sedimen yang mengendap di dasar waduk adalah metode "memasukkan aliran jernih dan mengeluarkan aliran keruh” (impounding the clear, discharging the turbids) Contoh yang dinilai berhasil penyelenggaraan pelewatan sedimen adalah yang terdapat di Bendungan Aswan, Sungai Nil, Mesir yang dibangun pada tahun 1898 - 1902. Bendungan ini dibangun untuk tujuan pengairan sawah pada musim kemarau, dengan tinggi 38,8 m dan panjang 1,95 Km, serta kapasitas tampung 1,06 Km®, Aliran masuk rerata tahunan diperkirakan sebesar 84 Km‘. Cara pengoperasian dilakukan dengan melewatkan aliran banjir yang membawa banyak sedimen. Pengisian waduk dengan air jernih dilakukan selama 3 bulan dengan penggunaan untuk 4 bulan berikutnya sampai dengan awal musim banjir. Pelewatan air keluar dari waduk dilakukan dengan mengoperasikan bangunan pintu keluaran (sluice gate) seluas 2000 m? yang dibangun di dekat dasar sungai. Pada tahun 1912 dan 1933 bendungan tersebut dinaikkan tingginya menjadi 52,80 m atau dari elevasi mercu pada +106 m menjadi +121 m, panjang menjadi 2,14 Km, dan volume tampungan menjadi 5,6 Km’. Bendungan mempunyai 180 pintu sluice dengan luas total sebesar 2240 m’, serta dibagi menjadi 4 bagian dengan elevasi masing-masing adalah +87,65 m; +92,00 m; +96,00 m; serta +100 m. Selama musim banjir semua pintu sluice dibuka penuh, yaitu pada bulan Juli, Agustus, dan September. Pada banjir normal bangunan pintu slice dapat mengalirkan sampai sejumlah 6000 m*/detik, sedangkan pada musim banjir besar dapat mencapai dua kalinya. Pintu-pintu slice ditutup pada bulan Oktober dan waduk diisi sampai mencapai elevasi +121 m Kondisi ini dipertahankan mulai bulan Januari sampai dengan April dimana sejumlah air dilepas untuk pemenuhan kebutuhan irigasi. Selanjutnya pada bulan-bulan mei sid pertengahan July elevasi muka air waduk akan menurun hingga mencapa elevasi +100 m. Cara pengoperasian seperti ini menunjukkan bahwa sedimentasi yang terjadi adalah tidak signifikan. 6.3. PERSYARATAN HIDRAULIK Persyaratan bangunan bendungan untuk terselenggaranya pelimpah sedimen dengan metode ‘“menampung yang jernin dan membuang yang keruh" (Impounding the clear, discharging the turbids) adalah : a) Tersedianya bangunan keluaran bawah (bottom outlet) yang cukup maupun dimensinya, baik tata letak b) Bangunan keluaran bawah tersebut dilengkapi dengan pintu yang dapat dioperasikan dengan mudah, ) Bentuk tampungan waduk memadai, yaitu dalam bentuk memanjang, lebar tidak sangat bervariasi, dan tidak meandering (berbelok-belok). Pedoman Pengelolaan Seximentasi Waduk 4s 6.4. TEKNIK PENGOPERASIAN Selama musim banjir, elevasi muka air dipelihara pada ketinggian kurang lebih separuh antara elevasi mercu pelimpah dengan minimum operasi waduk elevasi merou pelimpah. Hal ini dimaksudkan untuk tujuan : a) Memelihara agar tidak terlalu banyak air terbuang selama masa penampungan air, b) Memelihara agar kedalaman air cukup tinggi untuk memelihara keberhasilan pengeluaran air keruh Selama musim kemarau, dimana aliran masuk tidak hanya membawa sedimen, maka elevasi muka air waduk dipelihara sampai pada elevasi sedikit di bawah elevasi mercu pelimpah. Pada kondisi ini akan terselenggaranya proses memasukkan air yang jemih Beberapa kajian yang harus menyertai keputusan melakukan operasi waduk untuk tujuan pelewatan sedimen antara lain adalah melalui a) Model matematik / numerik, b) Model fisik. Model matematik / numerik sedimentasi waduk merupakan model simulasi sedimentasi waduk dengan kondisi batas berupa pola aliran air dan sediment dari sungai- sungai yang bermuara di waduk. Model dapat berdimensi dua pada rata-rata kedalaman, atau berdimensi tiga. Dengan simulasi sedimentasi waduk akan dapat diperkirakan pola sedimentasi waduk pada kurun waktu yang ditinjau dan hasilnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pola pengoperasian waduk untuk tujuan pelewatan redimen. Seperti halnya model matematik / numerik yang lain, model simulasi sedimentasi waduk memerlukan beberapa parameter masukkan yang harus i di laboratorium, yaitu parameter-parameter yang terkait dengan sifat fisik dan kimia endapan waduk. Model fisik yang digunakan untuk mendukung kajian pelewatan sedimen umumnya adalah model fisik yang terkait dengan karakteristika endapan sedimen waduk, antara lain: a). Sifat indeks tanah (rapat massa, gradasi ukuran butir, kadar air, porositas, dil), b). Tegangan geser dasar kritik (entical bed shear stress), ©). Laju erosi (erosion speed), ¢). Dik Pada Gambar 10. disajikan contoh tipikal pengopereasian waduk untuk tujuan pelewatan sedimen dengan metode “memasukkan yang jemih dan mengeluarkan yang keruh. Pedoman Pengelolaan Secimentas! Waduk 4s 140 7 130 e120) & B 1104 = o W499 |. Jmengeluarkan yang keruh}. . 90 = periode banjir 80 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Bulan Gambar 10. Tipikal pengoperasian waduk untuk pelewatan sedimen Pedoman Pengelolaan Secimentasi Waduk av BAB VII PENGGELONTORAN SEDIMEN KELUAR DAR! WADUK 7.4. UMUM Penggelontoran (flushing) sedimen yang ada di waduk adalah suatu usaha Pengeluaran endapan di waduk dengan cara penguraian endapan tersebut kemudian mengeluarkannya melalui bangunan keluaran bawah. Dengan demikian maka flushing sesungguhnya adalah merupakan sluicing yang lebih spesifik Beberapa persyaratan umum yang diperlukan untuk penyelenggaraan penggelontoran adalah 1). Bentuk kolam waduk relatif sempit, 2). Tersedia volume air yang cukup besar, 3). Kondisi waduk memungkinkan untuk dilakukan pengosongan dalam jumlah relatif besar. Yang dimaksud dengan kondisi waduk memungkinkan adalah bahwa stabilitas tubuh bendungan masih dalam batas aman serta ketersediaan air mencukupi. Seperti halnya pada pelewatan sedimen, air yang digunakan untuk menggelontor adalah air banijir. Suatu contoh keberhasilan kegiatan penggelontoran waduk adalah penggelontoran waduk Mangahao di New Zealand. Pada usia waduk 34 tahun (1958) telah terjadi pengurangan volume tampungan sebesar 59%. Pada tahun 1969, 75% dari radius yang diakumulasi di waduk dapat digefontor dalam waktu satu bulan 7.2. KRITERIA KEBERHASILAN PENGGELONTORAN Suatu kriteria yang digunakan tetapi dasar keberhasilan kegiatan penggelontoran suatu waduk perlu ditetapkan. Beberapa kriteria tersebut antara lain seperti berikut 1). Annandala (187) Keberhasilan kegiatan penggelontoran ditunjukkan pada nilai tampungan yang diperoleh setelah kegiatan penggelontoran dimana rasio antara kapasitas tampungan dengan aliran masuk setahun adalah lebih besar dari 0,02 (1/50). Kriteria tersebut dapat berlaku untuk waduk Gebidem di India, tapi berlaku Berlaku untuk waduk gebidem di Switzerland, waduk Hangshan, Honglingjin dan Naodehai di Cina. 2). Pill dan Thompson (1984) Penggelontoran hanya efektif pada kondisi dimana penurunan elevasi muka air mencapai_ setinggi tinggi bendungan dan kapasitas pengeluaran mencapai sekurangnya dua kali aliran masuk rerata tahunan. Kapasitas pengeluaran pada keadaan dimana pintu pengeluaran terbuka penuh. Pedoman Pengelotaan Secimentas| Waduk ry 3). Atkuisan (1996) Penggelontoran waduk dikatakan berhasil apabila memenuhi