You are on page 1of 21

PRESENTASI KASUS BESAR

HUBUNGAN PENGOBATAN TB TERHADAP KEJADIAN DISFUNGSI


EREKSI

Pembimbing:
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
NIP. 19670316.200604.2.001

Disusun oleh :
Prakosa Jati Prasetyo

(G4A014111)

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS BESAR
HUBUNGAN PENGOBATAN TB TERHADAP KEJADIAN DISFUNGSI
EREKSI

Disusun oleh :
Prakosa Jati Prasetyo (G4A014111)

Telah dipresentasikan pada


Tanggal,

Februari 2016

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


NIP. 19670316.200604.2.001

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan yang persisten
dalam mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual
yang memuaskan. Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi
seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi
dan mempertahankannya (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2008). Hal ini
sangat penting bagi laki-laki sebab disfungsi ereksi dapat menimbulkan
depresi bagi penderita yang berujung terganggunya hubungan suami istri serta
menyebabkan masalah dalam kehidupan rumah tangga (Infosehat, 2007).
Secara garis besar disfungsi ereksi dapat diakibatkan oleh vaskulogenik,
neurologenik, anatomi dan struktur, serta hormonal (Hatzimouratidis, et al.
2013).
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, dapat menular dan menyerang berbagai organ
terutama parenkim paru-paru (Kemenkes, 2015). Pada pengobatan
Tuberkulosisi membutuhkan waktu 6 bulan, kedisiplinan dalam
mengkonsumsi, dan keaktifan dari penderita untuk rutin memeriksakan
dirinya. Terdapat beberapa jenis obat yang digunakan pada pengobatan TB
seperti: rifampisisn, isoniazid, pirazinamid, etambutol, streptomisin,
etionamid, dan lain-lain (PDPI, 2015).
Efek samping pengobatan TB dapat mengakibatkan beberapa hal, salah
satu yang cukup menjadi perhatian adalah timbulnya keluhan disfungsi ereksi
pada pasien yang sedang atau telah melakukan terapi pengbatan TB. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ekaterina.,et al tahun 2012 mengatakan TB
paru dapat mengakibatkan disfungsi seksual, dengan menggunakan
pengobatan anti TB pada 3 bulan pertama dapat menurunkan kejadian
disfungsi seksual seperti fungsi ereksi, gairah seksual, dan orgasm. Tetapi
setelah mengkonsumsi obat anti TB selama 6 bulan dapat meningkatkan
angka disfungsi seksual. Mekanisme mengenai hal ini masih belum dapat
dijelaskan secara pasti, sehingga pada pembahasan ini akan mencari tahu

mengenai bagaimana pengaruh pengibatan TB terhadap kejadian disfungsi


ereksi pada pasien TB paru.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, dapat menular dan menyerang berbagai
organ terutama parenkim paru-paru (Kemenkes, 2015). Tuberkulosis
sendiri berasal dari asal kata tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras
yang terbentuk saat tubuh membentuk suatu sistem imun untuk
mengurung bakteri dalam paru (Amin dan Azril, 2009).
2. Epidemiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang masih menjadi masalah


didunia, tercatat sebanyak 205 negara masih belum lepas dari penyakit
ini. Pada tahun 2014 terdapat 6 juta penderita TB baru dengan angka
kematian sebesar 1.5 juta penderita (WHO, 2014). Indonesia saat ini
menduduki urutan kelima dengan estimasi prevalensi TB semua kasus
sebesar 660.000 dan estimasi insidensi 430.000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian yang diakibatkan oleh TB di Indonesia mencapai
61.000 per tahun (Kemenkes 2014).
3. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab infeksi
tuberkulosis yang dapat menular secara langsung. Mycobacterium
tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan berbentuk batang
(Dongoran, 2012). Secara umum bakteri ini menyerang parenkim paru
dan sebagian kecil menyerang organ lain. Mycobacterium tuberkulosis
memiliki karakteristik berbentuk batang lurus, tidak berspora, dan tidak
berkapsul. Bakteri ini adalah salah satu bakteri yang dapat bertahan
terhadap asam pada pewarnaan, sehingga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dahak secara mikroskopis yang disebut sebagai basil
tahan asam (BTA) (PDPI, 2015).
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada
waktu batuk atau bersin. Penderita tuberkulosis dapat menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang ada
diudara dapat bertahan selama beberapa jam pada suhu kamar. Seseorang
dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup dalam saluran nafas
(Dongoran, 2012).
4. Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis secara garis besar dibagi menjadi
tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstraparu.
a. Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura
1) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi menjadi:
a) Tuberkulosis paru BTA (+)

i.

