Professional Documents
Culture Documents
Dengan semakin meningkatnya teknologi dan industri dinegara kita terutama kendaraan
bermotor serta peningkatan kriminalitas, maka akan meningkat pula angka kejadian dari trauma
toraks. Trauma torak semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana
trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika
Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini
seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari
10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 30 % dari trauma tembus thorax yang
membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan
tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus
penyelamatan kasus trauma thorax.
Schulpen mengemukakan jumlah terbanyak penderita trauma adalah golongan umur 16 - 25
tahun dengan angka kematian 35% pada yang disertai dengan trauma toraks dan 18% tanpa
trauma toraks. Sedang Glinz W mendapatkan penderita trauma tumpul toraks bersamaan dengan
trauma lainnya, yaitu 51% dengan trauma kapitis, 20% dengan trauma abdomenen, 38% dengan
fraktur ekstremitas, 12% dengan fraktur maksilo-fasial, 13% dengan fraktur pelvis dan 6%
dengan fraktur tulang belakang. Pneumotoraks, hemotoraks, pneumomediastinum dan emfisema
subkutis merupakan manifestasi klinik yang paling sering didapati pada penderita-penderita
dengan trauma toraks. Dalam penatalaksanaan trauma harus selalu diingat ABC yaitu airway,
breath dan circulation, agar kemungkinan adanya trauma torak tidak terlupakan. Juga penting
sekali dilakukan pengamatan yang tepat terhadap fungsi kardiovaskuler.
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam
atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
II. ANATOMI TORAK
A. Dinding dada.
Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk dinding dada adalah tulang
iga, columna vertebralis torakalis, sternum, tulang clavicula dan scapula. Jaringan lunak yang
membentuk dinding dada adalah otot serta pembuluh darah terutama pembuluh darah
intrerkostalis dan torakalis interna.
B. Kerangka dinding torak
Kerangka dinding torak membentuk sangkar dada osteokartilogenous yang melindungi jantung,
paru-paru dan beberapa organ abdomen (misalnya hepar). Kerangka torak terdiri dari:
Vertebra thoracica (12) dan discus intervertebralis
Costa (12 pasang) dan cartilage costalis
Sternum
Costa adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan membatasi bagian terbesar sangkar
dada terdiri dari:
- Ketujuh (kadang-kadang delapan) costae I disebut costa sejati (vertebrosternal) karena
menghubungkan vertebra dengan sternum melalui kartilago costalis
- Costa VIII sampai costa X adalah costa tak sejati (vertebrokondral) karena kartilago costalis
masing-masing costa melekat pada kartilago costalis tepat diatasnya
- Costa XI dan costa XII adalah costa bebas atau kosta melayang karena ujung kartilago
kostalis masing-masing costa berakhir dalam susunan otot abdomen dorsal
Sternum adalah tulang pipih yang memanjang dan membatasi bagian ventral sangkar dada.
Sternum terdiri atas tiga bagian: manubrium sterni, corpus sterni, dan processus xiphoideus.
C. Dasar torak
Dibentuk oleh otot diafragma yang dipersyarafi nervus frenikus dan merupakan struktur yang
menyerupai kubah (dome-like structure). Diafragma membatasi abdomen dari rongga torak serta
terfiksasi pada batas inferior dari sangkar dada. Diafragma termasuk salah satu otot utama
pernapasan dan mempunyai lubang untuk jalan Aorta, Vana Cava Inferior serta esophagus
mediastinum medius terdapat jantung dan pembuluh besar. Beberapa bangunan melintasi
mediastinum secara vertikal (misalnya esophagus) dan dengan demikian melewati lebih dari satu
sektor.
III. FISIOLOGI TORAK
Pada inspirasi gerak dinding torak dan diafragma menghasilkan bertambahnya ukuran torak
vertical, tranversal dan dorsoventral serta volume intratorakal. Perubahan tekanan menyebabkan
inspirasi dan ekspirasi udara secara bergantian ke dalam/keluar dari paru-paru melalui hidung,
mulut, laring dan trakea, dan sebaliknya. Pada ekspirasi, diafragma, muskulus intercostalis dan
otot lainnya mengalami relaksasi sehingga volume intratorakal berkurang dan tekanan
intratorakal meningkat. Jaringan paru-paru yang lentur dan teregang menebal kekeadaan semula
(recoil), dan cukup banyak udara terdesak keluar. Bersamaan dengan ini tekanan intraabdominal
berkurang.
