You are on page 1of 44

CLINICAL SCIENCE SESSION

PENYALAHGUNAAN NAPZA
Oleh
Inggrid Butar Butar

C11.05.0175

Vicky Muhammad Ramdhani

C11.05.0178

Preceptor
Teddy Hidayat, dr., SpKJ (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2008t

I.

PENDAHULUAN
Bahan-bahan psikoaktif sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, sering

digunakan untuk ritual keagamaan, sosialisasi, rekreasi. Pada tahun 1927 di


Indonesia telah dibuat undang-undang impor, distribusi dan penggunaan obat bius.
Dengan dasar tersebut orang-orang asal Cina (lansia) mendapat jatah candu secara
teratur dan ketika terjadi invasi Jepang tahun 1942 hal itu diberhentikan. Namun
pada tahun 1969 sebagai awal mulainya penyalahgunaan bahan-bahan psikoaktif
(2 kasus di Jakarta). Sampai sekarang kejadian ini semakin meningkat dan
menjadi masalah kesehatan nasional.
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA
(Narkotika dan Bahan/Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat
kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat
secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten.
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan NAPZA masih
bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak
menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai
peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun
masyarakat luas khususnya generasi muda.
Dengan memandang keterkaitan pada masalah kesehatan nasional,
khususnya yang menyangkut generasi muda perlu bagi dokter untuk mengetahui
berbagai aspek tentang penyalahgunaan baik dari segi medis, sosial dan hukum.
Dalam clinical science session ini akan menjelaskan aspek-aspek penyalahgunaan
napza, bagaimana cara mendiagnosis, mengenal berbagai jenis napza, pedoman
diagnostik dan penanggulangan penyalahgunaan napza.

II.

ASPEK PENYALAHGUNAAN NAPZA

2.1

Definisi
Dalam PPDGJ III, ICD 10 disebutkan substansi psikoaktif antara lain:

alkohol, opiod, cannabinoid, sedatif-hipnotik, cocaine, halusinogen, caffeine,


tobacco, pelarut yang mudah menguap, penggunaan zat multipel dan zat
psikoaktif lainnya. Sedangkan menurut DSM IV antara lain: alkohol, amfetamin,
caffeine, cannabis, cocaine, halusinogen, inhalasi, nikotin, opioid, pencyclidine
(PCP), sedatif, hipnotik dan ansiolitik. NAPZA adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak atau
sistem saraf pusat sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi). NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang
bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan
pikiran.
Berdasarkan efeknya, NAPZA dibagi menjadi 3, yaitu:
Depresan (downer)
Mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Pemakai menjadi tenang, pendiam,
tertidur atau bahkan tidak sadarkan diri. Contoh : opioid (morfin, heroin,
kodein), sedatif, hipnotik, tranzquilizer.
Stimulan (upper)
Merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan gairah kerja. Pemakai menjadi
aktif, segar, bersemangat. Contoh : amfetamin (shabu, ekstasi), kafein, kokain.
Golongan halusinogen
Efek halusinasi yang mengubah perasaan dan pikiran dan menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Contoh :
kanabis, LSD, Mescalin.
2.1.1

Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997 adalah zat/obat yang berasal dari

tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat


menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai

dengan

menghilangkan

rasa

nyeri

dan

dapat

menimbulkan

ketergantungan.
Golongan narkotik berdasarkan bahan pembuatannya :
1. Narkotika Alami
Zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotik tanpa perlu
adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa
langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut
umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena
terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2. Narkotika Sintetis / Semi Sintesis
Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk
keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit / analgesik.
Contohnya

yaitu

seperti

amfetamin,

metadon,

dekstropropakasifen,

deksamfetamin, dan sebagainya.


Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut :
a.Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b.Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam berkativitas kerja dan merasa
badan lebih segar.
c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah
perasaan serta pikiran.
3. Narkotika Semi Sintesis / Semi Sintetis
Narkotika jenis ini yaitu zat / obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi,
dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
Narkotika berdasarkan aspek legal atau hukum terbagi menjadi 3 golongan, yaitu;

Golongan I

: hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak untuk


terapi,

berpotensi

sangat

tinggi

untuk

menimbulkan

ketergantungan. Contoh : heroin/putaw, kokain, ganja.


-

Golongan II

: berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan terakhir dan dapat


digunakan untuk terapi ataupun ilmu pengetahuan dan
berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh :
morfin, petidin.

Golongan III

: berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan untuk terapi


maupun untuk tujuan ilmu pengetahuan dan berpotensi ringan
dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh : kodein.

2.1.2

Psikotropika
Menurut UU RI No 5 tahun 1997 adalah zat/obat, baik alamiah maupun

sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
-

Golongan I

: berpotensi amat kuat dalam menimbulkan ketergantungan.


Contoh : ekstasi, shabu, LSD

Golongan II

: berpotensi kuat dalam menimbulkan ketergantungan.


Contoh : amfetamin, metilfenidat/ritalin

Golongan III

: berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan,


banyak digunakan untuk terapi.
Contoh : pentobarbital, flunitrazepam.

Golongan IV : berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan,


sangat luas digunakan untuk terapi.
Contoh : diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK, pil koplo, Dum, MG.

Zat Adiktif Lainnya


1. Minuman beralkohol
Yaitu minuman yang mengandung etanol.

Terbagi menjadi 3 golongan:

Golongan A mengandung etanol 1%-5% (bir)

Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis minuman


anggur)

Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey, vodka, TKW,


manson house, johny walker, kamput)

2. Inhalansia
Gas yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa
senyawa organik pada berbagai alat rumah tangga. Contoh: lem, thinner,
penghapus cat kuku, bensin.
3. Tembakau
2.2

Terminologi
Toleransi adalah penurunan respon terhadap dosis semula akibat

pemakaian yang berkepanjangan. Sehingga dibutuhkan dosis yang lebih tinggi


untuk mencapai efek semula yang diharapkan. Lepas zat yaitu gejala-gejala yang
timbul akibat penghentian tiba-tiba zat psikoaktif yang sebelumnya sudah lama
digunakan. Ketergantungan adalah kumpulan perilaku dan gejala-gejala fisiologik
yang timbul setelah pemakaian zat psikoaktif jangka panjang. Gejala-gejala
penanda yaitu : toleransi, lepas zat, dorongan kuat untuk memakai zat tersebut dan
tidak mampu untuk mengontrolnya. Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan
salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala/ teratur diluar indikasi
medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, pikiran, dan fungsi
sosial.
2.3

Etiologi

2.3.1. Faktor Individu


Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa
remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik
maupun

sosial

yang

pesat

merupakan

individu

yang

rentan

untuk

menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai


risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA.
Ciri-ciri tersebut antara lain :

Cenderung memberontak dan menolak otoritas

Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti depresi,


cemas, psikotik, kepribadian disosial.

Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku

Rasa kurang percaya diri (low self-confidence), rendah diri dan memiliki
citra diri negatif (low self-esteem)

Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif

Mudah murung, pemalu, pendiam

Mudah merasa bosan dan jenuh

Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran

Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)

Keinginan untuk mengikuti mode, karena dianggap sebagai lambang

Keperkasaan dan kehidupan modern.

Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.

Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang jantan

Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit

Mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas

Kemampuan komunikasi rendah

Melarikan diri dari sesuatu (kebosanan, kegagalan, kekecewaan,


ketidakmampuan, kesepian dan kegetiran hidup, malu dan lain-lain)

Putus sekolah

Kurang menghayati iman kepercayaannya

2.3.2

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik


disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,
terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja
menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :
a. Lingkungan Keluarga

Komunikasi orang tua dengan anak kurang baik/efektif

Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga

Orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi

Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh

Orang tua otoriter atau serba melarang

Orang tua yang serba membolehkan (permisif)

Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan

Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA

Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)

Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga

Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna NAPZA

b. Lingkungan Sekolah

Sekolah yang kurang disiplin

Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA

Sekolah

yang

kurang

memberi

kesempatan

pada

mengembangkan diri secara kreatif dan positif

Adanya murid pengguna NAPZA

c. Lingkungan Teman Sebaya

Berteman dengan penyalahguna

Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar

d. Lingkungan Masyarakat/Sosial

Lemahnya penegakan hukum

siswa

untuk


2.3.3

Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung


Faktor Napza
Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau

Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba.
Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri,
menidurkan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selalu membuat seseorang
kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor
diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.
Penyalahgunaan NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor
lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar
perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena
faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis
dan cukup komunikatif menjadi penyalahguna NAPZA.
2.4

Taraf Penyalahgunan

2.4.1

Pemakaian Coba-coba
Pemakaian coba-coba (experimental use) yaitu pemakaian NAPZA yang

tujuannya ingin mencoba, untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai
berhenti pada tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.
2.4.2

Pemakaian Sosial/Rekreasi
Pemakaian sosial/rekreasi (social use/recreational use) yaitu pemakaian

NAPZA dengan tujuan bersenang-senang pada saat rekreasi atau santai. Sebagian
pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi meningkat pada tahap
yang lebih berat
2.4.3

Pemakaian Situasional
Pemakaian situasional (situational use) yaitu pemakaian pada saat

mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan


sebagainya, dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
2.4.4

Penyalahgunaan

Penyalahgunaan (abuse) yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan


yang bersifat patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi
sepanjang hari, tak mampu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang
kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang
ditandai oleh: tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik, perilaku
agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos sekolah
atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi secara
efektif.
2.4.5

Ketergantungan
Ketergantungan (dependence use) yaitu telah terjadi toleransi dan gejala

putus zat, bila pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya dihentikan
akan timbul gejala putus zat (withdrawal symptom) oleh karena itu ia selalu
berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkan dengan cara apapun agar dapat
melakukan kegiatannya sehari-hari secara normal.
2.5

Dampak Penyalahgunaan

2.5.1

Jasmaniah
Hal hal yang dapat diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Cardiovascular : sub bakterial endokarditis, kardiomiopati alkoholik


2. Pulmonar dan traktus respiratorius: depresi pernapasan, apneu, anoxia,
fibrosis pulmoner, granuloma benda asing, iritasi mukosa hidung (kokain)
3. Tractus

gastrointestinal

konstipasi

(opiat),

gastritis,

pankreatitis,

perlemakan hati, hepatitis, sirosis (alkohol)


4. Tractus urinarius & sistem reproduksi : infeksi, gangguan fungsional
seksual, pada wanita hamil bisa menimbulkan kecacatan pada bayi
5. Dermatologik : abses, selulitis, needle tracks (bekas suntikan ), reaksi alergi
6. Hematopoitik : depresi sumsum tulang
7. Endokrin : hipogonadisme (opiat, alkohol), hipoglikemi (alkohol)
8. Muskuloskeletal : rhabmyolitis akut (heroin), myopati alkoholik, fraktur

9. Neurologik: kejang (overdosis opiat, halusinogen, putus zat sedatif/hipnotik,


gangguan kesadaran, sindroma Wernicke-Korsakoff (alkohol), polineuropati
(alkohol)
10. Lain-lain : AIDS (jarum tidak steril)
2.5.2

Kejiwaan
Gangguan persepsi, daya pikir, daya ingat, kemampuan belajar, daya

kreasi, emosi, gangguan prilaku. Pada keadaan lebih lanjut bisa menyebabkan
gangguan psikotik (organik, fungsional), tindakan kekerasan, bunuh diri,
sindroma amotivasi (ganja).
2.5.3

Sosial
Produktivitas

kerja/sekolah

menurun,

pengendalian

diri

menurun,

gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.sehingga menimbulkan


gangguan kehidupan dalam keluarga/sosial.
III.
3.1

DIAGNOSA PENYALAHGUNAAN
Sikap Mental Petugas
Bersikap positif, penuh perhatian dan menerima pasien apa adanya.

Berempati (dapat memahami dan meraba rasakan masalahnya). Tidak menghina,


mengkritik, menertawakan, mengejek, menyalahkan, karena hal ini akan
menyebabkan pasien tertutup sehingga akan mengganggu proses autoanamnesis.
Sikap mental diatas diharapkan dapat menciptakan suasana hubungan terapeutik
petugas Dokter - Pasien.
3.2.

Teknik Wawancara

3.2.1

Alloanamnesis dilakukan sebelum Autoanamnesis


Petugas

telah

memperoleh

informasi

tentang

pasien,

sehingga

autoanamnesis lebih terarah. Kemungkinan pasien lebih terbuka dan tidak


menyangkal lagi. Bisa diketahui bahwa pasien menyangkal dan bertahan
mengatakan tidak menggunakan NAPZA atau pasien menyatakan sudah berhenti
menggunakan. Petugas terpengaruh orang tua/pengantar yang terlalu kuatir, pada

hal pasien tidak menggunakan. Pasien mencurigai petugas sudah terpengaruh


dengan orang tua/pengantar, sehingga tidak kooperatif.
3.2.2

Alloanamnesis dilakukan sesudah Autoanamnesis


Petugas belum dipengaruhi oleh keterangan yang diberikan orang

tua/pengantar lain. Pasien tidak berprasangka bahwa petugas telah dipengaruhi


orang tua/guru atau berpihak pada orang tua/guru yang menyalahkan pasien.
Kemungkinan pasien membohongi atau tidak terbuka pada petugas.
3.2.3

Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan bersamaan


Pada pasien yang bersikap tertutup, menanyakan langsung perihal

penggunaan NAPZA biasanya tidak membawa hasil, sebaiknya anamnesis


dilakukan secara tidak langsung misalnya dengan pertanyaan sebagai berikut :
Apakah ada yang bisa dibantu ?
Apakah ada masalah dengan orang tua,guru,teman pacar ?
Apakah ada kesulitan belajar,malas kerja,sulit tidur ?
Apakah sering tidak betah dirumah,sering begadang ?
Apakah sering mengalami stres,kegelisahan,kesedihan ?
Apa saja yang dilakukan untuk mengatasi kegelisahan atau kebosanan
merokok ?
Bila sedang frustasi,lalu minum minuman keras, apakah pernah mabuk?
Bila minum minuman keras apakah dicampur obat tidur, berapa sering ?
Pada pasien sudah bersikap terbuka, anamnesis/pertanyaan mengenai
NAPZA meliputi:
Keluhan/riwayat perjalanan penyakit terdahulu yang pernah diderita.
Riwayat penyalahgunaan NAPZA (jenis NAPZA yang dipakai, lamanya
pemakaian,

dosis,

frekuensi

dan

cara

pemakaian,

riwayat/gejala

intoksikasi/gejala putus zat, alasan penggunaan).


Taraf

fungsi sosial (riwayat pendidikan, latar belakang kriminal, status

keluarga, kegiatan sosial lain).