beberapa persyaratan berikut : a. Jumlah sedimen yang digelontor melalui bangunan keluar bawah mencukupi untuk memelihara kesinambungan antara sedimen yang masuk dan yang digelontor untuk jangka waktu yang lebih panjang, b. Volume endapan yang tertinggal di waduk setelah penggelontoran relatif kecil sehingga diperoleh volume tampungan yang disyaratkan, cc. Biaya penggelontoran tidak melebihi manfaat yang diperoleh dari kegiatan penggelontoran. Biaya-biaya penggelontoran antara lain berupa nilai air yang digunakan untuk penggelontoran, kemungkinan pembangunan pintu penggelontoran yang baru, ataupun biaya pengganti kerusakan akibat penambahan sedimen pada ruas-ruas sungai di sebelah hilir bendungan. Keuntungan dihitung dari nilai yang diperoleh Karena pertambahan volume air yang diperoleh. Pertimbangan menyeluruh tentang kelayakan kegiatan penggelontoran sedimen akan menyangkut nilai ekonomi air serta efek samping yang mungkin timbul seperti halnya pencemaran lingkungan di sebelah hilir bendungan. Keberhasilan kegiatan penggelontoran dapat dilakukan berdasar_konsep imbangan sedimen sedimen dan keberlanjutan waduk. 7.3, IMBANGAN SEDIMEN 4). Deskripsi proses Penurunan elevasi muka ait waduk secara utuh (complite drawdown) didefenisikan sebagai penurunan elevasi muka air waduk sampai pada kondisi di mana waduk kosong serta sampai mengalir di waduk dengan kedalaman sama dengan kedalaman air sungai sebelum penggenangan waduk. Pada umumnya penggelontoran yang tidak mencapai kondisi complite drawdown akan kurang efektif Mahmood (1987). pabila pintu bangunan keluaran bawah dibuka, suatu gerusan akan terlokalisir ikuti terjadinya aliran sedimen keluar waduk. Gerusan dan aliran sedimen keluar dari waduk akan signifikan pada kondisi dimana waduk hampir kosong. Pada suatu saat jumlah sedimen yang mengendap selama jangka waktu penyelenggaraan kegiatan penggelontoran akan berimbang dengan jumlah sedimen yang digelontor. Pada kondisi ini imbangan sedimen dinyatakan dalam persamaan Q,T) = N.My. TE = oe (22) Dengan Q, = Kapasitas angkutan sedimen pada kondisi muka air turun (drawdown), merupakan fungsi debit, lebar dan kemiringan alur, serta sifat-sifat endapan (ton/detik) lama waktu penggelontoran (hari) interval waktu penggelontoran (tahun) Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Weduk “9 2). 3) Mn = aliran sedimen masuk ke waduk rerata tahunan (ton/detik) TE = efisiensi tangkapan, merupakan perbandingan antara sedimen yang mengendap di waduk dengan sedimen yang masuk ke waduk (dapat diambil dari kurva Brune) Kapasitas angkutan dari aliran penggelontoran Prediksi besamya nilai kapasitas transpor dari aliran penggelontoran di peroleh dari hasil pengamatan kegiatan penggelontoran beberapa waduk di Cina. Hasilnya berupa persamaan empiris yang ditulis dalam bentuk persamaan berikut 16g12 arr (23) Dengan Q, = kapasitas angkutan sedimen (ton/detik) Qf = debit penggelontoran (m°/detik) S = kemiringan dasar W = _lebar saluran (m) Y= konstanta tergantung pada tipe sedimen 1600 untuk sedimen kohesif 650 untuk sedimen dengan dso < 0,1 mm 300 untuk sedimen dengan dso > 0,1 mm 180 untuk penggelontoran dengan debit rendah (< 50m*/detik) Metode yang menggunakan persamaan di atas dikenal dengan ‘Tsinghua University Method’. Lebar saluran selama penggelontoran Lebar saluran merupakan salah satu data masukan pada prediksi angkutan sedimen pada saat penggelontoran. Lebar saluran akan terbentuk dari hasil penggerusan endapan, dan besamya akan tergantung pada debit penggelontoran, kemiringan, serta sifat sedimen. Namun demikian, dari banyak kasus, besamya leber saluran yang terbentuk mempunyai korelasi yang nyata dengan besamya debit saja, yang ditulis dalam persamaan berikut : Wes ARO ee (24) Dengan : Wr lebar saluran selama penggelontoran (m) Q debit penggelontoran (m*/detik) Pedoman Pengoloiaan Sedimentasi Waduk 50 4). Kriteria keberhasilan kegiatan penggelontoran berdasar konsep imbangan sedimen Pada Persamaan (22) telah disajikan persamaan imbangan sedimen yang dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya angkutan sedimen selama waktu penggelontoran. Berikut adalah penerapan metoda tersebut untuk penetapan keberhasilan kegiatan penggelontoran. Rasio imbangan sedimen (Sediment Balance Ratio = SBR) Didefenisikan sebagai spr = Massa sedimen yang digelontor tahun Massa sedimen yang diendap tahun dengan substitusi QT, NM,,TE SBR = (25) Jika SBR > 1 maka kegiatan penggelontoran akan dimulai efektif atau berhasil Dengan demikian urutan perhitungan SBR adalah seperti berikut: 1). Hitung lebar rata-rata bagian hulu (Wres) bendungan pada elevasi muka air penggelontoran. Wes Wea + 2 SSres (EL = Emin) Wee = lebar waduk rata-rata pada bagian hulu SSex = kemiringan lereng waduk yang mewakili. Ely elevasi muka air tinggi Elgin = elevasi dasar waduk terendah, biasanya di dasar dekat hulu bendungan. Wret = lebar waduk rata-rata bagian hilir 2), Hitung lebar penggelontoran dengan persamaan: Ww 12,8. QP* W, = lebar penggelontoran (m) Q debit penggelontoran (m*/detik) 3). Ambil nilai minimum Wres dan Wf sebagai lebar aliran yang mewakili pada kondisi penggelontoran. 4), Perkirakan besarnya penggelontoran. cemiringan memanjang muka ait waduk (S) selama 5 L_ = panjang waduk 5). Tentukan parameter Y dari ‘Tsinghua University Method’ untuk perkiraan sedimen \W = 1600 untuk sedimen kohesif \W = 650 untuk sedimen dengan dss < 0,1 mm \¥ = 300 untuk sedimen dengan dsp >0,1 mm \V = 180 jika debit penggelontoran relatif rendah (< 50 m°/det) 6). _Hitung angkutan sedimen selama penggelontoran dengan persamaan Logi2 asy & wer dengan, Q, = angkutan sedimen selama penggelontoran (ton/detik) 7). Tentukan jumlah sedimen yang harus digelontor setiap tahun (dimana konstan 86400 merupakan banyaknya detik dalam sehari) dengan persamaan M, = 86400 T; Q, dengan, M, = jumlah sedimen yang digelontor keluar waduk (ton) Ty = lama waktu penggelontoran (hari) 8). Apabila penurunan elevasi muka air berlangsung cukup lama untuk menggelontor angkutan sedimen maka efisiensi penangkapan sedimen atau trapping effeciency = TE di ambil 100%. Sebaliknya apabila penurunan elevasi muka air berlangsung sebentar maka nilai TE di ambil berdasar kurva Brune, dengan terlebih dahulu menghitung nilai Co dan Vin (Gambar 11). 9). _Hitung jumlah sedimen yang harus digelontor per tahunnya dengan persamaan Msep = My TE/100 dengan, Mep = jumlah sedimen yang mengendap di waduk per tahun (ton) Mn = jumlah sedimen yang masuk ke waduk per tahun (ton) 410). Tetapkan nilai SBR menurut persamaan berikut, spr = Me Mey Pedoman Pengelolaan Secimentasi Weduk 82 cy Snpe ny sewawpas veRIojs6use UEWopeg uowipes uedeyBuey isuaisye eANy *}) seqUeD ueunyey ejelo1 ynsew uese ewinjon = "A uA snyeje uebundwey seysedey = °O ,oL8 9 ’ z og (OSeY oe 9 F z .0e 9 + z 208 9 dojanus exiny, lewiou uepem yrjun ueIpew eany 0 or 0z oe ov os 09 ou oe 06 (% ) foustouya des BAB VIII PEMBUANGAN SEDIMEN DARI WADUK SECARA MEKANIS 8.1. UMUM Efektifitas penanganan sedimen yang disebutkan sebelumnya (penangkapan sedimen, pengalihan sedimen, pelewatan sedimen dan penggelontoran sedimen) beberapa hal antara lain a. Sumber sedimen, b. Karakteristika sedimen (bentuk dan ukuran), ¢.Bentuk kolam (kom) waduk, d. Jumlah ketersediaan air. Pada keadaan di mana sedimen yang masuk ke waduk telah menimbulkan gangguan pengambilan ataupun gangguan kenerja turbin, maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengeluarkan atau membuang sedimen dari waduk. Pembuangan sedimen keluar dari waduk hanya akan dilakukan di sekitar intake, dengan tujuan untuk menghilangkan gangguan tersebut. Pembuangan sedimen dimaksudkan untuk melindungi operasi. Dengan demikian pintu pengeluaran dan turbin pembangkit (agar terhindar dari kavilasi yang berlebihan). 