Inspirasi : dilakukan secara aktif
Ekspirasi : dilakukan secara pasif
Fungsi respirasi :
- Ventilasi : memutar udara.
- Distribusi : membagikan
- Diffusi : menukar CO2 dan O2
- Perfusi : darah arteriel dibawah ke jaringan.
IV. TRAUMA TORAK
Patofisiologi trauma torak.
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada dasarnya adalah akibat dari :
1. Kegagalan ventilasi
2. Kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar.
3. Kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik.
Ketiga faktor diatas dapat menyebabkan hipoksia, hiperkarbia dan asidosis Hipoksia pada tingkat
jaringan dapat menyebabkan rangsangan terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya adult
respiratory distress syndrome ( ARDS), systemic inflamation response syndrome (SIRS).
Hipoksia terjadi karena perdarahan pada trauma dapat mengakibatkan syok hipovolemik
sehingga menyebabkan berkurangnya transport O2 oleh hemoglobin. Hipokasia jaringan
merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena
hipivolemia ( kehilangan darah), pulmonary ventilation/ perfusion mismatch (contoh kontusio,
hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratthorax (contoh : tension
pneumothorax, pneumothorax terbuka). Selain itu, pada pneumotorak terjadi kolaps paru yang
mengakbatkan kontusio paru sehingga terjadi gangguan pertukaran gas pada alveoli. Hiperkarbia
merupakan peningkatan kadar CO2 dalam darah yang terjadi pada keadaan pernapasan yang
menurun, dapat mengenai penderita yang tidak sadar dan mengalami perubahan tekanan
intratorak. Sedangkan asidosis metabolik akan terlihat pada keadaan perfusi jaringan yang
menurun.
Klasifikasi trauma
1. Trauma tumpul
2. Trauma tembus : tajam, tembak, tumpul yang menembus.
d) Pahtologic, neoplasma atau kista tulang iga sebagai penyebab dari fraktur iga.
Kemungkinan terjadinya cedera paru lebih besar pada penderita anak-anak dan dewasa muda
karena iga masih lentur hingga dibutuhkan trauma yang lebih kuat untuk menyebabkan
terjadinya pada fraktur iga. Bila terdapat graktur iga 1 dan 2 pada hemitoraks kiri dan pada foto
toraks PA didapati pelebaran mediastinum, dianjutkan secepatnya melakukan aortografi oleh
karena mungkin telah terjadi ruptura aorta. Letak fraktur iga tergantung dari arah benturan dan
lengkungan iga, Hinton dan Steiner mengamati fraktur iga sebagai berikut:
1. Iga 5 dan 9 menerima akibat benturan yang paling berat.
2. Trauma tidak langsung, terjadi akibat mendekatnya kcdua ujung tulang iga sehingga
kelengkungan iga bertambah dan letak fraktur biasanya bagian tengah.
3. Trauma langsung, menyebabkan fraktur satu atau lebih tulang iga pada tempat benturan dan
sering fragmen fraktur merobek pleura serta jaringan paru.
4. Faktur tunggal biasanya end-to-end, fraktur jamak mungkin overlapoing. Fraktur sternum
lebih sering terjadi pada persendian manubriosternal, dapat berbentuk fraktur yang sederhana
dengan prognosis baik hingga bentuk fraktur yang overlapping yang sering bersamaan dengan
fraktur iga dan cedera toraks lainnya serta keadaan penderita yang cukup serius. Tanda klinis
dapat berupa pernafasan cepat dan dangkal, krepitasi dan rasa sakit pada daerah fraktur serta
emfisema subkutis.
