You are on page 1of 29

I.

PENDAHULUAN
Seksio sesarea merupakan suatu prosedur operasi yang paling sering dilakukan
pada praktik obstetrik dan ginekologi dan prosedur operasi ini terus berkembang.
Operasi ini mempertimbangkan keamanan, durasi operasi, dan teknik sederhana
yang dapat berdampak pada penurunan angka morbiditas dan memberikan skar
uterus yang kuat.1
Teknik operasi seksio sesarea bervariasi dan sangat tergantung pada situasi
klinis dan pilihan teknik yang dilakukan oleh pembedah. Pertimbangan lain pada
operasi ini tidak hanya ada kehilangan darah pada maternal tetapi juga
mempertimbangkan nyeri pasca operasi, demam, dan infeksi.2
Angka persalinan dengan seksio sesarea pada awalnya telah menunjukkan
peningkatan yang cukup tajam. Di Amerika Serikat, angka ini meningkat secara
bermakna, yaitu 4,5% pada tahun 1965 menjadi 25% pada tahun 1988 dan menjadi
31% pada tahun 2009. Survey tentang persentasi seksio sesarea di seluruh
Indonesia oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1997 adalah 4,3 %. Meskipun
batasan angka

seksio sesarea yang tepat masih diperdebatkan, namun WHO

memberikan batasan 5% - 15% sebagai angka yang optimum. Secara global pada
akhir akhir ini proporsi persalinan dengan seksio sesarea telah menunjukkan
peningkatan oleh karena alasan-alasan yang kompleks termasuk keinginan dari ibu
sendiri untuk melakukan prosedur ini.3
Prosedur dan teknik dan seksio serarea tidak ada yang baku. Pada setiap pusat
pendidkan di rumah sakit banyak terdapat variasi pada tindakan ini. Setiap ahli
obstetrik mempunyai teknik yang berbeda, hal ini didasarkan dari teori yang
mereka pelajari dan berkembang karena pengalaman yang mereka dapatkan
selama operasi. 4

II. DEFINISI
Seksio sesarea didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui sayatan pada dinding
abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Berdasarkan sejarah, istilah
seksio sesarea berasal dari hukum Romawi yang dibentuk pada abad ke-8 oleh Kaisar
Numa Pompilus, yang memerintahkan prosedur tersebut untuk dilakukan pada wanita
dalam keadaan sekarat pada beberapa minggu terakhir kehamilan dengan harapan
untuk menyelamatkan sang janin. Selain itu, kata caesarean dibentuk di abad
pertengahan dari bahasa Latin caedere yang berarti memotong. Secara umum ada dua
macam tipe dari seksio sesarea primer yang berarti bahwa baru dilakukan histerotomi
untuk pertama kalinya dan sekunder yang berarti bahwa pernah dilakukan satu kali
atau lebih insisi uterus sebelumnya. Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin
dari rongga abdomen pada kasus ruptur uterus atau kehamilan abdominal.5
Dalam beberapa kasus, dan yang paling sering adalah perdarahan post partum,
histerektomi abdominal diindikasikan setelah proses melahirkan bayi. Ketika
dilakukan pada saat seksio sesarea, operasi ini disebut histerektomi sesarea.
Jika dilakukan dalam waktu singkat setelah persalinan disebut histerektomi
postpartum. Histerektomi peripartum adalah istilah yang lebih luas yang
mengkombinasikan dua keadaan tersebut.5
III. ANATOMI
A. Anatomi dinding abdomen
Dinding abdomen disusun sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi untuk
mengatur pergerakan rahim serta memberikan perlindungan isi abdomen dan
alat genitaila wanita. Susunan dinding abdomen antara lain.
1. Kulit
2. Lemak subkutan
Terdiri dari jaringan lemak yang disekat oleh septum sehingga perut
menjadi lebih tegang untuk menahan organ visera, septum jaringan ikat
ini dibentuk oleh dua fasia yang sulit dipisahkan, yaitu:
o jaringan lemak superficial (Fascia camper)

o lapisan membranosa (fascia Scarpa)


3. Dinding abdomen bagian otot:
a. Otot-otot dinding ventral abdomen:
o M. rectus abdominis
o M. piramidalis
b. Otot-otot dinding lateral abdomen:
o M. obliquus abdominis eksterna
o M. obliquus abdoiminis interna
o M. transverses abdominis
4. Fascia transversalis
5. Peritoneum
Merupakan suatu selaput tipis dan mengkilap yang melapisi dinding
kavum abdomen dari sebelah dalam.
Peritoneum dibagi menjadi:
o
o

Peritoneum parietalis
Langsung melekat pada dinding abdomen
Peritoneum viseralis
Menutupi organ-organ viseralis, peritoneum yang menghubungkan
organ dan dinding abdomen ini disebut mesenterium. 6,7

Gambar 1. Dinding depan Abdomen.


Dikutip dari Burke II J J.7

Gambar 2. Sirkulasi darah pada dinding abdomen


Dikutip dari Burke II J J.7

Gambar 3. Potongan melintang dinding bawah abdomen


Dikutip dari Burke II J J.7

B. Anatomi Genitalia Interna


1. Uterus dan Serviks

Uterus merupakan organ fibromuskuler yang terletak antara vesiko


urinaria dan rektum. Bentuk dan ukuran uterus bervariasi, tergantung pada
paritas dan stimulasi estrogen. Pada wanita dewasa yang tidak hamil, berat
uterus kira-kira 30-40 gram dengan panjang kira-kira 7 cm dan lebar 5
cm.6,7
Bagian-bagian uterus yaitu:
a. Fundus Uteri, merupakan bagian uterus yang cembung dan terletak di
sebelah ventrokranial dari tempat masuknya tuba kedalam uterus.
b. Korpus Uteri, merupakan bagian utama uterus yang makin kearah
dorsokaudal makin mengecil dan berakhir pada isthmus.
c. Isthmus Uteri, merupakan baian ueterus yang sempit dan erletak antara
korpus dan serviks.
d. Serviks Uteri, dimulai dari bagian bawah isthmus uteri sepanjang kirakira 2 cm. Dindingnya sebagian besar tersusun dari jaringan ikat.
Vaskularisasi Uterus
a. Arteri Uterina, berjalan dari dinding pelvis kearah medial menuju
serviks. Setelah mencapai serviks, arteri ini bercabang ke serviks dan
vagina bagian atas. Selanjutnya berjalan ke kranial diantara kedua
lapisan ligamen latum sepajang margo lateralis uteri sambil
memberikan cabang-cabang untuk korpus uteri. 6,7
b. Arteri ovarika.
6,7

