You are on page 1of 27

PENATALAKSANAAN TRAUMA THORAX

Prinsip
Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary
survey - secondary survey)
Tidak

dibenarkan

melakukan

langkah-langkah:

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)


Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah :
portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan
melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.
Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk
menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan
nyawa.
Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau
setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki
sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)
merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya
setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks
kardiovaskular.

2.1 Definisi
Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar paru yang
menyebabkan paru kolaps.
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura.
Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut sebagai

closed pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis berfungsi sebagai


katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum
pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak
sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan
terjadinya tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara
kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari
2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut
dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan
dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura
lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi,
tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar
melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumotoraks
(Berck, 2010).
2.2 Epidemiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan
traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba
tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini
dibagi lagi menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang
mendasari) maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria
lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko
pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non perokok.
Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada
dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).
Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma
langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi
iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe
pneumotoraks yang sangat sering terjadi (Berck, 2010).

Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun
Seks : Lebih sering pada pria
Pneumotoraks spontan primer
Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-30 tahun

Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun pada

laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan
Pneumotoraks spontan sekunder
Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000
orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun pada
perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik per

tahun (McCool FD, 2008)


Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per tahun dan 6

per 100.000 perempuan per tahunnya.


Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan primer jarang

terjadi di atas usia 40.


Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.
Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik untuk pneumotoraks
spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000 orang per tahun dan 5,8 per

100.000 perempuan per tahun.


Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder pneumotoraks.
Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam waktu 3 tahun. (Korom S,
2011)

2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian


1
1

Pneumotoraks spontan
Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang sehat

dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian pneumotoraks spontan
primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun
(Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi,
kurus, dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP
adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara yang
terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan
radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai penyakit paruparu subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok
meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah terdapat
sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan porositas
menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan emfisematous paru-paru.

Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien
tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru
orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses
pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak
adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada sebagian besar
kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan
absorpsi spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari,
dan suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai
dengan empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat
dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa
pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS) dan
American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk besar-kecilnya
pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP simtomatik yang stabil di
antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007). Berikut adalah ringkasan gabungan panduan
terapi menurut BTS dan ACCP (Mackenzie and Gray, 2007).
a

Clinically stable small pneumotoraks


Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan pneumotoraks
kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal adalah dengan
melakukan observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP menyarankan
dilakukannya observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan
dengan instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari
berikutnya.

Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks


Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS
merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada PSP
luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR dilakukan
setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak
ada perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang
dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah
lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka pemasangan drain
interkostal harus dilakukan.

Clinically unstable patients with a large pneumotoraks

Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan


pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat
mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap
24 jam.
d

Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran udara
persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi
dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua,
pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti
penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya menjalani
tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan
seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan

open thoracostomy (Mackenzie and Gray, 2007)


Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak mempengaruhi
efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi antara ukuran drain dan tingkat
komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil
tidak dapat digunakan apabila terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya
kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat
dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko terjadinya
edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter ahli paru-paru. BTS
merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan tekanan rendah (-10 to -20 cm
H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV.
Pengekleman drain dapat berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan
angka keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila
terdapat kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan tension
pneumotoraks.
2

Pneumotoraks Spontan Sekunder


PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang

mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis,
pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada penyakit intersisiel
paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and
tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli

yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya
kondisi komorbid.
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat. Apabila
pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif muncul dan biasanya
bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan untuk mortalitas
pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko kematian sampai dengan
empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis
tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube untuk
setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna mencegaj rekurensi.
Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe dan kateter untuk
pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru yang mendasari ringan. Sebagian besar
pasien membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah
terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan
terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan
mengalami pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).
2
1

Pneumotoraks Traumatik
Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang terjadi akibat pembukaan

rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif dilakukan . Tindakan seperti
thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi paru perkutan,
bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif
dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit
(Yilmaz, et al, 2002).
Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi jarm halus
transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah ukuran dan kedalaman lesi.
Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks meningkat. Penyebab kedua
terbanyak adalah pemasangan kateter vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunkktur
transthoracic, resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma,
2009).
2

Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik


Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak

pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke

rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju pleura viseralis melalui cabangcabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru
perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di
dada akibat benda ajam (Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek oleh
fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan peningkatan tekanan
alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke
rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks
terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga
pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus
paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten dengan chest
tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).
Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat barotrauma. Pada
suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan tekanannya, sehingga apabila
ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat
1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut,
udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks.
Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam, udara yang
terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke permukaan
barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang
terdapat di paru-paru dapat menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)
4
1

Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya


Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding
dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga
pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena
diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami
reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga
pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan
nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura
negatif (Alsagaff, 2009).

Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga


pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar karena terdapat luka
terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini
sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat
inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi
positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada
saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound) (Alsagaff, 2009).
3

Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)


Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya
dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara
di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam
rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas
(Alsagaff, 2009).

Patofisiologi Pneumotoraks
Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik, iatrogenik.

Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan pneumotoraks
iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostic ataupun terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang
mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan
pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted
thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan primer sering
dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari pembentukan bula subpleural,
namun pada sebuah penelitian dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa
89% kasus dengan bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah
bukan perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori
menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang

kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan
ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-antioksidan serta menginduksi
terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan
alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan
menyebabkan pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura
parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara
akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan
tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil
dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya
sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam
patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan
primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan, homosisteinuria,
serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang sudah
ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar yang
melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial menuju
hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui
pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks.
Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah:
Penyakit saluran napas
o PPOK
o Kistik fibrosis
o Asma bronchial
Penyakit infeksi paru
o Pneumocystic carinii pneumonia
o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram negatif atau

staphylokokus)
Penyakit paru interstitial
o Sarkoidosis
o Fibrosis paru idiopatik
o Granulomatosis sel langerhans
o Limfangioleimiomatous
o Sklerosis tuberus
Penyakit jaringan penyambung
o Artritis rheumatoid
o Spondilitis ankilosing

o Polimiositis dan dermatomiosis


o Sleroderma
o Sindrom Marfan
o Sindrom Ethers-Danlos
Kanker
o Sarkoma
o Kanker paru
Endometriosis toraksis
Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun non-

penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes karena tidak ada lagi tarikan
ke luar dnding dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan
pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan
pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada
bagian yang mengalami pneumotoraks.
Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau
bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic needle
aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan positif (positive
pressure mechanical ventilation).Angka kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila
dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman.
Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada parenkim
paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini mengakibatkan udara
bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya aliran balik dari udara
tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang dapat menyebabkan
terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa
adanya aliran udara balik.
Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura
sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral. Hal
ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung turun karena
venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran
udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan
turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal
jika tidak ditangani secara tepat.

6
1

Diagnosis Pneumotoraks
Keluhan

a)

Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya
padasaat bernafas dalam atau batuk.

b)

Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila
sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali

c)

Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.

d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen (cyanosis)


2

Pemeriksaan Fisik
a Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas, tertinggal
b

pada sisi yang sakit


Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar,
iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau

menghilang.
Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar, batas jantung

terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi


Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik apabila

ada fistel yang cukup besar


Pemeriksaan Penunjang
a Radiologis:
1 Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
2 Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi avaskuler.
3 Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari
paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih
4
5

padat dengan densitas seperti bayangan tumor.


