Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun
(balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia masih cukup
tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik
atau bahkan buruk. Kondisi gizi anak-anak Indonesia rata-rata lebih buruk disbanding gizi anakanak dunia dan bahkan juga dari anak-anak Afrika Tercatat satu dari tiga anak di dunia
meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan
setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas
makanan. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan
oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari
80% kematian anak.1
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan.
Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak kurang mendapat asupan gizi
seimbang dalam waktu cukup lama dan anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit,
asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan
penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu
tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan sanitasi atau
kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah
tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan
keluarga.2
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus,
kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare,
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberculosis (TB), serta penyakit infeksi lainnya. Data
dari WHO menunjukkan bahwa 54% angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk,
19% diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria, dan 32% penyebab lainnya.1
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI,2012),
sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3SD dan atau ditemukan
tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.2
Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga
gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Kwashiorkor adalah
keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di punggung kaki,
wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut
tipis / kemerahan. Marasmik-kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda
gabungan dari marasmus dan kwashiorkor.3
Sedangkan menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Departemen Kesehatan RI
2003 marasmik-kwashiorkor adalah gizi buruk dengan gambaran klinik yang merupakan
campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus dengan BB/U < 60 % baku
median WHO-NHCS disertai edema yang tidak mencolok.4
2.2. Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP,
klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut:
Klasifikasi KEP
BB/U
BB/TB
Ringan
70-80%
80-90%
Sedang
60-70%
70-80%
Berat
<60%
<70%
6
Table 1. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS
Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan
umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:5
BB/TB
TB/U
Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan gangguan gizi
yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi
menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis.
Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting)
untuk seusianya.5
Gangguan Derajat
Stunting (BB/U)
0
>95%
1
95-90%
2
89-85%
3
<85%
Tabel 3. Klasifikasi KEP menurut Waterlow5
Wasting(BB/TB)
>90%
90-80%
80-70%
<70%
2.3. Epidemiologi
Pada 2010-2012, FAO memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1 miliar penduduk dunia
atau 1 dari delapan orang penduduk dunia menderita gizi buruk. Sebagian besar (sebanyak
852 juta) diantaranya tinggal di negara-negara berkembang.6
Anak-anak merupakan penderita gizi buruk terbesar di seluruh dunia. Dilihat dari segi
wilayah, lebih dari 70 persen kasus gizi buruk pada anak didominasi Asia, sedangkan 26
persen di Amerika Latian serta Karibia.6
3
Di Indonesia, perkembangan gizi buruk menurut Riskesdas pada 2013, terdapat 19,6
persen kasus balita kekurangan gizi dan jumlah tersebut terdiri dari 5,7 persen balita dengan
gizi buruk.6
2.4. Etiologi
UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu
strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan
bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh:7
1. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya
gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit.
Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat
menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan,
maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
2. Penyebab tidak langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :
Patogenesis
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan
untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan
karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau
terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi
masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut /
decompensated malnutrition). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti
oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi
sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik / compensated
malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi
otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan
tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.8
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara penyakit
marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan
juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, di samping
menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal, memperlihatkan tanda-tanda
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi
terlihat pula. Pada KEP terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah
dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.9,10
Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino
essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi hipoalbuminemia dan
edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering menderita infeksi multipel, seperti
tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan mengalihakan penggunaan asam amino ke
sintesis protein fase akut, yang semakin memperparah berkurangnya sintesis albumin di
hepar. Penghancuran jaringan akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi,
memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino.
Kurangnya kalori dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar
insulin. Ha ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada
awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan tubuh
memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, jika hal ini tidak
terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan juga
untuk memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai
akibat menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak edema.9,10
Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor
2.6.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak
mencolok. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan <
60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
Manifestasi klinis pada Marasmus-kwashiorkor
Marasmus
Kwshiorkor
Pertumbuha
n berkurang atau
berhenti
Terlihat
sangat kurus
Penampilan
wajah seperti orangtua
Perubahan
mental
Cengeng
Kulit
kering, dingin,
mengendor, keriput
Lemak
subkutan menghilang
hingga turgor kulit
berkurang
Otot atrofi
sehingga kontur tulang
terlihat jelas
Vena
superfisialis tampak
8
jelas
Ubun
ubun besar cekung
tulang pipi
dan dagu kelihatan
menonjol
mata
terdapat bradikardi
Tekanan
darah lebih rendah
dibandingkan anak
sebaya
2.7.
Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi
protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan
vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu
jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang
dibandingkan dengan anak yang sehat.11,13
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor : BB/TB >
-3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit
9
terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa
adanya edema.
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis
terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lender)
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau syok,
serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan
setelah kedaruratan tertangani)
Batuk kronik
Riwayat imunisasi
Pemeriksaan Fisik
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki. Tentukan
status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran menurun
Sangat pucat
Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites
Tampilan tinja
2.8.
Penatalaksanaan
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:12
11
12
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III, dengan tindakan
segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap
pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan
(NGT)
catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan
Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran
Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 faseyang harus dilalui
yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 14), faserehabilitasi (Minggu ke 3 6),
fase tindak lanjut (Minggu ke 7 26). Dimana tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan
pelayanan sbb:12
14
*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1 minggu/kali)
berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit
10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk
A. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor (10 Langkah utama)
Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali sebagai
tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia ( suhu ketiak
<36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering penting untuk mencegah
kedua kondisi tersebut.12,13
15
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah dari
glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit sampai stabil.
Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36C dan/atau kesadaran menurun.
Pencegahan :
Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi yang ada
dikoreksi.
Selalu memberikan makanan sepanjang malam.
Catatan :
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP berat/gizi
buruk menderita hipoglikemia dan atasi segera dengan ditatalaksana seperti tersebut di
atas.
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak <36C :
Periksalah suhu dubur dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila tidak
tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada pemeriksaan dengan
termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia.
Bila suhu dubur <36C :
Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu)
Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala, letakkan dekat
lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu,
Pemantauan:
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila memakai
Pencegahan:
Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).
Sepanjang malam selalu beri makan
Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat tidur)
Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama).
Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit selama 2 jam secara
17
Pemantauan
Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap -1 jam selama 2 jam
pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan memantau:
denyut nadi, pernafasan, frekwensi kencing, frekwensi diare / muntah.
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang,
perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada
KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah
tercapai.
Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi
ditambahkan
langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1 liter formula, dapat
memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan).
18
Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7 hari)
sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mucosa
usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan
bakteri anaerobik dalam usus halus.
Pilihan antibiotik spektrum luas:
1. Bila tanpa komplikasi:Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 x/hari
selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg),Atau
2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia: hipotermia,
infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan
protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal.
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :
Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.
Berikan secara oral/nasogastrik
Energi : 80 100 kal/kgBB/hari
Protein : 1 1.5 g/kgBB/hari
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.
Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan
harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas: (lihat tabel 2
halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan
dengan sendok / pipet.12,13
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan
pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap).
Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula
melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase
stabilisasi ini.
Pantau dan catat:Jumlah yang diberikan dan sisanya, Muntah, Frekwensi buang air
besar dan konsistensi tinja, BB (harian).
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi
pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan
menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik.
Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah berhati-hati,
lihat bab diare persisten.
Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai
masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan 50g/minggu. Awal fase
rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya
dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung dan
intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak.
20
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula
khusus awal ke formula khusus lanjutan :
Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan
formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam
jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan
peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam pemantauan setiap
4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.Setelah normal kembali, ulangi
menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
pertambahan berat badan : timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan, evaluasi
kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB:
kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh : cek apakah asupan makanan
Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya. Berikan setiap
hari:
Suplementasi multivitamin
Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
21
Kasih sayang
Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15 30 menit/hari
Aktifitas fisik segera setelah sembuh
Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).
22
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan14 atau
sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis diberikan
vitamin A dengan dosis:12
matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3
kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faal.
2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya: hipo / hiperpigmentasi, deskuamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksisekunder, antara lain oleh Candida.12
Tatalaksana :
a. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4 (Kpermanganat) 1%
selama 10 menit
b. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
c. usahakan agar daerah perineum tetap kering
d. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
3. Parasit / Cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antihelmintik lain.12
4. Diare Melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum.
Berikan formula bebas / rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan giardiasis
merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan
tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.13
5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin / Mantoux (sering kali anergi)
dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman
pengobatan TB.12
C. Kegagalan Pengobatan
Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat badan:12
23
1. Tingginya angka kematian. Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi kematian
dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis yang
tidak tepat
malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang memadai,
beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling sedikit 5 kali
sehari
beri makanan selingan di antara makanan utama
upayakan makanan selalu dihabiskan
beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
teruskan ASI.
