You are on page 1of 24

Laporan Analisa Resep

DISENTRI AMUBA DAN BASILER


Disusun Guna Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian
Ilmu Farmasi Kedokteran

Oleh :
Budi Septiawan
I1A0010025

Pembimbing
Dra. Sulistianingtyas, Apt

Universitas Lambung Mangkurat


Fakultas Kedokteran
Laboratorium Farmasi
Banjarbaru
Oktober, 2006

BAB I
PENDAHULUAN

Seorang dokter setelah menentukan diagnosis yang tepat, maka


selanjutnya berupaya melakukan penyembuhan dengan berbagai cara misalnya
dengan pembedahan, fisioterapi, penyinaran, dengan obat dan lain-lain, tetapi
umumnya menggunakan obat (1).
Obat yang diberikan kepada penderita harus dipesankan dengan
menggunakan resep. Satu resep umumnya hanya diperuntukkan bagi satu
penderita. Resep selain permintaan tertulis kepada apoteker juga merupakan
perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan keahlian dokter dalam
menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Selain sifatsifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka
dokter yang menulis resep idealnya perlu pula mengetahui penyerapan dan nasib
obat dalam tubuh, ekskresi obat, toksikologi serta penentuan dosis regimen yang
rasional bagi setiap penderita secara individual. Resep juga perwujudan hubungan
profesi antara dokter, apoteker dan penderita (1,2).
A. Definisi dan Arti Resep
Definisi
Resep menurut SK. Mes. Kes. No. 922/Men.Kes/ l.h adalah permintaan
tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker Pengelola
Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangan yang berlaku (1).

Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam
bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita (2).
Arti Resep (1)
1. Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi
profesional antara dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat
obat), dan penderita (yang menggunakan obat).
2. Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka
isi resep merupakan refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar
pengobatan berhasil, resepnya harus benar dan rasional.
B. Kertas Resep
Resep dituliskan di atas suatu kertas resep. Ukuran yang ideal ialah lebar
10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Dokumentasi berupa pemberian obat kepada
penderita memang seharusnya dengan resep; permintaan obat melalui telepon
hendaknya dihindarkan (2).
Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman
untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius.
Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut
pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah lewat
tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat berita

acara

pemusnahan

seperti

diatur

dalam

SK.Menkes

RI

no.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek (2).


C. Model Resep yang Lengkap
Resep harus ditulis dengan lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk
dibuatkan obatnya di Apotek. Resep yang lengkap terdiri atas (2) :
1.

Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan dapat
pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam, dan hari praktek.

2.

Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter.

3.

Tanda R/, singkatan dari recipe yang berarti harap diambil


(superscriptio).

4.

Nama setiap jenis atau bahan obat yang diberikan serta jumlahnya
(inscriptio)
a) Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari :
Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak harus ada. Obat
pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat terdiri dari
beberapa bahan.
Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok;
adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep.
Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki rasa, warna
atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris)
Constituens atau vehikulum, seringkali perlu, terutama kalau resep
berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi. Misalnya
konstituens obat minum air.

b) Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam suatu berat untuk
bahan padat (mikrogram, miligram, gram) dan satuan isi untuk cairan
(tetes, milimeter, liter).
Perlu diingat bahwa dengan menuliskan angka tanpa keterangan lain, yang
dimaksud ialah gram
5.

Cara

pembuatan

atau

bentuk

sediaan

yang

dikehendaki

(subscriptio) misalnya f.l.a. pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai
aturan obat berupa puyer.
6.

Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan


singkatan bahasa Latin. Aturan pakai ditandai dengan signatura, biasanya
disingkat S.

7.

Nama penderita di belakang kata Pro : merupakan identifikasi


penderita, dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang akan
memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita.

8.