Gambar 4. Vaskularisasi organa genetalia interna


Dikutip dari Trenhaile.8

2. Tuba Falopii
Merupakan organ berbentuk tubular dengan panjang kira-kira 8 cm. Tuba
falopii divaskularisasi dari cabang-cabang arteri dan vena ovarika. Tuba
falopii terdiri dari beberapa bagian yaitu:
a. Pars Uterina, yaitu bagian tub yang berjalan didalam dinding uterus.
b. Isthmus yaitu bagian tuba yang menyempit.
c. Ampula yaitu bagian tuba yang paling lebar
d. Infundibulum, bagian ujung dari tuba yang bentuknya seperti terompet
dan mempunyai lubang yang disebut ostium abdominalis yang
merupakan jalan masuk ovum kedalam tuba. Diameter abdominalis ini
sekitar 2 mm. 6
3. Ovarium

Berbentuk oval, berukuran 3x2x1 cm. Letak ovarium berada di fossa


waldeyer, yaitu bagian pelvis yang berada pada sudut antara vena iliaka
eksterna dan ureter. Vaskularisasi ovarium berasal dari arteri dan vena
ovarika dan cabang dari arteri uterina.6
IV. INDIKASI SEKSIO SESAREA
Persalinan secara seksio sesarea sebenarnya diindikasikan untuk menghindari
kematian ibu dan bayi terutama bila terdapat kontraindikasi selama persalinan
atau bila persalinan pervaginam menghadapi hambatan atau beresiko.9
Beberapa indikasi dilakukannya seksio sesarea dapat dilihat pada tabel 1.
Lebih dari 85% operasi ini dilakukan atas empat alasanriwayat seksio sesarea
sebelumnya, distosia, fetal jeopardy, atau presentasi abnormal dari fetus.5
Maternal
Riwayat seksio sesarea sebelumnya
Kelainan letak plasenta
Permintaan ibu
Riwayat histerotomi klasik sebelumnya
Tipe skar uterus yang tidak diketahui
Uterine incision dehiscence
Full-thickness miomektomi sebelumnya
Massa yang menyebabkan obstruksi traktus genitalia
Kanker serviks invasif
Riwayat trakelektomi sebelumnya
Sirklase permanen
Riwayat bedah rekonstruksi pelvis sebelumnya
Deformitas pelvis
Infeksi HSV atau HIV
Penyakit jantung atau paru
Aneurisma serebral atau malformasi arteriovenosus
Bedah intraabdominal bersamaan yang memerlukan patologi
Seksio sesarea perimortem
Maternal-Fetal
Disproporsi kepala panggul
Persalinan pervaginam yang gagal
Plasenta previa atau solusio plasenta
Fetal
Nonreassuring fetal status
Malpresentasi
Makrosomia
Anomali kongenital
Doppler tali pusat abnormal
Trombositopenia
Riwayat rauma kelahiran neonatus sebelumnya

Tabel 1.
Beberapa indikasi seksio
sesarea

Dikutip
Cunningham

V.

dari

TEKNIK

SEKSIO

SESAREA
A. Evaluasi
preoperatif

Dalam kasus operasi yang terencana, penilaian preoperatif meliputi:


1. Riwayat lengkap pemeriksaan fisik
2. Riwayat penyakit yang lalu serta riwayat operasi sebelumnya
3. Riwayat pemakaian obat-obatan serta allergi obat
4. Persetujuan tindakan
5. Indikasi seksio sesarea
6. Pemeriksaan darah lengkap serta persiapan darah di unit pelayanan darah
7. Pada kondisi tertentu konsultasi preoperatif dengan ahli anestesi atau
dengan spesialisasi yang lain perlu juga dipertimbangkan
8. Hendaknya selalu mengawasi pasien dengan resiko tinggi terjadinya
komplikasi anestesi selama periode antenatal.
9. Pada kasus dengan resiko yang sangat tinggi, seperti plasenta previa atau
dicurigai akreta, parameter preoperative yang lain seharusnya juga menjadi
pertimbangan seperti adanya spesialis obstetri dan spesialis anestesi senior
yang mendampingi selama operasi.10
B. Persetujuan Tindakan
Operator bertanggung jawab untuk mengawasi dan mencatat persetujuan
tindakan yang diberikan kepada keluarga pasien. Ia juga harus menjelaskan
mengapa operasi ini dibutuhkan. Resiko dan komplikasi juga harus
dikomunikasikan secara jelas. Pentingnya komunikasi yang baik sangat
penting dan harus dicatatkan dalam laporan medis pasien. 10
C. Persiapan Pasien
Persiapan pasien meliputi:
1. Memposisikan pasien dalam posisi miring kiri dengan panggul terapit akan
sangat membantu untuk meminimalisir tekanan pada vena cava inferior.
2. Rambut pubis sebaiknya tidak dicukur dengan pisau cukur karena akan
meningkatkan resiko infeksi melalui kulit yang terluka sebagai tempat
masuknya bakteri.
3. Chlorhexidine dan alkohol untuk persiapan kulit. Hal ini karena
chlorhexidine-alkohol dihubungkan dengan insiden yang lebih rendah
terhadap luka infeksi dibandingkan dengan pemakaian povidone iodine. 10
4. Pemberian antibiotik profilaksis. Pada penelitian Zigos E dkk. pada tahun
2010, meneliti penggunaan ampisilin/sulbactam, kombinasi antibiotik
(ampisilin, gentamisin, dan metronidazole), penisilin dan cephalotin