E. Tindakan Kegawatan
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan membaik
dengan cepat pada pemberian cairanintravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi
tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.12
Pedoman pemberian cairan :
24
a. Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer dengan
kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam pertama. Evaluasi
setelah 1 jam.
b. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan) dan
status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di
atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal /
pengganti, peroral / nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya
mulai berikan formula khusus (F-75 / pengganti).
c. Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam hal ini,
berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah
sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian
mulailah pemberian formula (F-75 / pengganti)
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila:Hb < 4 g/dl, atau Hb 4-6 g/dl disertai distress
pernapasan atau tanda gagal jantung. Transfusi darah :
2.9.
berat mencapai 5-10 % pada negara yang sedang berkembang. Jika kasus KEP ini bisa
dideteksi awal dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan serta langkah yang tepat
maka KEP berat dapat dicegah dengan mudah. Tidaklah bijaksana jika hanya mengobati
malnutrisi berat yang datang ke sarana layanan kesehatan. Seolah-olah seperti fenomena
gunung es. Oleh karena itu diperulkan pendekatan kepada masyarakat terutama masyarakat
level ekonomi menengah ke bawah.
2.10.
Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain :
Masalah pada mata
Anemia berat
Lesi kulit pada kwashiorkor
25
Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa, diare
osmotik)
Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:
2.11.
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau
karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai
dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya
progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari
set-sel tubuh akibat under nutrition maupun over nutrition.
26
JURNAL
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi hamper sepertiga penduduk dunia dan merupakan
penyebab kematian setelah HIV. Sebagian besar negara di dunia tidak dapat mengendalikan
penyakit TB, disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan. Pada tahun
2012 WHO (World Health Organization) melaporkan Global Report 2011 tentang prevalensi Tb
sebesar 289 kasus per 100.000 penduduk, insidens TB sebesar 189 kasus per 100.000 penduduk
dan angka kematian sebesar 27 kasus per 100.000 penduduk.
TB menyerang seluruh usia, termasuk anak-anak berkisar antara 3% sampai 25% dari
seluruh presentase kasus TB paru. Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB dewasa, sehingga
penanggulangan TB anak penting untuk gambaran epidemiologi TB pada dewasa. Timbulnya
penyakit TB paru tidak lepas dari peranan faktor resiko. Status gizi beperan penting. Anak
dengan status gizi buruk akan mengakibatkan kekurusan,lemah, dan rentan terinfeksi TB. Hal ini
dikarenakan system kekebalan tubuh yang berkurang pada anak. Ditemukan bahwa status gizi
yang buruk dapat mempengaruhi tanggapan tubuh berupa pembentukan antibodi dan limfosit
terhadap adanya kuman penyakit. Pembentukan ini memerlukan bahan baku protein dan
karbohidrat, sehingga pada anak dengan gizi buruk produksi antibody dan limfosit terhambat.
Gizi buruk dapat menyebabkan gangguan imunologi dan mempengaruhi proses penyembuhan
penyakit.
METODE DAN DATA
Jenis penelitian : Deskriptif untuk melihat gambaran status gizi pada pasien TB anak.
27
Data : Data sekunder di instalansi rekam medic RSUP Dr. M. Djamil Padang dari Januari
Padang.
Teknik sampel: total sampling, mengambil seluruh sampel yang memenuhi kriteria
inkulusi.
DISKUSI
Ditemukan ada 187 anak yang menderita TB dengan perbandingan 1,8 : 1 lebih banyak di
poliklinik anak. Anak yang dirawat di instalansi rawat inap adalah anak yang menderita TB
berat, sedangkan yang dipoliklinik adalah anak menderita TB ringan. Hasil dapat disimpulkan
anak dengan TB ringan lebih banyak dibandingkan anak dengan TB berat.
