Professional Documents
Culture Documents
Thorax adalah bagian atas batang tubuh yang terletak antara leher dan
abdomen. Cavitas thoracis yang dibatasi oleh dinding thorax, berisi thymus, jantung,
paru-paru, bagian distal trachea dan bagian besar oesophagus.
Dinding Thorax
Dinding thorax terdiri dari kulit, fascia, otot, saraf, dan tulang.
Kerangka Dinding Tulang
Kerangka dinding thorax membentuk sangkar dada osteokartilaginosa yang
melindungi jantung, paru-paru, dan beberapa organ abdomen (misalnya hepar).
kerangka thoraks terdiri dari
-
Sternum
Sifat khusus vertebra thoracica mencakup :
Fovea costalis pada corpus vertebra untuk bersendi dengan caput costae
Costa
Costa adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung membatasi bagian terbesar
sangkar dada.
Costa VIII sampai costa X adalah costa tak sejati (vertebrokondral) karena
cartilago masing-masing costa melekat kepada cartilago costalis tepat di
atasnya.
Costa XI dan XII adalah costa bebas atau costa melayang karena ujung cartilago
costalis masing-masing costa berakhir dalam susunan otot abdomen dorsal.
Cartilago costalis memperpanjang costa ke arah ventral dan turut menambah
kelenturan dinding thorax. Cartilago costalis VII sampai cartilago costalis X terarah ke
kranial dan bersatu untuk membentuk angulus infrasternalis dan arcus costarum pada
kedua sisi. Costa berikut carilago costalisnya terpisah satu sama lain oleh spatium
intercostalis yang berisi musculus intercostalis, arteria intercostalis, vena intercostalis,
dan nervus intercostalis.
Pleura dan Paru-Paru
Pleura
Paru-paru masing-masing diliputi oleh sebuah kantong pleura yang terdiri dari
dua selaput serosa yang disebut pleura, yakni : pleura parietalis melapisi dinding
thoraks, dan pleura visceralis meliputi paru-paru, termasuk permukaannya dalam fisura.
Cavitas pleuralis adalah ruang potensial antara kedua lembar pleura dan berisi
selapis kapiler cairan pleura serosa yang melumas permukaan pleura menggeser
secara lancar satu terhadap yang lain pada pernapasan.
Pleura parietalis melekat pada dinding thorax, mediastinum dan diaphragma.
Pleura parietalis mencakup bagian-bagian berikut:
Paru-Paru
Paru-paru normal bersifat ringan, lunak, dan menyerupai spons. Paru-paru juga
kenyal dan dapat mengisut sampai sekitar sepertiga besarnya, jika cavitas thoracis
dibuka. Paru-paru kanan dan kiri terpisah oleh jantung dan pembuluh darah besar
dalam mediastinum medius. Paru-paru berhubungan dengan jantung dan trachea
melalui struktur dalam radix pulmonis. Radix pulmonis adalah daerah peralihan pelura
visceralis ke pleura parietalis yang menguhubungkan fascies mediastinalis paru-paru
dengan jantung dan trachea. Hilum pulmonis berisi brinchus principalis, pembuluh
pulmonal, pembuluh bronkial, pembuluh limfe dan saraf yang menuju ke paru-paru atau
sebaliknya.
Fissura horizontalis dan fissura obliqua pada pleura visceralis membagi paruparu menjadi lobus-lobus. Masing-masing paru-paru memiliki puncak (apex), tiga
permukaan (fascies costalis, fascies mediastinalis, dan fascies diaphragmatica), dan
tiga tepi (margo superior, margo inferior, dan margo anterior). Apex pulmonis ialah ujung
kranial yang tumpul dan tertutup oleh pleura servikal. Apex pulmonis dan pleura servikal
menonjol ke kranial (2-3 cm) melalui apertura thoracis superior ke dalam pangkal leher.
Karenanya, bagian-bagian ini dapat mengalami cedera karena luka pada leher,
sehingga terjadi pneumothorax.
Pneumothoraks
Definisi
Pneumothoraks merupakan suatu keadaan dimana terdapat adanya koleksi
gas/udara pada kavum pleura sehingga menyebabkan paru-paru terdesak dan kolaps.