Sekurang-kurangnya 2-3 spesimen dahak menunjukan

ii.

hasil BTA positif


Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran

iii.

tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA

positif dan biakan positif


b) Tuberkulosis paru BTA (-)
i.
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA
negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan
ii.

pemberian antibiotik spektrum luas


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif

iii.

dan biakan M.tuberculosis positif


Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum

diperiksa
2) Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
b) Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan
perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi
aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
a) Infeksi sekunder
b) Infeksi jamur
c) TB paru kambuh
c) Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

d) Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat


paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
e) Kasus Gagal
i.
Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
ii.

sebelum akhir pengobatan)


Penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya

perburukan
f) Kasus kronik
adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
g) Kasus bekas TB
i.
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru
menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
ii.

pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung


Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi
TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT
selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran

radiologik
b. Tuberkulosis ekstra paru
Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen
positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB
ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi
untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :

a. TB di luar paru ringan Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis


eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.
b. TB diluar paru berat Misalnya : meningitis, millier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kencing dan alat kelamin (PDPI, 2015).
5. Manifestasi klinis
Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus,
pembagian ini berdasarkan organ yang terlibat.
a. Gejala umum
1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu
2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan pada malam hari disertai keringat malam.
3) Penurunan nafsu makan
4) Penurunan berat badan
5) Perasaan tidak enak(malaise), lemas
b. Gejala khusus
Tergantung dari organ tubuh yang terlibat:
1) Jika terjadi sumbatan pada bagian bronkus akibat kelenjar getah
bening yang membesar menyebabkan suara mengi atau wheezing
pada suara nafas. Disertai sesak dan suara nafas yang menurun
2) Jika terdapat cairan pada rongga pleura dapat diikuti dengan nyeri
pada dada
3) Jika pada tulang akan menimbulakan tanda infeksi tulang dan
menimbulkan nanah
4) Pada anak-anak sering mengenai selaput otak sehingga
menimbulkan demam tinggi yang disertai penurunan kesadaran,
dan kejang (Asti. R.W., 2008).
6. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien tuberkulosi, pemeriksaan keadaan umum dapat
ditemukan konjungtiva anemis atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris, badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisik diperlukan ketelitian karena terkadang sulit untuk
menemukan kelainan yang ada karena lesi yang terlalu dalam, kasus dini,
atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.
Tempat kelainan lesi TB paru biasanya terjadi dibagian
apeks(puncak) paru. Pada pemeriksaan perkusi dapat dijumpai bunyi

redup jika infiltrat terjadi secara luas, selain itu pada auskultasi
didapatkan bunyi nafas bronkial yang diikuti suara nafas ronkhi basa,
kasar, dan nyaring. Pada keadaan penebalan pleura maka suara vesikuler
menjadi melemah. Jika terjadi kavitas yang cukup besar makan akan
ditemukan hipersonor atau timpani pada perkusi dan suara amforik pada
auskultasi (Amin dan Azril, 2009).
Pada kasus tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis luas dapat
ditemukan atrofi dan retraksi otot interkostal. Bagian yang sakit akan
mengecil dan menarik isi mediastinum. Jika jaringan fibrotik melebihi
setengah jumlah jaringan paru makan akan mengecilkan aliran darah paru
selanjutnya dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal(hipertensi
pulmonal) diikuti kos pulmonal dan gagal jantung kanan. Gejala yang
menyertai meliputi takipnea, takikardi, sianosis, right ventricular lift,
right atrial gallop, murmur graham steel, tekanan vena jugular
meningkat, hepatosplenomegali, asites, dan edema (Amin dan Azril,
2009).
Efusi pleura dapat ditemukan pada tuberkulosis jika infeksi
mengenai pleura. Paru yang sakit akan sedikit tertinggal
dalampernafasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi akan
memberikan suara paru yang lemah atau tidak terdengar (Amin dan Azril,
2009).
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi
penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada
semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
a) S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.

