Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Seksio sesarea merupakan suatu prosedur operasi yang paling sering dilakukan
pada praktik obstetrik dan ginekologi dan prosedur operasi ini terus berkembang.
Operasi ini mempertimbangkan keamanan, durasi operasi, dan teknik sederhana
yang dapat berdampak pada penurunan angka morbiditas dan memberikan skar
uterus yang kuat.1
Teknik operasi seksio sesarea bervariasi dan sangat tergantung pada situasi
klinis dan pilihan teknik yang dilakukan oleh pembedah. Pertimbangan lain pada
operasi ini tidak hanya ada kehilangan darah pada maternal tetapi juga
mempertimbangkan nyeri pasca operasi, demam, dan infeksi.2
Angka persalinan dengan seksio sesarea pada awalnya telah menunjukkan
peningkatan yang cukup tajam. Di Amerika Serikat, angka ini meningkat secara
bermakna, yaitu 4,5% pada tahun 1965 menjadi 25% pada tahun 1988 dan menjadi
31% pada tahun 2009. Survey tentang persentasi seksio sesarea di seluruh
Indonesia oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1997 adalah 4,3 %. Meskipun
batasan angka
memberikan batasan 5% - 15% sebagai angka yang optimum. Secara global pada
akhir akhir ini proporsi persalinan dengan seksio sesarea telah menunjukkan
peningkatan oleh karena alasan-alasan yang kompleks termasuk keinginan dari ibu
sendiri untuk melakukan prosedur ini.3
Prosedur dan teknik dan seksio serarea tidak ada yang baku. Pada setiap pusat
pendidkan di rumah sakit banyak terdapat variasi pada tindakan ini. Setiap ahli
obstetrik mempunyai teknik yang berbeda, hal ini didasarkan dari teori yang
mereka pelajari dan berkembang karena pengalaman yang mereka dapatkan
selama operasi. 4
II. DEFINISI
Seksio sesarea didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui sayatan pada dinding
abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Berdasarkan sejarah, istilah
seksio sesarea berasal dari hukum Romawi yang dibentuk pada abad ke-8 oleh Kaisar
Numa Pompilus, yang memerintahkan prosedur tersebut untuk dilakukan pada wanita
dalam keadaan sekarat pada beberapa minggu terakhir kehamilan dengan harapan
untuk menyelamatkan sang janin. Selain itu, kata caesarean dibentuk di abad
pertengahan dari bahasa Latin caedere yang berarti memotong. Secara umum ada dua
macam tipe dari seksio sesarea primer yang berarti bahwa baru dilakukan histerotomi
untuk pertama kalinya dan sekunder yang berarti bahwa pernah dilakukan satu kali
atau lebih insisi uterus sebelumnya. Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin
dari rongga abdomen pada kasus ruptur uterus atau kehamilan abdominal.5
Dalam beberapa kasus, dan yang paling sering adalah perdarahan post partum,
histerektomi abdominal diindikasikan setelah proses melahirkan bayi. Ketika
dilakukan pada saat seksio sesarea, operasi ini disebut histerektomi sesarea.
Jika dilakukan dalam waktu singkat setelah persalinan disebut histerektomi
postpartum. Histerektomi peripartum adalah istilah yang lebih luas yang
mengkombinasikan dua keadaan tersebut.5
III. ANATOMI
A. Anatomi dinding abdomen
Dinding abdomen disusun sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi untuk
mengatur pergerakan rahim serta memberikan perlindungan isi abdomen dan
alat genitaila wanita. Susunan dinding abdomen antara lain.