Pada pneumothoraks, udara memasuki kavitas pleuralis pada inspirasi dengan adanya
tekanan intrapleura yang negatif, sedangkan selama ekspirasi kebocoran akan tersegel,
yang menciptakan suatu mekanisme katup bola. Tension pneumothoraks timbul bila
satu kavitas pleuralis telah terisi lengkap dengan udara dan udara terus memasuki
kavitas ini, yang menyebabkan pergeseran mediastinum disertai perubahan vena kava,
obstruksi sebagian aliran balik vena sistemik dan pengurangan curah jantung. Pasien
pneumothoraks bisa asimtomatik atau bisa mengeluh akan adanya nyeri tajam seperti
pisau atau bisa menderita gawat napas, hipoksemia, dan hiperresonansi pada sisi sakit.
Deviasi trakea yang jelas, emfisema subkutis dan sianosis dapat ditemukan. Diagnosis
biasanya dibuat dengan pemeriksaan fisik dan dikonfirmasi dengan foto toraks. Dengan
pneumotoraks kecil yang jelas, foto ekspirasi dan inspirasi bisa bermanfaat dalam
menggambarkan pneumotoraks akibat bula atau kista paru yang besar.
Etiologi
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks antara
lain:
a. Trauma
Marfan sindrom
Manifestasi Klinis
Berdasarkan anamnesis, dapat ditemukan keluhan pasien adalah nyeri dada
(90%), sesak napas (80%), gelisah, nyeri epigastrik akut (jarang) dan fatigue.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut :
-
adanya suara napas tambahan seperi ronchi atau wheezing yang ipsilateral
hiperresonansi dinding dada pada perkusi (bisa tidak ada pada stadium lanjut)
sianosis
takikardia
hipotensi
pulsus paradoxus
distensi
abdominal
(akibat
peningkatan
tekanan
intratoraks
sehingga
Pemeriksaan Pencitraan
Foto polos thoraks
-
terlihat bayangan linear dari pleura visceralis tanpa adanya bayangan paru-paru
di perifer bayangan tersebut, menandakan paru-paru kolaps
pada posisi berbaring, terlihat sulcus sign yang radiolusen sepanjang sulcus
costophrenicus dapat membantu mengidentifikasi pneumothoraks.
dapat ditemukan adanya diskontinuitas tulang iga sebagai tanda fraktur iga
Penatalaksanaan
-
evaluasi
bahwa
pneumothoraks tidak
Hemothoraks
Penimbunan darah di dalam kavitas pleural disebut hemotoraks; bila disertai
dengan pneumotorasks disebut hemothoraks. Penyebab hemotoraks mencakup
trauma, efusi keganasan, pneumotoraks spontan, dimana terjadi perlekatan dan
jaringan paru robek serta tindakan bedah toraks atau jantung.
Pada pasien hemothoraks steril, darah bisa diabsorpsi dengan terapi konservatif.
Tetapi pada hemotoraks terinfeksi atau disertai dengan udara, maka kesempatan
reabsorpsi berkurang dan diperlukan tindakan bedah. Setelah tindakan bedah pada
toraks, maka udara dan darah biasanya masuk ke kavum pleura sehingga chest tube
dipasang semasa operasi. Komplikasi yang kadang-kadang mengikuti hemotoraks
adalah fibrotoraks, yang merupakan hasil defibrinasi darah intrapleura dan distribusi
fibrin di atas permukaan pleura, menyebabkan penyakit paru restriktif yang kemudian
memerlukan intervensi bedah.
Fraktur Costae
Dinding dada melindungi struktur-struktur sensistif di bawahnya dengan
mengelilingi organ-organ dalam dengan struktur-struktur tulang seperti costae,
clavicula, sternum, dan scapula. Dinding dada yang intak penting dalam respirasi
normal.
Fraktur costae dapat mengganggu ventilasi melalui berbagai mekanisme. Nyeri
dari fraktur costae dalam menyebabkan respiratory splinting, sehingga terjadi
atelektasis dan pneumonia. Fraktur cistae multipel yang berurutan (flail chest) dapat
mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Fragmen dari fraktur dapat menembus pleura
sehingga menimbulkan hemothorax dan pneumothoraks. Costae biasanya patah pada
sudut posterior karena strukturnya paling lemah pada titik ini. Yang paling sering
terkena adalah costae IV sampai IX.