b) P(Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,


segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di UPK.
c) S(sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama.
2) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah pada TB paru kurang spesifik dan sensitif
sehingga sering memberikan hasil yang meragukan. Pada infeksi
aktif bakteri TB didapatkan peningkatan leukosit dengan hitung
jenis leukosit bergeser ke kiri, LED meningkat, dan limfosit
dibawah normal. Jika penyakit sudah mulai sembuh jumlah
leukosit akan kembali normal, jumlah limfosit akan tetap tinggi,
dan LED akan turun mendekati normal kembali. Pada
pemeriksaan lain didapatkan anemia ringan dengan gambaran
normokromik dan normositik, gama globulin meningkat, disertai
kadar natrium yang menurun.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis tetapi
harus diikuti pemeriksaan lain. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu
menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur
prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Indikasi pemeriksaan foto thoraks pada sebagian besar TB
paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada
kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai
dengan indikasi sebagai berikut:

1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada


kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat
yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,
pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan
pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).
c. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam Screening
TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji
tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1
tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur
12 tahun 92%, 2 4 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612
tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin
besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai
sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan
uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian
depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit) (PDPI, 2015).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi:
1) Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif. Arti
klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis
2) Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.

3) Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti


klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis (PDPI, 2015).
8. Pengobatan TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (23 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Obat anti tuberkulosis dibagi
menjadi beberapa jenis:
a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
1) Rifampisin
2) INH (isoniazid)
3) Pirazinamid
4) Streptomisin
5) Etambutol
b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap
ini terdiri dari :
1) Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg
2) Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg.
c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
1)Etionamid
2)Kanamisin
3)Kuinolon
4)Obat lain masih dalam penelitian: Makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
5)Derivat rifampisin dan INH
Pemberian obat antituberkulosis (OAT) harus sesuai dengan dosis yg
digunakan karena dapat menimbulkan efek samping yang merusak organ
tubuh. Berikut dosis OAT yang digunakan
a. Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
b. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15
mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa.
lntermiten : 600 mg / kali

c. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X


semingggu, 50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
d. Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
e. Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
f. Kombinasi dosis tetap
Berdasarkan rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap,
penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif,
sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat
antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan
pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.
Pengobatan tuberkulosis dibagi berdasarkan jenis kasusnya. Berikut
panduan pengobatan pada TB paru:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
1) Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
2) Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE
Pengobatan ini diberikan pada pasien dengan keadaan sebagai berikut:
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
3) TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7
bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3,
seperti pada keadaan:
1) TB dengan lesi luas
2) Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
3) TB kasus berat (milier, dll)

Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan


dengan hasil uji resistensi
b. TB Paru (kasus baru), BTA negatif
1) Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
2) Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Pengobatan ini diberikan pada pasien dengan keadaan sebagai berikut:
1) TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
2) TB di luar paru kasus ringan
c. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT
pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga
paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak
dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
d. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal
menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif
( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan
minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan
hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
e. TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu,
pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal
2) Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
a) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,
pengobatan OAT STOP

b) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal


dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
c) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama
d) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan
tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang sama
e) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.
f. TB Paru kasus kronik
Terdapat beberapa kriteria dalam pengobatan TB paru kasus kronik,
berikut kriteria tersebut:
1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih
sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah
dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
g. TB paru kasus MDR
Pada pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan
pengobatan yang distandarisasi untuk penderita MDR-TB. Pemberian
pengobatan pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji
resistensi dengan menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif
dan obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu golongan
fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida
(amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin,
klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitif minimal 2 3
OAT dari obat lini 1 ditambah dengan obat lain (lini 2) golongan
kuinolon, yaitu Ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasin 1 x 400
mg (PDPI, 2015).

