You are on page 1of 4

Assalamualaikum wr wb

Hampir setiap kali menjelang pemilihan, kerap beredar isu-isu miring yang melekat
pada para calon pemimpin terutama isu-isu sensitif seperti liberal dari segi ekonomi,
antek partai terlarang, rasial, atau keyakinan agama. Sedangkan sementara ini ada
benar-benar orang non muslim yang menjadi pemimpin. Yang saya tanyakan, apakah
kita sebagai seorang muslim boleh memilih pemimpin non muslim? Terima kasih atas
keterangannya. (Abdurrahman/Jakarta)
Jawaban
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh
Penanya yang budiman. Semoga Allah merahmati kita semua. Pemimpin menempati
posisi penting dalam Islam. Karena pemimpin memegang kebijakan yang berkaitan
dengan hajat hidup orang banyak mulai dari kesehatan, transportasi, tata kelola
sumber daya alam, kesejahteraan, dan pelbagai kebijakan publik lainnya.
Penanya yang budiman, ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari
kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafii yang wafat di abad 8
H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari
kalangan kafir dzimmi.


.

} { :
.
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam
kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut
pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk
memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim,
tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan
juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani
kepentingan umum umat Islam.
Allah berfirman, Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk
mengatasi orang-orang beriman. Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat
yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi
untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafii, Tahrirul Ahkam fi
Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).
Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan
publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafii. Ulama yang
wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.

Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap
hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas
regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan
mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul
Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).
Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya,
kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh
memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman,
menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi,
dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman
akan hukum agama, merdeka.
Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah
dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan
agama, dan merdeka.
Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati,
camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks
Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari
UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak
bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia
harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak
memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan
yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap
berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya
sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.
Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan
calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil
sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat
Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah
letak kearifan hukum Islam.
Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar
menjelang pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.

Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu


sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun
orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman.
Apakah kata wali yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan wali inilah,
menentukan jawaban dari yang saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Alauddin
Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.


:
Maknanya, Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu
sebagai wali dan kawan karib. Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk
bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat
Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat. (Lihat Al-Khazin,
Lubabut Tawil fi Maanit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).
Pengertian wali di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi
rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat
berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam
suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan,
dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan
pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis
agama.
Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak
sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas
pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami, kitabkitab terjemah Al-Quran yang mengartikan wali sebagai pemimpin ada baiknya
menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.
Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim.
Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat
integritas calon dan track record mereka. Kami juga berharap kepada warga untuk
tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa penjelasan kami
ditangkap dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamualaikum wr. wb

Selengkapnya : http://www.ngaji.web.id/2015/11/hukum-memilih-pemimpin-nonmuslim.html#ixzz45NoU6QLq

You might also like