You are on page 1of 27

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS GADJAH MADA


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-2 TEKNIK GEOLOGI

LAPORAN
STUDI LAPANGAN
Geologi Regional
Pengunungan Selatan, Jawa Tengah

Disusun Oleh:
Karlina Triana
12/339143/PTK/8300

YOGYAKARTA
2013

PENDAHULUAN
Kegiatan Studi Lapangan berlokasi di Pegunungan Selatan, khususnya di sekitar
Kabupaten Gunung Kidul. Kegiatan ini melingkupi pengamatan geologi regional yang
berhubungan dengan segala bentuk aktivitas tektonik dan sedimentasi yang pernah terjadi di
lokasi pengamatan. Studi Lapangan bertujuan memberi bekal geologi yang bersifat regional
kepada para peserta Studi Lapangan, sehingga diharapkan dapat membantu para peserta
dalam memahami gejala-gejala geologi yang ditemui selama kegiatan, dapat merekonstruksi
sejarah geologi yang pernah terjadi pada lokasi pengamatan dan kaitan atau implikasinya
dengan geologi regional. Waktu ekskursi yang singkat dan daerah pengamatan yang terbatas
tidak memungkinkan untuk melakukan pendalaman geologi secara intensif. Namun,
berdasarkan lokasi-lokasi pengamatan yang telah dikunjungi, diharapkan mampu mewakili
hal-hal yang dianggap penting dari gejala-gejala geologi yang ada di Pegunungan Selatan.
Laporan dari kegiatan Studi Lapangan ini dilakukan secara individual dan dibagi ke
dalam tiga bab. Bab pertama membahas mengenai kondisi geologi daerah Pegunungan
Selatan secara regional, hal ini bertujuan untuk memahami sejarah dan kondisi geologi yang
pernah terjadi di Pegunungan Selatan secara luas sebelum memasuki fenomena-fenomena
geologi lainnya yang lebih detail pada masing-masing lokasi pengamatan. Bab kedua
membahas mengenai pengamatan geologi yang lebih mendalam terhadap masing-masing
lokasi pengamatan yang dikunjungi. Bab ketiga membahas mengenai analisa dari fenomenafenomena geologi yang unik yang ditemui pada lokasi pengamatan, dan diharapkan jawaban
dari analisa tersebut dapat menjawab dan merekonstruksi aktivitas tektonik dan sedimentasi
yang pernah terjadi di Pegunungan Selatan.
Ucapan terima kasih diberikan kepada Dr. Subagyo Pramumijoyo dan Dr. Sugeng
Wiyono yang telah bersedia mendampingi selama kegiatan dan memberikan bekal
pengetahuan yang luar biasa kepada para peserta. Dan juga tak lupa terima kasih diucapkan
untuk Program Pascasarjana Teknik Geologi yang telah mengakomodir kegiatan ini sehingga
dapat berjalan dengan baik.

Latar Belakang
Daerah Pegunungan Selatan memiliki sejarah geologi yang kompleks dan unik,
fenomena geologi pada masa lampau tersebut dapat direkonstruksi dari pengamatan langsung
di lapangan. Struktur dari singkapan-singkapan batuan yang unik mencerminkan sejarah
panjang dari aktivitas tektonik dan sedimentasi yang pernah terjadi di suatu lokasi. Di daerah
Pegunungan Selatan, batuan yang yang dapat dilihat dari singkapan sangat bervariasi dari
jenisnya, usianya, dan dari proses pembentukannya. Hal tersebut mendasari penyelenggaraan
Studi Lapangan Geologi Regional, sehingga diharapkan para peserta studi lapangan
mendapat bekal dan ilmu geologi yang lebih mendalam secara langsung di lapangan.

Tujuan Kegiatan
Tujuan dari diselenggarakannya kegiatan studi lapangan ini adalah :
1. Mengetahui bentangan alam yang terdapat di lapangan berdasarkan ciri-ciri khususnya.
2. Mengetahui jenis batuan beserta mineral penyusun dari litologi suatu daerah.
3. Dapat merekonstruksi sejarah geologi yang pernah terjadi di lokasi pengamatan.

Waktu Pelaksanaan Studi Lapangan


Kegiatan Fieldtrip Geologi Regional ini dilaksanakan pada :
Hari

: Sabtu

Tanggal : 7 September 2013


Lokasi : Pegunungan Selatan dan sekitarnya

Alat dan Bahan


Peralatan dan bahan yang diperlukan selama kegiatan studi lapangan antara lain adalah :
1. Peta Geologi Surakarta-Girintontro skala 1:100.000
2. Palu Geologi
3. Kompas Geologi
4. Larutan HCl
5. Pena
6. Buku catatan lapangan
7. Clipboard
8. Kamera

BAB 1
GEOLOGI REGIONAL PEGUNUNGAN SELATAN

1.1. Fisiografi Pulau Jawa


Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur secara fisiografi dapat dikelompokkan
kedalam lima zona (van Bemmelen, 1949), dari selatan ke utara (Gambar 2.1) :
1. Zona PegununganSelatan
2. Zona Solo
3. Zona Kendeng
4. Zona Randublatung
5. Zona Rembang
Zona fisiografi ini mencerminkan elemen struktur dari hasil penafsiran anomali
gayaberat di bagian utara Jawa Timur (Sutarso dan Suyitno, 1976). Elemen struktur
dengan anomali positif adalah Zona Kendeng dan Zona Rembang, sedangkan elemen
struktur anomali negatif adalah Depresi Semarang-Pati, Depresi Randublatung dan
depresi KeningSolo. Struktur utama Jawa Tengah-Jawa Timur disamping arah barat
timur yang mengilruti zona tersebut, juga terdapat struktur yang berarah NE-SW
memotong disekitar batas zona Rembang dan volkanik Muria.