Dari 187 anak penderita TB terdapat 34 anak laki-laki (50%) dan 34 anak perempuan
(50%) di instalasi rawat inap, serta 56 anak laki-laki (47%) dan 63 anak perempuan (53%) di
poliklinik anak. Hal ini memperlihatkan bahwa TB anak tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
baik laki-laki maupun perempuan. Untuk kelompok usia ditemukan frekuensi terbanyak
ditemukan pada kelompok usia 5- <14 tahun sebanyak 30 orang (44,1%) di instalasi rawat inap
dan 67 orang (56,3%) di poliklinik anak. Pada sebuah penelitian dikatakan bahwa pada
kelompok usia tersebut anak telah mengenal dunia diluar rumah, sehingga kemungkinan untuk
berkontak dengan penderita TB dewasa positif lebihh besar yang merupakan faktor penularan TB
pada anak.
Penderita TB anak mayoritas memiliki status gizi kurang sebanyak 39 orang (57,4%) di
instalasi rawat inap dan 62 orang (52,1%) di poliklinik anak. Adanya perbedaan status gizi pasien
TB yang dirawat di instalasi rawat inap dengan pasien TB yang dirawat di poliklinik anak,
dimana pasien yang di rawat di instalasi rawat inap yang mayoritas berstatus gizi buruk sebanyak
20 orang (29,40%) dikarenakan dirawat di instalasi rawat inap menderita TB berat sehingga
perjalanan penyakit mempengaruhi status gizinya, sehingga kebanyakan anak penderita TB yang
dirawat di instalasi rawat inap berstatus gizi kurang dan buruk. Status gizi yang buruk dapat
mengganggu system imun yang diperantarai Limfosit T yang memudahkan terjadinya penyakit
infeksi termasuk TB. Hanya 10% dari yang terinfeksi basil TB akan menderita penyakit TB.
Banyaknya basil TB yang masuk, virulensi dan daya tahan tubuh host merupakan faktor yang
28
berperan dalam terjadinya penyakit TB. Pada penderita yang daya tahan tubuhnya buruk, respon
imunnya buruk, sehingga kuman mudah berkembang. Penderita TB anak yang ada di poliklinik
anak, dimana mayoritas gizi kurang lalu disusul dengan gizi normal sebanyak 48 orang
(40,30%). Perbedaan ini dapat terjadi karena banyak faktor resiko lain yang mempengaruhinya.
Disamping itu, anak penderita TB yang ada di poliklinik mayoritas menderita TB ringan dimana
status gizi tidak terlalu dipengaruhi oleh perjalanan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Masalah Gizi Pada Anak Perlu Penanganan Dini. Available at : http://www.technologyindonesia.com/component/content/article/45-gizi/501-masalah-gizi-pada-anak-perlupenanganan-dini . Accessed April 23,2016.
2. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan dan Republik Indonesia. Glosarium Data
dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;2006p.30-5.
3. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.19th
Edition. United States of America: Sunders Elsevier Inc;2013p.229-32.
4. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada
Anak. Edisi keempat.Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia: Jakarta; 2010.p95-137.
5. 1
dari
8
penduduk
dunia
mengalami
gizi
buruk.
Available
at:
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/01/1-dari-8-penduduk-dunia-mengalami-giziburuk. Accessed April 23, 2016.
6. Marizza, Nofelia.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kurang Energi Protein
(KEP)
Pada
Balita
Di
URJ
RSU
Dr.
Soetomo
Surabaya.
http://ojs.lib.unair.ac.id/index. php/bprsuds/article/view/1439/1438.
2016.
7. Boerhan
H,
Roedi.
Kurang
Energi
Protein
Available
at:
(KEP).
Available
at:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-rswg255.htm.
Accessed April 23, 2016.
8. Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook of Pediatrics,
19th ed. Philadelphia: Sauders Elsevier;2013p.167-73.
9. Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition. London: Medicine Publishing;2010 (34)p.52429.
10. Gulden, MHN. Malnutrition. In Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. USA:
Taylor and Franchis.2014p.489-523.
29
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buku I Cetakan
ke-6 (Edisi revisi). Jakarta: Direktorat Bina Gizi; 2011p.1-20.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk
Buku II Cetakan ke06 (Edisi revisi). Jakarta: Direktorat Bina Gizi; 2011p.1-13.
13. World Health Organization (WHO). Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Anak di Rumah Sakit.Jakarta: Departement of Child and Adolescent Health dand
Development;2009p.193-219.
30