Presentasi Klinis
Dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat trauma pada thoraks, meskipun
riwayat batuk yang lama dan parah bisa juga mencetuskan fraktur pada costae. Pasien
juga sering mengeluhkan adanya sesak napas (dyspnea) dan nyeri pada saat inspirasi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan pada palpasi, krepitus, dan
deformitas dinding dada. Juga didapatkan gerakan dada paradoksikal khususnya pada
kasus flail chest.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal difokuskan pada pembebasan jalan napas dan
suplementasi oksigen. Di unit gawat darurat, tujuan utamanya adalah stabilisasi
keadaan umum pasien dan evaluasi trauma multisistem. Fokus utama pada pada
tatalaksananya adalah mengatasi nyeri dan membersihkan jalan napas dari sekresi
pulmonal. Fraktur costae yang terisolasi tanpa disertai cedera lain dapat berobat jalan
dengan pemberian analgesia oral. Pilihan analgesia lainnya dapat diberikan golongan
opioid secara parenteral dengan cara titrasi untuk mencegah depresi napas. Dapat pula
dilakukan blok saraf intercostal ataupun kateter epidural,
Pemakaian rib belt tidak lagi direkomdasikan karena meskipun dapat
mengurangi nyeri tetapi dapat menyebabkan hipoventilasi, atelektasis, dan pneumonia
pada penggunannya.
- Lobektomy
- Pneumoktomy
d. Efusi pleura
e. Empiema :
- Penyakit paru serius
- Kondisi inflamasi
Tujuan
Mengeluarkan cairan atau darah, dan udara dari rongga pleura dan rongga thorak
Mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura
Mengembangkan kembali paru yang kolaps
Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)
- anterolateral interkosta ke 1-2
- fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
- postero lateral interkosta ke 8-9
- fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura
Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem satu botol
-
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumothoraks
Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang
yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol
Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm
untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan
kolaps paru
Ekpirasi menurun
Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari
rongga pleura masuk ke water seal botol 2
Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir
dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui
selang masuk ke WSD
Bisasanya
digunakan
untuk
mengatasi
hemothoraks,
Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3.
Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam
dalam air botol WSD
Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol
ke dua
Siapkan pasien
Tujuan tindakan
Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena
c. Persiapan alat
-
Motor suction
d. Pelaksanaan
-
Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai
muskulus interkostalis.
Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan
menggunakan Kelly forceps
Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :
o Motor suction tidak berjalan
o Slang tersumbat
o Slang terlipat
o Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi
sistem drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas
Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar
Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah
ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air
Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah
cairan yg keluar
Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang
dibuang
Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari
melakukan
latihan
gerak
pada
persendian
pemasangan WSD
bahu
daerah
Skalenus,
sternokleidomastoideus
Ekspirasi
Abdominal
Kontraksi
Saat Perangsangan
Meningkatkan
tekanan
abdomen, Ekspirasi aktif
mendorong diafragma, mengurangi
dimensi vertical rongga dada
Interkostalis internus
Menarik
iga
ke
bawah-dalam, Ekspirasi aktif
mengurangi dimensi tranversal rongga
dada
Tabel 1. Otot-otot yang berperan dalam Proses Pernapasan
Paru dan dinding dada merupakan struktur yang elastis. Pada keadaan normal. Antara
paru dan dinding dada dihubungkan oleh membran tipis pleura. Pleura terdiri dari dua bagian
pleura visceral yang melekat pada permukaan paru dan pleura parietal yang melekat pada
dinding thoraks dan diantara dua pleura ini terdapat ruang esensial cavum pleura. Cavum pleura
ini berisi sedikit cairan sehingga paru dapat bergerak dengan mudah namun sulit untuk
dipisahkan dengan dinding dada seperti halnya dua lempeng kaca basah yang dapat digeser
namun sulit dipisahkan. Dalam proses pernapasan sendiri ada tiga tekanan yang penting untuk
menimbulkan aliran udara yakni tekanan atmosfer, tekanan Intra-alveolar dan tekanan intrapleura
yang diilustrasikan pada gambar 3 di bawah ini.
