Professional Documents
Culture Documents
METODE KEGIATAN
3.1 Identifikasi Penyebab Masalah
Proses identifikasi masalah diperoleh melalui metode-metode berikut ini,
1. Wawancara dengan Bidan Desa Karangkepoh (30 April 2016)
2. Wawancara dengan ibu balita gizi buruk.
3. Wawancara dengan pemegang program.
Hasil yang didapat wawancara dengan bidan karangkepoh didapatkan hasil balita dengan
gizi buruk.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai
oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun
2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat
gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah
berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%),
sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).4,5
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia
telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan bahwa jumlah balita
yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkatkan dari 6,3 %
menjadi 7,2 % tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Upaya
Pemerintah antara lain melalui pemberian makanan tambahan dalam jaringan pengaman
sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi
buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada
tahun 1998, 8,1% pada tahun 1999, dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi
Permasalahan
Berdasarkan survei yang dilakukan pemegang program gizi Puskesmas wilayah Karanggede,
diperoleh data cakupan gizi buruk pada 16 desa di Karanggede. Terdapat 8 desa dengan
nihilnya cakupan gizi buruk. Sedangkan, desa yang memiliki cakupan gizi buruk terbanyak
adalah Desa Karangkepoh, yaitu dengan 4 kasus gizi buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI, 2011),
sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan
tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4
2.2 Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia
telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita
yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi
7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya pemerintahan
tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan
peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada
tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998;
8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan
kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor,
marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari
WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk,
19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini dapat
dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4% pada
tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah
nominal anak gizi buruk masih relatif besar.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan kimia,
gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai
biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare
kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka
bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan
masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan
atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi
vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk
malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di
daerah industri belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau
iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamuna,
kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan
konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan
tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak.
Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang
sering ada dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma
ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung
mungkin kecil
pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini sering
terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada
pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini
sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan
sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah
atau abu-abu pada warna rambut (hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual, muntah,
dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang
mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati
sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.6
Ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah perubahan status mental :
cengeng, rewel, kadang apatis, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan
mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam,
wajah membulat dan sembab, pandangan mata anak sayu, pembesaran hati, hati yang
membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin
dan pinggir yang tajam serta kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
2.3.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan
< 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4
2.4 Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut Depkes RI
(1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita
adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan anak,
sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor sepertitingkat sosial ekonomi,
pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi,
serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang
peranan penting. Di bawah ini dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah
gizibalita.
2.4.1. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk
konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya.
terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan
status gizi yang berlawanan hampir universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal
memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
2.4.2 Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada
tiga kenyataan yaitu: status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan serta kesejahteraan,
setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan
zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal dan ilmu gizi memberikan
fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik
bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu
yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,maka ia akan
semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.
Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang penilaian
status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi tentang masalah yang
berkaitan dengan gangguan status gizi balita.
2.4.3 Tingkatan Pendidikan Ibu.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat
pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,
kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan
dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada factor
social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan,
perumahan dan tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bias dijadikan landasan untuk
membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan
diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga
dan bias mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi
berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu
diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar
pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.
Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan
anak maupun salah satu penjelasannya.
2.4.4. Akses Pelayanan Kesehatan.
Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)dan
pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan
masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak
melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan danstatus gizi
pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak
kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering
melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui programprogram pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan dekat
dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan. Dengan akses
kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat
akan terpenuhi.
2.5 Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi
protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan
vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu
jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang
dibandingkan dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis gizi buruk apabila: BB/TB kurang dari -3SD (marasmus). e dema pada kedua
punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor :
BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit
terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa
adanya edema.7
2.6 Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk
2.6.1. Deteksi Dini
Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan dapat dilakukan pada semua tingkat
pelayanan. Deteksi dini ini dilakukan dengan mengukur tinggi badan, berat badan, dan
lingkar kepala. Adapun pelaksana dan alat yang digunakan adalah sebagai berikut : 1,3
Tingkat Pelayanan
Keluarga
Masyarakat
Pelaksana
Orang tua
Kader kesehatan
Petugas PADU,
TPA, dan guru TK
Puskesmas
Dokter
Bidan
Perawat
Ahli Gizi
Petugas Lainnya
Tabel BB/TB
Grafik LK
Timbangan
Alat ukur tinggi badan
Pita pengukur lingkar
kepala
Keterangan:
PADU
BKB
TPA
TK
LK
Tabel 5. Pelaksana dan Alat yang Digunakan pada Deteksi Dini Pertumbuhan
Diambil dari: Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2006. Hal. 41
2.6.2Pengukuran Berat Badan Terhadap Tinggi Badan ( BB/TB )
Tujuan pengukuran BB/TB adalah untuk menentukan status gizi anak, normal, kurus,
kurus sekali atau gemuk.Jadwal pengukuran BB/TB disesuaikan dengan jadwal deteksi dini
tumbuh kembang anak ( DDTK ). Pengukuran dan penilaian BB/TB dilakukan oleh tenaga
kesehatan terlatih. 3,7
Interpretasi :
Normal
: -2 SD s/d 2 SD atau Gizi baik
Kurus
: < -2 SD s/d -3 SD atau Gizi kurang
Kurus sekali : < -3 SD atau Gizi buruk
Gemuk
: > 2 SD atau Gizi lebih
2.6.3Pengukuran Lingkaran Kepala Anak ( LKA )
Pengukuran lingkar kepala anak dalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui
perkembangan otak anak. Biasanya besar tengkorak mengikuti perkembangan otak,
sehingga jika ada hambatan pada perkembangan tengkorak maka perkembangan otak
anak juga terhambat. LKA dapat dipakai sebagai salah satu alat pemantau perkembangan
kecerdasan anak. 7
Tujuan pengukuran LKA adalah untuk mengetahui lingkaran kepala anak dalam
batas normal atau diluar batas normal. Jadwal disesuaikan dengan umur anak. Umur 0-11
bulan, pengukuran dilakukan setiap tiga bulan. Pada anak yang lebih besar umur 12-27
bulan, pengukuran dilakukan setiap enam bulan. Pengukuran dan penilaian lingkaran
kepala anak dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. 7
2.7 Pengobatan
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang
cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor,
marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga ia
mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini dapat
berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang
dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula
yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara
berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk
anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan
lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan
energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3
jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa
(per-sonde)
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara berangsur,
tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg
berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan
biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan penyuluhan
kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan
a.
b.
c.
d.