Tanda tangan atau paraf dari dokter/dokter gigi/dokter hewan yang


menuliskan resep tersebut yang menjadikan resep tersebut otentik. Resep
obat suntik dari golongan Narkotika harus dibubuhi tanda tangan lengkap
oleh dokter/dokter gigi/dokter hewan yang menulis resep, dan tidak cukup
dengan paraf saja.

D. Seni dan Keahlian Menulis Resep yang Tepat dan Rasional


Penulisan resep adalah tindakan terakhir dari dokter untuk penderitanya,
yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta terapi yang
akan diberikan; terapi dapat profilaktik, simptomatik atau kausal. Penulisan resep

yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu
banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat
dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara
individual (1).
Resep yang jelas adalah tulisannya terbaca. Misalnya nama obatnya ditulis
secara betul dan sempurna/lengkap. Nama obat harus ditulis yang betul, hal ini
perlu mendapat perhatian karena banyak obat yang tulisannya atau bunyinya
hampir sama, sedangkan khasiatnya berbeda (2).
Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima
tepat, ialah sebagai berikut : setelah diagnosanya tepat maka kemudian memilih
obatnya tepat yang sesuai dengan penyakitnya diberikan dengan dosis yang tepat,
dalam bentuk sediaan yang tepat, diberikan pada waktu yang tepat, dengan cara
yang tepat, dan untuk penderita yang tepat (2).
Kekurangan pengetahuan dari ilmu mengenai obat dapat mengakibatkan
hal-hal sebagai berikut (2) :
Bertambahnya toksisitas obat yang diberikan
Terjadi interaksi antara obat satu dengan obat lain
Terjadi interaksi antara obat dengan makanan atau minuman tertentu
Tidak tercapai efektivitas obat yang dikehendaki
Meningkatnya ongkos pengobatan bagi penderita yang sebetulnya dapat
dihindarkan.

BAB II
ANALISA RESEP
Contoh Resep dari Poliklinik Penyakit Dalam

Keterangan Resep
Klinik

: Penyakit Dalam

Tanggal

: 9 Agustus 2006

Nama Pasien

: Nn. Yanti

Umur

: 18Tahun

No. RMK

: 65 19 44

Alamat

: Sungai baru RT.4 Kecamatan Banjarmasin Barat

Pekerjaan

: Tidak diketahui

Keluhan

: Badan panas dingin, mencret, berak berdarah dan berlendir

Tekanan Darah

: 100/70 mmHg

Hasil Laboratorium : Diagnosa

: Disentri amuba atau disentri basiler

B. Analisa Resep
a. Penulisan Resep
Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan lebarnya 11 cm dan
panjangnya 21 cm. Ukuran kertas resep yang ideal adalah lebar 10-12 cm dan
panjang 15-18 cm (2). Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran kertas yang
digunakan pada resep ini, lebarnya sudah ideal tapi masih terlalu panjang.
Penulisan pada resep ini sulit dibaca. Penulisan resep yang benar tulisan harus
dapat dibaca dengan jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat.

b. Kelengkapan Resep
1. Pada resep ini identitas dokter berupa nama, unit di Rumah Sakit dan tanda
tangan dokter penulis resep sudah dicantumkan.
2. Nama kota sudah ditulis oleh dokter, tetapi tanggal penulisan resep tidak
dilakukan.
3. Tanda R/ juga sudah tercantum pada resep ini (superscriptio). Tanda R/ yang
singkatan dari recipe ada yang ditulis tidak jelas.
4. Inscriptio
a) Jenis/bahan obat dalam resep ini terdiri dari :
Obat yang digunakan adalah Metronidazol tablet, sanprima tablet, biodiar
tablet, sanmol tablet.
b) Metronidazol tablet, sanprima tablet, sanmol tablet diberikan sebanyak
basing masing 10 buah, sedangkan biodiar tablet diberikan sebanyak 6
buah.
c) Peyusunan penulisan jenis obat tidak dilakukan dengan tepat karena obat
kausatif (metronidazol dan sanprima) terletak dibawah obat simptomatik,
seharusnya obat-obat kausatif ditulis terlebih dahulu.
5. Pada resep ini tanda signatura dan berapa kali jumlah obat yang diminum
sehari dicantumkan tetapi kapan obat diminum dan berapa banyak obat harus
diminum setiap kalinya tidak dituliskan
6. Nama penderita dan umur sudah dicantumkan namun alamat tidak ada.
Seharusnya identitas penderita ditulis lengkap sehingga mudah menelusuri
bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita.

c. Obat yang Digunakan


b.