Penatalaksanaan
Fraktur iga dan sternum sederhana hanya memerlukan pengobatan simptomatis dengan
pemberian analgetika dan mukolitika, namun pada fraktur sternum yang overlapping dibutuhkan
fiksasi. Dilakukan suntikan blok saraf interkostal pada fraktur iga untuk mengurangi rasa sakit
agar batuk dan bernafas dalam tidak terhalangi. Pada fase akut tidak dilakukan pembebatan
dengan plester karena dapat mengganggu mekanisme pernafasan.
2. Flail chest :
- Akibat adanya patah tulang rusuk jamak yang segmental pada satu dinding dada.
- Ditandai dengan gerakan nafas yang paradoksal. Waktu inspirasi nampak bagian tersebut
masuk ke dalam dan akan keluar waktu ekspirasi. Hal ini menyebabkan rongga mediastinum
goncangan gerak (flailing) yang dapat menyebabkan insertion vena cava inferior terdesak dan
terjepit.
- Gejala klinis yang nampak adalah keadaan sesak yang progressif dengan timbulnya tandatanda syok.
- Terjadi oleh adanya tiga atau lebih fraktur iga multipel, dapat tanpa atau dengan fraktur
sternum, sehingga menyebabkan :
a) segmen yang mengambang akan bergerak ke dalam selama fase inspirasi dan bergerak ke
luar selama fase ekspirasi, sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan
banyak udara ini akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi; keadaan ini disebut
dengan respirasi pendelluft.
b) pergerakan ke dalam dari segmen yang mengambang akan menerkan paru-paru di bawahnya
sehingga mengganggu pengembangan paru ipsilateral.
c) mediastinum terdorong ke arah kontralateral selama fase inspirasi oleh adanya peningkatan
tekanan negatif hemitoraks kontralateral selama fase ini, sehingga pengembangan paru
kontralateral juga akan terganggu.
d) pergerakan mediastinum di atas akan mengganggu venous return jantung. Dinding dada
mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan hemotoraks, pneutoraks, hemoperikardium
maupun hematoma paru yang akan memberat keadaan penderita.
Penatalaksanaan
Segera dilakukan traksi pada bagian dinding dada yang mengambang, bila keadaan penderita
stabil dapat dilakukan stabilisasi dinding dada secara operatif.
CEDERA PARU-PARU (Pulmonary Injuries) :
1. Pneumotorak :
Disebabkan oleh robekan pleura dan atau terbukanya dinding dada. Dapat berupa pneumotorak
yang tertutup dan terbuka atau menegang (tension pneumotorak). Kurang lebih 75 % trauma
tusuk pneumotorak disertai hemotorak. Pneumotorak menyebabkan paru kollaps, baik sebagian
maupun keseluruhan yang menyebabkan tergesernya isi rongga dada ke sisi lain. Gejalanya sesak
nafas progressif sampai sianosis dengan gejala syok.
a. Pneumotorak tertutup
Terjadi karena fragmen fraktur iga merobek paru, namun dapat pula terjadi tanpa adanya fraktur
iga, dimana truma terjadi pada fase inspirasi dengan glotis tertutup dan daya tahan alveoli
terlampaui. Pneumotoraks tertutup dengan adanya mekanisme pentil akan menyebabkan udara
terperangkap pada rongga pleura sehingga tekanan rongga pleura akan lebih besar dari udara
atmosfer dan disebut sebagai pneumotoraks desakan (tension pneumothorax).
Pneumotoraks desakan dapat menyebabkan pendorongan mediastinum ke arah kontralateral yang
dapat mengakibatkan terjepitnya vena cava sehingga dapat mengganggu venous return jantung.
Penatalaksanaan
Pemasangan water seal drainage pada penderita penumotoraks bergantung kepada :
a) beratnya gangguan pernafasan
b) disertai pneumotoraks desakan
c) pneumotoraks bilateral
d) disertai hemotoraks
e) selama observasi pneumotoraks bertambah luas
f) bila diperlukan pemakaian ventilator
g) bila diperlukan anestesi umum
b. Pneumotorak terbuka
Pneumotoraks terbuka dapat disebabkan oleh trauma tumpul maupun trauma tajam, rongga
pleura mempunyai tekanan yang sama dengan udara atmosfir dan dari lubang luka pada dinding
dada akan terdengar suara hisapan udara selama fase inspirasi yang disebut sebagai sucking chest
wound.