8.2. METODE PEMBUANGAN Pelaksanaan pembuangan sedimen dari waduk dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain : a) Ketersediaan peralatan, b) Daerah yang dijadikan tempat pembuangan, ©) Jarak jangkauan, d) Masalah lingkungan yang terkait. Peralatan yang digunakan dapat dibedakan menjadi peralatan kering dan peralatan basah, yang termasuk peralatan kering antara lain adalah backhoe, clamshell, dragline, shovel dan truk pengangkut. Sedangkan yang termasuk peralatan basah antara lain adalah kapal keruk dan peralatan pengaduk (beble jet, nozle jet, dll). 8.3. EKONOMI DAN LINGKUNGAN Nilai ekonomi kegiatan pembuangan sedimen keluar dari waduk dengan cara pengerukan akan tergantung beberapa hal, antara lain : a) Jenis dan volume endapan, b) Lokasi pembuangan hasil pengerukan, ©) Harga pembebasan lahan untuk pembuangan sedimen hasil pengerukan, Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 5 d) Peralatan dan teknik pengerukan yang digunakan. Pada umumnya usaha mengembalikan volume tampungan waduk dengan pengerukan sedimen dinilai tidak ekonomis. Dari beberapa pertimbangan, pembangunan bendungan baru disebelah hilirnya atau peninggian bendungan masih, lebin ekonomis. Salah satu dari masalah yang terbesar umumnya menyangkut penempatan bahan hasil pengerukan. Dalam jumlah kecil bahan hasil pengeruken dapat digunakan sebagai bahan bangunan (misal genteng atau batu). Usaha pengerukan hampir selalu memerlukan desain khusus, karena setiap usaha pengerukan mempunyai suatu sifat tersendiri dari berbagai faktor seperti: sifat-sifat tanah, kedalaman air, lingkungan dan kendala logistik. Agar pekerjaan pengerukan menjadi ekonomis dan untuk memecahkan masalah utama yaitu tempat pembuangan hasil pengerukan, maka pertimbangan perlu diarahkan pada pemanfaatan secara maksimal hasil pengerukan tersebut dan sekaligus menciptakan Iahan yang bermanfaat. Penciptaan lahan yang bermanfaat misalnya adalah lahan reklamasi, lahan tempat bahan bangunan, dll. Beberapa persoalan lingkungan yang terkait dengan kegiatan pengerukan dijelaskan seperti berikut. Jika terdapat cukup unsur hara, karbon dan sinar matahari akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan ganggang atau gulma. Jika pertumbuhan ini cukup besar, kualitas air akan menurun, dan biaya yang diperlukan untuk pemulihan dan menghilangkan bau akan besar. Tingkat larutan oksigen akan menurun dalam proses pembusukan dan kondisi anaerobik akan mengarah pada pembentukan hidrogen sulfida, metan, amoniak dan pelarutan logam berat. Secara teoritik, fosfor dan nitrogen merupakan unsur hara yang membatasi siklus pertumbuhan tanaman di waduk, tetapi umumnya fosforlah yang paling besar pengaruhnya. Fosfor diangkut ke dalam waduk dalam larutan dan teradsorpsi oleh partikel sedimen. Fosfor yang teradsorpsi oleh partikel sedimen akan tersebar sesuai gerakan dan pengendapan sedimen di dalam waduk. Fosfor yang terserap teradsorpsi pada endapan sedimen yang tetutup tidak akan bermanfaat tetapi fosfor yang teradsorpsi pada bidang batas (interface) antara sedimen dan air akan tersedia untuk dilepaskan dan dapat membantu proses eutrofikasi. Senyawa fosfor yang teradsorpsi pada partikel sedimen yang lebih halus, akan mempunyai penyebaran maksimum pada bidang batas antara sedimen air. Surutnya permukaan air waduk akan mengerosi endapan dan membuka endapan yang sebelumnya tertutup sehingga menambah kemungkinan terjadinya pelarutan unsur hara tersebut. Produksi ganggang atau gulma di dalam waduk berbanding terbalik dengan tingkat kekeruhan. Pengaruh terhalangnya cahaya matahari oleh sedimen layang mempunyai dampak tethadap proses fotosintesa. Meningkatnya kekeruhan dapat berdampak terhadap proses biologi Karena mengubah suhu air. Pengamatan menunjukkan bahwa iar permukean waduk yang keruh sangat menghambat naiknya suhu air pada lokasi rendah di dalam waduk. Kandungan logam (Fe, Mn, Zn, Mg, Cu, Cd dan Pb) dapat berinteraksi dengan air dan sedimen, meskipun ion logam-logam tersebut kadang-kadang dilepaskan ke dalam air, pengaruhnya yang lebih besar adalah reaksinya dengan sedimen yang mengendap. Sedimen juga bisa menjadi alat transportasi bagi pestisida, meskipun pengaruhnya relatif kurang signifikan unsur hara dan kandungan logam. Endapan sedimen dapat mengikat pestisida yang terbawa oleh sedimen yang masuk ke dalam Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 55 waduk. Sedimentasi kecil pengaruhnya terhadap salinitas air waduk, tetapi terurainya kalsium karbonat secara permanen dapat meningkat dengan bertambahnya pelapisan endapan sedimen. Pada musim banjir air dapat menjadi keruh sehingga sinar matahari tidak dapat menembus bagian dalam air waduk, selanjutnya ganggang dan gulma terganggu proses biologinya atau bahkan mati. Ganggang dan guima yang mati akan membusuk dan menjadi sumber pencemaran, termasuk pencemaran pada bahan hasil pengeruken. Gambar 13. Kapal keruk Pedoman Pengeloiaan Sedimentas! Wack Gbr 14, Tipikal kapal keruk Pedoman Pengeloiaan Sedimentasi Waduk a BAB IX PENANGANAN SECARA VEGETATIF 9.4. UMUM Metode konservasi kawasan hulu dalam rangka mengurangi atau mencegah sedimen masuk ke waduk dapat ditempuh dengan penanganan struktural maupun non- struktural. Penanganan struktural termasuk pembangunan tampungan sedimen, bangunan terunan untuk mengurangi erosi alur, perlindungan tebing untuk mengurangi erosi tebing, serta bangunan pengendali dasar sungai (ambang) untuk menstabilkan elevasi dasar sungai. Penanganan non-struktural mencakup perbaikan daerah tangkapan dengan perbaikan tanaman penutup dan rotasi tanaman untuk menekan laju erosi serta dengan pengaturan tanaman untuk menahan angkutan sedimen. 9.2. EROS! KAWASAN HULU Erosi kawasan hulu diperngaruhi oleh kondisi fisik serta aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan hulu tersebut. Kondisi fisik akan mencakup kondisi lahan (penutup lahan, permukaan tanah, serta bawah permukaan tanah), serta kondisi iklim / cuaca di kawasan tersebut. Pengelolaan kawasan hulu dalam rangka penanganan sedimentasi waduk harus memperhatikan kondisi fisik kawasan hulu tersebut. Beberapa hal yang terkait dengan kondisi fisik lahan antara lain adalah a). Hujan, b). Kondisi topografi, c). Kondisi geologi, d). Kondisi tanah, e). Daerah rawan erosi / kritis, f). Tataguna lahan, g). Jenis tanaman. 