You are on page 1of 4

Paradigma teori dan praktek arsitek.

Sebuah tugas bersama


untuk saling melengkapi
sebuah pemahaman kritis akan artikel “A theory of making: methodology and process in
architectural practice” karya William Tozer
A. Farid Nazaruddin ST./nim. 0920605002 PPSUB MALANG

Tradisi Berarsitektur.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia arsitektur (dan mungkin pula yang lain) terpecah dalam
dua paradigma. Pertama, paradigma teori/ akademisi, dan kedua adalah paradigma praktisi.
Kedua paradigma ini cenderung mempunyai perbedaan dan bahkan bertentangan, padahal
inti permasalahan mereka adalah sama, yaitu arsitektur. Apa yang sebenarnya terjadi yang
membuat ilmu arsitektur ini menjadi terpecah dan berbeda satu dengan yang lain? Dan
bagaimana pula kita menyatukannya? Tulisan ini berusaha untuk menjawabnya dengan
mangacu sebuah tulisan oleh Wiliam Tozer 2008.

Sebelum kita mulai, tidak ada salahnya kita mengingatkan diri kita untuk selalu mengerti
bahwa manusia selalu dan akan selalu berkembang dan melakukan adapatasi terhadap
lingkungannya. Perubahan atau adaptasi ini akan selalu berdasarkan pengalaman dan
sejarah. Bahkan dapat dikatakan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang perjalanan
zaman telah menghasilkan sebuah tacit knowledge (pengetahuan mendasar) yang menjadi
dasar perilaku dan tindakan manusia setelahnya. Sehingga hasil karya manusia akan selalu
berdasarkan Tacit Wisdom yang telah menjadi tradisi (mentradisi). Sebuah karya tidak akan
mungkin dapat terlepas dari pengaruh pengetahuan ini, meskipun dalam karyanya dia
katakan sebuah karya yang baru dan orisinil.

Tradisi seakan-akan merupakan sesuatu yang kokoh dan sulit untuk diubah secepat itu,
tetapi sejarah telah membuktikan bahwa pada suatu masa, tradisi kadang berubah secara
drastis karena berbagai sebab. Tidak terkecuali tradisi dalam arsitektur.

Makna arsitektur di setiap masa dan disetiap area (wilayah atau area kerja) berbeda-beda.
Dengan kekurang-pastian makna ini semakin menjadikan tradisi arsitektur terus berkembang
secara definitif. Sehingga tidak dapat arsitektur dipisakan dari teori ataupun praktisi. Karena
sebenarnya kedua pihak itu saling mempengaruhi, bekerja sama dan saling melengkapi,

Tetapi yang terjadi sekarang seakan-akan tidak seperti itu. Wiliam Tozer dalam artikelnya
memang berusaha untuk membuka wawasan tentang keberbedaannya ini, tetapi dalam
kajiannya sekan-akan semakin menjauhkan kedua belah pihak itu. Bahkan ia
menganjurkannya.

“this should not be understood as an attempt to diminish the importance of the separation
between professional and academic realms. It is acknowledged that this separation provides
a useful distance in every discipline, allowing academia time for reflection and
experimentation free from the constraints and limitations of the profession”. (hal 136)

“Conversely, Schön explains that it is ‘as though the practitioner says to his academic
colleague, “While I do not accept your view of knowledge, I cannot describe my own”’. He
concludes that such ‘attitudes have contributed to a widening rift between the universities and
the profession, research and practice, thought and action”. (hal 136).

Tozer melupakan bahwa sepanjang sejarah berapa banyak karya manusia yang dianggap
sebuah mahakarya arsitektural dirancang oleh orang yang tidak mempelajari teori arsitektur.
Bahkan hasil karya mereka merupakan sumber perhatian akademisi. Demikian pula banyak
kritikus arsitektur tidak pernah melakukan suatu praktisi arsitektur. Dengan kata lain
sebenarnya dalam diri manusia, arsitektur telah merupakan ilmu yang telah menyatu yang
kemudian terpisahkan oleh kebutuhan akan pemisahan. Arsitektur disini dapat dikatakan
hanyalah sebuah evolusi tacit knowledge terhadap bangunan yang terrealisasikan.
Tradisi tidak dapat terlepas dari budaya dan persepsi. Pengalaman dan kognisi personal dan
komunitas juga sangat mempengaruhinya. Apabila arsitektur merupakan hasil budaya
ataupun bagian dari budaya manusia tentu pengaruh tradisi, pengalaman, persepsi, kognisi
dan lainnya tidak akan dapat terlepas darinya. Arsitektur pun tidak terlepas dari seni yang
juga merupakan bagian dari budaya. kebutuhan manusia pun juga tidak terlepas dari budaya.
Kesemuanya membaur mempengaruhi dan memberikan kesan pada arsitektur. Tidak dapat
terpisahkan dan tidak dapat dipisahkan satu persatu. Sehingga mempelajari arsitektur tidak
akan lengkap apabila tidak mempelajari yang lain pula. Sebuah kerumitan yang menggurita.