1. Kulit
2. Lemak subkutan
Terdiri dari jaringan lemak yang disekat oleh septum sehingga perut
menjadi lebih tegang untuk menahan organ visera, septum jaringan ikat
ini dibentuk oleh dua fasia yang sulit dipisahkan, yaitu:
o jaringan lemak superficial (Fascia camper)
Peritoneum parietalis
Langsung melekat pada dinding abdomen
Peritoneum viseralis
Menutupi organ-organ viseralis, peritoneum yang menghubungkan
organ dan dinding abdomen ini disebut mesenterium. 6,7
2. Tuba Falopii
Merupakan organ berbentuk tubular dengan panjang kira-kira 8 cm. Tuba
falopii divaskularisasi dari cabang-cabang arteri dan vena ovarika. Tuba
falopii terdiri dari beberapa bagian yaitu:
a. Pars Uterina, yaitu bagian tub yang berjalan didalam dinding uterus.
b. Isthmus yaitu bagian tuba yang menyempit.
c. Ampula yaitu bagian tuba yang paling lebar
d. Infundibulum, bagian ujung dari tuba yang bentuknya seperti terompet
dan mempunyai lubang yang disebut ostium abdominalis yang
merupakan jalan masuk ovum kedalam tuba. Diameter abdominalis ini
sekitar 2 mm. 6
3. Ovarium
Tabel 1.
Beberapa indikasi seksio
sesarea
Dikutip
Cunningham
V.
dari
TEKNIK
SEKSIO
SESAREA
A. Evaluasi
preoperatif
10
1. Insisi Transversal
Insisi tranversal untuk pembedahan pelvis menjadi sangat menarik oleh
karena menghasilkan hasil yang terbaik secara kosmetik. Sebagai tambahan
insisi transversal 30 kali lebih kuat daripada insisi pada garis tengah tubuh
serta kurangnya nyeri sebagai hasil dari kurangnya pengaruh pergerakan
respirasi terhadap luka insisi. Luka yang terbuka lebih banyak terjadi pada
insisi vertikal. Dari literatur juga menduga bahwa luka eviserasi tiga
sampai lima kali lebih banyak dan angka kejadian hernia dua sampai tiga
kali ketika insisi vertical yang dipakai jika dibandingkan dengan insisi
transversal. Insisi transversal sendiri mempunyai kekurangan, diantaranya
adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama serta relatif lebih banak
menimbulkan perdarahan. Kadang-kadang pemisahan lapisan -lapisan
fascia dan otot akan menghasilkan ruangan potensial untuk pembentukan
formasi hematom dan seroma sesudahnya. 10
11
.
a. Insisi Pfannenstiel
Insisi pfannenstiel dikenal sebagai insisi transversal yang membentuk
kurva yang menyerupai huruf U yang menghadap keatas. Insisi
tersebut sepanjang 10 15 cm pada garis atas rambut pubis, menembus
kulit, lapisan lemak sukutan sampai ke fascia rektus. Fascia rektus ini
kemudian diinsisi secara transversal dengan gunting. Fascia rectus
kemudian dipisahkan dari M. rectus abdominis serta M .pyramidalis
secara tumpul dengan menyisipkan jari-jari kedua tangan diantara fascia
rektus dan muskulus rektus. Kemudian m.rectus kiri dan kanan
dipisahkan kearah lateral secara tumpul sehingga fascia tranversal dan
peritoneum terpapar. Hati-hati agar tidak mencederai vesica urinaria.
Hati-hati agar tidak mencederai omentum atau usus terutama pada pasca
pembedahan intra abdominal endometriosis atau infeksi intra abdominal.
Lapisan tersebut dibuka kearah kranial dengan gunting, dengan
perlindungan 2 jari yang disisipkan dibawah
peritoneum.