dibandingkan dengan antibiotik golongan cephalosporin. Hasilnya tidak


ada perbedaan bermakna diantara penggunaan antibiotik kombinasi dengan
penggunaan antibiotik tunggal seperti ampisilin atau cephalosporin
generasi pertama. Waktu pemberian antibiotik telah diteliti pada penelitian
RCT dan metaanalisis dimana waktu pemberian terbaik pada 15 60 menit
sebelum dilakukan insisi pada kulit dengan hasil penelitian dapat
menurunkan angka kejadian endometritis (4% dibandingkan 8,8%), dan
total angka kecacatan yang disebabkan oleh infeksi (7,2% dibandingkan
14,3%). Pada penelitian ini juga disebutkan tidak terjadinya komplikasi
pada janin dengan pemberian antibiotik sebelum melakukan tindakan
seksio sesarea. 25
D. Prinsip Pembedahan
Semua tindakan pembedahan seharusnya dilakukan dengan adekuat dan tidak
berlebihan untuk mendapatkan akses. Penanganan jaringan dengan lembut dan
hati-hati disertai dengan perhatian penuh serta teliti dalam homeostasis
merupakan faktor yang mendasar dan penting dalam segala aspek
pembedahan. Pengetahuan mengenai anatomi jaringan harus cukup baik untuk
menghindari kerusakan jaringan yang tidak diperlukan. 10
E. Insisi Dinding Abdomen
Sejumlah insisi abdomen biasa dipakai untuk persalinan perabdominam. Jenis
insisi yang paling sering digunakan di Amerika Serikat adalah insisi
Pfannenstiel, kemudian yang berikutnya adalah insisi vertikal pada garis
tengah tubuh. Jenis insisi yang lain yang juga dipakai termasuk Maylard,
Cherney, serta low tranverse. Secara umum indikasi insisi abdomen
didasarkan kepada bentuk badan ibu, kondisi klinis, waktu yang tersedia
untuk melahirkan bayi, serta keterampilan operator. Insisi vertikal pada garis
tengah tubuh secara umum lebih hemostatik serta lebih sedikit membutuhkan
diseksi, sehingga waktu yang dibutuhkan mulai dari insisi sampai kelahiran
janin lebih cepat dibandingkan insisi tranversal. 10

10

1. Insisi Transversal
Insisi tranversal untuk pembedahan pelvis menjadi sangat menarik oleh
karena menghasilkan hasil yang terbaik secara kosmetik. Sebagai tambahan
insisi transversal 30 kali lebih kuat daripada insisi pada garis tengah tubuh
serta kurangnya nyeri sebagai hasil dari kurangnya pengaruh pergerakan
respirasi terhadap luka insisi. Luka yang terbuka lebih banyak terjadi pada
insisi vertikal. Dari literatur juga menduga bahwa luka eviserasi tiga
sampai lima kali lebih banyak dan angka kejadian hernia dua sampai tiga
kali ketika insisi vertical yang dipakai jika dibandingkan dengan insisi
transversal. Insisi transversal sendiri mempunyai kekurangan, diantaranya
adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama serta relatif lebih banak
menimbulkan perdarahan. Kadang-kadang pemisahan lapisan -lapisan
fascia dan otot akan menghasilkan ruangan potensial untuk pembentukan
formasi hematom dan seroma sesudahnya. 10

11

Gambar 5. Tempat insisi pada dinding depan abdomen


Dikutip dari Trenhaile 8

.
a. Insisi Pfannenstiel
Insisi pfannenstiel dikenal sebagai insisi transversal yang membentuk
kurva yang menyerupai huruf U yang menghadap keatas. Insisi
tersebut sepanjang 10 15 cm pada garis atas rambut pubis, menembus
kulit, lapisan lemak sukutan sampai ke fascia rektus. Fascia rektus ini
kemudian diinsisi secara transversal dengan gunting. Fascia rectus
kemudian dipisahkan dari M. rectus abdominis serta M .pyramidalis
secara tumpul dengan menyisipkan jari-jari kedua tangan diantara fascia
rektus dan muskulus rektus. Kemudian m.rectus kiri dan kanan
dipisahkan kearah lateral secara tumpul sehingga fascia tranversal dan
peritoneum terpapar. Hati-hati agar tidak mencederai vesica urinaria.
Hati-hati agar tidak mencederai omentum atau usus terutama pada pasca
pembedahan intra abdominal endometriosis atau infeksi intra abdominal.
Lapisan tersebut dibuka kearah kranial dengan gunting, dengan
perlindungan 2 jari yang disisipkan dibawah

peritoneum.

Lapisan

tersebut dibuka lebih lanjut ke kaudal secara tajam. Hati-hati mencederai


vesica urinaria.7
Jika insisi Pfannenstiel meluas ke lateral sampai melewati tepi m. rektus,
dan mencapai m. obliquus externa atau interna, maka dapat mencederai
nervus iliohipogastrikus atau nervus ilioinguinal sehingga dapat
menyebabkan timbulnya neuroma.7

12

Gambar 6. Insisi Pfannenstiel


Dikutip dari Trenhaile 8

b. Insisi Joel-Cohen
Pada teknik insisi Joel-Cohen dibuat sayatan lurus tranversal pada kulit
3 cm dibawah garis khayal yang menghubungkan sias kiri dan kanan
atau 2 3 cm diatas sayatan pfannenstiel. Kemudian jaringan subkutan
diinsisi sepanjang 3 cm secara transversal. Fascia diinsisi secara
transversal pada midline dan kemudian dilebarkan secara tumpul dengan
jari. Muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dengan ditarik ke lateral
dengan menggunakan jari-jari tangan dan kemudian peritoneum diinsisi
secara horizontal. Insisi secara horizontal inilah yang membedakan insisi
Pfannenstiel dengan insisi Joel-Cohen.7