Gradien tekanan transmural adalah tekanan yang tercipta karena adanya perbedaan antara
dua tekanan. Gradient tekanan transmural yang pertama diciptakan oleh adanya perbedaan antara
tekanan intraalveolar dengan tekanan intrapleura dan kedua diciptakan oleh tekanan toraks
dengan tekanan intra pleura.
Tekanan di dalam paru lebih besar dibandingkan tekanan intrapleura sehingga adanya
dorongan dari dalam ke luar yang mengakibatkan paru selalu ditekan untuk mengembang.
Tekanan dinding toraks lebih besar daripada tekanan intrapleura sehingga ada dorongan dari luar
ke dalam yang menyebabkan rongga dada terkompresi.
Ketika inspirasi, terjadi kontraksi dari otot diafragma dan otot intercostal eksterna. Otot
diafragma akan mendatar dan melebarkan rongga dada dengan mendorong isi abdomen ke
bawah. Otot intercostal eksterna memperluas rongga toraks ke lateral, anterior maupun posterior.
Keadaan ini menciptakan penurunan dari tekanan intraalveolar sehingga udara mengalir dari luar
ke dalam.
Pada akhir inspirasi, otot inspirasi akan relaksasi. Otot diafragma kembali ke bentuk
awalnya dan paru mengalami recoil. Keadaan ini menciptakan kenaikan pada tekanan
intraalveolar sehingga udara keluar dari paru secara pasif dari tekanan yang tinggi ke tekanan
yang rendah.
B. ETIOLOGI
Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam.
Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam
trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping,
belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan
riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Trauma tajam
terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Trauma thoraks sering disertai dengan cedera
perut, kepala dan abdomen sehingga memerlukan perhatian khusus dalam penatalaksanaan.
C. KELAINAN PADA TRAUMA THORAKS
1. TENSION PNEUMOTHORAKS
Pneumotoraks terjadi akibat adanya udara yang masuk dalam ruang potensial antara
pleura viceralis dan parietalis. Baik trauma tembus maupun tidak tembus dapat menyebabkan
pneumotoraks. Dislokasi fraktur tulang belakang torakal juga dapat menyebabkan pneumotoraks.
Laserasi paru dengan kebocoran udara merupakan penyebab umum pneumotoraks akibat trauma
tumpul.
Tension Pneumothoraks disebabkan oleh trauma tajam pada thoraks yang mengakibatkan
adanya aliran udara menuju rongga pleura tanpa adanya aliran keluar (One-Way Valve).
Akumulasi udara pada rongga pleura ini mengakibatkan terjadinya pergeseran mediastinum ke
arah yang berlawanan, menyebabkan terjadinya penurunan Venous Return dan dapat
menimbulkan henti jantung. Tension Pneumothoraks harus dapat diidentifikasi secepatnya pada
Survei Primer. Pasien akan bernapas pendek dan terlihat adanya deviasi trakea ke sisi
berlawanan. Pada perkusi akan ditemukan hipersonor pada hemithoraks yang bersangkutan dan
pada auskultasi suara napas tidak terdengar pada sisi yang terluka. Pada kasus ini pemeriksaan
radiologi tidak dilakukan. Terapi yang dilakukan adalah melakukan dekompresi pada rongga
pleura dengan membuat lubang sebagai tempat aliran udara. Jarum yang berukuran besar ditusuk
pada Spatium Intercosta II linea midaxilaris pada sisi yang terluka. Dekompresi dinyatakan
berhasil jika ditemukan adanya aliran udara melalui jarum yang ditusukkan. Tindakan ini dapat
mengubah keadaan dari Tension Pneumothoraks menjadi simple Pneumothoraks.
Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau
sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer segera tercapai.
Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga diameter trakea, udara mengalir melalui
defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara cenderung mengalir kelokasi
yangtekanannya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu sehingga memicu terjadinya
hipoksia dan hiperkarbia.
Penatalaksanaan awal dariopen pneumotoraks dapat tercapai dengan menutup defek
tersebut dengan occlusive dressing yang steril. Penutup ini harus cukup besar untuk menutupi
seluruh luka dan kemudian direkatkan pada tiga sisi untuk memberikan feel flatter type valve.