Evaluasi keadaan psikologis (keadaan emosi, kemampuan pengendalian


impuls, kemungkinan tindak kekerasan, bunuh diri, riwayat perawatan
terdahulu).
3.3

Pemeriksaan

3.3.1. Pemeriksaan Fisik


Apakah ada bekas suntikan sepanjang vena di lengan, tangan kaki bahkan
pada tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis. Pemeriksaan fisik
terutama ditujukan untuk menemukan gejala intoksikasi/overdosis/putus zat dan
komplikasi medik seperti hepatitis, endokarditis, bronkopneumonia, HIV/AIDS
dan lain-lain. Perhatikan terutama kesadaran, pernafasan, tensi, nadi , pupil, cara
jalan, sklera ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia
jantung, edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain.
3.3.2. Psikiatrik
Dapat dinilai derajat kesadaran, daya nilai realitas, gangguan pada alam
perasaan (misalnya cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih, depresi, euforia),
gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi),
gangguan pada psikomotor (hiperaktif/hipoaktif, agresif gangguan pola tidur,
sikap manipulatif dan lain-lain).
3.3.3

Penunjang
Analisa urine di deteksi apakah ada NAPZA dalam tubuh (benzodiazepin,

barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis). Pengambilan urine hendaknya


tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan pastikan urine tersebut
urine pasien. Laboratorium rutin darah, urine, EKG, EEG, foto toraks, HbsAg,
HIV, tes fungsi hati, evaluasi psikologik, evaluasi sosial.
IV.

JENIS-JENIS NAPZA

4.1

Alkohol

4.1.1

Aspek Biomolekular Alkohol


Istilah alkohol ditujukan pada sekelompok besar molekul organik yang

memiliki gugus hidroksil (-OH) yang melekat pada atom karbon jenuh. Etil

alkohol juga disebut etanol adalah bentuk alkohol yang umum, seringkali disebut
sebagai alkohol minuman, etil alkohol digunakan dalam minuman. Pada tingkat
0,05% alkohol didarah, pikiran, pertimbangan dan pengendalian mengendur
bahkan seringkali terputus. Pada konsentrasi 0,1% aksi motorik yang disadari
dirasakan canggung. Pada konsentrasi 0,2% fungsi seluruh daerah motorik di otak
terdepresi, bagian otak yang mempengaruhi perilaku juga terpengaruhi. Pada
konsentrasi 0,3% seseoang dapat mengalami konfusi atau stupor. Pada konsentrasi
0,4-0,5% orang berada dalam koma. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, pusat
primitif diotak yang mengatur psat pernafasan dan kecepatan denyut jantung
terpengaruhi dan dapat terjadi kematian.
Alkohol akan menyebabkan kerusakan hati. Berupa fatty liver, hepatitis
alkoholik dan sirosis hepatis. Alkohol juga dapat menyebabkan esofagitis, varises
esofagus, gastritis, aklorhidia dan ulkus lambung, selain itu akan mengganggu
proses pencernaan makanan dan absorbsinya..

4.1.2

Gejala-gejala

Kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol


1. Baru saja menggunakan alkohol
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bemakna secara klinis
yang berkembang selama atau segera setelah ingesti alkohol
3. Satu atau lebih tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian alkohol :

Bicara cadel

Inkoordinasi

Gaya berjalan tidak mantap

Nistagmus

Gangguan atensi dan daya ingat

Stupor atau koma.

4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Kriteria diagnostik untuk putus alkohol
1. Penghentian pemakaian alkohol yang telah lama dan berat
2. Dua atau lebih tanda berikut ini, yang berkembang dalam beberapa jam
sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :

hiperaktivitas otonomik

tremor tangan

insomnia

mual atau muntah

halusinasi atau ilusi lihat raba atau dengar

agitasi psikomotor

kecemasan

stupor atau koma

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitaan yang bermakna secara


klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
pentinglainnya
4. Gejala tidak disebabkam suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lainnya.
4.2

Amphetamine

4.2.1

Aspek Biomolekular Amphetamine


Tersedia di Amerika sebagai dextro amphetamine, methamphetamine, dan

methylphenidate. Nama jalanannya crack, crystal, crystal meth, dan speed. Zat
yang behubungan

dengan amphetamine lainnya

adalah

ephedrine

dan

propanolamine yang merupakan suatu dekongestan. Amphetamine klasik


memiliki efek primernya dengan menyebabkan pelepasan katekolamin terutama
dopamin dari terminal prasinaptik. Efek tersebut terutama kuat pada neuron
dopaminergik yang keluar dari area segmental ventralis kekorteks serebral dan
area limbik.
4.2.2

Gejala-gejala

Intoksikasi amphetamin
1. Pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan yang belum lama terjadi
2. Perilaku maladapif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis yang
berkembang selama atau segera setelah pemakaian amphetamin atau zat yang
berhubungan
3. Dua atau lebih hal berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan :

Takikardia atau bradikardia

Dilatasi pupil

Peninggian atau penurunan tekanan darah

Berkeringat atau menggigil

Mual atau muntah

Tanda-tanda penurunan berat badan

Agitasi atau retardasi psikomotor

Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada dan aritmia jantung

Konfusi, kejang, diskinesia, distonia

4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Putus amphetamin
Keadaan setelah intoksikasi amphetamin dapat disertai dengan kecemasan,
gemetar, mood disforik, letargi, fatigue, mimpi menakutkan, nyeri kepala, banyak
berkeringat, kram otot. Kram lambung dan rasa lapar ayng tidak pernah

kenyang.gejala yang paling serius adalah depresi yang dapat disertai dengan ide
atau usaha bunuh diri.
Kriteria diagnosis putus amphetamine :
1. Penghentian amphetamine yang telah lama atau berat
2. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :

Kelelahan

Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan

Insomnia atau hipersomnia

Peningkatan nafsu makan

Retardasi atau agitasi psikomotor

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis atau


gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
4.3

Cocaine

4.3.1

Aspek Biomolekular Cocaine


Efek utamanya adalah penghambatan kompetitif ambilan kembali

dopamin oleh transporter dopamin sehingga meningkatkan konsentrasi dopamin


dalam celah sinaps dan meningkatkan aktivasi reseptor dopamin tipe 1 dan 2.
Kokain juga menghambat ambilan katekolamin utama lainnya yaitu katekolamin
dan serotonin. Kokain juga menurunkan aliran darah ke otak dan menurunkan
penggunaan glukosa. Kokain memiliki kualitas adiktif yang kuat.
4.3.2

Gejala-gejala

Kriteria diagnosis intoksikasi kokain


1. Pemakaian kokain yang belum lama
2. Perilaku maladaptif
3. Dua atau lebih tanda berikut :

takikardia atau bradikardia

dilatasi pupil

peninggian atau penurunan tekanan darah

berkeringat atau menggigil

mual atau muntah

tanda-tanda penurunan berat badan

agitasi atau retardasi psikomotor

kelemahan otot-depresi pernafasan-nyeri dada atau aritmia jantung

konfusi- kejang- diskinesia-distonia atau koma

4. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Kriteria diagnosis putus kokain
1. Penghentian atau penurunan pemakaian kokain yang telah lama
2. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :

Kelelahan

Mimpi yang tidak menenangkan

Insomnia dan hipersomnia

Peningkatan nafsu makan

Retardasi atau agitasi psikomotor

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitan secara bermakna secra klinis


atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
4. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari kondisi medis umum dan
tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.
4.4

Cannabis

4.4.1

Aspek Biomolekular Cannabis


Resptor adalah anggota dari reseptor G. Reseptor kanabioid diikat dengan

protein G inhibitor (Gi) yang berikatan dengan adenil siklase didalam pola
menginhibisi. Reseptor kanabioid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di gangglia
basalis, hipokampus, dan serebelum dengan konsentrasi yang lebih rendah di

korteks serebral. Reseptor tidak ditemukan di batang otak sehingga efek kannabis
minimal pada sistem pernafasan dan jantung.

4.4.2

Gejala-gejala

Kriteria untuk intoksikasi kanabis


1. Pemakaian kanabis yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
yang berkembang segera setelah pemakaian kanabis
3. Dua atau lebih tanda berikut yang berkembang dalam 2 jam pemakaian
kanabis :

Injeksi konjungtiva

Peningkatan nafsu makan

Mulut kering

Takikardia

4. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
4.5

Opiate atau Opium (candu)


Opiate atau opium (candu) merupakan golongan narkotika alami yang

sering digunakan dengan cara dihisap (inhalasi).