Gambar 1.1.Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (dikembangkan dari van
Bemmelen, 1949).

1.1.1 Zona Pegunungan Selatan


Daerah Pegunungan Selatan Jawa secara fisiografi termasuk ke dalam lajur pegunungan
selatan Jawa (Bemmelen, 1949), sedangkan secara tektonik

global diperkirakan pada

cekungan antar busur sampai busur vulkanik. Daerah Pegunungan Selatan yang
membujur mulai dari Yogyakarta kearah timur, Wonosari, Wonogiri, Pacitan menerus ke
daerah Malang selatan, terus ke daerah Blambangan.

Berdasarkan

pada

letak yang

berada di zona Pegunungan Selatan Jawa Timur, bentang alam yang terdiri atas rangkaian
pegunungan yang memanjang relatif barat - timur dan jenis litologi penyusunnya yang
didominasi oleh material material volkanikklastik, daerah studi termasuk dalam zona
Wonosari Plateau.
Zona Pegunungan Selatan Jawa terbentang dari wilayah Jawa Tengah,

di selatan

Yogyakarta dengan lebal' kurang lebih 55 km, hingga Jawa Timur, dengan lebar kurang
kbih 25 km, di selatan Blitar. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran YogyakartaSurakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk
Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat,
antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan
di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir
membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar lk. 40
km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu

Subzona Wonosari

merupakan dataran tinggi ( 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan
Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona
Baturagung di sebelah barat dan

utara,

sedangkan

di

sebelah

selatan

dan

timur

berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah
K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak sebagai endapan permukaan
di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan
dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu
bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan
ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukitbukit ini dijumpai telaga, luweng
(sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai
bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat
hingga Pacitan di sebelah timur.
5

Zona Pegunungan Selatan pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan
miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks.
Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta,
sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan
merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan
luas kurang lebih 1400 km (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain
tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis
berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).

1.2. Tatanan Tektonik Pegunungan Selatan


Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan arah
relatif barat timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung Purwo di
bagian Jawa Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari interaksi konvergen antara
Lempeng Hindia Australia dengan Lempeng Micro Sunda. Mengutip dari pernyataan
C.Prasetyadi (2007)

secara lisan mengenai Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa,

dijelaskan bahwa Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang
mempunyai

sejarah

geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya dapat

dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang
(Gambar-28) yaitu :
1. Periode Kapur akhir Paleosen.
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan) .
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF) .
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi ) .
5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir.
1. Periode Kapur Akhir Paleosen
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng IndoAustralia ke arah timurlaut meng-hasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang
suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase) selama
Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan).
Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra
JawaKalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin)
berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah.

Mendekati Kapur Akhir Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana,
mendekati zona subduksi Karangsambung-Meratus.
Kehadiran

allochthonous

micro-continents

di

wilayah

Asia

Tenggara

telah

dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang
terletak di sebelah timur zona subduksi KarangsambungMeratus dan yang mengalasi
Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit pada
kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement
diorit. Docking (merapatnya) fragmen mikro-kontinen pada bagian tepi timur Sundaland
menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus dan terangkatnya zona
subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus (Gambar 2.2).

2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)


Antara 54 jtl 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi
lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara
India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama
setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak
India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda
kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan
terjadinya tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara
yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama

(Cekungan-cekungan:

Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal
sebagai endapan

syn-rift.

pergerakan sepanjang

Pelamparan extension tectonics ini

sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen

mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi


Paleogen

berasosiasi dengan

arah cekungan syn-rift

di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan

Tenggara) (Gambar 1.2).


3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF)
Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras
dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung
batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya dengan satuan batuan lebih
tua menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras. Di daerah Karangsambung Selatan
batas antara Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan sulit ditentukan dan
diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah utara Formasi Totogan ada yang langsung
7

kontak secara tidak selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah
Nanggulan kontak ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur
Eosen Akhir dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen
Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping yang
berumur Eosen Akhir, tandatanda ketidak selarasan ditunjukkan oleh terdapatnya
fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi Kebobutak yang
berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan Bayat merupakan
ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi tektonik yang sama yang
menyebabkan terdeformasinya Formasi Karangsambung.
Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena
endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan
Oligosen

Formasi

Kujung.

Deformasi

ini

kemungkinan

juga berkaitan

dengan

pergerakan ke utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua Australia
bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton pada 45 jt,
India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke
utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge
masih

aktif. Bertambahnya kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman

Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang
sesar mendatar yang keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga
terjadi

efek

kompresional

di

daerah

Karangsambung

yang mengakibatkan

terdeformasinya Formasi Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi


WungkalGamping di Bayat.
Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan berlangsung
sampai Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme yang kemungkinan
berkaitan erat dengan munculnya zona gunungapi utama di bagian selatan Jawa
(OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan
Selatan. Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana
pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini (Gambar 1.2).
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi )
Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan
Australia berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision)
antara India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju
penunjaman Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga berkurang secara drastis.
8