Biasanya arah kolaps ke medial
Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada jantung
misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita kenal sebagai tension

pneumothorax
6 Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.
BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

2.7. Penatalaksanaan Pneumotoraks


2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabiisasi leher
hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara memasang cervical
collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien
dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust (bila
dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin lift dilanjutkan
dengan

membersihkan

rongga

mulut

dengan

swab

mengunakan

jari

telunjuk,

mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar dilakukan

pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon,
2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan secara
bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding dada asimetris, deviasi
trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas menurun bahkan menghilang dan pada
perkusi didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan
tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan memeriksa
capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi perdarahan masif
dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid (Boon, 2008).
2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan intecostal
chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya yang hanya terlihan
dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi berdasarkan status klinis
pasien prosedur yang direncanakan berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus
yang terdapat multiple injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau
pasien yang akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension
pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).
2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus dipertimbangkan
bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh menunda pemasangan chest
tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada open pneumotoraks adalah menutup luka
dan segera memasang intercostal chest drain (Brohi, 2004).
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa melakukan
terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada tiga sisinya. Secara
teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk memungkinkan udara keluar dari
pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit
bila dilakukan pada luka yang luas dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest
drain harus dipasang dan luka ditutup (Brohi, 2004).
2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
2.7.4.1 Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada emergensi
dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada Intercostal Space (ICS)
II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui
spuit yang terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara.

Udara yang keluar dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax.
Manuver ini mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).
2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension pnemothorax.
Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan pemasangannnya biasanya
cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik untuk blind needle thoracostomy. Hal ini
menyebabkan status respiratori dan hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit
tambahan untuk melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),
tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa terburu-buru.
Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual dengan tekanan positif (Brohi,
2004).
8

Komplikasi Pneumotoraks
Komplikasi

yang

dapat

terjadi

pada

pneumotoraks

antara

lain

adalah

pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi melalui tiga


tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah terjadinya ruptur
alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung bronkovaskuler menuju daerah hilus dan
akhirnya

udara

mencapai

mediastinum.

Pneumomediastinum

jarang

menyebabkan

komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum
dapat menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung
terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah
jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara
pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan
jantung (Carolan, 2010).

Gambar 2.1 Pneumomediastinum Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks


tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung kiri.
Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan
selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema subkutis terjadi

akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai pembengkakan


tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema
subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat
memperparah keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas.
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan
pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).

Klasifikasi Pneumothorax
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

(2), (3)

:
1

Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a

Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba


tanpa diketahui sebabnya.

Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan


didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,
dan infeksi paru.

Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun
paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a

Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena


jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.

Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat


komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1

Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental

Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis


karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2

Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)


Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan

untuk

tujuan

pengobatan,

misalnya

pada

pengobatan

tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan


paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan
udara di rongga pleura tetap negatif.
2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan
menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound) (2).
3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama
makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan

selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di
dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal
napas (2).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1

Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru
(< 50% volume paru).

Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>
50% volume paru).

Pemeriksaan Penunjang Pneumothorax


1

Foto Rntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks antara
lain (6):

Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.

Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.

Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai


berikut (3):
1

Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,


mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel
mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.

Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.
Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara
yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat
banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.

Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah


merupakan bagian paru yang kolaps

Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada fraktur klavikula biasanya penderita datang dengan keluhan jatuh atau
trauma. Pasien merasakan sakit bahu dan diperparah dengan setiap gerakan lengan. Fraktur

klavikula sangat mudah didiagnosa dengan pemeriksaan fisik karena jaringan subkutis yang
sangat tipis. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada daerah fraktur dan
kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang
menonjol akibat desakan dari fragmen fraktur. Pembengkakan lokal akan terlihat disertai
perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yang
mengikuti fraktur. Trauma pada pleksus brakhial yang berhubungan dengan fraktur klavikula
dapat terjadi. Kerusakan vaskular walaupun jarang tetapi dapat terjadi terutama pada arteri
subklavia.
Klasifikasi
1

Fraktur mid klavikula ( Fraktur 1/3 tengah klavikula)

paling banyak ditemui

terjadi medial ligament korako-klavikula ( antara medial dan 1/3 lateral)

mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung ( dari lateral bahu)

2. Fraktur 1/3 lateral klavikula


fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, yang dapat dibagi:

type 1: undisplaced jika ligament intak

type 2 displaced jika ligamen korako-kiavikula rupture.

type 3 : fraktur yang mengenai sendi akromioklavikularis. Mekanisme trauma pada


type 3 biasanya karena kompresi dari bahu.