Pada keadaan ini juga akan terdapat respirasi yang pendelluf, karena selama fase inspirasi paru
ipsilateral akan kuncup dan selama fase ekspirasi paru akan sedikit mengembang, hal ini
menandakan bahwa selama fase ekspirasi udara dari paru kontralateral masuk ke paru ipsilateral.
Penatalaksanaan
- Tindakan awal: menutup defek dengan kasa steril yg diplester hanya pd 3 sisinya saja,
diharapkan saat inpirasi kasa penutup akan terhisap & menutup luka & saat ekspirasi kasa
penutup luka akan terbuka dan udara didalam rongga toraks akan terdorong keluar
- Tindakan definitif : memasang drain (WSD) toraks serta menutup defek tersebut
2. Hemotoraks :
Adanya darah dalam rongga pleura. Dibagi menjadi hemotorak ringan bila jumlah darah sampai
300 ml saja. Hemotorak sedang bila jumlah darah sampai 800 ml dan hemotorak berat bila
jumlah darah melebihi 800 ml. Gejal utamanya adalah syok hipovolemik .
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling sering
dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma toraks
didapati adanya darah pada rongga pleura. Sumber perdarahan dapat berasal dari adanya cedera
pada paru-paru, robeknya arteri mamaria interna maupun pembuluh darah besar lainnya seperti
aorta dan vena kava. Bila darah pada rongga pleura mencapai 1500 ml atau lebih akan
menyebabkan kompresi pada paru ipsilateral dan dapat mengakibatkan hipoksia. Perdarahan
masif pada hemotoraks yang disertai hipoksia karena hipoventilasi dapat mempercepat kematian
penderita.
Penatalaksanaan
Segera dipasang water seal drainage untuk mengukur jumlah darah mula-mula dan perdarahan
setiap jam. Indikasi torakotomi pada hemotoraks adalah bila perdarahan mula-mula lebih dari
1500 ml atau perdarahan lebih dari 3 - 5 ml/kg BB/jam selama 4 jam berturut turut pada masa
observasi.
3. Kontusio paru/traumatic wet lung
Burford dan Burbank yang memperkenalkan istilah ini di tahun 1944 yaitu terjadinya kelainan
pada paru-paru akibat trauma dinding dada dan paru-paru. Kelainan yang terjadi adalah
bertambahnya cairan intersisial dan intraalveolar paru; transudasi alveolar ini merupakan akibat
dari anoksia. Penulis lain menyebutkan sebagai Dan Nang lung, white lung syndrome, kontusio
paru.
Penatalaksanaan
Membersihkan jalan nafas dengan aspirasi maupun bronkoskopi, mempertahankan mekanisme
batuk, blok interkostal bila terdapat fraktur iga agar batuk tidak terhalang. Membuat tekanan
ventilasi positif pada akhir ekspirasi dapat menolong dalam memperbaiki kapasitas residu
fungsional dan mengurangi pintas intrapulmoner. Hindari pemberian cairan yang berlebihan.
CEDERA KARDIOVASKULAR (Cardiovascular injuries)
Gejala klinis akan cepat menunjukkan gejala syok hipovolemik primer dan syok obstruktif
primer. Bendungan vena di daerah leher merupakan tanda penyokong adanya tamponade ini.
Juga akan nampak nadi paradoksal yaitu adanya penurunan nadi pada waktu inspirasi, yang
menunjukkan adanya massa (cair) pada rongga pericardium yang tertutup. Penyebab tersering
adalah trauma torak tajam di daerah parasternal II V yang menyebabkan penetrasi ke jantung.
Penyebab lain adalah terjepitnya jantung oleh himpitan sternum pada trauma tumpul torak.
Melakukan pungsi perikardium yang mengalami tamponade dapat bertujuan diagnostik sekaligus
Emfisema Subkutis
Dapat disebabkan oleh adanya cedera saluran pernafasan atau segmen fraktur iga yang merobek
paru-paru dan dapat disertai dengan adanya pneutoraks maupun pneumotoraks desakan.