Hard

collision

berkembang fase

India

menyebabkan

efek

maksimal

tektonik

ekstrusi

sehingga

kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi

sebagian besar endapan syn-rift Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini
menginversi graben RMKS menjadi zona Sesar RMKS.
Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami
pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengen-dapan karbonat besar-besaran
seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur.
Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inversi berkembang endapan syn-inversi
formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama periode ini,
inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan rezim
tektonik kompresi di daerah busur depan Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur
belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang
sesar-sesar turun (horst dan graben) utara-selatan yang telah ada.
5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir
Pengaktifan

kembali

sepanjang

transtension dan transpression

sesar

tersebut

menghasilkan

mekanisme

yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian

yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur,
bagian basement

dominan berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat

diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura.Bagian
basement berarah Timur Barat

merupakan bagian dari fragmen benua yang

mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan dan bertubrukan dengan

Sundaland

sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah
utara telah mengubah sesar basement Barat Timur menjadi pergerakan sesar mendatar,
dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka
air laut selama periode ini, menghasilkan

pengendapan

sedimen

klastik

di

daerah

rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasinya.

Gambar 1.2. Rekontruksi perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai pada


Kapur-Paleosen sampai dengan Oligosen tengah (Prasetyadi, 2007)

10

1.3 Stratigrafi Regional


1.3.1 Stratigrafi Daerah Pegunungan Selatan
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah
beberapa peneliti. Perbedaan ini terutama antara wilayah

bagian

dikemukakan oleh
barat

(Parangtritis-

Wonosari) dan wilayah bagian timur (WonosariPacitan). Urutan stratigrafi Pegunungan


Selatan bagian barat diusulkan diantaranya oleh Bothe (1929) dan Surono (1989), dan
di bagian timur diantaranya diajukan oleh Sartono (1964), Nahrowi (1979) dan
Pringgoprawiro (1985), sedangkan Samodra. (1989) mengusulkan tatanan stratigrafi di
daerah peralihan antara bagian barat dan timur.
1.3.2 Stratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Barat (Batuan dasar PraTersier)
Batuan berumur Pra-Tersier tersingkap di Pegunungan Jiwo daerah Bayat Klaten,
tersusun oleh batuan metamorfosa batusabak, sekis, genis, serpentinit dan batugamping
kristalin. Batugamping mengandung Orbitolina hadir sebagai lensa-Iensa (bongkah)
dalam batulempung. Berdasarkan kesamaannya dengan satuan batuan yang ada di daerah
Luk Ulo, Kebumen, Jawa Tengah, kelompok batuan ini diperkirakan berumur Kapur
Atas (Verbeek dan Fenomena, op.cit. Bothe, 1929). Untuk penjelasan sesuai dengan
hubungan stratigrafi tiap satuan batuan dapat dilihat pada Gambar 1.3.

Dari kolom stratigrafi (Gambar 1.3) dapat dijelaskan urutan serta hubungan
stratigrafi pegunungan selatan adalah sebagai berikut :
o Formasi Wungkal dan Formasi Gamping. Formasi Wungkal dicirikan oleh kalkarenit
dengan sisipan batupasir dan batulempung, sedangkan Formasi Gamping dicirikan
oleh kalkarenit dan batupasir tufaan.

Di daerah Gamping (sebelah

barat

Kota

Yogyakata, sebagai tipe lokasi), Formasi Gamping ini dicirikan oleh batugamping
yang berasosiasi dengan gamping terumbu.Beberapa peneliti menafsirkan sebagai
ketidakselarasan (Sumosusastro, 1956 dan Marks, 1957) dan peneliti lainnya
menafsirkan hubungan kedua formasi tersebut selaras (Bothe, 1929, Sumarso dan
Ismoyowati,

1975).

Surono

et

al.

(1989)

menyebutnya

sebagai

Formasi

GampingWungkal yang merupakan satu formasi yang tidak terpisahkan. Namun


demikian semua para peneliti tersebut sepakat bahwa kedua formasi tersebut berumur
Eosen Tengah-Eosen Atas.Di atas Formasi Wungkal dan Formasi Gamping
ditutupi secara tidakselaras oleh sedimen volkanoklastik yang dikelompokkan
sebagai : Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan
Formasi Sambipitu.
11

Gambar 1.3. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Surono, et al. 1992) dan
penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu.

o Formasi Kebo, terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir tufaan, serpih dan lanau.
Di beberapa tempat dijumpai adanya lava bantal dan intrusi diorit. Ketebalan formasi ini
sekitar 800 meter dan diendapkan di lingkungan laut,

dan

pada

umumnya

memperlihatkan endapan aliran gravitasi (gravity-flow deposits).

12

o Formasi Butak, lokasi tipe formasi ini terdapat di Gunung Butak yang terletak di
Sub-zona Baturagung. Formasi ini tersusun oleh litologi breksi, batupasir tufaan,
konglomerat batuapung, batulempung dan serpih yang memperlihatkan perselingan,
dan menunjukkan ciri endapan aliran gravitasi di lingkungan laut. Formasi ini
berumur Oligosen.Ciri Formasi Kebo dan Formasi Butak di beberapa tempat tidak
begitu

nyata

sehingga,

pada

umumnya beberapa peneliti menyebutnya sebagai

Formasi Kebo-Butak yang berumur Oligosen Atas (N1-N3).