13

c. Insisi Maylard
Insisi melintang kulit 3-8 cm diatas simfisis pubis dan diperdalam
sampai fascia rectus (seperti pada pfannenstiel). Identifikasi fascia
rectus, dijepit dibuka secara tajam bilateral. Perbedaan dengan
pfannenstiel adalah m. rectus abdominalis tidak perlu dipisahkan dari
fascia rectus. Identifikasi arteria epigastrica inferior, sisihkan dari
jaringan ikat sepanjang tepi lateral m. rectus, identifikasi dengan palpasi
dan pemisahan secara tumpul , Setelah identifikasi, ikat secara ganda
dan potong. Kemudian dilakukan transeksi m.rectus abdominalis. Bila
perlu elevasi masing-masing m.rectus abdominalis untuk memudahkan
transeksi dan melindungi jaringan dibawah otot. Setelah transeksi, m.
rectus disisihkan ke kranial dan kaudal dan peritoneum dibuka secara
tranversal (seperti insisi pada kulit) dengan teknik yang sama.7

Gambar 7. Insisi Maylard


Dikutip dari Trenhaile 8

14

d. Insisi Cherney
Insisi kulit sampai fascia musculus rectus dilakukan dengan cara yang
sama dengan insisi Pfannenstiel atau insisi Joel-Cohen. Fascia m.rectus
dijepit di garis tengah kemudian dilakukan insisi tranversal. Potongan
inferior fascia m.rectus dijepit dengan kocher clamps di elevasi dan
dibebaskan dari m.rectus abdominalis dan m. pyramidalis secara tumpul
dan tajam ke arah simfisis pubis sehingga apponeurosis m. rectus dan m.
pyramidalis dapat di identifikasi. Tendon kemudian diinsisi secara tajam
untuk membebaskan otot dari origo pada simfisis pubis. M. rectus
abdominalis mengalami rektraksi ke superior. Fascia tranversalis serta
peritoneum dibuka dengan cara yang sama. Penutupan luka: tendon m.
rectus abdominalis dan m. pyramidalis didekatkan dengan jahitan
terputus permanen. Bila pada insisi Pfannenstiel bidang pembedahan
kurang luas dapat dilakukan perubahan ke arah insisi Cherney tanpa
menggangu integritas muskulus di garis tengah.7

Gambar 8. Insisi Cherney

15

Dikutip dari Trenhaile 8

e. Insisi Kustner
Insisi horizontal dilakukan ditempat yang sama dengan insisi
pfannenstiel, namun bedanya lapisan kulit dan lemak subkutan
disisihkan ke arah atas dan bawah sehingga lapangan yang didapatkan
cukup luas.
Insisi fasia-muskulus rektus dilakukan secara vertikal pada linea alba.
Setelah muskulus rektus disisihkan ke lateral peritoneum diinsisi pada
midline.7

Gambar 9. Insisi Kustner


Dikutip dari Trenhaile 8

2. Insisi Vertikal (insisi mediana)

16

Insisi antara simfisis pubis dan umbilicus pada garis tengah atau di linea
alba. Garis tengah atau linea alba tidak terlalu banyak pembuluh darahnya,
sehing perdarahan relative sedikit, terutama subkutan. Perdarahan yang
terjadi sebaiknya dihentikan dengan koagulasi atau diikat dengan catgut.
Setelah tampak fasia, fasia dapat diinsisi dengan gunting dengan gunting
atau dengan pisau operasi sampai panjangnya sesuai dengan besar insisi
yang diinginkan. Kedua muskulus rektus abdominis dipidahkan sampai
tampak gabungan antara aponeurosis rektus posterior dan lemak subkutan
serta peritoneum.11
Peritoneum diangkat dengan pinset kanan dan kiri, garis tengah dibula
dengan gunting atau pisau operasi. Masuknya udara menimbulkan kolaps
usus, memudahkan untuk memperluas panjang insisi peritoneum.
Perhatikan fundus vesika urinaria karena ada kemungkinan tertarik keatas
sehingga mudah terjadi trauma guntingan dan menimbulkan fistula
melebarkan insisi kearah sternum dilakukan dengan cara yang sama.
Perhatikan pula pembuluh darah peritoneum yang dihentikan dengan ligasi
atau termokauter. Insisi mediana tidak banyak memotong pembuluh darah,
serat saraf dan otot sehingga tidak akan banyak
komplikasi.11,12

menimbulkan

17

Gambar 10. Insisi Mediana


Dikutip dari Trenhaile 8

Banyak dilakukan penelitian tentang jenis insisi pada dinding


abdomen, secara umum, insisi transversal lebih dianjurkan, dengan
alasan dapat berkurangnya nyeri operasi dan unsur kosmetik
dibandingkan insisi vertikal.
Insisi Pfannensteil ataupun transversal pada 2 jari di atas
simfisis, insisi Joel-Cohen, dan teknik lain yang merupakan variasi dari
Joel-Cohen, yaitu Misgav Ladach, adalah insisi yang dianjurkan.
Telah banyak penelitian yang membandingkan ketiga teknik ini
berdasarkan keuntungan dan kerugiannya. Didapatkan beberapa
penelitian yang membandingkan antara teknik Joel-Cohen dan
Pfannenstiel. Dari penelitian- penelitian tersebut didapatkan beberapa
poin penting diantaranya yaitu Dari lima penelitian, didapatkan