4.5.1.1 Aspek Biomolekular Opiate
Opioid bekerja pada reseptor opioid. Reseptor menyebabkan analgesia,
depresi pernapasan, konstipasi, dan ketergantungan. Reseptor K menyebabkan
analgesia, diuresis, dan sedasi. Reseptor menyebabkan analgesia. Opioid juga

bekerja pada sistem dopaminergik dan non adrenergik. Beberapa data menyatakan
bahwa sifat adiktif dan menyenangkan dari opiate dan opioid diperantarai oleh
aktivasi area tegmental ventral neuron dopaminergik yang berjalan ke korteks
serebral dan sistem limbik.

4.5.1.2 Aspek Biomolekular Morfin


Merupakan zat aktif (narkotika) yang diperoleh dari candu melalui
pengolahan secara kimia. Umumnya candu mengandung 10% morfin. Cara
pemakaiannya disuntik di bawah kulit, ke dalam otot atau pembuluh darah
(intravena).

4.5.1.3 Aspek Biomolekular Heroin


Heroin merupakan opiate yang paling sering disalahgunakan dan lebih
poten karena lebih larut lemak dibandingkan morfin. Heroin merupakan golongan
narkotika semisintetis yang dihasilkan atas pengolahan morfin secara kimiawi
melalui 4 tahapan sehingga diperoleh heroin paling murni berkadar 80% hingga

99%. Heroin murni berbentuk bubuk putih sedangkan heroin tidak murni
berwarna putih keabuan (street heroin). Zat ini sangat mudah menembus otak
sehingga bereaksi lebih kuat dari pada morfin itu sendiri. Karena sifat tersebut,
heroin melewati sawar darah-otak lebih cepat sehingga onset kerjanya juga lebih
cepat.

Heroin juga lebih bersifat adiktif. Umumnya digunakan dengan cara

disuntik atau dihisap.

4.5.2.1 Gejala-gejala Opioid


Penggunaan Opioid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:

Menimbulkan rasa kesibukan (rushing sensation)

Menimbulkan semangat

Merasa waktu berjalan lambat.

Pusing, kehilangan keseimbangan/mabuk.

Merasa rangsang birahi meningkat (hambatan seksual hilang).

Timbul masalah kulit di sekitar mulut dan hidung.

Intoksikasi Opioid
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi opioid:
1. Pemakaian opioid yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya euphoria awal diikuti oleh apati, disforia, agitasi, atau retardasi
psikomotor, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah pemakaian opioid

3.

Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat)

dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian opioid

Mengantuk atau koma

Bicara cadel

Gangguan atensi atau daya ingat

4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Toleransi, Ketergantungan, dan Putus Opioid
Terjadi dengan cepat pada penggunaan opioid jangka panjang, yang
menyebabkan

perubahan

jumlah

dan

sensitivitas

reseptor

opioid

dan

meningkatkan sensitivitas reseptor dopaminergik, kolinergik, dan serotonergik.


Gejala putus opioid terutama berkaitan dengan hiperaktifitas dari neuron
noradrenergic. Putus opioid jarang merupakan suatu kegawatdaruratan medis.
Gejala klinisnya flu-like dan drug craving, cemas, lakrimasi, rhinorrhea,
berkeringat, insomnia, nyeri otot, nyeri perut, dilatasi pupil, tremor, restlessness,
piloerection, mual, muntah, diare, dan meningkatnya tanda vital. Hati-hati pasien
dengan malingering untuk mendapatkan obat, lihat tanda-tanda objektif (misalnya
piloerection, dilatasi pupil, takikardia, hipertensi). Jika tidak ada tanda-tanda
objektif, jangan berikan opioid.
Gejala putus opioid yang tidak diterapi tidak berakibat buruk secara medis.
Tujuan dari detoksifikasi hanyalah untuk meminimalisasi gejala-gejala putus
opioid.
a. Detoksifikasi
Diberikan 10 mg metadon, jika gejala tetap ada setelah 4-6 jam, berikan
tambahan dosis 5-10mg yang dapat diulang tiap 4-6 jam. Dosis total yang
diberikan dalam 24 jam, diberikan juga pada hari kedua. Kemudian dosis
diturunkan setiap hari sebanyak 5mg/hari. Selain metadon, dapat juga
digunakan pentazocine, klonidin, naltrexone (antagonis opiat).
b. Substitusi opioid

Merupakan terapi jangka panjang untuk ketergantungan opiate. Metadon dosis


rendah biasanya dipertahankan 60mg/hari atau kurang. Bisa juga digunakan
levomethadyl yang memiliki duration of action yang lebih panjang sehingga
bisa diberikan 3x seminggu. Atau dapat juga digunakan buprenorphine yang
campuran agonis-antagonis pada reseptor opiat.
c. Terapi komunitas
Terapi kelompok dimana suatu tempat tinggal yang anggotanya semua
memiliki masalah penyalahgunaan zat yang sama.
d. Intervensi lain
Penyuluhan tentang penularan HIV, psikoterapi individu atau kelompok.
4.5.2.2 Gejala-gejala Morfin
Penggunaan morfin dapat mengakibatkan gejala-gejala sebagai berikut:

Menimbulkan euforia.

Mual, muntah, sulit buang hajat besar (konstipasi).

Kebingungan (konfusi).

Berkeringat.

Dapat menyebabkan pingsan, jantung berdebar-debar.

Gelisah dan perubahan suasana hati.

Mulut kering dan warna muka berubah.

4.5.2.3 Gejala-gejala Heroin / Putauw


Penggunaan heroin atau putauw dapat mengakibatkan gejala-gejala seperti
timbul rasa kesibukan yang sangat cepat/rushing sensastion ( 30-60 detik) diikuti
rasa menyenangkan seperti mimpi yang penuh kedamaian dan kepuasan atau
ketenangan hati (euforia). Ingin selalu menyendiri untuk menikmatinya. Gejalagejala lainnya, antara lain:

Denyut nadi melambat.

Tekanan darah menurun.

Otot-otot menjadi lemas/relaks.

Diafragma mata (pupil) mengecil (pin point).

Mengurangi bahkan menghilangkan kepercayaan diri.

Membentuk dunia sendiri (dissosial) : tidak bersahabat.

Penyimpangan perilaku : berbohong, menipu, mencuri, kriminal.

Ketergantungan dapat terjadi dalam beberapa hari.

Efek samping timbul kesulitan dorongan seksual, kesulitan membuang


hajat besar, jantung berdebar-debar, kemerahan dan gatal di sekitar hidung,
timbul gangguan kebiasaan tidur.
Jika sudah toleransi, semakin mudah depresi dan marah sedangkan efek

euforia semakin ringan atau singkat.