Terjadi kebocoran jalan nafas yang umumnya melalui pleura atau bawah kulit bawah dada
sehingga menimbulkan emfisema subkutis. Disebabkan oleh sebagian besar akibat trauma torak
tumpul di daerah sternum. Secara klinis leher membesar emfisematous dengan adanya krepitasi
pada dinding dada. Sesak nafas sering menyertai dan dapat timbul tension pneumotorak.
Penatalaksanaan
Emfisema subkutis yang tcrbatas di daerah toraks tidak memerlukan tindakan karena dapat
diabsorbsi dalam 2 hingga 4 minggu; bila terdapat penumotoraks dilakukan pemasangan water
seal drainage. Emfisema subkutis yang luas harus dicurigai disebabkan cedera dari saluran
pernafasan yang mungkin memerlukan tindakan torakotomi untuk memperbaikinya.
LANGKAH DIAGNOSTIK
Secara umum diagnosis secara klinis ditegakkan dari jenis kerusakan yang terjadi dan pembuatan
x ray foto dada. Bila memungkinkan maka x-ray foto sebaiknya dibuat dalam dua arah (PA dan
Lateral). Jejas pada daerah dada akan membantu adanya kemungkinan trauma torak. Bila ada
trauma multiple maka dianjurkan untuk selalu dibuat foto x- ray dada. Tanda dan gejala penyerta
seperti adanya syok (hipotensi, nadi cepat dan keringat dingin) dan adanya trauma lain organ
dada merupakan butir diagnostik yang penting. Pemasangan NGT sebagai persiapan untuk
pengosongan lambung untuk mencegah aspirasi isi lambung ke paru, dapat dipakai sebagai
langkah diagnostik pada kerusakan esofagus dan dan diafragma.
Pada dasarnya diagnostik trauma torak harus ditegakkan secepat mungkin, tanpa memakai cara
diagnostik yang lama (CT-scan, angiografi). Pemeriksaan gas darah dapat membantu diagnostik
bila fasilitasnya ada.
INDIKASI TORAKOTOMI :
Hemotoraks yang berat ( > 800 cc)
Laserasi paru yang gagal dengan tindakan bedah konservatif.
Tamponade perikardium
Kebocoran trakeo-bronkial yang gagal dengan tindakan konservatif (drainase).
KOMPLIKASI TRAUMA TORAK:
1. Yang terkait dengan tidak stabilnya dinding dada :
- Nyeri berkepanjangan, meskipun luka sudah sembuh. Mungkin karena callus atau jaringan
parut yang menekan saraf interkostal. Terapi konservatif dengan analgesik atau pelunak jaringan
parut.
- Osteomylitis, dilakukan squesterisasi dan fiksasi.
- Retensi sputum, karena batuk tidak adequat dan dapat menimbulkan pneumoni. Diperlukan
pemberian mukolitik.
2. Yang terkait dengan perlukaan dan memar paru:
- Infiltrat paru dan efusi pleura, yang memerlukan pemasangan WSD untuk waktu yang lama.
- Empiema, yang terjadi lambat dan memerlukan WSD dan antibiotik.
- Pneumoni, merupakan komplikasi yang berbahaya dan perlu diberi pengobatan yang optimal.
Bila distress pernafassan berkelanjutan maka diperlukan pemasangan respirator.
- Fistel bronkopleural, ditandai dengan gejala kolaps paru yang tidak membaik. Memerlukan
tindak bedah lanjut berupa torakotomi eksploratif dan penutupan fistelnya.
- Chylotoraks lambat.
3. Komplikasi lain di luar paru dan pleura :
- Mediastinitis, merupakan komplikasi yang sering fatal. Bila terjadi pernanahan maka harus
dilakukan drainase mediastinum.
- Fistel esofagus, dapat ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis atau ke pleura dan
menimbulkana empiema atau efusi pleua. Diperlukan tindakan bedah untuk menutup fistel.
- Hernia diafragmatika lambat, memerlukan koreksi bedah.
- Kalainan jantung, terutama pada luka tembus dan trauma tajam pada jantung. Memerlukan
tindakan bedah dan pembedahan jantung terbuka.