18

perdarahan yang lebih sedikit pada 481

wanita

yang

dilakukan

seksio sesarea dengan teknik Joel- Cohen; dengan menggunakan


teknik Joel-Cohen, didapatkan waktu operasi yang lebih singkat; tidak
didapatkan perbedaan angka kejadian infeksi antara teknik JoelCohen dan Pfannenstiel; didapatkan angka kejadian hematom yang
lebih tinggi pada luka operasi dengan teknik Joel-Cohen; tidak
didapatkan perbedaan waktu pada gerakan peristaltik usus, dan
mobilisasi pasien; didapatkan angka kejadian demam yang lebih
sedikit

pada

pasien pasca operasi dengan teknik Joel-Cohen

dibandingkan dengan Pfannenstiel; didapatkan nyeri post operasi


yang lebih sedikit pada pasien yang dioperasi dengan teknik JoelCohen. Pada penelitian Hofmeyr GJ tahun 2008 menemukan bahwa
teknik Joel-Cohen mengurangi waktu operasi, kehilangan darah dan
penggunaan analgesik.25
Teknik dalam membuka subkutis belum dilakukan penelitian
khusus,

namun

kebanyakan

operator

menggunakan

scalpel

seminimal mungkin, dimana mereka melakukan insisi pada subkutis


pada bagian medial, dan melakukan perluasan insisi secara tumpul
untuk menghindari perdarahan yang tidak perlu.
Penelitian mengenai insisi pada fasia belum banyak dilakukan,
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kadir RA tahun 2006. Diseksi
fascia pada otot rektus telah diteliti pada penelitian kecil yang
melibatkan 120 orang, tidak dilakukannya diseksi pada fasia rektus
bagian inferior

pada seksio sesarea berhubungan secara signifikan

menurunkan nyeri pascaoperasi dan juga menurunkan kehilangan


hemoglobin

pada

pemeriksaan

pascaoerasi.

Para

ahli

merekomendasikan insisi transversal dengan scalpel pada bagian


medial dan diperluas secara tajam dengan menggunakan gunting. Ada
juga

yang

merekomendasikan

perluasan

insisi

pada

fascia

19

diperluas secara tumpul dengan menggunakan jari tangan, seperti pada


teknik seksio sesarea menurut Misgav-Ladach. Beberapa klinisi ada
juga yang menganjurkan, apapun jenis insisi pada kulit, namun
insisi pada fasia sebaiknya dilakukan secara vertikal pada garis tengah
fasia, tepat pada rectus sheath, dan diperluas secara tajam dengan
menggunakan gunting.25
Telah didapatkan tiga penelitian yang membahas tentang
pemotongan otot rektus dalam membuka dinding abdomen yang
melibatkan

313

wanita.

Mereka

terpilih

secara

acak

untuk

dilakukannya insisi otot baik insisi Maylard atau Cherney dengan


Pfannenstiel.19
Dari hasil

penelitian

tidak didapatkan

perbedaan

dalam

morbiditas pascaoperasi, kesulitan dalam melahirkan janin, komplikasi


pascaoperasi,

dan

skor

nyeri

pascaoperasi.

Satu

penelitian

menunjukkan hasil bahwa kekuatan otot abdomen yang dilakukan


insisi, dibandingkan yang tidak dilakukan insisi, memiliki kekuatan
yang sama. Namun para klinisi tidak menganjurkan untuk dilakukan
insisi pada otot rectus jika tidak ada indikasi yang mendesak.19
Membuka peritoneum juga tidak dilakukan penelitian secara khusus,
Mimpi buruk bagi ahli obstetri pada ssat membuka peritoneum adalah
terpotongnya bladder atau usus pada saat ini. Peritoneum

biasanya

dibuka secara hati-hati secara tajam atau tumpul, dan diperluas secara
tumpul, jauh di atas bladder, sehingga dapat mencegah cedera pada
organ tersebut. Sekarang, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui kerugian dan keuntungan dari pembuatan bladder flap,
maka hal ini sudah mulai ditinggalkan. Hoglagschwandtner dan kawankawan dalam penelitiannya terhadap 102 wanita membandingkan
membuat bladder flap dengan insisi langsung 1 cm di atas lekukan

20

bladder. Dari hasil penelitiannya

didapatkan bahwa pembuatan

bladder flap berhubungan dengan waktu insisi yang lebih lama untuk
melahirkan bayi (P < .001), durasi operasi yang lebih lama (P = .004),
dan penurunan hemoglobin yang cukup signifikan (1 vs 0,5g/dL,
P=009).

Pembuatan

bladder

flap

juga

berhubungan

dengan

mikrohematuria pascaoperasi (47% vs 21%; P < .01) dan kebutuhan


obat analgetik yang lebih banyak (55% vs 26%; P = .006) pada dua
hari pascaoperasi. Namun sayangnya belum dilakukan peneltian
spesifik mengenai efek jangka panjang dari pembuatan bladder flap ini
(misalnya perlengketan, fungsi bladder, dan fertilitas). Dari hasil ini,
maka lebih direkomendasikan untuk tidak membuat bladder flap
sebelum melakukan insisi pada uterus. 20-23E
F. Insisi Uterus
Sampai sekarang insisi pada uterus yang sangat dianjurkan adalah insisi
transversal. Belum ada penelitian terbaru yang mengkhususkan tentang insisi
pada uterus. Dikenal beberapa jenis insisi pada uterus. Masing-masing jenis
ini memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri:
1. Low transverse incision: insisi yang paling sering digunakan, memiliki
beberapa keuntungan, diantaranya adalah risiko untuk mencederai arteri
uterina jauh lebih sedikit, dan operator memiliki akses yang lebih luas
dalam melahirkan janin.12,13
2. J incision: jarang digunakan, dengan insisi ini operator memiliki akses
yang lebih leluasa dalam melahirkan janin, terutama pada janin dengan
letak lintang. Kelemahannya adalah penyembuhan miometrium pada insisi
ini kurang baik, sehingga jarang digunakan, dan juga besarnya risiko bagi
janin untuk terluka akibat terkena insisi scalpel.13,14
3. T incision: Insisi ini biasanya merupakan insisi yang bersifat darurat,
berawal dari low transverse incision, namun kemudian operator menemui
kendala dalam melahirkan bayi (letak lintang, presentasi bokong, anak