4.6

Sedatif-Hipnotik

4.6.1

Aspek Biomolekular Sedatif-Hipnotik


Zat

yang

termasuk

Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik:

Benzodiazepin

(Diazepam, chlordiazepoxide, flurazepam, lorazepam, alprazolam, triazolam,


temazepam, oxazepam), Barbiturat (Secobarbital, pentobarbital), Zat mirip
barbiturat (Meprobamate, methaqualone, glutethimide, ethchlorvynol).
Efek Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Benzodiazepin, barbiturat, dan zar mirip barbiturat semuanya memiliki
efek pada kompleks reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) tipe A., yang
mempunyai suatu saluran ion klorida, suatu tempat ikatan untuk GABA, dan
tempat ikatan yang ditentukan dengan baik untuk benzodiazepine. Barbiturat dan
zat mirip barbiturat dianggap berikatan di suatu tempat pada kompleks reseptor
GABAA.
4.6.2

Gejala-gejala

Intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
1. Pemakaian sedatif, hipnotik, ansiolitik yang belum lama
2. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya perilaku seksual atau agresif yang tidak semestinya, labilitas mood,

gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang


berkembang selama, atau segera setelah pemakaian hipnotik, sedatif, atau
ansiolitik
3. Satu (atau lebih) tanda berikut, berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian hipnotik, sedatif, atau ansiolitik:

bicara cadel

inkoordinasi

gaya berjalan tidak mantap

nistagmus

gangguan atensi atau daya ingat

stupor atau koma

4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Gejala Putus Sedatif Hipnotik Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk putus sedatif, hipnotik, atau ansiolitik:
1. Penghentian (atau penurunan) pemakaian sedatif, hipnotik, atau ansiolitik
yang telah lama dan berat
2. Dua (atau lebih) berikut yang berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria 1:

hiperaktivitas otonomik (misalnya berkeringat atau denyut nadi >100)

peningkatan tremor tangan

insomnia

mual atau muntah

halusinasi atau ilusi lihat, taktil, atau dengar yang transient

agitasi psikomotor

kecemasan

kejang grand mal

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitaan yang bermakna secara


klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain

4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
4.7

Halusinogen

4.7.1

Aspek Biomulekular Halusinogen


Halusinogen bersifat simpatomimetik dan menyebabkan hipertensi,

takikardi, hipertermi, dan dilatasi pupil. Efek fisiologisnya bervariasi dari yang
ringan sampai halusinasi berat. Umumnya hanya terjadi halusinasi ringan.
Pada pemakaian halusinogen, persepsi menjadi lebih kuat dari biasanya.
Warna menjadi lebih kaya daripada sebelumnya atau dipertajam, musik lebih
menonjol secara emosional, dan pembauan dan pengecapan meningkat. Terjadi
sinestesia; warna terdengar dan suara terlihat. Terdapat perubahan dalam persepsi
waktu dan ruang. Halusinasi biasanya adalah visual, seringkali bentuk dan gambar
geometric, tetapi kadang-kadang didapatkan juga halusinasi raba dan dengar.
Onset kerja halusinogen (dalam hal ini misalnya LSD) terjadi dalam satu
jam, memuncak dalam 2-4 jam, dan berlangsung selama 8-12 jam. Kematian
dapat terjadi pada pemakaian halusinogen. Penyebab kematian biasanya
berhubungan dengan

patologi kardiovaskular dan serebrovaskular yang

berhubungan dengan hipertensi atau hipertermi. Penyebab kematian juga


berhubungan dengan cedera fisik setelah suatu gangguan pertimbangan, misalnya
melanggar lalu lintas atau kemampuan seseorang untuk menyeberang.
4.7.2

Gejala-gejala

Intoksikasi Halusinogen
Kriteria diagnosis
1. Pemakaian halusinogen yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya kecemasan atau depresi yang nyata, ideas of reference, ketakutan
kehilangan pikiran, ide paranoid, gangguan pertimbangan, atau gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan)
3. Perubahan persepsi yang terjadi dalam keadaan terjaga penuh dan sadar
(misalnya penguatan persepsi subjektif, depersonalisasi, derealisasi, ilusi,

halusinasi, sinestesia) yang berkembang selama, atau segera setelah


pemakaian halusinogen
4. Dua (atau lebih) tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian halusinogen : dilatasi pupil, takikardi, berkeringat, palpitasi,
pandangan kabur, tremor, inkoordinasi
5. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain
Gangguan Persepsi Menetap Halusinogen
Setelah penghentian penggunaan halusinogen, seseorang dapat mengalami
suatu kilas balik (flashback) berupa gejala halusinogenik. Sindrom ini disebut
gangguan persepsi menetap halusinogen. Flashback ini dapat dipicu oleh stress
emosional, pemutusan sensorik (misalnya mengendarai secara monoton) atau
menggunakan zat psikoaktif lainnya (alkohol, marijuana).
V.

PEDOMAN DIAGNOSTIK
Dalam PPDGJ III / ICD 10 disebutkan beberapa jenis gangguan mental

yang berhubungan dengan penggunaan zat psikoaktif seperti intoksikasi akut,


penggunaan yang merugikan, sindrom ketergantungan, keadaan putus zat,
keadaan putus zat dengan delirium, gangguan psikotik, sindrom amnestik,
gangguan psikotik residual dan onset lambat, gangguan mental dan perilaku
lainnya, gangguan mental dan prilaku yang tidak terklasifikasikan.
Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan tiga atau
lebih gejala dibawah ini dialami dalam masa setahun sebelumnya :
1.

Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa


(kompulsi) untuk menggunakan zat.

2.

Kesulitan dalam mengendalikan perilaku mengggunakan zat sejak


awal, usaha penghentian atau tingkat penggunaannya.

3.

Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan


zat atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan zat atau golongan
zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari
terjadinya gejala putus zat.

4.

Adanya bukti toleransi.

5.

Progresif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena


penggunaan zat psikoaktif lainnya, meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari
akibatnya.

6.

Terus menggunakan meskipun ia menyadari adanya akibat yang


merugikan kesehatannya.
Kriteria diagnostik untuk penyalahgunaan zat berdasarkan DSM-IV pada

pola penggunaan zat maladaptif yang menyebabkan gangguan atau penderitaan


yang bermakna secara klinis, seperti yang ditukkan oleh satu (atau lebih) hal
berikut terjadi dalam periode 12 bulan adalah sebagai berikut :
1. Penggunaan zat rekuren yang menyebabkan kegagalan untuk memenuhi
kewajiban utama dalam pekerjaan, sekolah atau rumah.
2. Penggunaan zat rekuren dalam situasi yang berbahaya secara fisik.
3. Masalah hukum yang berhubungan dengan zat yang berulang kali.
4. Pemakaian zat yang diteruskan walaupun memiliki masalah sosial atau
interpersonal yang menetap atau rekuren karena efek zat
VI.

PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

6.1

Penatalaksanaan

6.1.1

Dasar Hukum
Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-

undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.


6.1.2

Penatalaksanaan Terhadap Potensial User


Penting dilihat dari sudut prevensi, sebaiknya ditangani dulu oleh orang

tua, keluarganya, guru pembimbing atau pembina pada kegiatan ekstrakulikuler.


6.1.3

Penatalaksanaan Terhadap User


Mencakup segi jasmani, psikologis dan sosial. Konsep terapi dan

rehabilitasi sukar dpisahkan. Perlu waktu dan kerjasama yang luas (keluarga,
petugas sosial, instansi yang mengatur latihan dan lapangan pekerjaan).

6.2

Tahap-tahap Terapi
Terapi dan rehabilitasi ketergantungan NAPZA tergantung kepada teori

dan filosofi yang mendasarinya. Dalam nomenklatur kedokteran ketergantungan


NAPZA adalah suatu jenis penyakit yang dalan International Classification of
Diseases and Health Related Problems-Tenth Revision 1992 (ICD-10) yang
dikeluarkan oleh WHO digolongkan dalam Mental and behavioral disorders due
to psychoactive substance use.
Tujuan dari terapi dan rehabilitasi

Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA. Tujuan ini


tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai
motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan
NAPZA pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan
meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari NAPZA.
Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap salah satu NAPZA tetapi
kemudian beralih untuk menggunakan jenis NAPZA yang lain.

Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps Sasaran utamanya adalah


pencegahan relaps .Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah
clean maka ia disebut slip. Bila ia menyadari kekeliruannya,dan ia
memang telah dIbekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia.
Pelatihan relapse prevention programe, Program terapi kognitif, Opiate
antagonist maintenance therapy dengan naltreson merupakan beberapa
alternatif untuk mencegah relaps.

Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.


Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi
rumatan (maintenance) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran
terapi golongan ini.
Gawat darurat medik akibat penggunaan NAPZA merupakan tanggung

jawab profesi medis. Profesi medis memegang teguh dan patuh kepada etika
medis, karena itu diperlukan keterampilan medis yang cukup ketat dan tidak dapat
didelegasikan kepada kelompok profesi lain. Salah satu komponen penting dalam

keterampilan medis yang erat kaitannya dengan gawat darurat medik adalah
keterampilan membuat diagnosis. Dalam rehabilitasi pasien ketergantungan
NAPZA, profesi medis (dokter) mempunyai peranan terbatas. Proses rehabilitasi
pasien ketergantungan NAPZA melibatkan berbagai profesi dan disiplin ilmu.
Namun dalam kondisi emergensi, dokter merupakan pilihan yang harus
diperhitungkan.
6.2.1

Terapi Umum Terhadap Keadaan Overdosis atau Emergensi

1. Usahakan pernafasan berjalan lancar, yaitu :


- Lurus dan ekstensikan leher kepala pasien.
- Kendurkan pakaian yang terlalu ketat.
- Hilangkan obstruksi pada saluran nafas.
- Bila perlu berikan oksigen.
2. Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar
- Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal injeksi Adrenalin
0.1 0.2 cc IM
- Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru, hiperventilasi)
karena sirkulasi darah yang tidak memadai, beri infus 50 ml Sodium
Bikarbonas.
3. Pasang infus dan berikan cairan (misalnya RL atau NaCl 0.9%) dengan
kecepatan rendah (10-12 tetes per menit) terlebih dahulu sampai ada indikasi
untuk memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai kebutuhan, jika
didapatkan tanda-tanda dehidrasi.
4. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat adanya kemungkinan
perdarahan atau trauma yang membahayakan.
5. Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan
Diazepam 10 mg melalui IV atau per infus dan dapat diulang sesudah 20
menit jika kejang belum teratasi.
6. Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml Glukosa 50% IV.
6.2.2

Terapi Terhadap Keadaan Intoksikasi

1. Intoksikasi opioida

Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3
menit sampai 2-3 kali
2. Intoksikasi kanabis (ganja)
Ajaklah bicara yang menenangkan pasien. Bila perlu beri Diazepam 10-30 mg
oral atau parenteral, Clobazam 3x10 mg.
3. Intoksikasi kokain dan amfetamin
Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral atau Klordiazepoksid 10-25 mg
oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60
menit. Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral
4. Intoksikasi alkohol
Mandi air dingin bergantian air hangat. Minum kopi kental. Aktivitas fisik
(sit-up,push-up). Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
5. Intoksikasi sedatif-hipnotif (Misalnya Valium, pil BK, MG, Lexo, Rohip)
Melonggarkan pakaian. Membersihkan lender pada saluran napas. Beri
oksigen dan infus garam fisiologis
6.2.3

Terapi Pada Sindrom Putus Zat

1. Terapi putus zat opioida


Terapi ini sering dikenal dengan detoksifikasi. Terapi detoksifikasi dapat
dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat inap. Detoksifikasi
hanyalah merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA Lama program terapi detoksifikasi
berbeda-beda :

1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional

24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid


Opiate Detoxification Treatment)

Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :


a. Tanpa diberi terapi apapun (abrupt withdrawal/cold turkey).
Terapi hanya simptomatik saja : untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti
tramadol, analgetik non-narkotik, asam mefenamat dan sebagainya Untuk
rhinore beri dekongestan, misalnya fenilpropanolamin. Untuk mual beri

metopropamid Untuk kolik beri spasmolitik Untuk gelisah beri antiansietas


Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepin
b. Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)
Dapat diberi morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis dikurangi
sedikit demi sedikit. Misalnya yang digunakan di RSKO Jakarta, diberi kodein
3x60mg80mg kemudian selanjutnya dikurangi menjadi 10mg setiap hari dan
seterusnya.Disamping itu diberi terapi simptomatik
c. Terapi putus opioida dengan metode detoksifikasi cepat dalam anestesi
(Rapid Opioid Detoxification).
Penanganan awal untuk terapi putus zat opioid dikenal dengan
Detoksifikasi Opioid Cepat dengan Anestesia atau DOCA. Prinsip terapi ini
hanya untuk kasus single drug opiat saja,dilakukan di RS dengan fasilitas
rawat intensif oleh Tim Anestesiologi dan Psikiater, dilanjutkan dengan terapi
menggunakan anatagonist opiat (naltrekson) lebih kurang 1 tahun.

DOCA
D.O.C.A. adalah cara mutakhir detoksifikasi opioid yang efektif dan aman
yang berkembang saat ini untuk penanggu-langan awal ketergantungan
opioid. Cara ini akan mengeluarkan opioid dengan cepat dan sebanyak
mungkin dari reseptornya di otak yang dipicu oleh obat lawannya (antagonis
opioid) selama kurang lebih 4-6 jam. Karena pengaruh obat antagonis opioid
lebih kuat daripada opioid itu sendiri di reseptornya maka secara kompetitif
opioid dipaksa keluar dari tubuh. Dengan demikian dipastikan akan
berdampak putus opioid yang jauh lebih hebat daripada yang biasanya
dialami. Karena itu sangat manusiawi bila cara ini dilakukan dengan
pembiusan sehingga pasien tidak merasakan gejala putus opioid yang dipicu
oleh antagonisnya.
Sejauh apakah Peran Obat Antagonis Opioid?
Karena berpengaruh lebih kuat di tingkat reseptor maka obat ini akan menghambat semua efek opioid termasuk kenikmatan atau euforia maupun

analgesia. Dengan demikian pemakaian antagonis opioid secara teratur


selama kurun waktu tertentu akan meniadakan gejala putus opioid sekaligus
mengurangi serta meng-hilangkan ketagihan atau craving. Misalnya 50
milligram tablet naltrekson dapat menghambat efek 25 milligram heroin
murni yang setara dengan 62.5 milligram morfin.
Berapa Lama Terapi dengan Obat Antagonis Opioid?
Secara statistik lama pengobatan rumatan (maintenance therapy) dengan obat
anta-gonis opioid bergantung pada lama pemakaian opioid. Misalnya
seseorang telah me-makai heroin selama kurang lebih 3 tahun maka
dianjurkan terapi rumatan naltrekson rutin tiap hari adalah 10 bulan. Namun
rata-rata dibutuhkan waktu berkisar 1 tahun dalam rumatan naltrekson untuk
menata sugesti atau manajemen craving bersama-sama dengan intervensi
psiko-sosial-spiritual oleh ahlinya masing-masing. Sehingga pe-nanggulangan
ketergantungan opioid meru-pakan satu kesatuan (holistik).
Siapa Saja yang Memerlukan DOCA?
D.O.C.A. hanya berguna untuk terapi ketergantungan opioid bukan untuk zat
adiktif lainnya seperti shabu (metamfeta-min), ganja (kanabis), alkohol atau
kokain. Namun demikian Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB.IDI)
menganjurkan D.O.C.A. dilakukan pada kasus-kasus keter-gantungan opioid
sebagai berikut :

Mereka dengan tingkat keparahan putus opioid 2 dan 3 pada skala


Himmelsbach yaitu antara lain adanya gejala merasa sakit seluruh tubuh,
panas dingin, geme-taran, mual, dsb.

Mereka takut dengan cara detoksifikasi lain atau menghendakinya.

Bagaimana Bila Ada Penyakit Penyerta ?