9.2.4, Hujan Hujan dapat turun ke permukaan bumi dengan ukuran butir yang berbeda-beda. Ukuran butir yang lebih besar akan menimbulkan erosi lahan yang lebih besar. Sebelum butir hujan bersentuhan dengan tanah, butir hujan tersebut akan membentur penutup lahan (berupa daun tanaman, atap bangunan, dil.). Keberadaan vegetasi dengan suatu sifat penutup dan sistim perakaran akan mempengaruhi besar kecilnya erosi lahan. Lebih jauh keberadaan vegetasi akan tergantung pada tingkat ketersediaan air, yang dalam hal ini dinyatakan dalam curah hujan tahunan. Klasifikasi hujan di Indonesia dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu Hujan rendah 1< 1500 mm/tahun Pedoman Pengeloloan Sedimentasi Waduk Ey Hujan sedang £1500 ~ 2000 mm/tahun Hujan tinggi : 2000 ~ 3000 mm/tahun Hujan sangat tinggi: > 3000 mm/tahun 9.2.2. Kon Karakteristika topografi kawasan hulu yang akan digunakan sebagai obyek pengelolaan sedimentasi waduk dengan cara vegetasi dapat dibedakan menjadi beberapa klas menyangkut sifat kecuraman, bentuk permukaan (bergelombang atau tidak), sifat lembah, kelandaian, pebukitan, pegunungan, elevasi dari muka air laut rerata, dan lain-lain. Semakin curam kondisi topografi maka akan semakin tinggi nilai erosi potensial Topografi 9.2.3. Kondisi Geologi Kondisi geologi peru dibedakan antara sifat vulkanik batuan (misal: pleistocene, sedimen vulkanik aktif, holocene, dan lain-lain). Pembedaan kondisi geologi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pelapukan batuan dan juga jenis tanah. 9.2.4. Kondisi Tanah Kondisi tanah menyangkut sifat kimia tanah serta sifat-sifat lain yang terkait dengan kajian kesesuaian lahan, antara lain andsol / kombisol, regosol, tatosol, tanah endapan, dan tanah-tanah lain yang rawan terhadap erosi seperti halnya tanah penutup yang tigis di kawasan Sulawesi Tengah. 9.2.5. Daerah Rawan Erosi/ Kritis Potensi erosi lahan di kawasan hulu dapat diklasifikasikan menurut sifat lahan yeitu di daerah kerusakan atau di lahan asi yang masih baik. Untuk di daerah kritis, nilai erosi dapat mencapai 50 s/d 400 mm per tahun, sedangkan untuk lahan yang masih baik dapat mencapai 1 s/d §0 mm per tahun. 9.2.6. Tataguna Lahan Jenis tataguna lahan di kawasan hulu depat dibedekan menjadi tiga kelompok, yeitu hutan, tanah kering, dan pemukiman penduduk. Untuk meminimaikan lagi erosi di kawasan hulu maka setiap jenis lahan tersebut harus mempunyai vegetasi penutup yang cukup baik untuk memperoleh kapasitas resapan yang cukup tinggi. Jenis tanaman, pola penanaman, dan cara pengolahan tanah di kawasan hulu perlu ditata sedemikian hingga pada satu sisi dapat mengurangi laju erosi, sedangkan pada sisi yang lain dapat mempunyai daya guna yang tinggi bagi masyarakat di sekitamya. Dalam kasus tertentu dijumpai adanya tanah basah berupa sawah di daerah tangkapan waduk. Kondisi ini tidak menimbulkan masalah erosi apabila pengelolaan lahan sawah dilakukan dengan teras. Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 9 9.3, ZONASE TATAGUNA LAHAN DAN DESKRIPS! PENANGANAN KAWASAN. HULU Untuk memudahkan pengontrolan laju erosi permukaan yang terjadi di kawasan hulu maka kawasan hulu perlu dikelompokkan menjadi zona-zona penanganan seperti disajikan pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5 Tabel 3. Zona tataguna lahan Zona | Subzona | Kemiringan | __Konsep daser tataguna lahan Zona P >40% | Pelaksanaan perlindungan(khususnya | perlindungan dengan tanaman hutan | | lindung) ZonaA-P | Subzona | 8-40% | Pelaksanaan pertanian pada lahan aAm-P | Konservasi (khususnya untuk hutan agro | | atau pertanian) | [sub zona | 8-40% | Konservasi pada daerah tepi genangan | Aw-P waduk sebagai penopang reservoar bendungan dan muara sungai Zona A <8% | Pelaksanaan pertanian intensif (khususnya untuk pengembangan lahan) Zona S Lahan pemukiman ‘Sumber : Watershed Conservation Masterplan in Brantas River Basin Keterangan: Zona P : Zona Perlindungan (Protection). Zona A ‘ona Pertanian (Agriculture). Zona A-P Zona Pertanian (Agriculture) dengan Perlindungan (Protection). Sub zona Am-P Zona Utama Pertanian (Mainly Agriculture) dan Perlindungan (Protection). Sub zona Aw-P Zona Utama Tepi Genangan Waduk (Waterfront) dan Perlindungan (Protection). Zona S : Zona Permukiman (Settlement). Podoman Pengelclaan Secimentasi Waduk 60 Tabel 4. Tipikal penanganan lahan dengan kemiringan < 40% Kemiringan tanah Daerah <8% B-15% 15-25% 25-40% 240% Tanah | Tanaman | Perlindungan | Perlindungan | Perlidungan | Perlidungan kering | pembatas | hutan agro | hutan agro | hutan agro sebagai dengan dengan dengan hutan lindung kerapatan | kerapatan | kerapatan _| (daerah yang rendah sedang atau | tinggi atau tidak cocok pembuatan pembuatan pembuatan untuklahan terasering _|terasering _| terasering _| pertanian) Tepi Tepi waduk dengan sabuk hijau selebar 10 - 30m. genangen | Tepi sungai dengan sabuk hijau selebar 10 — 20m Tebing di_| Dinding penahan longsoran, saluran drainase, penghijauan dan tepijalan | perlindungan tanah | Sumber : Watershed Conservation Masterplan in Brantas River Basin Tabel 5. Tipikal penanganan lahan dengan kemiringan > 40% er Kemiringan tanah eral <40 40-65% | > 60% Hutan yang Terasering, Dinding | Penyumbatan alur, mengalami | penghijauan, _| penahan tanah, | pembuatan dinding penahan kerusakan _| perbaikan tanah | terasering, | tanah, penghijauan, | penghijauan, | perbaikan tanah perbaikan tanah | Sumber : Watershed Conservation Masterplan in Brantas River Basin 9.4. _PENGELOLAAN TANAH DAN VEGETASI Usaha pengelolaan Iahan di kawasan hulu perlu disertai dengan kegiatan pengolahan tanah dan tanaman dengan : a. Pola tanam ganda (multiple cropping), dapat berupa sistim tumpang sari jika tanaman tersebut ditanam pada waktu bersamaan dan salah satu dianggap sebagai tanaman utama, Jika di antara tanaman tersebut tidak ada yang dijadikan tanaman utama, maka tanaman kedua ditanam tidak bersamaan dengan tanaman pertama, tetapi sebelum tanaman pertama dipanen. Sistim ini disebut sistim tumpang gilir atau sistim campuran. Tanaman yang diusahakan antara lain ubi kayu dengan jagung, kacang tanah dengan kedelai, jagung dengan kacang tanah Pedoman Pengelelaan Sedimentaei Waduk et atau kedelai dengan berbagai macam tanaman sayuran. Pola tanam seperti ini dapat memperkecil laju kerusakan tanah baik karena penurunan kandungan bahan organik maupun karena erosi. Pada pola tanam tunggal terutama untuk tanaman yang tidak menghasilkan bahan organik (misal ketela pohon) akan terjadi penurunan bahan organik secara cepat, b. Pola tanam berjajar (Strip cropping), dengan tanaman tahunan misalnya ; Lamtoro, Gliricidae ditanam dalam barisan diantara tanaman pangan. Disamping berfungsi untuk menekan laju erosi juga dapat meningkatkan produktivitas tanah, c. Pemberian mulsa, yaitu sisa-sisa tanaman yang dikembalikan lagi ke tanah, misalnya jerami padi, jerami jagung dan sebagainya. Mulsa sangat efektif guna menurunkan laju erosi terutama pada saat tanah masih terbuka, yaitu pada saat pengolahan tanah. Mulsa dapat menurunkan penguapan dan memperkecil fluktuasi temperatur tanah. Mulsa sebagai bahan organik setelah mengalami pelapukan juga sangat membantu pembentukan dan pemantapan struktur tanah dan akar tanaman, d. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan kemantapan agregat tanah, sekaligus untuk meningkatkan kesuburan tanah, sehingga memperkecil limpasen permukaan dan laju erosi, Bentuk-bentuk penanganan secara vegetatif sesuai dengan klasifikasi kondisi fisik lahan kawasan hulu disajikan secara skematik pada Gambar 15 s/d Gambar 22. Pedoman Pengelolaan Secimentasi Weduk e 9 _ynpem sewourpes ueeO|aBuEG LELOpES Jsore ueueBueued Uep ULBULIWOY IseUOZ “s} LeqUeD (,) eturMLy nota) mower 9 utunpuog, oso wnyunng von Baste) urea. Tumtaxey np oy nen jesuaqu vxv005 ‘to waenpuing umuameey a (\ a Of upSunpuypiad wyts yedundwour yssew uv woruevog ueweUey Sunpury wemngy yes : i ‘osi pada lahan dengan kemiringan > 65% Gambar 17. Penanganan er 9 npenn|seivoupes ueeeia0ue4 vewoped ueyesniey jwejeBuow Bued ueyny ueye| eped iso19 ueUeGUEUA, “g) JEqUIeD —r_,— ‘DRVINTIEN NVONOIOR a penn |sewvowpes ueejojaBved vEWOpeR % 8 > weBUUIWey UeJUeHed UeYe; eped Jsol9 UEUeGUEUEd “6) eqWeD 9 Sz ~ SL UeBULIWSY UEIUEHEd UeYe] EpE 010 ueueBueUag “Oz seqUeD inpe seuawipes uee|@Bu0, vewoped 6 npenn'Seweuipes ueeroja6uaq vewopa, quouioyem uesemey eped Iso1e UeUeBUeUOd “LZ 1eqUIeD 0 npemn iseMDupag wee—jeBL2g vewopaR uejef ide} 1p Suga} eped sore UeUeBUeUed “Zz sequIeD DBRVINFTEW RVONOIOd tr avon ly Fr avis wae oT BAB X PENANGANAN SECARA SOSIAL 40.1. UMUM Keberhasilan penanganan sedimentasi waduk sangat tergantung pada aktivitas manusia sehari-hari pada lahan yang memberi kontribusi terhadap sedimentasi waduk, khususnya kawasan di hulu waduk. Di dalam mengelola kawasan hulu, peran serta masyarakat yang tinggal di kawasan hulu sangat diperlukan, dengan suatu alasan bahwa merekalah yang sehati-hari berdekatan dengan lahan kawasan hulu tersebut. Pengembangan peran serta masyarakat perlu didahului dengan penjaringan kondisi sosial_masyarakat (mata pencaharian, persepsi konservasi lahan, nilai budaya masyarakat, khususnya dalam berinteraksi dengan alam sekitarya, dan lain-lain) Mengetahui pola aspirasi masyarakat kawasan hulu adalah langkah bijaksana yang harus dilakukan, untuk kemudian bersama-sama dengan tingkat kesesuaian lahan mencarikan bentuk konservasi lahan yang paling sesuai bagi masyarakat tersebut. Nilai lebih dan kompetitif suatu kegiatan perlu diciptakan agar masyarakat dapat menerima manfaat langsung dengan keikutsertaan mereka dalam kegiatan konservasi lahan kawasan hulu. 10.2. PENANGANAN SEDIMENTASI WADUK SECARA SOSIAL Implementasi atau pelaksanaan dari konservasi tanah dan air sangat tidak mungkin hanya dilaksanakan secara struktural. Tindakan secara tidak langsung yang bersifat non-struktural sangat periu dilakukan demi kesuksesan tindakan secara struktural. Di dalam membangun suatu kegiatan non-struktural yang terkait dengan pengembangan peran serta masyarakat, maka tata perundangan yang ada, misal Undang-Undang No. 41 Tahun/1999 tentang peran serta masyarakat, ataupun Undang- Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air (didalamnya memuat keharusan untuk memperhatikan aspirasi. masyarakat), perlu diacu secara_arif dengan memperhatikan kesesuaiannya di lapangan. Selanjutnya perlu diingat bahwa pengembangan kegiatan non-struktural dalam upaya pengelolaan sedimentasi waduk mempunyai beberapa tujuan pokok. Tujuan pokok tersebut adalah : a) menunjang pelaksanaan penaganan sedimentasi waduk secara struktural, b) menunjang pelaksanaan konservasi lahan dan c) memberi kesempatan kepada masyarakat di sekitar obyek untuk berperan serta melakukan tindakan pengamanan sedimentasi waduk serta_memperoleh peningkatan kesejahteraan dengan adanya kegiatan penanganan struktural, termasuk penanganan secara vegetasi Selanjutnya disusun suatu kegiatan penanganan sedimentasi waduk secara sosial yang berlandaskan pada ketiga tujuan tersebut di atas, yang terdiri dari beberapa kegiatan, antara lain a) Penyebar luasan informasi tentang peraturan dan perundang-undangan, b) Perkuatan penerapan peraturan dan perundang-undangan, Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Weduk n ©) Penyelenggaraan pendidikan / pelatihan penduduk lokal melalui proyek-proyek percobaan, d) Peningkatan / perbaikan perilaku penduduk lokal melalui program pengembangan masyarakat, ) Pemberian insentif kepada masyarakat yang berperan aktif dalam kegiatan penanganan sedimentasi waduk, f) Perkuatan koordinasi dan kolaborasi antara instansi pengelola daerah aliran sungai termasuk organisasi kemasyarakatan yang peduli terhadap persoalan kerusakan kawasan hulu, 9) Pemantauan, evaluasi dan penyempumaan upaya penanganan sedimentas! waduk. 10.2.1. Penyebar Luasan Informasi Tentang Peraturan dan Perundang-undangan Kegiaten masyarakat di kawasan hulu seperti halnya penebangan hutan secara ilegal dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu a) Kekurang pahaman/ pengetahuan tentang konservasi air dan tanah, b) Pendapatan masyarakat yang relatif rendah atau kemiskinan penduduk. Oleh sebab itu penyenbar Iuasan informasi tentang peraturan dan perundang- undangan peru dilakukan pada tahap awal penanganan sedimentasi waduk secara sosial. Rangkaian penyebar luasan informasi dimulai dari pemberlakuan dari pemerintah kepada penduduk lokal. Selanjutnya disusun materi penjelasan tentang peraturan dan perundangan tersebut diikuti dengan penyebaran materi dan kegiatan seminar/ pelatinan. Hal ini dilakukan secara bergantian ke jajaran instansi di tingkat daerah, 40.2.2. Perkuatan Penerapan Peraturan dan Perundang-undangan Perkuatan peraturan dan perundang-undangan harus dilakukan dengan memberi sangsi yang tegas terhadap siapa yang melakukan pelanggaran. Kekurang tegasan pemberian sangsi akan mengakibatkan kekurang taatan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sebelumnya perlu dilakukan survai inventarisasi untuk mengetahui antara lain kondisi sebenarmya dari institusi yang berwenang melakukan pengawasan, masyarakat di daerah yuridiksi, jumlah petugas, serta fasilitas yang tersedia (kantor, mobil, sistem komunikasi, dil). Setelah survai inventarisasi selanjutnya dilakukan kegiatan peningkatan Kinerja institusi sesuai atau menuju kondisi yang diinginkan. 10.2.3. Penyelenggaraan Pendidikan / Pelatihan Salah satu alih pengetahuan yang dinilai cukup berhasil dalam program konservasi kawasan hulu adalah melalui proyek-proyek percontohan. Proyek percontohan hendaknya dilakukan dengan melibatkan masyarakat atau penduduk lokal, dengan tyjuan untuk memelihara keberlanjutan dari pengetahuan yang sudah di alihkan. Pedoman Pengelolaan Secimentasi Waduk n Penetapan proyek percontohan dimulai dari studi pemilihan lokasi termasuk jalan, akses, respon masyarakat, fasilitas yang ada, dll. Selanjutnya dilakukan pendirian pusat pelatihan/ pembangunan fasilitas yang berkaitan dengan pelatihan. Materi pelatihan dapat disusun dari dua masalah, yaitu masalah teknik dan masalah sosial ekonomi, Masalah teknik dapat berupa perawatan tanaman, persediaan bibit, teknik penanaman hutan kembali, penghijauan, terasering, dil., masalah soial dapat berupa produksi hasil hutan. 