21

kembar) sehingga dilakukan insisi ini. Kelemahannya adalah insisi ini


memiliki tingkat penyembuhan yang paling buruk setelah classic
incision.13,14
4. Low vertical incision: insisi ini, meskipun memiliki tingkat kesembuhan
yang lebih baik dibandingkan insisi klasik, namun tidak banyak digunakan
karena risiko untuk meluas sampai ke bladder cukup tinggi. 13,14
5. Double J atau Trap door incision: ini adalah alternatif insisi
daruratyang lebih dianjurkan jika operator menemui kesulitan dalam
melahirkan janin dengan low vertical incision. Insisi ini dianggap lebih
aman daripada T incision pada kasus persalinan pervaginam pada bekas
SC. Namun kelemahan insisi ini adalah besarnya risiko bagi janin untuk
terluka akibat terkena insisi scalpel.14
6. Classic incision: Insisi ini adalah inisi yang memberikan operator ruang
yang lebih leluasa dalam melahirkan janin. Namun memiliki banyak
kelemahan, seperti perdarahan intraoperatif yang lebih banyak, durasi
operasi yang lebih lama, risiko ruptur uteri yang tinggi. Insisi ini
dianjurkan jika ibu tidak berencana memiliki anak lagi.12, 13,14

Gambar 11. Macam-macam insisi pada uterus


Dikutip dari OGrady13

22

Hameed

dan

kawan-kawan

(2002)

dalam

penelitiannya

yang

membandingkan insisi transversal pada segmen bawah rahim (SBR)


secara semilunar yang diperluas secara tumpul dan insisi transversal
sepanjang 3 cm yang juga diperluas secara tumpul mendapatkan hasil
bahwa insisi transversal sepanjang 3 cm yang diperluas secara tumpul
berhubungan dengan perdarahan intraoperatif yang lebih sedikit, dan
penyembuhan uterus yang lebih sempurna.15
Selain jenis insisi, teknik meluaskan insisi juga diyakini sangat
berpengaruh terhadap luaran pasien pascaoperasi. Beberapa penelitian
telah menyimpulkan bahwa perluasan (expansion) insisi pada uterus
lebih dianjurkan untuk dilakukan secara tumpul (dengan jari) daripada
secara tajam (dengan scalpel ataupun gunting). Perluasan insisi SBR
secara tumpul dengan menggunakan jari telah terbukti mengurangi risiko
perdarahan, perluasan sampai ke arteri uterina, menghemat waktu
operasi, dan menghindari cedera pada janin.16-18
Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Cromi dan kawan-kawan (2008)
tentang perluasan insisi secara tumpul ini. Ia membandingkan dua teknik
perluasan insisi secara tumpul pada insisi transversal pada SBR, yaitu
perluasan dengan jari telunjuk yang diarahkan ke lateral-lateral dengan
perluasan insisi dengan jari telunjuk yang diarahkan ke arah cephaladcaudal. Perluasan insisi ke arah cephalad-caudal ini memiliki beberapa
kelebihan, diantaranya adalah mencegah perluasan ke arteri uterina yang
sering terjadi pada perluasan ke lateral-lateral, dan memperkecil
kemungkinan trauma, dengan menarik miometrium ke cephalad-caudad,
insisi akan meluas sesuai dengan alur lapisan otot miometrium yang
sirkuler.16
Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa dengan melakukan perluasan
insisi secara tumpul ke arah cephalad-caudal, risiko untuk terjadinya
perluasan insisi sampai ke arteriuterina dapat diperkecil (7,4% vs 3,7%,

23

P = .03), dan perdarahan intraoperatiflebih sedikit (2,0% vs 0,2%, P = .


04).16

Gambar 5. Perluasan insisi uterus. A. Perluasan insisi secara tumpul


dengan jari telunjuk yang diarahkan ke lateral-lateral. B.
Perluasan insisi secara tumpul dengan jari telunjuk yang
diarahkan ke cephalad-caudad.
Dikutip dari Cromi16

G. Teknik Melahirkan Janin dan Plasenta


Teknik melahirkan janin sangat berpengaruh dengan luaran janin pada saat
lahir. Pada presentasi kepala, USPSTF merekomendasikan untuk melahirkan
janin dengan cara meluksir kepala.8 Hal ini adalah teknik teraman, jika
dibandingkan dengan menggunakan vakum ataupun forceps. Clark (2008)
melaporkan bahwa risiko bagi bayi untuk mengalami asfiksia dan sefal
hematom lebih tinggi jika dilahirkan dengan menggunakan vakum dan
forceps dibandingkan dengan meluksir kepala. Dengan kata lain,
penggunaan vakum dan forceps adalah pilihan kedua untuk melahirkan janin
jika dengan meluksir kepala janin sulit dilahirkan.19
Pada presentasi bokong, manuver Pinard lebih dianjurkan untuk melahirkan
kaki terlebih dahulu, kemudian dapat dilanjutkan dengan manuver Lovset,
klasik, ataupun Muller. Kepala dapat dilahirkan dengan manuver
Mauriceau.13
Pada letak lintang, jika kepala sulit untuk dicapai, dapat dicoba dengan
menarik kaki atau bokong terlebih dahulu, kemudian untuk melahirkan bahu
dan kepala dapat dipakai manuver yang sama seperti presentasi bokong.13

24

Untuk melahirkan plasenta, dapat dilakukan secara spontan dan manual.


Morales dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa waktu
yang diperlukan untuk melahirkan plasenta secara spontan lebih lama
daripada manual, namun tidak didapatkan perbedaan durasi operasi yang
bermakna pada seksio sesar dengan plasenta yang dilahirkan secara spontan
dan plasenta yang dilahirkan manual. Perdarahan intra operatif pada seksio
sesarea dengan plasenta yang dilahirkan secara spontan lebih sedikit
dibandingkan pada seksio sesarea dengan plasenta yang dilahirkan secara
manual.20
Wilkinson dan kawan-kawan (2007) dalam penelitiannya mendapatkan hasil
bahwa melahirkan plasenta secara spontan dapat mengurangi risiko untuk
terjadinya komplikasi endometritis dan perdarahan intraoperatif yang lebih
sedikit dan luka terinfeksi yang lebih sedikit. Mengganti sarung tangan
sebelum melepaskan plasenta secara manual tidak menurunkan angka
kejadian endometritis. Membersihkan sisa plasenta

yang ada dari kavum

uterus dengan kassa, sampai saat ini belum dilakukan penelitian secara
khusus. Pencegahan atonia uteri dengan pemberian oksitosin ke dalam infus
dapat mengurangi angka kejadian perdarahan post partum sampai 40%.
Oksitosin lebih dipilih dibandingkan ergometrin karena efek sampingnya
yang lebih sedikit.21
H. Penjahitan Uterus
Penelitian yang membandingkan penjahitan uterus baik dengan satu lapis
atau dengan dua lapis telah banyak dilakukan. Penelitian terbesar (dengan
jumlah sampel 906 wanita) mendapatkan penurunan yang signifikan pada
durasi operasi sebanyak 5,6 menit (P= 0,001). Didapatkan juga perbedaan
yang signifikan pada perdarahan intraoperatif dan kebutuhan akan transfusi
darah(12% vs 34%). Sedangkan pada angka kejadian endometritis tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua teknik tersebut. Enkin
dan kawan-kawan(2007) dalam penelitiannya mendapatkan angka kejadian
dehisensi uterus yang lebih rendah pada teknik penjahitan uterus dengan satu