Lapisan
12
b. Insisi Joel-Cohen
Pada teknik insisi Joel-Cohen dibuat sayatan lurus tranversal pada kulit
3 cm dibawah garis khayal yang menghubungkan sias kiri dan kanan
atau 2 3 cm diatas sayatan pfannenstiel. Kemudian jaringan subkutan
diinsisi sepanjang 3 cm secara transversal. Fascia diinsisi secara
transversal pada midline dan kemudian dilebarkan secara tumpul dengan
jari. Muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dengan ditarik ke lateral
dengan menggunakan jari-jari tangan dan kemudian peritoneum diinsisi
secara horizontal. Insisi secara horizontal inilah yang membedakan insisi
Pfannenstiel dengan insisi Joel-Cohen.7
13
c. Insisi Maylard
Insisi melintang kulit 3-8 cm diatas simfisis pubis dan diperdalam
sampai fascia rectus (seperti pada pfannenstiel). Identifikasi fascia
rectus, dijepit dibuka secara tajam bilateral. Perbedaan dengan
pfannenstiel adalah m. rectus abdominalis tidak perlu dipisahkan dari
fascia rectus. Identifikasi arteria epigastrica inferior, sisihkan dari
jaringan ikat sepanjang tepi lateral m. rectus, identifikasi dengan palpasi
dan pemisahan secara tumpul , Setelah identifikasi, ikat secara ganda
dan potong. Kemudian dilakukan transeksi m.rectus abdominalis. Bila
perlu elevasi masing-masing m.rectus abdominalis untuk memudahkan
transeksi dan melindungi jaringan dibawah otot. Setelah transeksi, m.
rectus disisihkan ke kranial dan kaudal dan peritoneum dibuka secara
tranversal (seperti insisi pada kulit) dengan teknik yang sama.7
14
d. Insisi Cherney
Insisi kulit sampai fascia musculus rectus dilakukan dengan cara yang
sama dengan insisi Pfannenstiel atau insisi Joel-Cohen. Fascia m.rectus
dijepit di garis tengah kemudian dilakukan insisi tranversal. Potongan
inferior fascia m.rectus dijepit dengan kocher clamps di elevasi dan
dibebaskan dari m.rectus abdominalis dan m. pyramidalis secara tumpul
dan tajam ke arah simfisis pubis sehingga apponeurosis m. rectus dan m.
pyramidalis dapat di identifikasi. Tendon kemudian diinsisi secara tajam
untuk membebaskan otot dari origo pada simfisis pubis. M. rectus
abdominalis mengalami rektraksi ke superior. Fascia tranversalis serta
peritoneum dibuka dengan cara yang sama. Penutupan luka: tendon m.
rectus abdominalis dan m. pyramidalis didekatkan dengan jahitan
terputus permanen. Bila pada insisi Pfannenstiel bidang pembedahan
kurang luas dapat dilakukan perubahan ke arah insisi Cherney tanpa
menggangu integritas muskulus di garis tengah.7
15
e. Insisi Kustner
Insisi horizontal dilakukan ditempat yang sama dengan insisi
pfannenstiel, namun bedanya lapisan kulit dan lemak subkutan
disisihkan ke arah atas dan bawah sehingga lapangan yang didapatkan
cukup luas.
Insisi fasia-muskulus rektus dilakukan secara vertikal pada linea alba.
Setelah muskulus rektus disisihkan ke lateral peritoneum diinsisi pada
midline.7
16
Insisi antara simfisis pubis dan umbilicus pada garis tengah atau di linea
alba. Garis tengah atau linea alba tidak terlalu banyak pembuluh darahnya,
sehing perdarahan relative sedikit, terutama subkutan. Perdarahan yang
terjadi sebaiknya dihentikan dengan koagulasi atau diikat dengan catgut.
Setelah tampak fasia, fasia dapat diinsisi dengan gunting dengan gunting
atau dengan pisau operasi sampai panjangnya sesuai dengan besar insisi
yang diinginkan. Kedua muskulus rektus abdominis dipidahkan sampai
tampak gabungan antara aponeurosis rektus posterior dan lemak subkutan
serta peritoneum.11
Peritoneum diangkat dengan pinset kanan dan kiri, garis tengah dibula
dengan gunting atau pisau operasi. Masuknya udara menimbulkan kolaps
usus, memudahkan untuk memperluas panjang insisi peritoneum.
