Professional Documents
Culture Documents
PNEUMONIA
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medical
di Ruang 28 Rumah Sakit Saiful Anwar Malang
Disusun Oleh:
DIDIK EKO SETYANTO
150070300113026
PSIK A UB
KELOMPOK 14
Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi
dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan
2.
Etiologi Pneumonia
Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif
seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri
gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P.
Aeruginosa.
Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan
udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah
serta kompos. Contoh jamur yang dapat menjadi penyebab antara lain Candida,
Histoplasma, Aspergilus
Protozoa
Menimbulkan
terjadinya
Pneumocystis
carinii
pneumonia
(CPC).
Biasanya
3.
dapat dibedakan atas faktor anak, faktor orang tua, dan faktor lingkungan.
Faktor Anak
a.
Umur
Umur merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal
ini disebabkan karena umur dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang.
Anak-anak yang berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia
dibandingkan anak-anak yang berumur di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas
yang belum sempurna dan lubang pernapasan yang masih relatif sempit (Depkes RI
dalam Tantry, 2008). Umur yang sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan
menderita pneumonia yang lebih berat (Ewig dalam Machmud, 2006 ). Penelitian
Tuparsi di Filipina telah membuktikan bahwa morbiditas pneumonia berhubungan
dengan status sosial ekonomi yang rendah serta umur balita yang kurang dari 1
tahun. Hasil surveilans pada tahun 1998/1999 juga memperlihatkan bahwa proporsi
pneumonia pada bayi 14,1% lebih tinggi daripada pada balita (Herman, 2002). Balita
juga rentan terhadap risiko kematian akibat pneumonia. Semakin muda umur
seorang balita penderita ISPA/pneumonia, maka semakin besar risiko untuk
meninggal daripada usia yang lebih tua (Sutrisna dalam Tantry, 2008 ).
b.
Jenis Kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa laki-laki adalah faktor
risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Penelitian di
Srilanka memperlihatkan bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai
risiko 2,19 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan (Dharmage et al dalam Herman,
2002 ). Penelitian di Uruguay juga menunjukkan bahwa pada tahun 1997-1998, 56%
penderita pneumonia yang dirawat di rumah sakit adalah laki- laki (Pirez dalam
Machmud: 2006 ).
c.
Riwayat BBLR
BBLR atau bayi berat lahir rendah adalah bayi (neonatus) yang lahir dengan
berat kurang dari 2500 gram. Bayi dan balita dengan BBLR umumnya lebih berisiko
terhadap kematian, bahkan sejak masa-masa awal kehidupannya. Hal ini
disebabkan karena zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna
(Molyneux dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa bayi 04 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita
pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008).
d.
Pemberian ASI
ASI (Air Susu Ibu) adalah air susu yang alami diproduksi oleh ibu dan
merupakan sumber gizi yang sangat ideal dan berkomposisi seimbang sesuai
Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan,
khususnya kesehatan anak. Status gizi pada anak dapat dinilai dari pengukuran
rasio berat badan dan tinggi (panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh
dari asupan gizi yang tentu saja cukup dan seimbang. Kekurangan gizi (malnutrisi)
dapat terjadi pada bayi dan anak dan akan menimbulkan gangguan pertumbuhan
dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga
dewasa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang
pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis.
Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh
asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal (Depkes RI, 2006).
f.
Status Imunisasi
Pada dasarnya beberapa penyakit-penyakit infeksi yang terjadi pada anakanak dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu antara lain difteri, pertusis,
tetanus,
hepatitis,
tuberkulosis,
campak
dan
polio.
Beberapa
hasil
studi
tetapi,
kini
telah
berkembang
di
dunia
sebuah
vaksin
yang
memperoleh
Herd
Immunity
atau
kekebalan
populasi.
WHO
telah
Defisiensi Vitamin A
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara
kejadian pneumonia dengan pemberian vitamin A. Penelitian Herman (2002)
menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapat vitamin A dosis tinggi secara
lengkap 4,1 kali berisiko terhadap kejadian pneumonia.