o Formasi Mandalika. Tipe lokasi formasi ini terdapat di Desa Mandalika. Formasi
ini memiliki ketebalan antara 80-200 m. Formasi ini tersusun oleh lava andesitikbasaltik, porfiri, petite, rhyolite dan dasit; dasit, lava andesitik, tuff dasit dengan
dioritik dyke; lava andesitic basaltic trachytik dasitik dan breksia andesitic yang
ter-prophyliti-kan; andesite, dasit, breksia vulkanik, gamping kristalin; breksia, lava,
tuff, dengan interkalasi dari batupasir dan batulanau yang memperlihatkan cirri
endapan darat. Satuan ini beda fasies menjari dengan Anggota Tuff dari Formasi
Kebobutak.
o Formasi Semilir. Formasi ini tersingkap baik di Gunung Semilir di sekitar Baturagung,
terdiri dari perselingan tufa, tufa lapili, batupasir tufaan, batulempung, serpih dan
batulanau dengan sisipan breksi, sebagai endapan aliran gravitasi di lingkungan laut
dalam. Formasi ini berumur Oligosen Awal (N1-N2).
o Formasi Nglanggran. Lokasi tipenya adalah di Desa Nglanggran. Formasi ini terdiri
dari breksi dengan sisipan batupasir tufaan, yang memperlihatkan sebagai endapan
aliran gravitasi pada lingkungan laut. Formasi ini berumur Oligosen Akhir (N3).
Formasi Nglanggran, pada umumnya selaras di atas Formasi Semilir, akan tetapi di
tempat-tempat lainnya, kedua formasi tersebut saling bersilangjari (Surono, 1989).
o Formasi Sambipitu. Lokasi tipenya terdapat di Desa Sambipitu. Formasi ini tersusun
oleh perselingan antara batupasir tufaan, serpih dan batulanau, yang memperlihatkan ciri
endapan turbidit. Di bagian atas sering dijumpai adanya struktur slump skala besar.
Satuan ini selaras di atas Formasi Nglanggran, dan merupakan endapan lingkungan
laut pada Miosen Awal bagian tengah Miosen awal bagian akhir (N6 - N8).

13

Formasi Oyo. Formasi ini tersingkap baik di Kali Oyo sebagai lokasi tipenya,
terdiri dari perselingan batugamping bioklastik, kalkarenit, batugamping pasiran dan
napal

dengan

sisipan

konglomerat

batugamping.

Satuan ini diendapkan pada

lingkungan paparan dangkal pada Miosen Tengah (N10-N12).


o Formasi Wonosari. Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya,
membentuk morfologi karts, terdiri dari batugamping terumbu,

batugamping

bioklastik berlapis dan napal. Satuan batuan ini merupakan endapan karbonat
paparan (carbonate plateform) pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (N9-N18).
Formasi Wonosari ini mempunyai hubungan selaras di atas Formasi Oyo, akan tetapi di
beberapa tempat, bagian bawah formasi ini saling berhubungan silang jari dengan
Formasi Oyo.
o Formasi Kepek. Lokasi tipenya terdapat di Kali Kepek, tersusun oleh batugamping
dan napal dengan ketebalan mencapai 200 meter. Litologi satuan ini nenunjukkan
ciri endapan paparan laut dangkal dan merupakan bagian dari sistem endapan
karbonat paparan pada umur Miosen Akhir (N15-N18). Formasi ini mempunyai
hubungan silang jari dengan satuan batugamping terumbu Formasi Wonosari. Di
atas batuan karbonat tersebut, secara tidakselaras terdapat satuan batulempung hitam,
dengan ketebalan 10 meter. Satuan ini menunjukkan ciri sebagai endapan danau di
daerah Baturetno pada waktu Plistosen. Selain itu, daerah setempat terdapat laterit
berwarna merah sampai coklat kemerahan sebagai endapan terrarosa, yang pada
umumnya menempati uvala pada morfologi karst. Di lokasi lainnya, hubungan
antara sedimen volkanoklastik dan sedimen

karbonat

tersebut

berubah secara

berangsur (Surono et al., 1989)

14

BAB 2
HASIL PENGAMATAN STUDI LAPANGAN

2.1 Stratigrafi Daerah Studi


Berdasarkan pada pengamatan geologi permukaan yang telah dilakukan pada
daerah studi, terdapat 6 macam satuan batuan yang berumur dari Miosen awal hingga
holosen, disebutkan dari tua hingga ke muda, yaitu:
1. Satuan Batupasir Kebo-Butak (Oligosen Akhir)
2. Satuan Batupasir vulkanik Semilir (Miosen Awal)
3. Satuan Breksi Nglanggran (Miosen Awal)
4. Satuan Batupasir Sambipitu (Miosen Awal)
5. Satuan Batugamping Wonosari (Miosen Tengah)
6. Endapan Kuarter (Holosen)

Satuan Batuan batuan diatas diambil berdasarkan dari kemiripan karakteristik


litologi, termasuk tekstur batuan, struktur sedimen, komposisi mineral, dan kandungan
fosil. Hubungan stratigrafi antara Satuan Batuan yang satu dengan yang lain berdasarkan
pada posisi stratigrafi dan bukti keadaan kontak Satuan Batuan di lapangan yang ditemukan.
Kandungan fosil telah digunakan untuk mengetahui kisaran umur batuan. Identifikasi
lingkungan pengendapan berdasarkan beberapa aspek yaitu, fisik (tekstur

dan struktur

sedimen), kimia (komposisi litologi), dan biologi (kandungan fosil).