10.2.4, Peningkatan/Perbaikan Kebiasaan Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat Kawasan hulu sering berada pada kondisi yang kurang menguntungkan yaitu berupa pendapatan yang sangat rendah. Hal ini dapat menimbulkan kebiasaan masyarakat berupa tindakan terhadap pengusikan lahan disekitamya Tujuan dari program pengembangan masyarakat adalah untuk meningkatkan kemampuan penduduk lokal dalam memperbaiki taraf hidup. Selanjutnya penyusunan program perlu didahului dengan pemilihan lokasi yang akan ditetapkan sebagai obyek pelaksanaan program pengembangan masyarakat. Kunjungan ke lokasi terpilih ditanjutkan dengan diskusi dengan penduduk lokal untuk untuk memahami permasalahan perbaikan taraf hidup yang dihadapi. Program pengembangan masyarakat perlu dilaksanakan berbasis pada program pengembangan peran serta masyarakat dalam kegiatan konservasi kawasan hulu. Dengan demikian program pengembangan masyarakat harus berisi upaya pembinaan yang disertai dengan pelatihan atau praktek rill kegiatan konservasi. Peru diperhatikan bahwa semua masyarakat yang berperan serta dalam kegiatan konservasi kawasan hulu perlu mendapatkan manfaat nyata dari keikut sertaan pada program tersebut. Apabila taraf hidup masayarakat yang berperan serta dalam kegiatan konservasi kawasan hulu. meningkat, maka kebiasaan masayarakat untuk melakukan pengusikan terhadap lahan di sekitamya akan dapat ditekan. 10.2.5. Pemberian Hadiahlinsentif Perkuatan penerapan peraturan dan perundang-undangan bukan hanya dalam bentuk pemberian sangsi terhadap pelanggaran yang dilakukan, melainkan juga pemberian hadiah/ insentif terhadap masyarakat yang ikut berperan serta dalam kegiatan konservasi kawasan hulu. Hadiah atau insentif tersebut hendaknya bersifat memberikan perangsang terhadap masyarakat yang bersangkutan untuk lebih giat dalam berperan serta dalam kegiatan konservasi. Selain itu dengan adanya hadiah atau insentif tersebut maka masyarakat yang lain dapat terangsang untuk bergabung dalam kegiatan konservasi kawasan hulu. Hadiah atau insentif yang diberikan dapat berupa pemberian modal usaha suatu kegiatan yang mendukung kegiatan konservasi kawasan hulu, misalnya: pengembangan ternak, pengembangan agroindustri, dil Pemberian hadiah / insentif terhadap masyarakat yang telah berperan serta terhadap kegiatan konservasi harus didahului dengan penetapan kriteria keberhasilan konservasi, dilanjutken dengan pemilihan lokasi terbaik dalam program konservasi. Hasil Kriteria dan hasil pemilihan lokasi terbaik tersebut selanjutnya diberitahukan kepada masyarakat yang ada di wilayah kawasan konservasi, termasuk masyarakat penerima hadiah / insentif. Setelah pemberian insentif dilakukan, lokasi terpilih tersebut tetap harus mendapatkan pengawasan, dievaluasi secara terus menerus, serla dipelinara ager Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Watuk B kualitas konservasinya selalu pada kondisi terbaik. Hal ini dilakukan untuk memelihara agar program konservasi kawasan hulu dapat mempunyai keberianjutan (sustainability) yang tingi 10.2.6, Perkuatan Koordinasi dan Kolaborasi Antara Instansi Kebijakan pemerintah dalam konservasi keairan yang tidak terselenggara dengan baik dan menyatu sebagai kegiatan pengelolaan konservasi air dan tanah secara keseluruhan. Oleh sebab itu perlu dilakukan perkuatan koordinasi dan kolaborasi antar instansi pengelola daerah aliran sungal, batk dari sektor pekerjaan umum, pertanian, kehutanan maupun sosial. Kegiatan perkuatan koordinasi dan kolaborasi diawali dengan mengundang pihak- pihak (instansi pemerintah) yang terkait, dilanjutkan dengan penelaahan bersama tentang masalah konservasi air dan tanah. Penelaahan dilakukan dengan memperhatikan peraturan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan hulu. Apabila belum tersedia badan yang ditunjuk sebagai koordinator pengelolaan kawasan hulu maka pengelola bendungan hendaknya berperan aktif (sebagai inisiator) dalam mewujudkan forum pengelolaan daerah aliran sungai. 10.2.7. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan / konservasi air dan tanah di kawasan hulu perlu dipantau secara terus menerus. Hal ini dimaksudkan agar diketahui permasalahan yang sedang berkembang, serta untuk menyusun strategi peningkatan / perbaikannya Kegiatan pemantauan dan evaluasi perlu disusun kedalam jadual yang terstruktur yang berisi rencana pengawasan dasar seta batas wilayah yang dipantau / dievaluasi Pemantauan dan evaluasi permasalahan yang sedang berkembang_dilakukan dengan cara inspeksi / tinjauan langsung ke lokasi, ataupun survai keluarga / rumah tangga, menyangkut ukuran pendapatan, pembelanjaan, hambatan yang dijumpai, serta kesesuaian kegiatan dengan yang direncanaken Pedoman Pengelelaan Secimentasi Waduk ™ BAB XI PEMANTAUAN (MONITORING) SEDIMENTASI WADUK 41.4. UMUM Untuk mengetahui permasalahan yang timbul terkait dengan tingginya laju sedimentasi waduk, perlu dilakukan pemantauan daerah tangkapan maupun daerah hilir ‘Aspek penting yang harus dipantau adalah aspek tataguna lahan didaerah tangkapan, serta aspek perubahan dasar tampungan waduk. Kegiatan pemantauan harus dilakukan dengan teratur sehingga memudahkan dalam analisis dan evaluasi yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan langkah penanganan sedimentasi waduk. Dengan demikian kegiatan pemantauan perlu dirancang dengan baik, mencakup jenis dan frekuensi pemantuan, teknik dan peralatan yang digunakan, metode evaluasi hasil pemantauan, serta cara interpretasi dan penyimpulan hasil evaluasi pemantauan. 44.2. PERUBAHAN TATAGUNA LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN 41.2.1. Jenis Pemantauan Kondisi dan tataguna lahan di daerah tangkapan akan berubah sesuai dengan laju pertambahan penduduk di daerah tangkapan suatu waduk. Perkembangan penduduk yang pesat dan juga kemiskinan akan cenderung mengakibatkan kenaikan intensitas kegiatan pemanfaatan lahan dan kerusakan daerah tangkapan yang mengarah pada meningkatnya koefisien aliran permukaan, dan dengan demikian juga meningkatnya nilai erosi permukaan, Jenis pemantauan yang dinilai penting adalah pemantauan perubahan kondisi hutan atau tanaman penutup perubahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian, dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman, serta dari lahan kering menjadi lanan permukiman, timbulnya lahan kritis dan lain sebagainya. 11.2.2. Frekuensi Pemantauan Tergantung pada intensitas laju perubahan, frekuensi pemantauan dapat dilakukan sekali setiap tahun, namun dianjurkan sekurang-kurangnya sekali dalam dua tahun. Untuk daerah yang padat penduduknya biasanya laju perubahan sangat pesat Disamping itu kurang tegaknya pelaksanan hukum, sering terjadi perambahan hutan yang tidak terkendali yang berakibat pada kerusakan hutan dan kenaikan laju erosi. 