Metronidazol Tablet
Metronidazol tablet merupakan sediaan generik yang mengandung

metronidazol 500 mg (3). Metronidazol ialah (1-hidroksi-etil)-2-metil-5nitroimidazol yang berbentuk kristal kuning muda dan sedikit larut dalam air
atau alkohol. Selain memiliki efek trikomoniasid, metronidazol juga berefek
amubisid dan efektif terhadap Giardia lamblia. Obat lain yang memiliki struktur
dan aktivitas mirip dengan metronidazol dan telah digunakan di banyak negara
ialah tinidazol, nimorazol, dan ornidazol. (4).
Metronidazol memperlihatkan daya amubisit langsung. Pada biakan E.
histolytica dengan kadar. metronidazol 1-2 semua paras it mus nah dalam
24 jam. Absorpsi metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian
oral. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar
plasma kira-kira 10 g/ml. Umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri
yang sensitif, rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 g/ml. Metronidazol
mempunyai waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam(4).
c.

Sanprima (kotrimoksazol)
Sanprima merupakan sediaan/obat paten produksi sanbe farma yang

mengandung trimetropim 80 mg dan sulfametoksazol 400 mg (5). Trimetoprim,


suatu trimetoksibenzilpirimidin, menghambat asam dihidrofolat reduktase bakteri
kira-kira. Asam dihidrofolat reduktase adalah enzim yang mengubah asam

dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat, suatu langkah yang mengarah ke


sintesis purin dan akhirnya menjadi DNA. Sulfonamid mekanisme kerjanya
menghambat pembentukan asam dehidrofolat dari asam p-aminobenzoat.
Trimetoprim yang diberikan bersama dengan sulfonamid menghasilkan
hambatan yang beruntun dalam jalur metabolik, menycbabkan peningkatan
(sinergisme) aktivitas kedua obat(4),
Karena

trimetoprim

lebih

bersifat

larut

dalam

lipid

daripada

sulfametoksazol, maka trimetoprim memiliki volume distribusi yang lebih


besar dibandingkan dengan sulfametaksazol. Karena itu, bila 1 bagian dari
trimetoprim diberikan dengan 5 bagian sulfametoksazol (rasio dalam formulasi).
d.

Sanmol (parasetamol)
Sanmol merupakan sediaan paten yang diproduksi oleh Sanbe Farma yang

mengandung parasetamol 500 mg/tablet. Asetaminofen (parasetamol) merupakan


metabolit fenasetin derivat pant amino fenol, dengan efek antipiretik
yang sama. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus am nobenzen.
Parasetamol bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya
rendah sekali. Dosis parasetamol untuk dewasa

300 1 gr perkali dengan

maksimum 4 gram sehari dengan maksimum pemberian 6 kali sehari (4).


e.

Biodiar
Biodiar merupakan obat paten produksi Novartis yang mengandung bahan

aktif berupa attapulgite 630 mg/tablet.. Attapulgite merupakan sediaan yang


diminum secara oral biasanya untuk mengatasi diare. Attapulgite diyakini bekerja

10

dengan cara mengabsorbsi bakteri yang dapat menyebabkan diare tetapi menurut
Haroen Noerasid penggunaan absorben pada diare tidak ada manfaatnya.
a. Dosis Obat
f.