Tabel 1. Ringkasan Panduan Pengobatan TB paru


Kategori
I

II

Kasus

Paduan Obat Yang

Keterangan

Diajurkan
a. TB paru BTA +, a.2RHZE / 4RH atau
b.2 RHZE / 6 HE atau
BTA - , lesi luas c.2RHZE / 4R3H3
b. TB di luar paru
kasus berat
a. Kambuh
b. Gagal

a.3 RHZE / 6 RH
b.2 RHZES lalu sesuai

Bila streptomisin
alergi, dapat

pengobatan

hasil uji resistensi atau


diganti
2RHZES/1RHZE /
kanamisin

II

TB paru lalai

5R3H3E3
Sesuai lama pengobatan

berobat

sebelumnya, lama
berhenti minum obat dan
keadaan klinik,
bakteriologik &
radiologik saat ini (lihat
uraiannya) atau
2RHZES / 1RHZE /

III

a.TB paru BTA neg.


lesi minimal
b.TB di luar paru

5R3H3E3
2 RHZ / 4 RH atau 6
RHE atau 2RHZ / 4
R3H3

IV

kasus ringan
Kronik

Sesuai uji resistensi atau


H seumur hidup

IV

MDR TB

Sesuai uji resistensi +


kuinolon atau H seumur
hidup

B. Disfungsi Seksual
1. Definisi
Disfungi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap untuk
mencapai dan mempertahankan ereksi yang cukup untuk mendapatkan
kepuasan saat berhubungan seksual. Meski demikian disfungsi ereksi
merupakan penyakit benign, gangguan ini dapat dipengaruhi oleh faktor
fisik, kesehatan psikososial, dan yang cukup signifikan adalah kualitas
hidup dari penderita (Hatzimouratidis, et al., 2013). Berdasarkan British
Society for Sexual Medicine, disfungsi ereksi adalah ketikmampuan penis
untuk ereksi yang dapat disebabkan oleh phenomena kompleks
neurovaskular yang berhubungan dengan kontrol hormon dalam
vasodilatasi arteri, relaksasi otot polos trabekular, dan aktivasi mekanisme
corporeal veno-occlusive.
2. Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya disfungsi ereksi antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Gaya hidup yang menetap atau minim aktivitas


Obesitas
Merokok
Hiperkolesterolemia
Sindrom Metabolik
Semua jenis penyakit kardiovaskuler

3. Etiologi
Disfungsi ereksi merupakan sebuah permasalah kompleks yang
dapat dipengaruhi oleh berbagai macam hal, berikut penyebab terjadinya
disfungsi ereksi berdasarkan Hatzimouratidis, et al. tahun 2013:
a. Vaskulogenik
1) Penyakit kardiovaskuler
2) Hipertensi
3) Diabetes militus
4) Hiperlipidemia

5) Merokok
6) Operasi mayor atau radioterapi area pelvis dan retroperitoneum
b. Neurogenik
1) Penyebab sentral
a) Penyakit degenarif (multipel sklerosis, parkinson, multipel
atrofi, dll)
b) Trauma atau penyakit medula spinalis
c) Stroke
d) Tumor sistem saraf pusat
2) Penyebab perifer
a) Diabetes militus tipe 1 dan 2
b) Penyakit ginjal kronik
c) Polyneuropathy
d) Pembedahan (pelvis atau retroperitoneum, radical prostatektomi,
pembedahan colorektal, dll)
c. Anatomi dan struktur
1) Hipospadia, epispadia
2) Mikropenis
3) Kongenital kurvatura penis
4) Penyakit la Peyronies
d. Hormonal
1) Hypogonadism
2) Hyperprolactinemia
3) Hiper- dan hipothyroid
4) Hiper- dan hipocortisol (cushings disease, dll)
C. Hubungan Pemberian OAT dengan Disfungsi seksual
Obat Anti Tuberkulosis ternyata dapat mengakibatkan gangguan
disfungsi ereksi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ekaterina.,et al
tahun 2012 mengatakan OAT dapat mengakibatkan disfungsi seksual.
Menurut penelitian ini pasien yang menggunakan pengobatan anti TB pada 3
bulan pertama tidak didapatkan kejadian disfungsi seksual seperti fungsi
ereksi, gairah seksual, dan orgasm. Tetapi setelah mengkonsumsi obat anti TB
selama 6 bulan dapat meningkatkan angka disfungsi seksual. Pengobatan anti
TB berpengaruh pada mekanisme disfungsi ereksi melalui sistem endokrin,
yang menyebabkan kondisi hiperthiroid dan atau hipothiroid (Fouad,
Kandeel. R., 2007).
Isoniazid merupakan obat anti tuberkulosis lini prtama yang memiliki
efek samping pada sistem endokrin. Salah satu mekanisme kerja dari
isoniazid adalah antiandrogenic atau menghambat sintesis dari androgen.
Selain itu isoniazid dapat mengakibatkan hiperthiroid, keadaan hiperthiroid