Mengetahui hal itu, bagaimana caranya memisahkan antara teori dan praktisi arsitektur
dalam kerumitan itu. Atau bahkan pertanyaan sebenarnya bisakah teori dan praktisi arsitektur
itu dipisahkan. Tetapi tetap, kenyataannya dunia akademisi dan praktisi adalah dunia yang
berbeda dan menghasilkan pendapat yang berbeda pula. Dan cara membuatnya satu adalah
memaksanya untuk bekerja sama.

Praktisi dan Ilmuwan.


Apabila kita memilih vitruvius sebagai salah satu praktisi, kita berada di jalan yang benar,
tetapi apabila kita memilih dia sebagai salah satu akademisi, kita juga berada di jalan yang
benar. Hal ini karena dia adalah seorang yang disebut ilmuwan praksis (practical scientists),
profesi sebenarnya adalah seniman bangunan, tukang pada saat itu. Tetapi dikemudian dia
menulis buku teori arsitektur yang dianggap pertama di dunia, yang sebenarnya merupakan
buku panduan membangun yang ditujukan kepada kepala negara (Caesar Agustus). Dan
sepertinya pada saat itu dan lama setelanya tidak ada pembeda yang jelas antara praktisi
dan akademisi.

"I have drawn up definite rules to enable you [Caesar] to have personal knowledge of the
quality both of existing buildings and of those which are yet to be constructed."

Sepertinya Tozer sudah menyadari hal ini dan menganggap pemisahan antara praktisi dan
akademisi di arsitektur dimulai pada dimulai pada masa modernisme. Dimana terdapat
perbedaan jelas antara para penganut fungsionalisme dan seniisme. Satu menganggap
arsitektur adalah fungsi dan hanya fungsi dan yang lain menganggap arsitektur tidak terlepas
dari seni, bahkan ia seni itu sendiri. Perdebatan ini oleh Tozer masih belum dapat
diselesaikan meskipun ia sudah memberikan contoh seorang arsitek bernama Adolf Loos dan
memberikan cerita tentang pengalamannya sendiri.

Melihat karya dan pemikiran Adolf Loos, Tozer menyimpulkan bahwa Loos merupakan arsitek
yang menggabungkan seni dan fungsionalisme (hal 139). Meskipun demikian, apabila
penggabungan itu diakui, maka sebenarnya dia bisa memisahkan mana yang seni dan mana
yang fungsi dalam arsitektur. Setelah itu, dapat pula ia menilai karya arsitek lain seperti
santiago calatrava yang selalu menggabungkan bentukan-bentukan arsitektural platonik
dalam posisi struktural fungsional. Karya-karya Loos pun tidak menunjukkan konsistensi
pemikiran dan pemahaman akan penggabungan kedua hal itu, bahkan menurut Adolf Loos
sendiri, ia lebih memilih kepada fungsionalisme. ‘Only a very small part of architecture
belongs to art: the tomb and the monument’. (hal 140).

Di indonesia dan di dunia, teori arsitektur seakan hanyalah teori bila berhadapan langsung
dengan sebuah proyek riil. Apabila dihitung aplikasi teori dalam profesi mungkin hanya sedikit
dan tidak memberi banyak pengaruh. Seringkali para praktisi harus belajar secara langsung
dan otodidak pada saat mereka berprofesi. Seringkali pula para ideologis arsitektur bahkan
seakan memberontak dari teori dan akhirnya menghasilkan sebuah terobosan dalam teori itu
sendiri.