Memang D.O.C.A. mempunyai syarat medis tertentu yang membatasi agar
tidak terjadi komplikasi berat yaitu termasuk tidak sedang hamil, tidak
menderita hepatitis akut, tidak mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) atau
tidak sakit parah lainnya yang berisiko dengan anestesia seperti infeksi jantung,
infeksi paru-paru atau gagal ginjal.
Apa Saja Persiapan DOCA ?

Modal utama persiapan D.O.C.A. adalah motivasi atau keinginan mau sembuh
dari ketergantungan opioid. Motivasi yang bersangkutan harus didukung oleh
keluarga terutama dalam menekuni terapi rumatan naltrekson yang cukup lama.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisis, laboratorium, foto toraks dan puasa di
rumah minimal 12 jam. Setelah syarat-syarat medis dipenuhi masih diperlukan
pernyataan per-setujuan bersangkutan atau walinya sebagai syarat medikolegal
untuk tindak medis yang diperlukan sesuai standar profesi atau pro-sedur yang
berlaku (informed consent).
Tempat dan Waktu Yang Diperlukan Untuk DOCA
D.O.C.A. dilakukan di Rumah Sakit yang memiliki Unit Perawatan Intensif
(ICU) di bawah pengawasan dokter anestesiologi atau intensivis yang sudah
berpengalaman. Dalam hal ini peran dokter spesialis anestesiologi tidak
terbatas hanya melakukan pembiusan namun harus mengendalikan gejala putus
opioid serta menangani gejala sisa D.O.C.A. yang mungkin terjadi dalam
perawatan se-malam di ICU. Esok harinya pasien diperbo-lehkan pulang ke
rumah sekaligus dimulai te-rapi rumatan dengan naltrekson
Apa Saja Efek Samping Atau Gejala Sisa DOCA ?
Gejala sisa D.O.C.A. dapat timbul dalam beberapa hari setelah prosedur.
Secara pelan-pelan tapi pasti semua akan menjadi normal kembali sebagaimana
yang diharap-kan asal tidak lupa menggunakan naltrekson tiap hari. Gejala sisa
yang dialami dapat be-rupa nyeri otot, mual, letih, dsb yang dapat diobati
dengan cara-cara konservatif.
Beberapa Hal yang Perlu Diketahui

Naltrekson tidak menimbulkan kecanduan.

Naltrekson menurunkan kepekaan atau toleransi tubuh terhadap opioid.


Karena itu bila suatu sebab rumatan naltrekson dihentikan dan kembali
mencoba opioid lagi dengan dosis seperti yang terakhir dipakai maka
dapat terjadi reaksi luaptakar (overdosis).

Pemakaian naltrekson jangka lama mungkin dapat mengganggu fungsi hati


karena itu perlu pemeriksaan berkala sesuai dengan kondisi yang bersangkutan.

Bila suatu saat diperlukan tindakan pem-bedahan dengan pembiusan


sedangkan pasien dalam rumatan naltrekson maka perlu disampaikan
kepada dokter spesialis anestesiologi yang bersangkutan.

Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alkohol


Harus secara bertahap dan dapat diberikan Diazepam. Tentukan dahulu
test toleransi dengan cara memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang
dinaikan bertahap sampai terjadi gejala intoksikasi. Selanjutnya diturunkan
kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai gejala putus zat hilang.
Terapi putus Kokain atau Amfetamin
Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan
percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan antidepresi.

Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA


Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Inj.
Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari. Pada
gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM
5. Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti
pada terapi intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol.
6.3

Rehabilitasi
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani

rehabilitasi. Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani


detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA,
oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi.
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :

Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;

Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;

Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya;

Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik;

Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;

Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di
lingkungannya.

Beberapa Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada,antara lain :


a. Program Antagonis Opiat (Naltrexon)
Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik) terhadap opioid
(heroin/putauw/PT) penderita sering mengalami keadaan rindu yang sangat
kuat (craving, kangen, sugesti) terhadap efek heroin. Antagonis opiat
(Naltrexon HCl) dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya perasaan
rindu itu. Apabila pasien menggunakan opat lagi, ia tidak merasakan efek
euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu perlu seleksi dan
psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat sebelum
memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiat diberikan dalam dosis
tunggal 50 mg sekali sehari secara oral, selama 3- 6 bulan. Karena
hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala.
b. Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin
yang dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik.
Program ini masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji
coba di RSKO
c. Program yang berorientasi psikososial
Program

ini

menitik

beratkan

berbagai

kegiatannya

pada

terapi

psikologik(kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi


individu, desensitisasi dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan
mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa, serta
meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal. Berbagai

variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting rehabilitasi. Tergantung


pada sasaran terapi yang digunakan.
- Psikoterapi

yang

berorientasi

analitik

mengambil

keberhasilan

mendatangkan insight sebagai parameter keberhasilan.


- Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti :
Cognitive Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training
-

Supportive Expressive Psychotherapy

- Psychodrama, art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara


individual
d. Therapeutic Community berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka
yang tinggal dalam sutu tempet. Dipimpin oleh bekas penyalahguna yang
dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor, setelah melalui pendidikan dan
latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Disini penderita
dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif serta
kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan memakai
NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap. Dalam komonitas ini semua
ikut aktif dalam proses terapi. Ciri perbedaan anggota dihilangkan. Mereka
bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang
lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,ganjaran bagi yang
berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka
sendiri.
e. Program yang berorientasi Sosial
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka
dapat kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal, termasuk mampu
bekerja.
f. Program yang berorientasi kedisiplinan
Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara
melatih hidup menurut aturan disiplin yang telah ditetapkan.
g. Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual
Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk
menyelenggarakan rehabilitasi ketergantungan NAPZA

h. Lain-lain
Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai
modalitas terapi dan rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan masih ditunggu. Beberapa bentuk terapi lainnya yang
saat ini dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan tenaga dalam prana dan
meditasi Terapi yang mengandalkan adanya kekuatan spiritual baik dalam arti
kata kekuatan diri maupun
6.4

Program Pasca Rawat (After Care)


Setelah selesai mengikuti suatu program rehabilitasi, penyalahguna

NAPZA masih harus mengikuti program pasca rawat (after care) untuk
memperkecil kemungkinan relaps (kambuh). Setiap tempat/panti rehabilitasi yang
baik mempunyai program pasca rawat ini.
6.5

Narcotics Anonymous (Na)


NA adalah kumpulan orang, baik laki-laki maupun perempuan yang saling

berbagi rasa tentang pengalaman, kekuatan, dan harapan untuk menyelesaikan


masalah dan saling menolong untuk lepas dari NAPZA (khususnya Narkotika).
Satu-satunya syarat untuk menjadi anggota NA adalah keinginan untuk berhenti
memakai Narkotika. NA tidak terikat pada agama tertentu,pahak politik tertentu
maupun institusi tertentu. Mereka mengadakan pertemuan seminggu sekali.
Pertemuan ini biasanya tertutup,hanya bagi anggota saja atau terbuka dengan
mengundang pembicara dari luar. Mereka menggunakan beberapa prinsip yang
terhimpun dalam 12 langkah (the twelve steps).
6.6

Rujukan
Karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petugas puskesmas,atau
karena fasilitas yang tersedia terbatas, pasien yang tak dapat diatasi, sebaiknya
dirujuk ke dokter ahli yang sesuai atau dirujuk untuk rawat inap di rumah
sakit (misalnya : RS Umum/Swasta,RS Jiwa,RSKO).

Pasien juga dapat dirujuk hanya untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan
penunjang saja, seperti pemeriksaan laboratorium (tes urine), pemeriksaan
radio-diagnostik,

elektro

diagnostik,

maupun

test

psikologik

(IQ,

keperibadian, bakat, minat).


VII.