Akan tetapi, hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian vitamin A
berguna dalam mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinya kematian
akibat pneumonia. Pemberian vitamin A dikhususkan pada balita berumur 6 bulan
sampai 2 tahun yang dirawat di rumah sakit karena campak dan komplikasi
pneumonia (Kanra dalam Machmud, 2006). Oleh karena itu, jika anak menderita
pneumonia tetapi telah memperoleh vitamin A sebelumnya dalam jangka waktu
tertentu, maka anak tersebut tidak akan menderita pneumonia berat dan dapat
mencegah mortalitas. Penelitian Sutrisna pada tahun 1993 menunjukkan balita yang
tidak memperoleh suplementasi vitamin A berisiko 14,8 kali untuk meninggal
dibandingkan dengan yang telah disuplementasi (Herman, 2002).
h.
mampu
menerima
makanan.
Hal
ini
disebabkan
karena
saluran
pencernaannya yang belum sempurna. Kekebalan tubuh pada bayi juga belum
sepenuhnya terbentuk. Oleh karena itu diperlukan asupan dari ibu yang diberikan
kepada bayi melalui ASI. Pada dasarnya, makanan mulai diperkenalkan ketika bayi
sudah mencapai usia 6 bulan. Makanan juga sangat rentan untuk tercemar oleh
kuman.Pemberian makanan terlalu dini berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi
karena bayi belum mampu mencernanya dengan baik sehingga jika ada kuman yang
masuk melalui makanan, bayi akan mudah terinfeksi penyakit.
a.
b.
Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian pneumonia balita.
Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam memberikan makanan yang memadai
dan bergizi kepada anaknya serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan.
Pengetahuan lebih jauh tentang penyakit pneumonia dan praktek pelayanan yang
benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan angka kesakitan
dan kematian pneumonia (Machmud, 2006).
c.
Sosial Ekonomi
Faktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor utama dalam penyakit
pernapasan. Terdapat hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi
dengan morbiditas infeksi saluran napas (Purwana dalam Machmud, 2006). Pada
umumnya, status ekonomi yang berhubungan dengan insidens pneumonia diukur
dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang
menghuni tiap kamar (Foster dalam Machmud, 2006). Masyarakat miskin juga
identik dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Balita
yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang
mendapat asupan makanan yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit.
Sosial ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi upaya pencarian pengobatan.
Salah satu program yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya
menurunkan kematian akibat pneumonia balita tahun 1972 adalah dengan
meningkatkan akses penduduk miskin ke fasilitas pelayanan kesehatan (Dowell
dalam Machmud, 2006).
a.
Faktor Lingkungan
Polusi Udara di dalam Rumah
Polusi udara dapat terjadi baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Polusi
udara di dalam rumah dihasilkan dari pembuangan asap seperti asap rokok dan
asap pembakaran kompor tungku atau kayu bakar. Asap tersebut berpotensi besar
menimbulkan pajanan partikulat seperti PM10 (Partikulat Matter 10 Mikron). Jika
terhirup, asap tersebut dapat mengganggu pernapasan. Pemajanan oleh partikulat
lebih berpotensial terjadi jika dapur berada dekat dengan kamar tidur atau kamar
tamu. Anak-anak yang lebih sering berada di dapur atau kamar tidur yang
berdekatan dengan dapur lebih berisiko untuk mengalami gangguan pernapasan.
Sementara itu, adanya perokok di dalam rumah dapat meningkatkan pajanan
asap rokok kepada anggota keluarga lainnya. Konsumsi perokok di dalam rumah
merupakan faktor risiko gangguan pernapasan pada anak balita (Purwana dalam
Machmud, 2006).
b.
Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian untuk rumah sederhana adalah minimal 10 m2/orang. Jika
suatu rumah memiliki kepadatan hunian yang tinggi maka akan mempengaruhi
pertukaran udara di dalam rumah. Foster menjelaskan bahwa kepadatan orang
dalam rumah berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita (Machmud,
2006). Herman (2002) juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara
kepadatan hunian dengan insidens pneumonia.
c.