41.2.3. Teknik Pemantauan Teknik pemantauan sangat bervariasi mulai dari pemanfaatan teknologi sederhana sampai dengan teknologi modern. Pemanfaatan teknologi sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan cara terjun langsung ke lapangan serta melakukan pengamatan dan pencatatan luasan hutan, persawahan, lahan kering, serta permukiman, termasuk pengamatan bekas erosi pada bangunan tetap (patok tetap, pohon, dsb). Teknologi modem dilakukan dengan menggunakan pemetaan dengan foto udara atau teknik pemetaan indera jauh yang lain. Namun demikian disarankan agar semua bentuk Pedomen Pengelolaan Secimentasi Waduk % teknologi modem tersebut harus tetap dikalibrasi dengan baik dengan hasil pengamatan langsung di lapangan 11.2.4. Evaluasi Hasil Pemantauan Hasil pemantauan selanjutnya pertu dievaluasi dan disajikan dalam bentuk peta, misalnya peta berbasis sistem informasi geografis (Geographical Information System = GIS), dengan skala sekurang-kurangnya 1 : 10.000, atau tergantung luas daerah tangkapan. Penyajian peta harus cukup jelas yang dapat menunjukkan perbedaan tataguna lahan antara saat pemantauan dilakukan dengan saat sebelumnya. Selain informasi tentang tataguna lahan, informasi lain yang dinilai penting dalam kaitannya dengan kajian erosi Iahan juga perlu disajikan, antara lain peta jaringan jalan, peta lokasi rawan longsor, peta pertumbuhan kawasan baru, peta kemiringan lahan, peta jenis tanah, serta peta isohet hujan durasi pendek. Beberapa informasi tersebut kemungkinan belum mengalami perubahan selama kurun waktu atau dalam satu periode pemantauan, Namun demikian informasinya sangat penting untuk disajikan agar dapat diketahui oleh semua pihak yang terkait, terutama bagi masyarakat di kawasan hulu waduk. Informasi tentang evaluasi hasil perwantauan juga dapat digunakan sebagai peringatan dini tentang arah atau kecenderungan perubahan lahan kawasan hulu waduk. Pada Gambar 23 disajikan contoh tampilan evaluasi hasil pemantauan untuk kawasan hulu di sebelah hulu Waduk ‘Sempor. 41.3. LAJU ANGKUTAN SEDIMEN YANG MASUK KE WADUK Erosi lahan di daerah tangkapan akan terbawa masuk ke waduk melalui alur-laur sungal yang bermuara di waduk. Tidak semua hasil erosi lahan akan terbawa masuk ke waduk, sebagian di antaranya akan terendapkan di cekungan-cekungan di lahan ataupun di beberapa ruas sungai yang dilaluinya. Pengukuran angkutan sedimen di muara sungai yang masuk ke waduk dilakukan untuk mengetahui angkutan sedimen total yang masuk ke waduk, baik angkutan dasar (bed load) maupun angkutan melayang (suspended load). Pengukuran angkutan dasar dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan bed load sampler tipe Amhem, sedangkan pengukuran sedimen melayang dapat dilakukan dengan peralatan integrated bottle sampler. Pengukuran dapat dilakukan secara terus menerus selama satu musim hujan dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi pemantauan tataguna lahan, yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali. Hasil pengukuran hendaknya dapat menyajikan kurva hubungan yang tegas antara angkutan sedimen total di sungai (,) dengan debit sungai (Q) dalam bentuk persamaan: Q@ = aQ?....... dengan a dan b adalah konstanta . (28) Dari persamaan tersebut selanjutnya dapat di analisis angkutan sec masuk ke waduk selama kurun waktu yang ditinjau. 411.4. PERUBAHAN ELEVAS! DASAR WADUK 11.4.1. Jenis Pemantauan Jenis pemantauan dibedakan menjadi dua cara, yaitu cara teristris (dengan peralatan geodetik: theodolit, bak ukur, roll meter, dil), serta cara _pemeruman Pedoman Pengelolsan Sedimentasi Waduk 7% (echosounding). Pemantauan perubahan elevasi dasar waduk dilakukan dengan secara periodik dengan mengukur kontur kedalaman waduk, baik dengan cara teristris maupun dengan cara pemeruman. Pengukuran dengan interval waktu dua tahun (pada akhir musim hujan), dipandang telah mencukupi. Pada kondisi elevasi muka air waduk relatif tinggi, pengukuran dapat dilakukan dengan echosounding sehingga dapat menjangkau areal pengukuran yang lebih luas. Dengan adanya angkutan sedimen yang di bawa oleh sungai-sungai yang bermuara di waduk, maka elevasi dasar waduk akan cenderung bertambah tinggi. Distribusi endapan di dasar waduk akan merupakan fungsi dari pola arus yang dibentuk oleh pola aliran air yang masuk ke waduk, pola pengoperasian waduk, serta bentuk kolam waduk. Data yang diperlukan dalam kajian sedimentasi waduk antara lain adalah data hasil pengukuran bathimetri dasar waduk dari tahun ke tahun, atau sekurangnya dua seri pengukuran yang berbeda. Peru diingat bahwa kondisi awal pembangunan waduk merupakan referensi yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan nilai sedimentasi periode berikutnya. Oleh sebab itu referensi dasar ini harus dimiliki oleh setiap waduk, sehingga hasil pengukuran yang dilakukan selalu dapat diperbandingkan dengan kondisi sebelumnya, bila memungkinkan diperbandingkan dengan kondisi awal pada saat waduk berumur nol tahun. 11.4.2. Frekuensi Pemantauan Untuk mengetahui perkembangan atau laju sedimen yang masuk ke waduk, kegiatan pengukuran kontur dasar waduk dan analisis hasilnya dapat dilakukan sekeli dalam setahun. Apabila perubahan kontur dasar selama setahun kurang signifikan maka frekuensi pengukuran dapat dilakukan lebih jarang. Dengan semakin mudahnya teknologi pengkuran kontur dasar waduk, maka metode pemantauan yang perlu dilakukan adalah dengan mengetahui sebanyak-banyaknya elevasi dasar titik-ttik pantauan. Titik-titik pantauan yang telah mempunyai deskripsi tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk perhitungan volume dan luas permukaan. Perhitungan dapat dilakukan secara manual (digambarkan kontur dengan interval ketelitian tertentu kemudian dihitung dengan planimeter), atau dengan menggunakan perangkat lunak yang ada, (SURFER, Arc-VIEW, KARAKTER-01, dil). Pedoman Pengeloiaan Sediimentasi Waduk ” Gambar 23. Tataguna lahan kawasan hulu Waduk Sempor ntasi Wart. an Secime Pedoman Pengolola 11.4.3, Teknik Pemantauan Pengukuran elevasi dasar waduk dapat dilakukan dengan dua cara secara bersama-sama. Cara pertama dilakukan dengan metode echosounding, dilakukan khusus untuk daerah di bawah muka air / genangan waduk. Sebelum melaksanakan pengukuran echosounding, terlebih dahulu di tetapkan rencana jalur pengukuran. Jalur pengukuran umumnya ditetapkan dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu 1) Sebelum kegiatan pengukuran dimulai harus ditetapkan teriebih dahulu penatapan titik tetap (Bench Mark = BM) yang akan digunakan sebagai tik referensi, 2) Kepraktisan perjalanan kapal (tidak terhalang oleh bangunan yang ada serta kedalaman perairan mencukupi), 3) Jalur pengukuran sebelumnya yang ditetapkan sebagai jalur pokok (untuk tujuan pengecekan terhadap perubahan elevasi dasar pada suatu jalur yang dianggap penting). Pengukuran pada jalur yang relatif rapat dilakukan dengan interval waktu yang lebih panjang, misal lima tahun sekali. Pengukuran dengan cara kedua, yaitu pengukuran dengan metode teristris, dilakukan khusus untuk daerah di atas muka air/ genangan. Bagian pengukuran di daerah kering sekurang-kurangnya adalah sampai pada elevasi muka air banjir. Dalam hal diperkirakan terjadi perubahan elevasi dasar pada daerah di atas elevasi muka air banjir (misal karena longsoran tebing), maka daerah pengukuran teristris sebaiknya menjangkau daerah yang lebih tinggi. Koordinat dan ketinggian titik pengamatan pada kedua cara pengukuran, baik teristris maupun echosounding, harus terikat secara baik dengan titik