25

lapis setelah tiga bulan pascaoperasi dengan pemeriksaan histerografi


dibandingkan dengan teknik penjahitan uterus dengan dua lapis.22
Teknik penjahitan secara jelujur dapat menghemat durasi operasi dan
mengurangi perdarahan intraoperatif dibandingkan dengan penjahitan
secaraterputus. Penjahitan secara jelujur dibandingkan dengan penjahitan
jelujur terkunci (continous locking suture), dapat menghemat waktu operasi
dan perdarahan. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada angka
kejadian dehisensi uterus.22
Colin (2009) dan kawan-kawan mendapatkan hasil dari penelitiannya bahwa
mengeluarkan uterus dari cavum abdomen pada saat penjahitan dengan
tujuan untuk mempermudah dalam mengidentifikasi luka pada uterus
memiliki hubungan yang signifikan dengan angka kejadian komplikasi
pascaoperasi, yaitu muntah dan nyeri.23
Irigasi intra abdominal dengan cairan garam fisiologis sebanyak 500-1000ml
sebelum penutupan abdomen sebaiknya tidak dilakukan secara rutin karena
tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada jumlah perdarahan,
komplikasi intrapartum, perlengketan, lama perawatan dan kejadian infeksi
paska operasi.22
I. Penutupan Dinding Abdomen
Penjahitan Peritoneum
Manfaat penutupan peritoneum telah diteliti di berbagai negara, dan
didapatkan sembilan penelitian yang valid yang melibatkan 1811 wanita.
Beberapa dari penelitian ini mengevaluasi baik penutupan peritoneum
parietal ataupun visceral secara satu persatu. Meskipun beberapa penelitian
lainnya meneliti penutupan keduanya.22
Berghella (2005) mendapatkan bahwa peritoneum yang tidak dijahit
berhubungan dengan pengurangan durasi operasi, baik itu lapisan parietal
ataupun

visceral.

Pada

peritoneum

yang

kedua

lapisannya

tidak

dijahit,didapatkan pengurangan durasi operasi sampai 7,33 menit (-8,43 vs


-6,24).Didapatkan angka nyeri dan demam pascaoperasi yang menurun

26

secara signifikan dan juga waktu rawat inap pada pasien yang tidak
dilakukan penjahitan peritoneum. Selain itu juga didapatkan kecenderungan
kebutuhan obat-obat analgesik dan angka kejadian infeksi yang lebih sedikit
pada pasien yang tidak dilakukan penjahitan peritoneum. Pada follow up
jangka panjang, setelah tujuh tahun menunjukkan tidak ada perbedaan pada
rasa nyeri, fertilitas, keluhan miksi, dan perlengketan. Studi observasional
membuktikan bahwa peritoneum akan meregenerasi dalam waktu 5 sampai 6
hari.22
Tulandi (2009) dalam penelitiannya tidak mendapatkan hubungan yang
bermakna antara angka kejadian perlengketan yang ditemukan pada wanita
yang memiliki riwayat seksio sesarea yang lapisan peritoneumnya tidak
dilakukan penjahitan.23
Penjahitan Otot
Penelitian yang menunjukkan keuntungan penjahitan otot rectus abdominis
belum ditemui sampai saat ini. Para ahli meyakini bahwa otot tersebut
akanmenemukan jalan sendiri untuk menyatu, selain itu dengan menjahit
otot tersebut akan menambah nyeri pascaoperasi yang tidak perlu pada saat
pasien akan belajar mobilisasi.24
Penjahitan Fasia
Belum ada penelitian khusus tentang hubungan teknik penjahitan fasia dan
hubungannya terhadap outcome pascaoperasi. Namun para ahli lebih
menganjurkan penjahitan secara jelujur. Teknik penjahitan secara jelujur
terkunci yang lebih bertujuan untuk hemostasis tidak direkomendasikan
dengan alasan tidak adanya vaskularisasi pada fasia.24
Penjahitan Subkutis
Penelitian yang membandingkan penjahitan pada lapisan subkutis telah
banyak dilakukan. Chelmow dan kawan-kawan (2004) mendapatkan angka
kejadian infeksi luka operasi lebih sedikit pada kelompok wanita yang
dijahit pada lapisan subkutis (2:91). Ketebalan lapisan subkutis adalah faktor
yang harus diperhatikan. Dari berbagai penelitian, didapatkan hasil bahwa
pada lapisan subkutis dengan tebal < 2 cm tidak didapatkan perbedaan pada