3. Fraktur 1/3 medial klavikula


Insiden jarang, hanya 5% dan seluruh fraktur klavikula. Mekanisme trauma dapat berupa
trauma langsung dan trauma tak langsung pada bagian lateral bahu yang dapat menekan
klavikula ke sternum. Jatuh dengan tangan terkadang dalam posisi abduksi.

Pemeriksaan Radiologi Fraktur Clavicula


a

Plain Photo
Mid clavicula
Evaluasi pada fraktur clavicula yang standar berupa proyeksi anteroposterior
(AP) yang dipusatkan pada bagian tengah clavicula. Pencitraan yang dilakukan harus
cukup luas untuk bisa menilai juga kedua AC joint dan SC joint. Bisa juga digunakan
posisi oblique dengan arah dan penempatan yang baik. Proyeksi AP 20-60 dengan
cephalic terbukti cukup baik karena bisa meminimalisir struktur toraks yang bisa
mengganggu pembacaan.
Karena bentuk dari clavicula yang berbentuk S, maka fraktur menunjukkan
deformitas multiplanar, yang menyebabkan susahnya menilai dengan menggunakan
radiograph biasa. CT scan, khususnya dengan 3 dimensi meningkatkan akurasi
pembacaan.

Medial clavicula dan SC joint


Proyeksi standar untuk menilai SC joint adalah posteroanterior (PA), lateral
dan oblique. Fraktur medial clavicula dan cedera pada SC joint biasanya sulit dinilai
dengan pencitraan yang biasa karena adanya overlap clavicula dengan sternum dan
costa pertama. Sebagai catatan penting, ossifikasi sekunder pada bagian proksimal
clavicula tidak akan nampak pada usia sebelum 12 tahun dan mungkin sampai umur
25 tahun. Sehingga pada gambaran radiograph biasa akan sulit membedakan antara
suatu fraktur dengan dislokasi pads SC joint.

Lateral clavicula dan AC joint


Pemeriksaan radiologi pada sisi yang mengalami cedera kadang-kadang cukup
sulit, namun beberapa pemeriksaan membandingkan penampakan pada daerah cedera
tersebut. Proyeksi AP pada AC joint digunakan 15 inclinasi cephalic, sepanjang
tulang scapula. Normal alignment pada sendi dengan proyeksi AP apabila ukuran

celah sendi kurang dari 5 mm dan facies bagian bawah akromion dan distal clavicula
tidak terputus-putus.
b CT Scan
Medial clavicula dan SC joint
CT scan memegang peranan yang penting dalam mendiagnosa fraktur
clavikula bagian medial dan cedera pada SC joint. CT scan seharusnya digunakan
dengan mencakup SC joint dan secara otomatis setengah dari kedua clavicula untuk
membandingkan satu sisi dengan sisi yang lain.
Jika didapatkan ada kelainan pada vascular, bisa kita nilai dengan
menggunakan intravenous contras..

Lateral clavicula dan AC joint


CT scan merupakan salah satu alat pencitraan di bidang radiologi yang cukup
sensitif dalam menegakkan diagnosa. CT scan kadang-kadang digunakan untuk
mendiagnosa fraktur intra-artikular atau stress fraktur pada AC joint. Meskipun
demikian CT scan terbatas untuk menilai sekitar jaringan lunak termasuk kapsula,
ligament dan sendi sinovial.

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
p. 1063.
Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May 27;
cited 2011 January 10. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551

Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :


Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press;
2007. p. 56

Pemeriksaan radiologi untuk fraktur costae dapat dilakukan foto thorak AP lateral dan
yang paling baik dilakukan CT Scan akan tetapi lama dalam menunggu hasil
pemeriksaannya. Dapat juga dilakukan analisa gas darah. Pada frakur clavicula CT

Scan diutamakan karena spesifitas dan sensitifitas yang 100%.


Jenis pneumothorak :
a Pneumothorak terbuka atau sucking chest wound karena luka besar dinding dad
ayang terbuka maka tekanan intrapleura akan sama dengan tekanan lingkungan
sehingga tidak ada pertukaran udara sehingga ventilasi terganggu yang dapat
b

terjadi hipoksia dan hiperkabnia.