Saat pasien inhalasi, penutup ini akan menyumbat luka, mencegah udara masuk dan saat
ekspirasi, lubang terbuka dari penutup inimemungkinkan udara keluar dari ruang pleura. chest
tube sebaiknya segera dipasang secepat mungkin. Bila semua sisi penutup tadi direkatkan, maka
semua udara akan terakumulasi dalam rongga toraks dan akan terjadi tension pneumotoraks
kecuali chest tube telah terpasang. Setiap occlusive dressing (misalnya plastic wrap atau
petrolatum gauze) dapat digunakan sebagai media sementara sehingga penilaian cepat dapat
terus dilakukan.
Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang
sehingga terjadi defek pada thoraks cage. Kondisi ini biasanya terkait dengan fraktur coste
multiple yaitu dua aatau lebih tulang iga mengalami fraktur pada dua tempat atau lebih. Adanya
segment flail chest menyebabkan gangguan pergerakan dinding dada yang normal. Jika trauma
mengenai paru cukup bermakna maka dapat terjadi hipoksia. Kesulitan utama pada flail chest
akibat trauma paru (kontusio paru). Walaupun instabilitas dinding dada memicu pergerakan
paradoksal dinding dada pada saat inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak menyebabkan
hipoksia. Keterbatasan pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari
merupakan penyebab penting hipoksia.
Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya splinting pada
dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak asimetrisdan
tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi tulang iga atau
fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan foto rongen toraks akan
dijumpai fraktur costae multiple tetapi dapat juga tidak dijumpai pemidahan costochondral.
Analisis gas darah arteri yang menunjukan kegagalan pernapasan dengan hipoksia juga akan
membantu menegakkan diagnosis flail chest.
Terapi awal meliputi ventilasi adekuat, pemberian oksigen dan resusitasi cairan. Bila
tidak dijumpai hipotensi sistemik, pemberian cairan kristaloid intravena harus diawasi secara
ketat agar tidak terjadi overhidrasi.
Penatalaksanaan definitive meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian cairan
secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. analgetik local dapat diberikan
dengan pertimbangan tidak menyebabkan depresi pernapasan. Pencegahan hipoksia juga
merupakan bagian penting dalam penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi pada
periode waktu yang singkat diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan
lengkap.
4. HAEMOTHORAKS
Trauma thoraks dapat juga mengakibatkan adanya akumulasi darah pada rongga pleura.
Haemothoraks sering terjadi pada laserasi dan disrupsi parenkim paru yang lebih sering
ditemukan pada luka tembus dibandingkan dengan trauma tumpul. Hemothoraks dapat sedikit
ataupun massif. Heamothoraks massif terjadi ketika akumulasi darah berjalan cepat lebih dari 1
liter. Keadaan ini mengakibatkan hipoksia dan juga hipovolemia pada pasien. Secara klinis,
hemothoraks massif ditandai dengan adanya hipoksia, penurunan tekanan darah, dan pada
pemeriksaan di daerah ipsilateral ditemukan ekspansi yang lebih lemah, perkusi redup dan suara
napas melemah. Manajemen awal yang dapat dilakukan adalah dengan menginsersi jarum
berukuran besar pada Spatium InterCostae VI Linea Aksilaris. Managemen lanjutan dilihat
berdasarkan jumlah darah yang keluar. Jika darah yang keluar lebih dari 1 Liter, maka dilakukan
tindakan Thoracotomy segera. Jika kehilangan dari 200 mL/ jam dalam 2-4 jam maka pasien
harus dilakukan tindakan pembedahan.
5. TAMAPONADE JANTUNG
Tamponade jantung biasanya terjadi akibat luka tembus. Trauma tumpul juga dapat
menyebabkan pericardium terisi darah yang berasal dari jantung, pembuluh darah besar maupun
pembuluh darah pericardium. Sakus pericardium manusia merupakan struktur fibrosis dengan
sejumlah darah relative kecil diperlukan untuk restriksi aktivitas jantung dan menggangu
pengisian jantung. Tamponade jantung terjadi secara perlahan sehingga memungkinkan evaluasi
yanglebih teliti, tetapi tamponade jantung juga dapat terjadi dalam waktu singkat sehingga
memerlukan diagnosis dan tatalaksana cepat. Diagnosis tamponade jantung kadang sulit
ditegakkan.