Perhatikan fundus vesika urinaria karena ada kemungkinan tertarik keatas
sehingga mudah terjadi trauma guntingan dan menimbulkan fistula
melebarkan insisi kearah sternum dilakukan dengan cara yang sama.
Perhatikan pula pembuluh darah peritoneum yang dihentikan dengan ligasi
atau termokauter. Insisi mediana tidak banyak memotong pembuluh darah,
serat saraf dan otot sehingga tidak akan banyak
komplikasi.11,12
menimbulkan
17
18
wanita
yang
dilakukan
pada
namun
kebanyakan
operator
menggunakan
scalpel
pada
pemeriksaan
pascaoerasi.
Para
ahli
yang
merekomendasikan
perluasan
insisi
pada
fascia
19
313
wanita.
Mereka
terpilih
secara
acak
untuk
penelitian
tidak didapatkan
perbedaan
dalam
dan
skor
nyeri
pascaoperasi.
Satu
penelitian
biasanya
dibuka secara hati-hati secara tajam atau tumpul, dan diperluas secara
tumpul, jauh di atas bladder, sehingga dapat mencegah cedera pada
organ tersebut. Sekarang, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui kerugian dan keuntungan dari pembuatan bladder flap,
maka hal ini sudah mulai ditinggalkan. Hoglagschwandtner dan kawankawan dalam penelitiannya terhadap 102 wanita membandingkan
membuat bladder flap dengan insisi langsung 1 cm di atas lekukan
20
bladder flap berhubungan dengan waktu insisi yang lebih lama untuk
melahirkan bayi (P < .001), durasi operasi yang lebih lama (P = .004),
dan penurunan hemoglobin yang cukup signifikan (1 vs 0,5g/dL,
P=009).
Pembuatan
bladder
flap
juga
berhubungan
dengan
21
22
Hameed
dan
kawan-kawan
(2002)
dalam
penelitiannya
yang
23
24
uterus dengan kassa, sampai saat ini belum dilakukan penelitian secara
khusus. Pencegahan atonia uteri dengan pemberian oksitosin ke dalam infus
dapat mengurangi angka kejadian perdarahan post partum sampai 40%.
Oksitosin lebih dipilih dibandingkan ergometrin karena efek sampingnya
yang lebih sedikit.21
H. Penjahitan Uterus
Penelitian yang membandingkan penjahitan uterus baik dengan satu lapis
atau dengan dua lapis telah banyak dilakukan. Penelitian terbesar (dengan
jumlah sampel 906 wanita) mendapatkan penurunan yang signifikan pada
durasi operasi sebanyak 5,6 menit (P= 0,001). Didapatkan juga perbedaan
yang signifikan pada perdarahan intraoperatif dan kebutuhan akan transfusi
darah(12% vs 34%). Sedangkan pada angka kejadian endometritis tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua teknik tersebut. Enkin
dan kawan-kawan(2007) dalam penelitiannya mendapatkan angka kejadian
dehisensi uterus yang lebih rendah pada teknik penjahitan uterus dengan satu
25
visceral.