Tension Pneumonia atau one way valve atau fenomena ventil, terjadi seperti pentil
yang saat ada luka, maka udara cenderung masuk dan terjebak tidak bisa keluar,
sehingga ada penumpukan udara di dalam dada. Hal ini dapat menekan paru dan
mediastinum sehingga dapat terjadi kolaps paru dan menghambat aliran darah
vena ke cor. Gejala yang sering terjadi jika nyeri dada, sesak nafas, takikardi,
hipoventilasi, hipotensi, deviasi trakea, hilang suara nafas satu sisi, perkusi

hipersonor, hilang suara nafas vesikuler.


Indikasi operasi pada fraktur clavicula salah satunya yaitu malunion (bentuknya tidak
menyatu dengan semestinya sehingga lebih pendek maupun mengalami angulasi) dan
nonunion (jika selama 4-6 minggu secara radiologi tulang tidak menyambung karena

imobilisasi tidak adekuat).


Trauma tumpul thorak dapat ditatalaksana awal dengan prinsip mengistirahatkan,
imobilisasi, dapat diberi aspirin untuk menghilangkan rasa sakit pada dada, jika tidak
sadar dan susah bernafas dapat diberi ventilasi dan sirkulasi. Sedangkan jika terjadi
trauma tembs jangan digerakin dan diberi infus untuk menyeimbangkan perdarahan

yang terjadi.
Crossmatch adalah pemeriksaan serologi untuk menetapkan sesuai atau tidak darah
donor dan resipien sebelum dan selama donor. Ada 2 cara pemeriksaan yaitu :
a Crossmatch mayor jika mencampur eritrosit/aglutinogen donor dengan
b

serum/aglutinin resipien.
Crossmatch minor jika

mencampur

serum/aglutinin

donor

dengan

eritrosit/aglutinogen donor.
Jika terjadi aglutinasi maka darah tidak cocok. Jika crossmatch minor mengalami aglutinasi
dapat.

Pemeriksaan penunjang untuk pneumotoraks adalah pemeriksaan radiologi postero anterior


yang menunjukkan area hiperlusen avaskuler pada hemitoraks yang sakit, gambaran pleural
line, paru yang kolaps, dan terdorongnya mediastinum ke arah yang berlawanan
http://leman.or.id/2007-martin-wsd-medika-nov07.pdf

A. TRIAGE
Triage adalah suatu proses untuk menentukan pasien mana yang harus ditangani terlebih
dahulu berdasarkan seberapa parah atau serius trauma yang terjadi. Berdasarkan CDC
Guideline for Field Triage of Injured Patients pada tahun 2011, triaging dibagi menjadi 4
tahap:
1

Step 1: kriteria fisiologi.


Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara cepat pasien trauma yang kritis
dengan menilai level kesadaran (Glasgow Coma Scale [GCI]) dan mengukur tanda
vital (systolic blood pressure [SBP] dan respiratory rate [RR]).

Step 2: kriteria anatomi


Pada tahap ini, dilakukan penilaian mengenai cedera anatomi yang mungkin
memerlukan perawatan yang intensif pada beberapa pasien yang pada presentasi awal
memiliki fisiologi normal. Transport ke fasilitas yang menyediakan level tinggi
perawatan trauma harus dilakukan apabila ditemukan cedera anatomi (gambar 1).

Step 3: mekanisme trauma


Pasien yang tidak memenuhi kriteria pada step 1 dan 2 harus dievaluasi tentang
mekanisme terjadinya trauma untuk menentukan apabila trauma mungkin parah akan
tetapi tidak terlihat.

Step 4: special consideration


Menentukan apakah pasien yang tidak masuk kriteria fisiologis, anatomic, atau
mekanisme trauma memiliki kondisi yang mendasari atau faktor-faktor komorbid
yang menyebabkan pasien dalam risiko tinggi mengalami cedera atau yang membantu
mengidentifikasi pasien yang cedera parah.