2.1.1 Satuan Batupasir Kebo-Butak


A. Dasar Penamaan
Penamaan Satuan Batupasir Kebo-Butak didasarkan pada ciri fisik litologi, kimia
maupun asosiasinya

yang berkembang pada satuan ini, secara fisik dicirikan

dengan

batupasir yang memiliki kandungan tuff dan zeolit yang mendominasi, bersemen silika
yang mempunyai kandungan lempungan, dibeberapa tempat terdapat

perselingan antara

batupasir vulkanik dengan batulempung. Di bagian atas terdapat batupasir yang memiliki
ukuran butir kasar hingga sangat kasar. Struktur perlapisan banyak dijumpai pada batupasir
vulkanik dan batulempung, pada satuan ini didominasi oleh struktur perlapisan. Ciri
fisik diatas dapat disebandingkan dengan ciri ciri Formasi Kebo-Butak sehingga
satuan ini dinamakan Satuan Batupasir Kebo-Butak.

15

B. Ciri Litologi
Satuan Batupasir Kebo-Butak di daerah studi dicirikan oleh dominasi litologi
batupasir hijau, sedikit keras, struktur perlapisan laminasi, berukuran butir pasir sangat
halus sedang dan dibeberapa tempat berbutir kasar, terpilah baik, mengandung zeolit dan
susah ditemukan fosil, semen silika, beberapa singkapan terdapat perselang-selingan
antara batupasir dengan batulempung.

C. Penentuan Umur
Dikarenakan tidak adanya data fosil yang didapatkan pada satuan batuan ini,maka
penulis melakukan kesebandingan dengan peneliti terdahulu bahwa batupasir Kebo-Butak ini
terendapakan pada pada kala Oligosen akhir ( Surono et al,1992 ).

Dari

pengamatan

superposisi pada Satuan Batupasir Kebo-Butak yang berada di bagian barat terhadap
Satuan batupasir Semilir dari penampang geologi menunjukkan posisi Satuan Batupasir
Kebo-Butak lebih tua dari Satuan Batupasir Semilir.

D. Lingkungan Pengendapan
Dengan tidak adanya data fosil, penulis menyimpulkan bahwa batupasir KeboButak ini terendapakan pada lingkungan laut. Ini diakibatkan dari adanya beberapa
struktur sedimen seperti laminasi dan perlapisan yang ada pada tubuh batuan dari
satuan ini. Dan juga adanya perselingan antara batupasir dan batulempung yang
membuat semakin kuatnya alasan bahwa satuan batupasir KeboButak ini terendapkan pada
lingkungan laut.

E. Hubungan Stratigrafi
Hubungan

stratigrafi

antara

Satuan

Batupasir

Kebo-Butak

dengan

Satuan

Batupasir Semilir adalah selaras. Hal ini didasarkan pada umur yang didapatkan saling
bertampalan, Dari penampang geologi menunjukkan bahwa bagian atas satuan ini ditindih
secara selaras oleh Satuan Batupasir Semilir.

2.1.2. Satuan Batupasir Semilir


A. Dasar Penamaan
Penamaan Satuan Batupasir Semilir didasarkan pada ciri fisik litologi, kimia maupun
asosiasinya yang berkembang pada satuan ini, secara fisik dicirikan dengan batupasir yang
memiliki kandungan tuff, bersemen silika yang mempunyai kandungan lempungan,
16

dibeberapa tempat terdapat perselingan antara batupasir vulkanik dengan batulempung.


Di bagian atas terdapat batupasir yang memiliki ukuran butir kasar hingga sangat
kasar. Struktur perlapisan banyak dijumpai pada batupasir vulkanik dan batulempung,
pada satuan ini didominasi oleh struktur perlapisan.

B. Ciri Litologi
Satuan Batupasir Semilir di daerah studi dicirikan oleh dominasi litologi
batupasir vulkanik berwarna putih abu-abu, sedikit keras, struktur sedimen yang
dominan perlapisan, laminasi, graded bedding, dan masif, berukuran butir pasir sangat
halus krikilan, terpilah baik dan susah ditemukan fosil, semen silika, beberapa
singkapan

terdapat

perselang-selingan

antara

batupasir

vulkanik

tersebut

dengan

batulempung. Pada satuan batuan ini juga ditemukan adanya struktur sedimen Slump
yang merupakan ciri dari lingkungan pengendapan laut dalam.

C. Penentuan Umur
Berdasarkan data fosil planktonik yang didapatkan pada satuan batuan ini, yaitu :
Globigerina binaensis, Globigerina venezuelana, Globigerina riveroae, Globigerina selii,
Globigerinoides primordius, Globorotalia kiyleri, Catapsidrax dissimilis, Globigerina
tripartita, dan Globigerina venezuelana, Globigerina ciporoensis, Globoquadrina altispira,
Globigerinoides immaturus, Globoquadrina dehischens, didapatkan kisaran umur Miosen
Awal, maka dapat disimpulkan Berdasarkan anlisa foraminifera planktonik (menurut
Blow 1969) satuan batuan pada Formasi Semilir ini memiliki umur Miosen Awal).

D. Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan sampel yang didapatkan, yaitu : Gyroidina neusoldani, Amphistegina
quoyi, Amphistegina gibbosa, Nummolomlina contraria

(Bathial bawah). Berdasarkan

fosil benthonik diatas didapatkan bahwa pada Formasi Semilir ini terendapkan pada
lingkungan kedalaman Bathial Bawah ( Barker, 1960 ).

E. Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi antara Satuan Batupasir Semilir dengan Satuan breksi
Nglanggran adalah selaras. Hal ini didasarkan pada umur yang didapatkan saling
bertampalan, yaitu bahwa bagian atas satuan ini ditindih secara selaras oleh satuan breksi
Nglanggran.
17

2.1.3. Satuan Breksi Nglanggran


A. Dasar Penamaan
Satuan breksi termasuk dalam Formasi Nglanggran. Berdasarkan ciri litologi yang
dijumpai, breksi tersebut merupakan breksi monomik yang terdiri dari satu macam
fragmen, breksi tersebut penulis temukan ditengah-tengah daerah studi, yang secara
stratigrafi ekivalen dengan ciri Formasi Nglanggran sehingga dari hasil

kesebandingan

keduanya penulis menamakannya sebagai satuan breksi Nglanggran.

B. Ciri Litologi
Secara megaskopis Satuan Breksi Nglanggran ini memiliki warna hitam, memiliki
fragmen berupa batuan beku yaitu andesit. Memiliki struktur sedimen massif. Pada
beberapa lokasi studi terdapat perselingan antara breksi dan batupasir.

C. Penentuan Umur
Dikarenakan tidak adanya data fosil planktonik yang didapatkan pada satuan batuan ini,maka
penulis melakukan kesebandingan dengan peneliti terdahulu bahwa breksi Nglanggran ini
terendapakan pada kala Miosen Awal (Surono et al,1992 ). Dari pengamatan superposisi
pada satuan breksi Nglanggran yang berada di bagian bawah daerah studi menunjukkan
posisi Satuan Breksi Nglanggran menumpang diatas Satuan Batupasir Semilir.

D. Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan sampel yang didapatkan, ditimur daerah studi kira-kira 500 meter dari
daerah studi didapatkan fosil benthonik yaitu : Pseudobulimina sp. dan Pleurostomella rapa (
Bathial atas ). Berdasarkan fosil benthonik diatas didapatkan bahwa pada Satuan Batupasir
Semilir ini terendapkan pada lingkungan kedalaman Bathial Atas ( Barker, 1960 ).

E. Hubungan Stratigrafi
Dengan ditemukannya kontak antara batupasir vulkanik Semilir dan breksi
Nglanggran pada beberapa lokasi studi, maka dapat disimpulkan bahwa kedua satuan batuan
ini memiliki hubungan stratigrafi selaras. Hal ini menunjukkan bahwa satuan breksi
Nglanggran menindih diatas Satuan batupasir Semilir.

18

2.1.4. Satuan Batupasir Sambipitu


Di atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciriciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh batu pasir yang
bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih
menunjukkan sifat vulkanik sedang ke arah atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupasir
yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral
dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret
masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus turbid.
Ke arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi
Wonosari (Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan di sungai Widoro dekat
Bundel. Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman Meiosen.

2.1.5. Satuan Batugamping Wonosari


Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo / Wonosari. Formasi ini
terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hamper setengah bagian
selatan dari pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke arah utara di hingga
mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri / Baturetno.
Bagian terbawah dari Formasi Oyo / Wonosari terutama terdiri dari batugamping
berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang diendapkan pada kondisi laut yang
lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara sungai Widoro
masuk ke sungai Oyo di Bunder. Di lapangan batugamping ini terlihat sebagai batugamping
berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak
tipe burrow yang terdeapat pada permukaan perlapisan ataupun sejajar dengan pelapisan.
Ke arah lebih muda, anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua spesies yang berbeda. Di
daerah Wonosari, batugamping ini makin kearah selatan semakin berubah menjadi
batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, dan floatstone, bersifat lebih keras
dan dinamakan sebagai anggota Wonosari dari Formasi Oyo / Wonosari (BOTHE, 1929) atau
Formasi Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam TOHA dkk). Sedangkan di barat daya kota
Wonosari, batugamping terumbu ini berubah fasies menjadi batugamping berlapis yang
bergradasi menjadi napal, dan disebuit sebagai anggota KEPEK dari Formasi Wonosari.
Anggota KEPEK ini juga tersingkap pada bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri /
Baturetno, di bawah endapan kuarter seperti yang terdapat di daerah Eromoko. Secara
keseluruhan, Formasi Wonosari Ini terbentuk selama Meiosen akhir.

19

2.1.6. Endapan Kuarter


Di atas seri batuan sediment Tersier seperti tersebut di depan terdapat suatu
kelompok sediment yang sudah agak mengeras hingga masih lepas. Karena kelompok
sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proses pembentukannya masih berlanjut hingga
saat ini, maka secara keseluruhan sedimen ini disebut

sebagai Endapan Kuarter.

Penyebarannya meluas mulai dari daerah timur laut Wonosari hingga daerah depresi
Wonogiri Baturetno. Singkapan yang baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah
Eromoko sekitar waduk Gajah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.
Secara stratigrafis endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri terletak tidak
selaras di atas sedimen Tersier yang berupa batu gamping berlapis dari Formasi Wonosari
atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan Kuarter
tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14 meter. Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan
Plistosen Bawah.
Stratigrafi endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertical tersusun dari
perulangan antara tuff halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batu pasir kasar ke
batu pasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batu pasir tersebut berstruktur silang-siur
tipe palung, sedangkan lapisan tuf terdapat di bagian bawah, tengah dan atas. Pada saat
lapisan tuff terbentuk, terjadi juga aktifitas sungai yang menghasilkan konglomerat.
Lensa konglomerat yang terdapat pada lapisan tuff mengandung fragmen andesit,
diorite dan batulempung yang berukuran 5 8 cm, sering menunjukkan adanya struktur
imbrikasi fragmen. Sumber material dari lensa konglomerat tersebut diduga berasal dari hasil
erosi batuan yang lebih tua dikarenakan aktivitas sungai.