Pada
peritoneum
yang
kedua
lapisannya
tidak
26
secara signifikan dan juga waktu rawat inap pada pasien yang tidak
dilakukan penjahitan peritoneum. Selain itu juga didapatkan kecenderungan
kebutuhan obat-obat analgesik dan angka kejadian infeksi yang lebih sedikit
pada pasien yang tidak dilakukan penjahitan peritoneum. Pada follow up
jangka panjang, setelah tujuh tahun menunjukkan tidak ada perbedaan pada
rasa nyeri, fertilitas, keluhan miksi, dan perlengketan. Studi observasional
membuktikan bahwa peritoneum akan meregenerasi dalam waktu 5 sampai 6
hari.22
Tulandi (2009) dalam penelitiannya tidak mendapatkan hubungan yang
bermakna antara angka kejadian perlengketan yang ditemukan pada wanita
yang memiliki riwayat seksio sesarea yang lapisan peritoneumnya tidak
dilakukan penjahitan.23
Penjahitan Otot
Penelitian yang menunjukkan keuntungan penjahitan otot rectus abdominis
belum ditemui sampai saat ini. Para ahli meyakini bahwa otot tersebut
akanmenemukan jalan sendiri untuk menyatu, selain itu dengan menjahit
otot tersebut akan menambah nyeri pascaoperasi yang tidak perlu pada saat
pasien akan belajar mobilisasi.24
Penjahitan Fasia
Belum ada penelitian khusus tentang hubungan teknik penjahitan fasia dan
hubungannya terhadap outcome pascaoperasi. Namun para ahli lebih
menganjurkan penjahitan secara jelujur. Teknik penjahitan secara jelujur
terkunci yang lebih bertujuan untuk hemostasis tidak direkomendasikan
dengan alasan tidak adanya vaskularisasi pada fasia.24
Penjahitan Subkutis
Penelitian yang membandingkan penjahitan pada lapisan subkutis telah
banyak dilakukan. Chelmow dan kawan-kawan (2004) mendapatkan angka
kejadian infeksi luka operasi lebih sedikit pada kelompok wanita yang
dijahit pada lapisan subkutis (2:91). Ketebalan lapisan subkutis adalah faktor
yang harus diperhatikan. Dari berbagai penelitian, didapatkan hasil bahwa
pada lapisan subkutis dengan tebal < 2 cm tidak didapatkan perbedaan pada
27
angka kejadian infeksi pada kelompok yang dijahit dan tidak dijahit,
sehingga penjahitan pada lapisan subkutis dengan tebal < 2 cm tidak
dianjurkan untuk menjadi sebuah kegiatan yang rutin.24
Chelmow dan kawan-kawan (2005) dalam penelitiannya juga mendapatkan
angka kejadian infeksi lebih sedikit pada wanita dengan ketebalan subkutis <
2 cm yang tidak dijahit. Penjahitan subkutis dengan teknik jelujur lebih
menguntungkan dalam hal waktu. Didapatkan perbedaan dalam durasi
operasi sampai 4,8 menit antara penjahitan lapisan subkutis yangdijahit
secara jelujur dan yang dijahit secara terputus. Meskipun tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada angka kejadian infeksi dengan teknik
penjahitan. Pada subkutis dengan ketebalan > 2 cm, penjahitan subkutis
adalah hal yang dianjurkan. 24
Penutupan Kulit
Penutupan kulit dengan menggunakan penjahitan subkutikuler atau dengan
staples juga telah dibandingkan dalam beberapa penelitian. Frishman dalam
penelitiannya pada 50 wanita yang dilakukan seksio sesarea dengan insisi
Pfannenstiel, ia membandingkan kedua teknik penutupan kulit ini.24
Pada kulit yang ditutup dengan staples, didapatkan penurunan durasi operasi
yang bermakna (<1 vs 10 menit, P < .001), namun dengan peningkatan
konsumsi pil analgesik selama 6 minggu pascaoperasi. Secara umum dari
literatur didapatkan bahwa penutupan kulit dengan penjahitan subkutikuler
berhubungan dengan nyeri pascaoperasi yang lebih sedikit dan tampilan
kosmetik yang lebih baik.24
28
RUJUKAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
57 67
29
12. Gizzo S, Andrisani A, Noventa M, Gangi SD, Quaranta M, Cosmi E, Dantona D, et all. Caesarean
setion: could different transverse abdominal incision techniques influence postpartum pain and
subsequent quality of life? A systematic review.Norway: J Pone. 2015.10(2)
13. OGrady JP, Gimovsky ML, Bayer-Zwirello LA, Giordano K. Operative Obstetrics 3rd
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.