27

angka kejadian infeksi pada kelompok yang dijahit dan tidak dijahit,
sehingga penjahitan pada lapisan subkutis dengan tebal < 2 cm tidak
dianjurkan untuk menjadi sebuah kegiatan yang rutin.24
Chelmow dan kawan-kawan (2005) dalam penelitiannya juga mendapatkan
angka kejadian infeksi lebih sedikit pada wanita dengan ketebalan subkutis <
2 cm yang tidak dijahit. Penjahitan subkutis dengan teknik jelujur lebih
menguntungkan dalam hal waktu. Didapatkan perbedaan dalam durasi
operasi sampai 4,8 menit antara penjahitan lapisan subkutis yangdijahit
secara jelujur dan yang dijahit secara terputus. Meskipun tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada angka kejadian infeksi dengan teknik
penjahitan. Pada subkutis dengan ketebalan > 2 cm, penjahitan subkutis
adalah hal yang dianjurkan. 24
Penutupan Kulit
Penutupan kulit dengan menggunakan penjahitan subkutikuler atau dengan
staples juga telah dibandingkan dalam beberapa penelitian. Frishman dalam
penelitiannya pada 50 wanita yang dilakukan seksio sesarea dengan insisi
Pfannenstiel, ia membandingkan kedua teknik penutupan kulit ini.24
Pada kulit yang ditutup dengan staples, didapatkan penurunan durasi operasi
yang bermakna (<1 vs 10 menit, P < .001), namun dengan peningkatan
konsumsi pil analgesik selama 6 minggu pascaoperasi. Secara umum dari
literatur didapatkan bahwa penutupan kulit dengan penjahitan subkutikuler
berhubungan dengan nyeri pascaoperasi yang lebih sedikit dan tampilan
kosmetik yang lebih baik.24

28

RUJUKAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hudic I, Bujold E, Fatusic Z, Skokic F, Latifagic A, Kapidzic M, Fatusic J. The misgav-ladach


method of cesarean section: a step forward in operative technique in obstetrics. Arch gynecol
obstet. Universitie lavac, Quebec, Canada. Springer. 2012. 6p
Dodd JM, Andeerson ER, Gates S, Grivell RM. Surgical techniques for uterine incision and
uterine closure at the time of cesarean section. The cochrane collaboration. John wiley and sons
ltd. 2014. 1-74.
Gebremedin S, Trend and socio-demographic differentials of caesarean section rate in Addis
Ababa, Ethiopia : analysis based on Ethiopia demographic and health surveys data, BioMed
Central Ltd, 2014
Villar J, Valladares E, Wojdyla D, Zavaleta N, Carroli G, Velazco A, et al.: Caesarean delivery
rates and pregnancy outcomes: the 2005 WHO global survey on maternal and perinatal health in
Latin America. Lancet 2006, 367:181929
Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ. Spong CS, editors. Williams
Obstetric. New york: McGraw Hill. 2014; 24
Rasjidi I. Manual seksio sesarea dan laparotomi kelainan adnexa, Sagung seto 2011; 6673.
Burke II J J, Gallup D G, Chapter 14 Incisions for Gynecologic Surgery Te lindes operative
gynecology, lippincot William & wilkins 2008 10th edition, 2008.
Trenhaile T, Meeks G R, Principle of abdominal wall incisions, Uptodate 2004
Prawirohardjo S., Seksio Sesarea. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi I. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.
2000 : 133-41

10. Naji O, Abdallah Y, Peterson-Brown S, Caesarean Birth: Surgical Techniques,

Glo.libr.womens med 2010.


11. Manuaba I B G, Dasar-Dasar Teknik Operasi Ginekologi, EGC cetakan pertama, 2005:

57 67

29

12. Gizzo S, Andrisani A, Noventa M, Gangi SD, Quaranta M, Cosmi E, Dantona D, et all. Caesarean
setion: could different transverse abdominal incision techniques influence postpartum pain and
subsequent quality of life? A systematic review.Norway: J Pone. 2015.10(2)
13. OGrady JP, Gimovsky ML, Bayer-Zwirello LA, Giordano K. Operative Obstetrics 3rd

Ed. New York: Cambridge University Press; 2008.


14. Gajjar K, Spencer C. Fetal laceration injury during cesarean section and its long-term

sequelae: a case report. Am J Obstet Gynecol 2009; 055: e5-e7.


15. Maayan-Metzger A, Schushan-Eisen I, Todris L, et al. Maternal hypotension during

16.

17.
18.
19.
20.

21.
22.
23.
24.

elective cesarean section and short-term neonatal outcome. Am J Obstet Gynecol


2010;202:56.e1-5.
Cromi A, Ghezzi F, Di Naro E, Siesto G, Loverro G, Bolis P. Blunt expansion of the low
transverse uterine incision at cesarean delivery: a randomized comparison of 2
techniques. Am J Obstet Gynecol 2008;199:292.e1-292.e6
Young RC. Myocytes, myometrium, and uterine contractions. Ann N Y Acad Sci
2007;1101:72-84.
Pelosi MA 2nd, Pelosi MA 3rd. Pelosi minimally invasive technique of cesarean section.
Surg Technol Int 2004;13:137-46.
Clark S, Vines CL, Belfort MA. Fetal injury associated with routine vacuum use during
cesarean delivery. Am J Obstet Gynecol 2008; 009: e4
Morales M, Ceysens G, Jastrow N, Viardot C, Faron G, Vial Y. Kirkpatrick C, Irion O,
Boulvain M. Spontaneous delivery manual removal of the placenta during cesarean
section: a randomised controlled trial. Int J Gynaecol Obstet 2004; 111: 908-12.
Wilkinson C, Enkin MW. Manual removal of placenta at cesarean section. Cochrane
Database Syst Rev 2008;4
Berghella V, Obstetric Evidence Based Guidelines. London: Informa Healthcare: 2008
Doganav M, Esra AT, Var T. Effect of method of uterine repair on surgical outcome of
cesarean delivery. Int J Gynaecol Obstet 2010; 111:2: 175-8.
Berghella V, Baxter JK, Chauhan SP. Evidence based surgery for cesarean section. Am J
Obstet Gynecol 2005; 193, 1607-17
25. Hohlagschwandtner M, Ruecklinger E, Husslein P, Joura EA. Is the formation of a bladder
flap at cesarean necessary? A randomized trial. Obstet Gynecol 2004;98:1089-92.
26. 24. OGrady JP, Gimovsky ML, Bayer-Zwirello LA, Giordano K. Operative Obstetrics 2nd
Ed.
27. New York: Cambridge University Press; 2008.
28. 25. Gajjar K, Spencer C. Fetal laceration injury during cesarean section and its longterm sequelae: a case report. Am J Obstet Gynecol 2009; 055: e5-e7.

You might also like