BAB III
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang bersifat retrospektif pada
penderita trauma di RSUP NTB. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan
mendata jumlah kasus trauma thorax baik kunjungan IGD maupun rawat inap di RSUP NTB
selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009.
Subjek penelitian adalah semua pasien yang mengalami trauma thorax yang datang berobat ke
IRD maupun pasien yang dirawat di RSUP NTB selama periode tahun 2008 sampai dengan
tahun 2009.
Data yang dikumpulkan meliputi angka kejadian trauma thorax, karakteristik subjek/ demografi
(umur, jenis kelamin), jenis trauma dan akibat dari trauma thorax. Sumber data berasal dari
catatan medis pasien trauma baik dalam masa observasi di IRD maupun di rawat inap di RSUP
NTB. Data akan diolah secara statistik deskriptif. Data akan ditampilkan dalam bentuk tabel
frekuensi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Angka Kejadian Trauma Thorax di RSUP NTB Periode 1 Januari 2008 sampai 31 Desember
2009
Jumlah seluruh pasien trauma thorax yang dirawat di RSUP NTB sepanjang Periode 1 Januari
2008 sampai 31 Desember 2009 adalah 42 pasien (1,59%) dari total 2.639 kasus trauma pada
periode tersebut.
4.2. Distribusi kasus trauma thorax berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2. Distribusi korban trauma berdasarkan jenis kelamin
Tahun
Total
Laki-Laki
Perempuan
2008
17 (89,47%)
2 (10,53%)
19 (45,24%)
2009
19 (82,61%)
4 (11,39%)
23 (54,76%
Total
36 (85,71%)
6 (14,29%)
42 (100%)
Sumber: Rekam medik RSUP NTB
Dari tabel diatas tampak bahwa terjadi peningkatan kasus trauma dari tahun 2008 sampai 2009
walaupun tidak terlalu signifikan yaitu sebesar 4 kasus. Sebagian besar korban trauma thorax
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 36 orang (85,71%) dan korban berjenis kelamin
perempuan sebanyak 6 orang (14,29%).
4.3 Distribusi kasus trauma thorax berdasarkan kelompok umur
Tabel 4.3 Distribusi korban trauma thorax berdasarkan kelompok umur
Kelompok
Umur
Jumlah Kasus
(Orang)
Persentase
(%)
0-15 tahun
11.90
16-30 tahun
21
50.00
31-45 tahun
19.05
46-60 tahun
14.29
>60 tahun
4.76
Total
42
100
Sumber: Rekam medik RSUP NTB
Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa korban trauma terbanyak yaitu dari kelompok umur
16-30 tahun sebesar 21 orang (50 %) diikuti oleh kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 8
orang (19,05) dan terbesar ketiga yaitu dari kelompok umur 46-60 tahun sebesar 6
orang(14,29%). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar korban trauma thorax adalah
mereka dengan kelompok umur produktif yaitu usia 16-30 tahun yaitu 50 %.
4.4 Distribusi Kasus Trauma Thorax berdasarkan Jenis Trauma
Tabel 4.4 Distribusi korban trauma thorax berdasarkan Jenis Trauma
Jenis
Trauma
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Trauma Tumpul
38
90,48
Trauma Tajam
9,52
Total
42
100
Akibat
Trauma
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Hemothorax
21,43
Pneumothorax
4,76
Fraktur Clavicula
12
28,57
Fraktur Costa
12
28,57
Cedera Ringan
(Superfisial)
16,67
Total
42
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Angka kejadian trauma thorax yang dirawat di RSUP NTB sepanjang Periode 1 Januari 2008
sampai 31 Desember 2009 adalah 42 pasien (1,59%).
2. Sebagian besar kasus trauma thorax berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 36 orang
(85,71%).
3. Kelompok umur yang paling banyak mengalami trauma thorax, yaitu umur 16-30 tahun
sebesar 21 orang (50,00%)
4. Jenis trauma thorax terbanyak yaitu trauma tumpul sebanyak 38 orang (90,48%).
5. Akibat trauma thorax terbanyak yaitu fraktur clavicula dan fraktur costa, yaitu masing-