Metronidazol

Pada disentri amuba ringan-sedang dosis metronidazol yang dianjurkan adalah 3 x


750 mg sehari selama 5 10 hari, sedangkan dosis metronidazol yang tertera pada
pada resep diatas hanya 3 x 500 mg selama lima hari, hal ini kurang tepat karena
dosis obat dibawah dosis yang direkomendasikan.
g.

Sanprima

Pada disentri basiler(shigellosis) dosis kotrimoksazol yang direkomendasikan


adalah 2 x 2 tablet perhari selama 7-10 hari, sedangkan dosis kotrimoksazol yang
tertera pada resep 4 x 1 tablet selama 2,5 hari. Hal ini tentu saja tidak tepat karena
dosis yang diberikan tidak sesuai dengan yang direkomendasikan, hal ini bisa
mengakibatkan timbulnya resestensi kuman terhadap obat ini.
h.

Sanmol

Dosis yang dianjurkan penggunaan parasetamol untuk menurunkan demam adalah


300 1 gr perkali dengan maksimum 4 gram sehari dengan maksimum pemberian
6 kali sehari. Pada resep diatas dosis parasetamol yang diberikan adalah 3x1
tablet(500 mg), dosis ini sudah sesuai dengan dosis anjuran.
i.

Biodiar

Biodiar merupakan obat absorbens yang sudah tidak direkomendasikan lagi


dipakai pada pengobatan disentri baik amuba maupun basiler. Biodiar dimana

11

untuk dewasa penggunaanya maksimal 12 tablet perhari, sehingga dosis yang


ditulis pada resep diatas sudah benar.
a. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan keempat yang diberikan dalam bentuk tablet. Tablet adalah
bentuk sediaan padat yang kompak mengandung satu atau beberapa bahan obat
dengan atau tanpa zat tambahan. Obat dalam resep ini dipilih sediaan padat karena
disesuaikan dengan penderita yang dewasa dan tidak ada gangguan menelan.
b. Cara, Frekuensi, waktu dan lama pemberian
Pada resep ini tidak dituliskan waktu pemberiannya, misalnya sebelum
makan (a.c) atau sesudah makan (p.c). Memang tidak ada aturan khusus dalam
waktu minum obat untuk ke empat obat tersebut karena makanan tidak
mempengaruhi absorbsi obat-obat ini, tetapi metronidazol mempunyai rasa yang
tidak menyenangkan dan bisa menyebabkan mual, sehingga lebih baik diberikan
sesudah makan.
Cara pemberian keempat obat ini adalah dalam bentuk tablet oral. Hal ini
sudah tepat dilakukan karena pasiennya sudah dewasa dan kesadarannya masih
baik, obat dalam sediaan tablet harganya juga relatif lebih murah.
Lama pemberian metronidazol pada penderita disentri amuba minimal
dilakukan selama tiga hari sehingga lama pemberian sudah tepat. Lama pemberian
parasetamol juga sudah tepat tetapi di resep tidak dituliskan pemakaiaan
parasetamol jika pasien demam saja. Lama pemberian sanprima tidak tepat karena
pada disentri basiler pemberian cotrimiksazol minimal dilakukan selama 7-10

12

hari. Sedangkan lama pemberian biodiar tidak ada anjuran khusus tetapi
pemakaian absorbens pada pengobatan disentri sudah tidak direkomendasikan
lagi.
c. Interaksi Obat
Tidak ada literatur yang menyatakan jika keempat obat ini digunakan
bersamaan

akan

menimbulkan

efek

interaksi,

tetapi

penggunaan

biodiar(attapulgite) perlu diperhatikan jika ingin digunakan bersama-sama dengan


obat lain. Karena biodiar(attapulgite) yang bersifat absorbens maka hendaknya
biodiar(attapulgite) diberikan bersamaan dengan obat lain atau diberikan minimal
2-3 setelah meminum obat lain agar biodiar(attapulgite) tidak menyerap obat lain
yang telah diminum.
d.