Triad Becks ialah diagnosis klasik yang terdiri dari peningkatan tekanan vena,
penurunan tekanan arteri dan suara jantung yang menjauh. Walaupun demikian, suara jantung
yang menjauh sulit untuk dinilai saat berada di ruang IGD yang ramai, sedangkan distensi vena
dapat menghilang akibat hypovolemia. Disamping itu, tension penumotoraks, khususnya pada
sisi kiri dapat menyerupai tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada
inspirasi saat bernapas spontan) merupakan gangguan tekanan vena paradoksal sejati yang
berhubungan dengan tamponade jantung. PEA dapat meningkatkankecurigaan tamponade
jantung tetapi dapat juga disebabkan keadaan lain.
Diagnosis tepat dan evakuasi darah pericardial merupakan indikasi pada pasien yang
tidak memberikan respon terhadap resusitasi syok hemoragik atau potensi terjadinya tamponade
jantung. Bila ada ahli bedah yang berkompetensi, tindakan bedah dapat dilakukan untuk
membebaskan tamponade. Tindakan ini terbaik dilakukan dikamar operasi jika kondisi pasien
memungkinkan, jika intervensi bedah tidak memungkinkan maka perikardiosentesis dapat
membantuk menegakkan diagnosis sekaligus sebagai terapi tetapi bukan sebagai terapi
definitive.
Saat tamponade jantung dicurigai kuat terjadi, pemberian awal cairan intravena akan
meningkatkan tekanan vena dan memperbaiki curah jantung sementara sambil mempersiapkan
tindakan bedah. Jika perikardiosentesis subxyphoid dilakukan sebagai maneuver sementara
dengan menggunakan jarum yang terbungkus plastic atau teknik Seldinger untuk pemasangan
kateter yang fleksibel, prioritas utama tetap pada upaya melakukan aspirasi darah dari sakus
pericardial. Jika tersedia pemeriksaan ultrasound maka dapat dijadikan sebagai panduan jarum
menuju ruang pericardial secara akurat. Aspirasi darah pericardial sendiri dapat membebaskan
gejala secara sementara. Tetapi, semua pasien dengan tamponade jantung akan memerlukan
tindakan bedah untuk pemeriksaan jantung dan repair trauma.
Maneuver terapeutik dapat dilakukan secara efektif bersama toraktomi resusitasi meliputi :
-
departemen gawat darurat pada pasien trauma tumpul dan henti jantung jarang sekali efektif.
D. SURVEI PRIMER
1. Jalan Napas (Airway)
Adanya trauma mayor yang mengenai jalan napas perlu segera dikenali saat melakukan
survey primer. Patensi jalan napas sebaiknya dinilai dengan mendengarkan pergerakan
udara melalui hidung, mulut dan lapang paru pada pasien. Melakukan inspeksi orofaring
untuk menilai adanya obstruksi benda asing dan mengamati adanya retraksi otot
intercostalis dan supraklavikular.
Trauma pada toraks atas dapat dinilai dengan adanya defek yang dapat dipalpasi pada
region persendian sternoklavikula dengan dislokasi posterior caput klavikula yang
2.294 pasien). penilaian Sign of Life (SOL) sangat berpengaruh dalam ketercapaian Torakotomi.
SOL antaralain adanya aktivitas elektrik Supraventrikular, reaksi pupil dan respirasi agonal. Dari
penelitian ini akhirnya dibuat sebuah algoritma untuk tindakan torakotomi yang dijelaskan pada
gambar 7.
F. SURVEI SEKUNDER
Survey sekunder meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh dari kepala hingga ke kaki untuk
menilai jejas dan kelainan lain yang diderita oleh pasien. pemeriksaan lanjutan seperti Rontgen
dapat dilakukan jika memungkinkan, penilaian analisis gas darah dan pulse oxymetri serta
pengawasan EKG. Disamping menilai pengembangan paru dan cairan, pada pemeriksaan
rontgen dapat dinilai adanya pelebaran mediastinum, pergeseran midline, dan hilangnya
gambaran rinci anatomi. Fraktur tulang iga multiple dan fraktur pada costae pertama atau kedua
menunjukan adanya tekanan yang berat pada toraks dan jaringan dibawahnya.