Demikian pula sebaliknya, praktisi arsitektur kadangkala tidak mengaplikasikan teori yang
didapatkannya dan menghasilkan sebuah karya yang gagal, ambruk dan roboh. Secara
kualitas ataupun kwantitas.

Posisi Teori dan Posisi Praksis.


Sebenarnya antara teori dan praktisi terdapat hubungan timbal balik yang saling melengkapi
dan saling memperbaiki. Hubungan ini menurut Auguste Comte (1798 - 1857) disingkat
dalam satu kalimat saja, savoir pour prévoir pour pouvoir - knowledge helps us to predict and
thus to influence. Banyak filsuf pula menganggap hal yang sama, yaitu mengkaitkan antara
ilmu yang ada dan aplikasinya. Keterkaitan ini menurut Pentti Routio (2007) dibagi menjadi
tiga hal.
basic research, applied research dan development. (gbr 1, 2 dan 3).

Basic reaserch, adalah dimana mempelajari ilmu dengan tidak untuk tujuan tertentu selain
ilmu itu sendiri (contoh, mempelajari penyakit tidak untuk menyembuhkan).
applied research, adalah posisi ideal kerjasama teori dan praktisi. Dimana dalam posisi ini
pengetahuan bertujuan untuk dapat diaplikasikan (contoh, mempelajari penyakit untuk
mencari peyembuhannya)
development, adalah aplikasi dari pengetahuan pada kenyataan (contoh, memproduksi obat
untuk suatu penyakit)

lebih lanjut dia menambahkan bahwa terdapat dua teori penerimaan dan pengumpulan
informasi yang dilakukan oleh manusia dan aplikasinya pada aktivitas profesional. Yaitu teori
diskriptif, dimana pengumpulan informasi tanpa merubah sumber informasinya, dan teori
normatif, yaitu pengumpulan informasi dengan merubah sumber infonya. Terpengaruh
(informasi bersumber) dari manusia dan alam, yang kemudian diolah secara konspsi (teori)
kemudian memberi dasar pada praksis. (gambar 4)
Penutup.
Jarak hubungan antara teori dan praktisi lebih kepada jarak antara Basic reaserch dan
Development. Basic lebih banyak dilakukan oleh para akademisi dan Development lebih
banyak dilakukan para praktisi. Hal ini menyemabkan kurangnya Applied Reasearch. Apabila
dirasa seperti itu, maka porsi Applied Reasearch harus segera diperbanyak.

Untuk akademisi di Indonesia (pada khususnya), kebutuhan akan para lulusan sarjana yang
memasuki dunia kerja profesi sesuai ilmu yang dipelajarinya sangat tinggi, pengangguran
sarjana sangatlah banyak, dan porsi pengakuan kemampuan praktisi sarjana semakin
diremehkan. Dengan demikian, maka porsi yang seharusnya diperbanyak adalah Applied
Reasearch dan Development.

Sedangkan untuk para praktisi di Indonesia (pada khususnya), harus menyadari bahwa hasil
karya mereka dapat menjadi acuan untuk perbaikan teori dan penyesuaian dengan
kenyataan riil. Sehingga, akan lebih baik bila pada suatu waktu mereka dapat mengilmiahkan
hasil karya mereka khususnya metode dan prosesnya.

Kembali kepada kerja sama. Untuk memperbaiki dan saling memajukan masyarakat, maka
para akademisi harus sadar pentingnya aplikasi dan para profesional harus sadar pentingnya
teori. Kesemuanya terrangkum dalam ilmu terapan (Applied Reasearch). Sehingga dapat
dikatakan bahwa dibutuhkannya suatu dialog diskusi musyawarah bersama antara para
praktisi dan akademisi untuk menghasilkan Applied Reasearch. Sebuah kegiatan yang harus
dilakukan secara konsisten untuk mengimbangi perubahan yang terjadi di ranah praktisi
ataupun akademisi sejalan dengan waktu dan terkuaknya beberapa ilmu baru.

Daftar Pustaka

http://www2.uiah.fi/projekti/metodi/126.htm

Meunier, John. Paradigms for Practice: A Task for Architecture Schools. Journal of
Architectural Education, Vol. 40, No. 2, Jubilee Issue. 1987.

Tozer, William. “A theory of making: methodology and process in architectural practice” Arq.
Vol 12. No. 2. 2008.

You might also like