Efek

Samping

Obat
1) Metronidazol
Efek samping yang paling sexing dikeluhkan ialah sakit kepala, mual,
mulut kering dan rasa kecap logam. Dosis metronidazol perlu dikurangi
pada pasien dengan penyakit obstruksi hati yang berat, sirosis hepatis dan
gangguan fungsi ginjal yang berat(4).
2) Sanprima (cotrimoksazol)
Trimetoprim menghasilkan efek samping dari obat-obat antifolat yang
dapat diramalkan, terutama anemia megaloblastik, leukopenia, dan
granulositopenia. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian asam folinat 68 mg/hari secara bersamaan. Sebagai tambahan, kombinasi trimetoprim-

13

sulfametoksazol dapat menyebabkan semua reaksi tidak menguntungkan


yang berkaitan dengan sulfonamid. Kadang-kadang, terdapat juga mual
dan muntah, demam obat, vaskulitis, kerusakan ginjal, atau gangguan
susunan saraf pusat. Pasien AIDS dan pneumonia Pneumosistis terutama
mempunyai frekuensi reaksi tidak menguntungkan yang tinggi terhadap
trimetoprim-sulfametoksazol, terutama demam, rashes, leukopenia, dan
diare(6).
3) Sanmol (parasetamol)
Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi. Manifestasinya dapat
berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan
lesi pada mukosa.Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara
menahun terutama dalam trombinasi dapat menyebabkan nefropati
analgesik(4).
4) Biodiar (attapulgite)
Tidak ada efek samping yang serius dari penggunaan obat ini. Konstipasi
mungkin akan timbul pada beberapa pasien terutama yang mengkonsumsinya
terlalu banyak.
e. Analisa Diagnosa
Data yang diperoleh dari status pasien, dari anamnesa dapat diketahui
bahwa pasien mengalami demam, berak darah yang berlendir . Diagnosa
pastipada kasus ini tidak bisa ditegakkan karena dari pemeriksaan fisik dan
anamnesa hanya dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien mengalami disentri,tatapi
tidak bisa dibedakan antara disentri amuba atau disentri basiler karena keduanya

14

mempunyai gejala yang hampir sama yaitu berak-berak yang disertai lendir dan
darah(7,8). Pemeriksaan laboratorium baik yang sederhana seperti pemeriksaan
mikroskopik tinja maupun pemeriksaan laboratorium lanjutan seperti kultur dan
tes resestensi sangat diperlukan dalam membedakan disentri basiler dan amuba.
Hal ini tidak dilakukan pda kasus diatas, akibatnya terjadi peresepan obat yang
berlebihan karena tidak tahu penyebab terjadinya disentri.
Pengobatan penyebab disentri amuba dan disentri basiler sangat jauh
berbeda sebab disentri amuba disebabakan oleh protozoa Entamoeba histolytica,
sedangkan disentri basiler disebabkan oleh bakteri batang gram negatif shigella.
Obat pilihan mengeleminasi Entamoeba histolytica pada disentri amuba adalah
kombinasi metronidazol dengan diloksanid furoat sedangkan obat pilihan untuk
mengeleminasi Shigella pada disentri basiler adalah florokuinolon(6).
Untuk daerah kita yang tingkat infeksinya tinggi dapat digunakan metode
pengobatan empirik untuk memperkecil kesalahan pengobatan dan peresepan
seperti kasus diatas. Permulaan terapi empirik (dan, sampai tingkat tertentu,
semua terapi antimikroba) harus sesuai dengan protokol yang jelas(6) :
1. Menentukan diagnosis klinik suatu infeksi mikroba: Menggunakan semua
data yang tersedi a, klinisi seharusnya menyimpulkan bahwa adanya
hukti infeksi dan kemudian harus herusaha untuk menentukan letak
anatomis dari infeksi sedekat mungkin.
2. Mendapatkan bahan pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan bahan
laboratorium secara mikroskopis (metode pewarnaan Gram atau
lainnya) dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya dalam satu