referensi yang telah ditetapkan. Untuk alasan kepraktisan tanpa mengurangi ketelitian yang berarti, koordinat tit pengukuran cara teristris dapat dilakukan dengan peralatan GPS. Sedangkan ketinggian dapat dilakukan dengan peralatan Theodolite yang diikat dengan elevasi muka air waduk. Dengan demikian pada setiap pengukuran periu dilakukan pencatatan elevasi muka air waduk 11.4.4, Evaluasi Hasil Pemantauan Hasil perhitungan dan penggambaran kontur genangan waduk, selanjutnya digunakan untuk menghitung volume waduk dan luas permukaan waduk pada berbagai elevasi, dan ini akan merupakan kondisi karakteristika waduk pada saat eksisting atau pengukuran dilakukan. Perhitungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara planimetri, dengan perangkat lunak SURFER, Arc-VIEW, ataupun KARAKTER01. Hasil perhitungan dengan beberapa cara tersebut kemudian dipelajari dan selanjutnya dipilih salah satu untuk digunakan sebagai hasil akhir tentang karakteristika waduk pada saat evaluasi dilakukan. Perhitungan luas dan volume dengan cara planimetry melibatkan aplikasi metode Modified Prismoidal Method yang ditulis pada persamaan berikut: Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk ra 2 ~Esla, +a, + fax) re (27) dengan: Vaj-o, = Volume waduk interval a; dan a2 h = perbedaan tinggi antara a; dan az a; = luas bidang pada kontur elevasi a; a2 = luas bidang pada kontur elevasi a2 Perhitungan dengan penggunakaan perangkat lunak atau sofware SURFER dan KARAKTERISTIKA-01 pada prinsipnya diawali dengan perataan deskridi ketinggian benerapa titik yang diketahui koordinatnya. Perataan dilakukan dengan cara membuat grid, sehingga metode ini disebut juga dengan metode gridding. Teknik perataan tersebut tergantung pada jumih titik grid yang akan dideskripsi serta jumlah titik terdekat yang dipertimbangkan. Metoda griding dimaksudkan untuk membuat analisis titik ketinggian pada titik-tik yang teratur (selanjutnya disebut tik grid), berdasar pada titik ketinggian yang diperoleh (baik secara teratur ataupun acak). Skema umum metoda grid disajikan pada Gambar 24, sedangkan persamaan dasamya disajikan pada Persamaan 27. @ Titik yang citinjau Titik yang diukur A } petra Aran X. Gambar 24. Skema evaluasi titik grid. Pedoman Pengeloiaan Sedimentasi Waduk cy (28) dengan: Z, = Elevasititik A yang dicari, Z| =Elevasititik ke i yang diperhitungkan, di = Jarak, diukur dari titik A ke titi i n= Jumlah titik acuan/terdekat yang harus diperhitungkan dalam analisis tinjauan (dianjurkan antara 4 sid 6). Catatan: Apabila jarak terdekat (di) kurang dari akar jumlah kuadrat jarak titik grid arah X dan Y, atau d, $V DELTAX’ + DELTAY? maka elevasi titik yang dicari (Zs) adalah sama dengan elevasi tik terdekat (21) Penetapan banyaknya jumiah titik terdekat yang harus diperhitungkan sangat tergantung dari sifat_medan pengukuran. Untuk medan yang berbukit, disarankan untuk memperhitungkan titik terdekat sejumlah yang tidak terlalu banyak, misal cukup empat buah titik terdekat. Hasil kajian sedimentasi waduk pada berbagai kurun waktu tinjauan selanjutnya digunakan sebagai dasar penetapan informasi tentang perkembangan sedimentasi waduk dari waktu ke waktu. Penyajian informasi laju sedimentasi waduk hendaknya disajikan dalam bentuk perubahan volume tampungan den elevasi daser, yang secara tipikal akan mempunyai bentuk berturut-turut seperti pada Gambar 25, dan Gambar 26. Pada Gambar 27 disajikan jalur lintasan pada rencana pengukuran cara echosounding. Pedoman Pengelolzan Secimentasi Waduk a Eevasi (m) 55 35 30 0 10 20 30 40 50 60 Volume (10° m?) Gambar 25. Karakteristika tampungan Sempor, Jawa Tengah (Sumber: PISWS Serayu-Bogowonto, 2004) ds 1650 —1500=«1350=«200=«tosD=SistSSDSCSCODSSSim]SCSC JARAKC(M) Gambar 26. Tampang memanjang kontur dasar Waduk Sempor (Sumber: PISWS Serayu-Bogowonto, 2004) Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk 2 Gambar 27. Jalur pengukuran echosounding Keterangan : 1 2 3 4 5. Stasiun pantai (koordinat diketahui) Titik dasar . Stasiun akhir (posisi terakhir) Jarak kisaran . Penentuan jarak Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Wecuk 83 LAMPIRAN PADAN KATA ( TERJEMAHAN ) A Agradasi B Bathimetri Bed load Bench mark Bottom outlet Bottom sit-bed c Chanel bankfull flow Checkdam Coverage Conservation pool D DAD Data point Dead storage Debris Deformasi Denudation Design life Double mass curve Depression Direct measuring sampler Direct run off Diversion Canal Dredging E Erodibilitas Eutrofik penumpukan sedimen : kontur kedalaman waduk : sedimen dasar titik referensi keluaran bawah : sedimen halus : debit kapasitas alur : bendung penahan sedimen : penutupan lahan titik konservasi Depth Area Duration, Kedalaman Luas Durasi : titik pengukur muatan dasar tampungan mati puing-puing : perubahan plastis penggundulan umur rencana : kurva massa ganda depresi mengukur muatan dasar : aliran langsung : saluran pemisah pengerukan kemapuan erosi : kadar biologi yang tinggi Peseman Pengelolaen Sedimentasi Waduk PADAN KATA ( TERJEMAHAN ) F Flushing : penggelontoran Flood control pool : titik kontrol banjir, muka air banjir Flow duration curve kurva durasi aliran G Gis : Geographical Information System Green belt : kawasan hijau Ground control point : tik kontrol darat 1 Impounded : terbendung Inflow aliran masuk M Monitoring : pemantauan Multiple cropping :pola tanam ganda N Nutrient : unsur hara ° Overbank deposit deposit di tanggul Outflow aliran keluaran R Reservoir capacity : kapasitas waduk Reservoir flood routing : penelusuran banjir lewat waduk s Sediment bypass : pengalihan sedimen Sediment yield : serahan sedimen Sedimen yield rate : laju sedimen rata-rata SDR : Sediment Delivery Ratio Surface run off : aliran permukaan Suspended load : sedimen layang Pedoman Pengelelaan Seimentasi Waduk te PADAN KATA ( TERJEMAHAN ) iT Terassering system teras Total load muatan sedimen total Trap efficiency : efisiensi tangkapan v Vegetation : vegetasi Visual dilihat dengan mata Podomen Pengelolaan Secimentasi Waduk 19. 20. 24. 22. 23. 24, 25. 26. 27. 28. 29. 30. Publikasi ICOLD, No. 65, "Automated Dam Monitoring Systems” Publikasi ICOLD, No. 66, “Dams and Environment — Cases Histories” Publikasi ICOLD, No. 87, “Dams and Environment — The Zuiderse Damming” Publikasi ICOLD, No. 68, “Dealing with Reservoir Sedimentation” Singh, V.P., 1989, Hydrologic System, Prentice Ha-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632. SNI 19-6459-2000, 2000, * Tatacara Pengontrolan Sedimentasi Pada Waduk” Sudjarwadi, 1988/1989, “Operasi Waduk’, Pau llmu Teknik, UGM. Undang-Undang No.7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air White, W.R., 2001, “Evacuation of Sediments from Reservoirs”, \wwew-hrwallingford.co.uk. Wurbs, R.A., “Modeling and Analysis of Reservoir System Operation, Prentice Hall, New Jersey. Yang, C.T., 1996, “Sediment Transport; Theory and Practice’, McGraw-ill International Editions, Civil Engineering Series, New York, USA. Zainuddin, 2000, “Congress ke 20, Intemational Commission on Large Dam (ICOLD)’, Laporan Perjalanan Dinas, Beijing, 14-22 September.

You might also like