Indikasi WSD
Pemasangan WSD bertujuan untuk membuat tekanan dalam rongga thoraks menjadi negatif
kembali. Kondisi yang memerlukan pemasangan WSD adalah semua hal yang menyebabkan
tekanan intrapleura positif / meningkat, antaralain:
1. Pneumotoraks
2. Hematothoraks
3. Efusi Pleura
4. Empiema thoraks
5. Pasca Thoracotomy
Lokasi Pemasangan WSD
Selang dada yang dihubungkan dengan sistem WSD dapat dipasang pada bagian thoraks
manapun selama dapat membuat tekanan dalam rongga pleura menjadi negative. ATLS
menganjurkan pemasangan selang pada Spatium Intercostae V lateral baik sisi kiri maupun
kanan dengan pertimbangan bahwa lokasi itu paling aman pada kondisi gawat-darurat
dengan waktu yang terbatas.
Lokasi pemasangan WSD ideal adalah:
1. Kanan : Spatium Intercostae VII VIII lateral diantara garis Aksilaris anterior dan
posterior
2. Kiri
posterior
Adapun alasan pemasangan pada daerah tersebut antaralain:
1. Pada sisi kanan terdapat hepar sehingga lokasi pemasangan lebih tinggi
2. Tempat paling rendah diantara dinding dada dan kubah diafragma sehingga mencegah
pengumpulan cairan yang terjebak diantara dinding dada dan kubah diafragma akibat
adanya gaya adhesi.
3. Cabang pembuluh darah intercostalis berjalan ditengah antara dua iga mualai dari garis
aksilaris anterior ke arah depan sehingga meminimalisir cidera yang mampu
mengakibatkan perdarahan.
Pemasangan WSD
Adapun langkah pemasangan WSD antaralain:
1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk. Jika tidak dapat dilakukan setengah duduk
atau dalam keadaan Left Lateral Decubitus
2. Identifikasi lokasi pemasangan selang. Batasan ditentukan dengan membuat garis dari
papilla mammae (pada laki-laki) atau lipatan terbawah mammae (pada perempuan) kea
rah tip inferior scapula, perpotongan garis tersebut pada linea aksilaris media adalah
kurang lebih setinggi sela iga V.
3. Secara steril diberikan tanda pada selang dada dari lubang terakhir selang dada.
4. Lakukan tindakan aseptic dan antiseptic di lokasi dan tutup dengan doek steril.
5. Daerah tempat masuk selang dada dan sekitarnya diberikan anastesi local secara
infiltrative dan blok.
6. Incise kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga. Irisan diteruskan secara tajam
menembus rongga pleura.
7. Dengan klem arteri lurus, lubang diperlebar secara tumpul.
8. Selang dada diklem dengan klem arteri dan didorong masuk ke rongga pleura.
9. Fiksasi selang dada sesuai dengan tanda pada selang dada, daerah luka dibersihkan dan
diberikan salep steril agar kedap udara.
10. Selang dada disambung dengan botol WSD.
Perawatan WSD
WSD berfungsi atau tidak ditandai dengan ada atau tidaknya undulasi (oscilasi). Bila
tekanan dalam rongga pleura negative, kolom cairan dalam selang akan naik turun sesuai
dengan gerakan respirasi. Dengan bertambah negatifnya tekanan dalam rongga pleura,
undulasi juga turut tambah tinggi. Undulasi akan hilang jika drain tersumbat atau terlipat,
atau bila paru sudah mengembang sempurna sehingga pleura parietal melekat pada pleura
visceral. Undulasi menyatakan patensi.
Adanya gelembung udara menandakan masih terjadinya pneumothoraks atau fistel
bronkopleura yang menyebabkan tekanan intrapleura meningkat. Ukuran fistel dapat
diperkirakan dengan memperhatikan saat timbulnya Bubble, yaitu:
1. Saat batuk, ekspirasi dan inspirasi maka fistel berukuran besar.
2. Saat batuk dan ekspirasi saja, maka ukuran fistel sudah berkurang
3. Saat batuk saja, maka fistelnya sudah mengecil atau mau menutup.
Jumlah cairan dan sifat cairan yang keluar ke dalam botol WSD harus diperhatikan. Pada
WSD hal yang harus diperhatikan dalam perawatan meliputi perawatan luka, perawatan
selang dan botol WSD. Perawatan luka minimal dilakukan dengan mengganti balutan
minimal satu kali per hari. Hal yang harus diperhatikan dalam perawatan antaralain:
1. Fiksasi selang drain pada kulit
2. Perubahan posisi drain
3. Infeksi pada kulit di sekitar tempat masuknya drain.
Pencabutan WSD
Pada dasarnya WSD harus diangkat sedini mungkin dan biasanya dalam 24-72 jam. WSD
dapat dipertahankan untuk waktu yang lebih lama, bila cairan yang keluar masih banyak dan
ditemukan adanya fistel yang belum menutup. Semakin lama drainase thoraks dibiarkan,
kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan timbulnya empyema semakin tinggi.
Fungsi WSD terutama adalah sebagai terapi. Terapi ini dihentikan setelah keadaan fisiologis
tercapai. WSD dapat dilepaskan bila keadaan intrapleura sudah fisiologis diantaranya:
1. Paru telah mengembang, sesuai dengan pemeriksaan klinis dan radiologis yang
menandakan tekanan intrapleura telah kembali negative
2. Produksi drain secara kuantitatif dan kualitatif telah tercapai. Kualitatif jika cairan telah
bersifat serous dengan kuantitas < 100 mL dalam 24 jam pada dewasa atau 25 40 cc/
jam pada anak usia 6 tahun ke atas.
3. Sudah tidak ada air bubleyang keluar, yang menunjukkan bahwa tidak ada fistula
bronco-pleura
Pencabutan WSD dapat dilakukan baik pada saat pasien ekspirasi maupun inspirasi dan
pasien diminta melakukan maneuver Valsava pada akhir inspirasi ataupun inspirasi dan
ditahan sampai selang WSD lepas dari dinding dada. Jika pencabutan dilakukan oleh satu
orang maka saat drain dilepaskan, luka bekas WSD segera ditutup dengan kassa yang telah
dibubuhi salep sebelumnya. Sedangkan jika pencabutan dilakukan oleh dua orang, saat
orang pertama mencabut WSD, orang kedua segera mengikat simpul pada jahitan yang
sebelumnya dipakai untuk fiksasi drain kemudian menutup dengan kasa yang telah dibubuhi
salep.
Komplikasi WSD
1. Infeksi, terjadi karena sterilitas yang kurang baik pada saat pemasangan maupun
perawatan, dapat terjadi infeksi dan abses pada lokasi pemasangan WSD. Apabila
pemasangan tidak baik, infeksi local dapat berkembang menjadi empyema. Untuk
mencegah hal tersebut maka prosedur aseptic dan antiseptic harus diperhatikan saat
pemasangan dan perawatan WSD. Jika dijumpai adanya tanda infeksi local maupun
sistemik maka selang harus diganti di lokasi yang berbeda.
2. Laserai jaringan paru, terutama pada kondisi paru yang mengalami perekatan dengan
dinding dada. Dapat dihindari dengan terlebih dahulu melakukan palpasi melakukan
palpasi digital ke dalam luka operasi WSD untuk meraba perlekatan sebelum memasang
selang.
3. Perdarahan, disebabkan oleh laserasi pada arteri intercostalis. Dapat dihindari dengan
memasang WSD menyusuri tepi atas costae dan menghindari tepi bawah costae di
atasnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Cedera dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumothoraks, open
pneumotoraks,flail chest, hematotoraks, tamponade jantung.
2. Hipoksia, dan asidosis seringkali terjadi akibat trauma thoraks.
3. Kaidah ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) merupakan hal yang terpenting
diperhatikan.
4. Tension Pneumothoraks disebabkan oleh trauma tajam pada thoraks yang mengakibatkan
adanya aliran udara menuju rongga pleura tanpa adanya aliran keluar (One-Way Valve).
5. Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau
sucking chest wound
6. Haemothoraks sering terjadi pada laserasi dan disrupsi parenkim paru yang lebih sering
ditemukan pada luka tembus dibandingkan dengan trauma tumpul
7. Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang
sehingga terjadi defek pada thoraks cage
8. Survey sekunder meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh dari kepala hingga ke kaki untuk
menilai jejas dan kelainan lain yang diderita oleh pasien
9. Pemasangan WSD bertujuan untuk membuat tekanan dalam rongga thoraks menjadi
negatif kembali