15

jam atau lebih tentang mikroba yang patogen. Bahan pemeriksaan untuk
diagnosis mikrobiologis paling baik dikumpulkan sebelum pemberian
antimikroba,
3. Menentukan

diagnosis

mikrobologis:

Berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium yang segera didapat (misalnya,


pewarnaan Gram untuk sputum), klinisi seharusnya menentukan diagnosis
mikrobiologis spesifik secepat mungkin.
4. Menentukan perlunya terapi empirik: Ini merupakan keputusan klinik
yang sebagian berdasarkan pada pengalaman. Terapi empirik merupakan
indikasi bila ada risiko bermakna dari penyakit yang serius bila infeksi
dibiarkan berlanjut tanpa terapi selama waktu yang dibutuhkan laboratorium
untuk mengidentifikasi kuman penyebab dan untuk menentukan pola
kepekaan antimikrobanya (biasanya I -3 hari).
5. Mengadakan pengobatan: Pemilihan terapi empirik dapat berdasarkan
diagnosis mikrobiologis, di mana data kepekaan terhadap anti mikroba
kurang tersedia (misalnya, berdasarkan pewarnaan Gram atau hasil kultur
pendahuluan); pada diagnosis klinik tanpa informasi mikrobiologis lebih
lanjut (misalnya, selulitis, meningitis, pneumonia); atau gabungan dari
keduanya. Bila tidak ada informasi mikrobiologis, maka spektrum
antimikroba dari obat yang dipilih harus lebih besar dibandingkan bila informasi kuman patogen diketahui
Pada kasus diatas digunakan metronidazol sebagai terapi untuk
mengeleminasi Entamoeba histolytica. Penggunaan tunggal metronidazol sudah

16

tidak disarankan lagi karena menurut penelitian 50% penderita akan menjadi
karier jika hanya diobati dengan metronidazol. Obat yang direkomendasikan
untuk amebiasis adalah metronidazol dan diloksanid furoat(sediaan tidak terdapat
di Indonesia), sedangkan obat alternatif yang dapat digunakan adalah
paramomisin yang diteruskan dengan klorokuin jadi(9).
Digunakannya cotrimoksazol pada pengobatan diatas dapat dibenarkan
jika pada kasus diatas disentri disebabkan oleh Shigella. Obat pilhan yang
direkomendasikan dalam pengobatan disentri amuba adalah florokuinolon
sedangkan obat alternatif yang dapat dipilih adalah kotrimoksazol dan
ampsilin(6).
Pada kasus diatas pengguanaan sanmol(parasetamol) sudah tepat karena
pasien datang dengan keluhan demam, tetapi penggunaan biodiar(attapulgite)
tidak begitu tepat karena attapulgite yang bersifat arbsorbens terbukti tidak
banyak manfaatnya dalam pengobatan diare(10).

17

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan 5 tepat pada resep rasional, maka :


1. Tepat obat
Kurang begitu tepat karena penyebab

terjadinya disentri tidak diketahui

dengan pasti apakah Shigella atau Entamoeba histolytica akibatnya obat yang
diberikan menjadi berlebihan. Pemberian obat absorben seperti biodiar
menurut penelitian tidak banyak manfaatnya, jadi lebih baik tidak diresepkan.
2. Tepat dosis
Pada resep ini dosis yang diberikan belum tepat. Karena dosis metronidazol
dibawah dosis rekomendasi, pemberian sanprima(kotrimoksazol) tidak tepat
dosis dan frekuensinya serta lama pemberian lebih pendek dari seharusnya.
3.

Tepat bentuk sediaan


Bentuk sediaan yang diberikan sudah tepat sesuai dengan keadaan pasien.

4. Waktu penggunaan obat


Pada resep ini tidak dituliskan dengan jelas kapan obat seharusnya diminum.
kelengkapan lain yang perlu ditulis adalah : Identitas pasien seperti alamat.