2.2. Struktur Geologi


Kompleks Pegunungan Selatan berupa sebuah blok yang miring ke arah Samudera
Indonesia

(selatan),

dimana

pada

bagian

utaranya terdapat

gawir-gawir yang

memanjang relatif barat-timur. Hal ini terjadi karena adanya evolusi tektonik yang terjadi
di Pulau Jawa pada zaman Kapur hingga sekarang sedangakan adanya trend dengan
arah relative barat laut tenggara dikarenakan adanya imbas tektonik dari pola meratus.
Pembentukan struktur geologi daerah studi dimulai pada Miosen (periode Neogen
Compressional wrenching .Dally, dkk,1991) struktur yang terbentuk adalah sesar
mendatar.Akibat gaya extensional ini juga menghasilkan bentukan lipatan antiklin yang
ditunjukan dengan kimiringan dip yang berlawanan yaitu pada Formasi Semilir dan
Formasi Wonosari.
20

Struktur geologi yang berkembang di daerah studi diidentifikasi berdasarkan bukti


langsung di lapangan berupa adanya beberapa sesar minor dan dikombinasikan dengan
interpretasi topografi apabila struktur yang ditunjukkan oleh adanya kelurusan morfologi,
kemudian ditemukan indikasi indikasi adanya lapisan tegak, kelurusan kedudukan
batuan yang berbeda diantara sekitarnya, hal tersebut mengindikasikan bahwa adanya
pengaruh struktur geologi yang mengontrol daerah tersebut.

2.3. Potensi Geologi


Potensi geologi ialah kemampuan alam untuk dapat menghasilkan suatu produk
dari hasil proses proses geologi yang bekerja, baik produk yang dapat menimbulkan
dampak manfaat (positif)

maupun juga produk yang dapat menimbulkan kerugikan

(negatif) bagi umat manusia. Berdasarkan kedua aspek manfaat diatas maka potensi
geologi pada daerah studi dapat dibagi seperti dibawah ini.

2.3.1. Potensi Positif


2.3.1.1.Batupasir Kebo-Butak
Batupasir
kandungan zeolit

vulkanik

yang

terdapat

pada

formasi

Kebo-Butak

ini

yang cukup besar, sehingga warna batuan ini berwarna

memiliki
hijau dan

mempunyai fungsi atau kegunaan yang cukup banyak. Kegunaan zeolit sangatlah luas,
bentuk kristal zeolit yang sangat teratur dengan rongga yang saling berhubungan ke
segala arah menyebabkan permukaan zeolit menjadi sangat besar, oleh sebab itu zeolit
bisa digunakan sebagai adsorben. Rongga-rongga zeolit juga terisi oleh ion-ion logam
seperti kalium dan natrium yang menyebabkan zeolit dapat digunakan sebagai penukar ion.
Di samping itu zeolit dapat dimanfaatkan sebagai bahan pendukung (supporting
material) untuk katalis ataupun bahkan sebagai katalisator itu sendiri.
Struktur kristal dari zeolit yang unik juga memungkinkan untuk digunakan
sebagai media tanam berbagai jenis tumbuhan sayuran, buahbuahan atau tanaman hias.
Dalam hal ini sebagai media hidroponik

yaitu budidaya

tanpa menggunakan tanah.

Batupasir vulkanik pada daerah studi khususnya yang banyak mengandung zeolit ini
kurang dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk sekitar padahal keterdapatannya
sangat mudah ditemukan dan dimanfaatkan. Batupasir vulkanik ini hanya dimanfaatkan
oleh penduduk sekitar untuk ditambang secara radisional, dan

sangat umum digunakan

sebagai bahan pembuatan pondasi bangunan karena resistensi yang cukup kuat.

21

2.3.1.2. Satuan Batupasir Semilir


Satuan Batupasir Semilir yang terdapat pada daerah studi telah dimanfaatkan
dengan baik oleh penduduk sekitar karena keterdapatannya sangat mudah ditemukan
dan dimanfaatkan.Batupasir vulkanik ini dapat secara langsung dimanfaatkan dan banyak
dilakukan penambangan secara tradisional, batupasir jenis ini sangat umum digunakan
sebagai bahan pembuatan pondasi bangunan karena memiliki resistensi yang cukup baik.

2.3.2. Potensi Negatif


2.3.2.1. Gerakan Tanah
Tingkat curah hujan yang tinggi pada daerah studi menyebabkan tingkat
pelapukan yang tinggi, sehingga pada litologi litologi yang kurang resisten dengan sudut
kelerengan yang besar dapat berpotensi menimbulkan adanya gerakan tanah. Pada
daerah studi gerakan tanah dijumpai pada derah studi yaitu pada satuan batupasir
Vulkanik Semilir. Pada satuan batupasir Vulkanik Semilir terjadi jenis gerakan tanah
berupa Rockfall.

2.4. Tabel Deskripsi Lokasi Pengamatan


Lokasi pengamatan terdiri dari sembilan titik pengamatan yang mencirikan keunikan
dari gambaran geologi daerah Pengunungan Selatan. Kesembilan titik pengamatan tersebut
berlokasi di Bayat, Desa Gedang Sari, Desa Ngalan, dan Kalisuci yang terdapat di Desa
Pancarejo. Setelah sebelumnya telah dijelaskan deskripsi daerah studi secara umum, berikut
ini disajikan tabel deskripsi dari masing-masing titik pengamatan dalam bentuk tabel dan foto
yang diambil pada lokasi pengamatan.