PROGNOSA
Kesuksesan 1 tahun setelah terapi 40-80% (WHO). Menurut Allgulander

ketergantungan padaa sedativa-hipnotika 84% kembali memakai dalam 4-6 tahun


setelah perawatan. Menurut Cassiman (Belgia) hasil positif dalam 2 tahun setelah
perawatan pertama 10-30% (stabilisasi sampai 80% pada kasus-kasus yang punya
kontak dengan program terapi selama 2 tahun).

Lampiran

ISTILAH GAUL NARKOBA


Stock = STB / stock badai : sisa heroin yang disimpan untuk dipakai pada
saat nagih.
Ngepam = pamping : memompa insulin secara berkali-kali.
Ngejel : mampet / beku pada saat ngepam / mompa.
Paketan = tekapan : paket / bungkusan untuk putaw.
Contoh :
Paket A = Rp.100.000, Paket B = Rp.50.000, Paket C = Rp.20.000,P.S = pasien : pembeli narkoba.
PA-HE : paket hemat (paket 20 ribu / 10 ribu).
Gocapan : gocip : paketan 50 ribu / 0.1 gram.
Gaw : gram.
Segaw : 1 gram.
Seperempi : gram.

Setengki : gram.
Per 1 / per 2, ost : 1 atau 2, ost gram
Separdu : sepaket berdua.
Semata : setetes air yang sudah dicampur heroin.
Seting = ngeset : proses mencampurkan heroin dengan air.
Set-du = seting dua : dibagi untuk 2 orang.
Jokul : jual.
Bokul = boks = beli.
Barcon = tester : barang contoh (gratis).
Abses : benjolan karena heroin yang disuntik tidak masuk ke dalam urat.
Kentang = kena tanggung = gantung : kurang mabuk.
Kentang kurus : kena tanggung kurang terus.
OD : ogah ngedrop : perasaan / kemauan untuk tetap mabuk.
Nutup : sekedar menghilangkan sakaw / nagih.
Stone = stokun = giting = fly = beler = bahlul : mabuk.
Badai = pedaw = high : tinggi.
Jackpot = tumbang : muntah.
O.D = over dosis = ngeblenk : kelebihan takaran pemakaian putaw.
Pasang badan : menahan sakaw tanpa obat / pengobatan dokter.

JENIS SHABU-SHABU.

Shabu-shabu = ubas = SS = basu : metamfetamin.


Blue ice = B.I : salah satu jenis shabu yang paling bagus (No.1).
Alfo = foil = alumunium foil : tempat untuk memakai / bakar shabu.
Kompor : untuk bakar shabu di alumunium foil.
Se-track : sekali hisap / sekali bakar.
Se-lap : dua kali bolak-balik / 2 kali hisap.
Parno = paranoid : rasa takut berlebihan karena pemakaian shabu yang
sangat banyak.
Ngedrop = low bed : gejala berakhirnya rasa nikmatnya mabuk.
Ngedrop = low bed : gejala berakhirnya rasa nikmatnya mabuk.
Sugest = sugesti : kemauan / keinginan untuk memakai narkoba.
Haluasi = halusinasi : khayalan / imajinasi yang berlebihan.
B.T = Bad trip : rasa kesal karena terganggu pada saat fly / mabuk.
On = naik : proses pada saat fly / mabuk untuk pemakai shabu / ecstacy.
Nugi = numpang giting : mabuk tanpa duit.
C.S = sobat : istilah sesama pemakai.
Stag = shabu yang sedang dibakar di alumunium foil berhenti / mampet

JENIS GANJA / KANABIS.

Chimenk = gele = jayus = grass = rumput : ganja / kanabis.


Ngebaks = nyimenk / ngegele : ngebakar ganja.

C.M.D = cuaca mendukung (untuk ngeganja).


Giberway = giting berat way = mabuk ganja.
Papir = paps = paspor = tissue : kertas untuk melinting ganja.
Bakaydu = dibakar dulu : bakar ganja.
Berhitung = urunan / patungan untuk beli ganja.
Seempel = seamplop : satu amplop untuk ganja.
Bajing = bunga ganja.
Camps = campuran (tembakau) untuk ganja pada saat melinting.

JENIS PIL KOPLO / OBAT DAFTAR G.

Pil koplo = boat = boti = dados = kancing : obat daftar G


Sepapan = setrip : satu baris di dalam jajaran obat.
Sepotek : satu butir obat dibagi 2.

NAMA-NAMA OBAT DAFTAR G.

R = rohip : Rohypnol.
M.G : Megadon.
N.P = nipam : Nitrazepam.
Lexo : Lexotan.
Dum = dum titik : Dumolid.
LL = double L : Artan.
Rivot = R = rhivotril : Klonazepam.
BK = Bung Karno : pil koplo paling murah.
Val : Valium (cair & tablet).
Amphet : amfetamin (cairan = disuntik).
K.D = kode : Kodein.

PROFIL PASIEN
Nama

: Tn. C

Jenis kelamin

: Pria

Usia

: 26 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir

: SMU

Alamat

: Gegerkalong Bandung

Pekerjaan

: Petugas LSM

Tanggal pemeriksaan : 15 Januari 2008


Sejak tahun 1995, pasien mengkonsumsi rokok, selain itu pasien juga
mengkonsumsi minuman beralkohol. Pasien mengakui melakukannya karena
ingin tahu dan diajak teman-temannya.
Tahun 1996, pasien mencoba ganja dan mengkonsumsinya selama satu
tahun. Pasien mengakui saat mengkonsumsi ganja, dirinya merasa senang dan
nyaman.
Tahun 1997, pasien mengganti ganja dengan putauw (heroin). Saat
mengkonsumsinya pasien merasa badannya fit dan bisa melakukan aktivitasnya.
Pasien pernah menggantinya dengan sabu-sabu, namun pasien merasa tidak
seenak menggunakan putauw, sehingga pasien beralih kembali ke putaw. Pasien
mengkonsumsi putauw tiap hari. Apabila tidak mengkonsumsi satu hari saja,
pasien merasa dirinya pegal-pegal, kemudian tidak dapat melakukan aktivitas
hariannya.

Pasien juga menjadi cepat marah. Pasien mengkonsumsi putauw

sampai tahun 2004. Pada tahun 2004, pasien sempat masuk rehabilitasi medik,
namun keluar dari rehabilitasi, pasien mengkonsumsi putauw lagi.
Mulai tahun 2005, pasien mengikuti program subutex. Pasien tidak pernah
menggunakan putauw lagi.
Tahun 2006 pasien mengganti program subutex dengan metadon sampai
sekarang.

STATUS PSIKIATRIKUS
Kesadaran

: CM

Roman muka

: biasa

Kontak/Rapport

: ada/ adekuat

Orientasi

: T; O; W = baik

Ingatan

: recent, remote = baik

Perhatian

: cukup

Persepsi

: H/I disangkal

Pikiran

: Isi; waham
Jalan= koheren
Bentuk= realistik

Emosi

: appropriate

Tingkah laku

: normoaktif

Bicara

: spontan

Dekorum

: kurang

Diagnosis Multiaksial
Aksis I

: Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat

multipel dan penggunaan zat psikoaktif lainnya (F19)


Aksis II

: belum dapat ditegakkan

Aksis III

: tidak ada diagnosis

Aksis IV

: masalah hubungan interpersonal


Masalah primary support group (keluarga)

Aksis V

: 71 - 80

DAFTAR PUSTAKA
Kaplan,H., Sadock, BJ., Greb, JA. 1997. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1. Edisi 7.
Jakarta : Bina Rupa Aksara. P : 571-684.
Sadock, BJ., Sadock, Virginia A. Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. 3rd
edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2001. page 79-99.
DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 4th edition.
www.asiamaya.com/undangundang/uu_psikotropika/uu_psikotropikababI.htm
www.depkes.go.id/downloads/napza.pdf

You might also like