18

Usulan Resep
Jika pada pemeriksaan mikroskopik feses ditemukan dengan pengecatan gram
1
negatif berbentuk basil(Shigella) maka usulan peresepan dapat berupa
PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I
KALIMANTAN SELATAN

RUMAH SAKIT UMUM ULIN


BANJARMASIN
Nama Dokter : dr. Budi Septiawan
NIP
: I1A 001 025
UPF/Bagian : Penyakit Dalam

Tanda Tangan Dokter

Banjarmasin, 21 Oktober 2006

R/

Siprofloksasin tablet 500 mg

No. XXIV

S2.d.d tab 1,5 pc

R/

Parasetamol tab 500 mg tab

No. X

S (prn)3.d.d tab I pc (febris)


R/

Oralit

No.XV

S u.c

Pro

: Nn. Yanti

Umur

: 19 Tahun

Alamat

: Sungai baru RT.4 Kecamatan Banjarmasin Barat

19

Jika pada pemeriksaan mikroskopik feses ditemukan adanya kista atau trofozoit
dari Entamoeba histolytica pengecatan gram negatif berbentuk basil maka usulan
peresepan dapat berupa

PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I


KALIMANTAN SELATAN

RUMAH SAKIT UMUM ULIN


BANJARMASIN
Nama Dokter : dr. Budi Septiawan
NIP
: I1A 001 025
UPF/Bagian : Penyakit Dalam

Tanda Tangan Dokter

Banjarmasin, 21 Oktober 2006

R/

Gabroral tab 250 mg

No.LXIII

S 3.d.d tab III pc

R/

Parasetamol tab 500 mg tab

No. X

S (prn)3.d.d tab I pc (febris)


R/

Oralit

No.XV

S u.c

Pro

: Nn. Yanti

Umur

: 19 Tahun

Alamat

: Sungai baru RT.4 Kecamatan Banjarmasin Barat

20

Setelah pengobatan dengan paramomisin selesai maka diteruskan dengan


klorokuin.
PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I
KALIMANTAN SELATAN

RUMAH SAKIT UMUM ULIN


BANJARMASIN
Nama Dokter : dr. Budi Septiawan
NIP
: I1A 001 025
UPF/Bagian : Penyakit Dalam

Tanda Tangan Dokter

Banjarmasin, 27 Oktober 2006

R/

Mexaquin tab 250 mg

No.XXVIII

S S1.d.d tab II pc

Pro

: Nn. Yanti

Umur

: 19 Tahun

Alamat

: Sungai baru RT.4 Kecamatan Banjarmasin Barat

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Lestari, CS. Seni Menulis Resep Teori dan Praktek. PT Pertja. Jakarta,
2001
2. Joenoes, Nanizar Zaman. Ars Prescribendi Penulisan Resep yang
Rasional 1. Airlangga University Press. Surabaya, 1995.
3. Hardjasaputra, S.L.P dkk. Data Obat di Indonesia edisi 10. Grafidian
Medipress. Jakarta, 2002.
4. Ganiswarna, S.G (ed). Farmakologi dan Terapi edisi 4. Bagian
Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995.
5. Winotopradjoko, Martono et al. Informasi Spesialite Obat Indonesia
Volume 41-2006. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta; 2006
6. Katzung, B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik Jilid 1 Edisi 8. Salemba
Medika. Jakarta. 2002.
7. Tarigan, Pengarapen. Diare Kronis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. FKUI, Jakarta; 1999
8. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi ke3. Media
Aesculapius, Jakarta; 2000
9. Tierney, Lawrence M., McPhee, Stephen J., Papadakis, Maxine A. Current
Medical Diagnosis & Treatment, 45th Edition. McGraw-Hill, USA; 2006
10. Noerasid, Harun, Sudaryat Suraatmadja dan Parma O Asnil.
Gastroenteritis (Diare) Akut dalam Gastroenterologi Anak Praktis. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta; 1988

22

23

You might also like