ini dapat meningkatkan sintesis dari SHBG didalam hati. Efeknya adalah
terjadi peningkatan konsentrasi total testosteron sehingga menurunkan jumlah
tentosteron bebas dan meningkatkan kadar estradiol didalam darah. Estradiol
dan SHBG memiliki ikatan yang lemah sehingga pada penderita hiperthiroid
akan ditemukan kadar estradiol bebas yang meningkat didalam serum darah.
Keadaan hyperthiroid juga dapat meningkatkan konversi androgen menjadi
estrogen melalui enzim aromatase, sehingga menimbulkan terjadinya
disfungsi seksual serta termasuk ginekomasti (Marek D., Iwona.C.P.,
Andrzej.N. 2012).
Hipotiroid dapat juga menimbulkan disfungsi seksual, hal ini
dikarenakan pada keadaan hipotiroid dapat mengakibatkan penurunan ukuran
testis, retardasi sel sertoli, dan memperlama waktu proliferasi sel sertoli.
Selain itu hipotiroid juga dapat mengakibatkan penurunan SHBG, penurunan
konsentrasi testosteron total, dan konsentrasi testosteron bebas (Krassas.G.E.,
Poppe.K., and Glinoer.D. 2010).
Menurut Neslihan.C., et al tahun 2014, bahwa isoniazid dapat
mengakibatkan gangguan disfungsi sexual tetapi tidak diketaui bagaimana
mekanisme patologis keadaan tersebut. Kondisi tersebut sejalan dengan
penelitian lain yang mengatakan bahwa mekanisme isoniazid mengakibatkan
disfungsi seksual tidak diketahui tetapi diduga dikarenakan oleh gangguan
keseimbangan estrogen dan androgen karena terganggunya metabolisme
piridoksin (Ajmal.K and Ritesh.A. 2012). Selain itu isoniazid dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan antara sirkulasi estrogen dan
androgen. terdapat hipotesis yang menjelaskan bahwa isoniazid
mengakibatkan keadaan demikian karena mekanisme kerja isoniazid yang
mengganggu aktivasi vit B6 compleks di dalam hati sehingga mengakibatkan
ganguan metabolisme estrogen-androgen (Ramakant.D., Sidharth.S., and
Nawal.C.L. 2008) (Khanna.P., Chandramani.P.,Vikas M., and Ashok.S. 2003).
Obat lain yang dapat mengakibatkan disfungsi seksual adalah
etionamid. Etionamid dapat mengakibatkan gangguan endokrin seperti
ginekomastii, alopesia, hipotiroid, impotensi, atau menorrhagia. Penggunaan
etionamid pada penderita DM juga mengakibatkan gangguan kontrol

glikemik. (Abdo.M.A., Marilia.C.L.V., Helio.R.S., and Fernando.A.F.M.


2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gupta.K.B., et al. Tahun
2011, ethionamid merupakan obat antituberkulosis yang sangat efektif
sebagai agent kemoterapi pada pengobatan TB paru resisten. Efek samping
utama dari etionamid adalah ginekomastia, impotensi, jerawat, gangguan
mental, kejang, gastro-intestinal, alopesia, dan hepatitis.

III.

KESIMPULAN

1. Disungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang persisten dalam mencapai atau


mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang memuaskan
2. Pengobatan TB merupakan langkah konkret dan harus dilakukan untuk
mencegah persebaran serta mengobati pasien dengan TB positif
3. Secara umum terdapat hubungan antara pengobatan TB terhadap kejadian
disfungsi ereksi yang dialami oleh pasien TB yang sedang menjalani
pengobatan
4. Mekanisme secara pasti hubungan pengobatan TB terhadap kejadian
disfungsi ereksi belum dapat dijelaskan

You might also like