Ventilasi Rumah
Ventilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan pengeluaran
udara ke dan atau dari suatu ruang secara alamiah maupun mekanis. Pertukaran
udara secara mekanis dilakukan melalui penyediaan lubang ventilasi di dalam
rumah. Pada dasarnya luas lubang tersebut minimal 5% dari luas lantai. Akan tetapi,
jika ditambah dengan lubang udara lain seperti celah pintu atau jendela, maka luas
minimal lubang ventilasi menjadi 10% dari luas lantai.
Pada penelitian Herman (2002), diketahui bahwa balita yang tinggal di rumah
dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki risiko 4,2 kali lebih besar untuk
terkena pneumonia dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat.
d.
terhindar
dari
gas
beracun),
serta
mampu
melindungi
penghuninya
dari
kemungkinan penularan penyakit (Budiarti, 2006). Oleh sebab itu, sangatlah penting
memikirkan hal-hal tersebut di atas agar seluruh anggota keluarga dapat merasa
sehat dan nyaman berada di rumah.
Rumah yang tidak sehat dapat memudahkan penularan penyakit, terutama
penyakit pernapasan. Contohnya saja jika ventilasi udara dan pencahayaan di rumah
yang tidak baik. Kuman-kuman akan cepat berkembang biak jika rumah dibiarkan
lembab dan tidak terawat. Penelitian Yulianti menemukan ada pengaruh antara
dinding rumah dan jenis lantai dengan kejadian pneumonia (Tantry 2008).
Selain faktor- faktor risiko di atas juga ada faktor risiko lainnya, antara lain:
Pasien stroke
Pasien dengan keadaan yang tidak sadarkan diri atau mengalami kelumpuhan
misalnya stroke, pneumonia sering terjadi dalam 42-72 jam pertama pasca stroke
iskemik dan mengakibatkan sekitar 15-25% kematian terkait stroke.
Pneumonia
pasca stroke merupakan akibat dari aspirasi yang disebabkan oleh deficit neurologis
4.
Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang
terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir diseluruh
dunia. Di AS pneumonia mencapai 13% darisemua penyakit infeksi pada anak
dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia didapat 4
kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus
ditemukan dari 100 anak umur 9-15 tahun. Di United States, insidensi untuk penyakit
ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan
kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup
tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang
sekitar 10-20% pasien yang
kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa,
2011).
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka
nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%,
angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%. Pneumonia pada
dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada
kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau
lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensirelative
terhadap mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika infeksi
tersebut didapat. Selain itu factor iklim dan letak geografik mempengaruhi
peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini (Kartasasmita, 2010).
5.
Klasifikasi Pneumonia
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang
dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003, menyebutkan 3 klaisfikasi
a.
pneumonia, yaitu:
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
Pneumonia komuniti ( Community-Acquired Pneumonia/ CAP)
Pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan
rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit
b.
pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari.
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial)
pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit.
jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir
1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama
dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU,
d.
a.
lemah
(immunocompromised).
6. Patofisiologi Pneumonia
MK: defisiensi
pengetahuan
Kurang
pengetahua
n, informasi
Merangsang IL1
Merangsang IL1
Zat endogen
pyrogen
prostagland
in
Berdistribusi
ke
hipotalamus
Menggeser
setpoint
Suhu tubuh
anterior
meningkat
MK:
ketidakefektifan
bersihan jalan
Sesak,
ronkhi
Obstuksi saluran
nafas
Konsolidasipenumpukkan
eksudat di
Gangguan
alveoli
difusi O2
BGA
abnormal
Konfusi, iritabilitas,
sianosis, dispneu,
pernafasan cuping
hidung
MK: gangguan
pertukaran gas
Respon
Demam,
Penggunaan
Peningkatan
berkeringat
otot bantu
Cairan tubuh
pemecahan
abdomen
<<
cadangan makanan
MK: resiko tinggi
Refluk
MK:
kekurangan
fagal
ketidakseimbangan
Mual,
volume cairan
nutrisi kurang dari
muntah
7. Manifestasi klinis Pneumonia
kebutuhan
tubuh
Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas :
Tanda di ekstrapulmonal
Leukositosis jelas pada pneumonia bakteri dan pada sputum dapat
dibiak kuman penyebabnya (Muttaqin, 2008).