Label warna pada triage

Merah: merupakan prioritas utama, perlu pengobatan yang segera karena dalam
kondisi yang sangat kritis yaitu tersumbatnya jalan nafas, dyspnea, pendarahan, syok,

hilang kesadaran.
Kuning: bisa menunggu pengobatanpengobatan dapat ditunda untuk beberapa jam dan

tidak akan berpengaruh terhadap nyawanya, dan tanda-tanda vital stabil.


Hijau: dapat dilakukan rawat jalan.

Hitam: korban sudah meninggal dunia atau tanda vital menghilang

Prinsip Pemeriksaan Radiologis pada Fraktur


Pemeriksaan penunjang pada fraktur yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
radiologis. Pemeriksaan radiologis ini menganut aturan yang disebut Rules of Two.
Rules of Two merupakan seperangkat guideline sederhana. Beberapa hal dari Rules of
Two harus dipatuhi, dan beberapa di antaranya hanya berlaku pada kasus tertentu saja.
Prinsip-prinsip umum ini tentunya berguna untuk membantu menghindari kesalahan
dalam interpretasi hasil radiografi dan manajemen pasien.
Rules of Two mencakup 10 hal yaitu:
a

Two views (dua tampilan): sebaiknya dilakukan secara anteroposterior (AP) dan lateral,

kecuali pada radiologis thorax, abdomen, dan pelvis.


Two joints (dua sendi): menampilkan gambaran sendi di atas dan di bawah tulang

c
d

panjang, terutama pada fraktur bagian antebrachii dan cruris.


Two sides (dua sisi): membandingkan kedua sisi terutama pada anak-anak.
Two abnormalities (dua kelainan): cobalah mencari kelainan lain yang menjadi faktor

predisposisi fraktur, misalnya pada fraktur patologis, ditemukannya bone island.


Two occasions: periksalah dengan film atau pemeriksaan radiologis terdahulu, hal ini
dapat membantu pada foto thorax ataupun pada kasus misalnya osteomyelitis, septic

arthritis, dll.
Two visits (dua kunjungan): diperlukan pemeriksaan radiologis ulang terutama setelah
operasi, tindakan immobilisasi tulang, mengurangi dislokasi, atau pengambilan benda
asing, untuk melihat apakah kelainan telah membaik, tidak berubah, atau bahkan

memburuk.
Two opinions (dua pendapat): dapat digunakan untuk meyakinkan kelainan yang terjadi,
dapat menggunakan Red Dot System (memberikan titik merah pada kelainan yang

terjadi, biasanya sistem ini digunakan pada instalansi gawat darurat.


Two records (dua catatan): menyalin hasil temuan pemeriksaan radiografi pada rekam
medis.

Two specialists (dua spesialis): semua film harus dilihat dan dilaporkan secara resmi

oleh seorang ahli radiologi.


Two examinations (dua pemeriksaan): terkadang diperlukan pemeriksaan penunjang
lain untuk menegakkan diagnosis, seperti: Ultrasonography, Computed Tomography,
Magnetic Resonance Imaging, dan Isotope Bone Scanning.

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2014).Informed consent.www. cancer. org,


American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support . United States of America:
First Impression.
Ayush

Goel,

Martin

Gorrochategui, et

al.

Pneumothorax

http://radiopaedia.org/articles/pneumothorax
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
Ersoy N, Senses OM, Aydin ER. (2010). Informed consent in emergency medicine.
UlusTravmaAcilCerrahiDerg. 16(1): 1-8
https://ml.scribd.com/doc/225528078/Informed-Consent-pada-Kegawatdaruratan

diakses

pada tanggal 26 April 2015


FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta.
Otto Chan, Robin Touquet, General Principles: How to Interpret Radiographs
https://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample_ch
apter/9780727915283/9780727915283_4_001.pdf
Price, Sylvia, 1992. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Mosby
Philadelphia.
RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS
Bandung.
Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiadi S. (eds). Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid II edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syamsu H.R. dan Jong, Wim De (1995). Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.
Tim Skills Lab FK UNS. (2015). Pedoman Keterampilan Klinis Semester VI. Surakarta: FK
UNS.
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

You might also like