atau
biopsi
pembukaan
baru
untuk
mengatasi
9. Penatalaksanaan Pneumonia
Penatalaksanaan pneumonia
dilakukan
berdasarkan
penentuan
lebih dahulu)
Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, disertai nafas cepat
Tindakan :
1. Nasehati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
2. Beri antibiotik selama 5 hari
3. Anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat apabila keadaan
memburuk
4. Bila demam, obati
5. Bila ada wheezing , obati
WHO
menganjurkan
penggunaan
antibiotika
untuk
Oksigen 1-2L/menit
Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100mmhg atau saturasi 95-96%
M.Pnemoniae
H.Influenzae
Antibiotika
Penisilin G 50.000 unit/hari IV atau
Penisilin Prokain 600.000U/kali/hari IM atau
Ampisilin 100mg/Kg BB/hari atau
Seftriakson 75-200 mg/Kg BB/hari
Eritromisin 15mg/Kg BB/hari atau derivatnya
Kloramfenikol 100mg/Kg BB/hari atau
Klebsiella
Sefalosforin
Pencegahan primer
Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pneumonia, antara
lain:
a. Perawatan selama masa kehamilan
Pencegahan sekunder
Tujuannya adalah untuk
menyembuhkan
orang
yang
sudah
udara.
Pengobatan
awal
adalah
untuk
mengurangi
dan
thoracentesis
untuk
menghapus
cairan
untuk
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1.
2.
Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
3.
Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
4.
Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia
(malnutrisi)
5.
Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
6.
Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)
7.
Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda :
sputum:merah muda, berkarat
perpusi: pekak datar area yang konsolidasi
premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi
Bunyi nafas menurun
Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku
8.
Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar
9.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
dengan
Gas
Darah
Arteri
abnormal,
PH
artery
penurunan
turgor
kulit,
memebran mukosa
kering,
dan
2. Hipertermia b.d.
dehidrasi dan
Intervensi
NIC label
Respiratory Monitoring
1. Monitor laju ritme dari nafas
2. Monitor suara nafas tambahan seperti
snoring
3. Monitor peningkatan kelelahan
4. Monitor peningatan kegelisahan, dan
kekurangan oksigen
5. Monitor sekresi dari sistem pernafasan
pasien
6. Berikan terapi perawatan nebulizer
sesuai kebutuhan
Oxigen therapy
7. Bersihkan skresi mulut hidung dan
trakea sesuai kebutuhan
8. Memeberikan terapi oksigen sesuai
kebutuhan
9. Monitor aliran oksigen
penyakit ditandai
dengan peningkatan
suhu tubuh diatas
normal, dan kulit
terasa hangat.
3. Kekurangan volume
cairan b.d.
kehilangan cairan
keluarga aktif
ditandai dengan
penurunan turgor
kulit, memebran
mukosa kering, dan
peningkatan suhu
tubuh.
4. Ketidakefektifan
regimen terapeutik
keluarga b.d. konflik
keputusan ditandai
dengan
ketidakefektifan
aktifitas kluaraga
untuk memenuhi
tujuan kesehatan
Resiko keterlambatan
perkembangan b.d
nutrisi yang tidak
adekuat, dan
prematuritas
Evaluasi dari
efektifitas dari
perawatan
Child development : 2
month
- anak tersenyum (skala
5)
- refleks menggenggam
(skala 5)
- menampilkan
ketertarikan dalam
rangsang suara (skala 5)
- menampilkan
ketertarikan dalam
rangsangan visual (skala
5)
- Berinteraksi dengan
gembira terutama dengan
tenaga (skala 5)
- Family functioning
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Tulus, Y, 2008.Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan
dengan
kejadian
pneumonia
pada
anak
balita.
http://eprints