22

Tabel Lokasi Pengamatan Studi Lapangan


No.

Lokasi
Pengamatan

Bayat
455809, 9140041

Gedang Sari
455028, 9137928

Gedang Sari
455165, 9136853

Morfologi

Perbukitan

Bukit
bergunung

Bukit
bergunung

Litologi

Deskripsi

Lokasi ini diketahui sebagai "Basement of Java"


yang diperkiran berumur Pre Tertiary sampai dengan
Batuan metamorf Early Tertiary. Sekis garnetan yang terdapat di
marble, sekis belakang singkapan menunjukkan usia batuan
filit, terdapat
berumur Tersier. Proses Polyphase Tectonic
kontak dengan
diestimasikan dari struktur batuan yang menunjukkan
batuan karbonat gaya kompresi dan shearing dari berbagai arah,
tercermin dari astriasi dan tidak beraturannya arah
perlapisan.

Formasi KeboButak

Bukit di sebelah kiri pada foto tersusun atas Formasi


Semilir yang muncul sebagai isolated hill, namun
muncul berdampingan dengan Formasi Kebo-Butak
(sebelah kanan) yang berbeda usia. Aktifitas sesar
naik (thrust fault) diperkiran menyebabkan Formasi
Kebo-Butak berada di atas Formasi Semilir
(terjadinya erosi pada bidang sesar yang naik
mengurangi kecuraman lereng).

Formasi KeboButak

Pada singkapan batuan dijumpai sandstone dengan


fragment pumika. Pumika ini merupakan jenis
fragment batu apung yang dimungkinkan berasal dari
abu gunung api yang tertransport. Batuan ini masuk
dalam formasi Kebo-Butak. Kekar-kekar minor yang
terbentuk terjadi akibat gaya kompresi dari berbagai
arah.

Foto

Karbonat

Filit

Frm. Semilir

Frm. Kebo-Butak

Tabel Lokasi Pengamatan Studi Lapangan

Gedang Sari
455189, 9136841

Gedang Sari
455203, 9136829

Ngalang
455172, 9135820

Formasi KeboButak. Tersusun


atas batuan
sedimen
sandstone dan
siltstone

Lapisan sandstone dan siltstone yang berselingan


dipengaruhi oleh arus turbidity. Layering yang tidak
horizontal disebabkan oleh gaya kompresi atau
shortening dari aktifitas tektonik. Selain itu, pada
singkapan juga terlihat adanya slump structure yang
disebabkan oleh gaya gravitasi. Batuan yang tidak
kompak dapat jatuh karena gaya berat, sehingga
lokasi ini berpotensi untuk terjadi gerakan massa
berupa runtuhan.

Perbukitan

Formasi KeboButak. Tersusun


atas batuan
sedimen
sandstone dan
siltstone

Lokasi pengamatan tersusun atas formasi Kebo


Botak dan berada di dekat dengan lokasi Pengamatan
4. Jenis batuan adalah sandstone dan dijumpai
struktur slump akibat gaya gravitasi dan sesar-sesar
minor. Struktur perlapisan yang miring terbentuk
akibat aktivitas tektonik berupa shortening.

Perbukitan

Batuan tuff terbentuk dari debu piroklastik dari


aktivitas vulkanik pada jaman Pre Tersier, gununggunung aktif di kala itu yang berada di sekitar
Batuan
Pengunungan Selatan mengeluarkan debu piroklastik
Piroklastik (Tuff) dan mengendap menjadi tuff. Pada lokasi
pengamatan dapat dijumpain tuff murni yang hanya
mengandung debu piroklastik maupun tuff yang telah
bercampur dengan pasir.

Perbukitan

Slump Structure

Tabel Lokasi Pengamatan Studi Lapangan

Ngalang
455084, 9132731

Ngalang
454036, 9130585

Perbukitan

Perbukitan

Breksi

Pengamatan dilakukan pada lokasi yang tersusun atas


breksia. Terdapat perbedaan pada warna batu breksi
yang berada di sisi barat dan timur sungai yang
mengalir di tengahnya, breksi yang berada di sisi
barat sungai memiliki warna yang lebih gelap
dibandingkan dengan breksi yang berada di sisi timur
sungai. Breksi yang berada di sisi timur sungai telah
mengalami alterasi sehingga berubah warnanya
menjadi cokelat muda keoranye-oranyean.

Formasi Sambi
Pitu

Lingkungan pengendapan dari lokasi pengamatan


adalah berupa deep marine. Srtuktur yang terlihat
pada batuan sedimen adalah trace stucture atau
berupa jejak yang terbentuk oleh hewan yang hidup
di kala itu. Selain itu juga terdapat ripple yang
terbentuk akibat transportasi gelombang laut yang
beraktivitas di kala itu.

Formasi
Pancarejo
Bergelombang Wonosari
460257, 9114632
(limestone)

Kalisuci merupakan goa karst bawah tanah yang


dilewati sungai yang mengalir melalui rekahan
batugamping. Aliran air mengalir dari medan yang
lebih tinggi dan menyatu dari berbagai cabang
sehingga memiliki ordo-ordo layaknya sungai.
Formasi Wonosari tersusun atas batuan karbonat
berupa batugamping. Stuktur pada sedimen yang
terbentuk disebebkan oleh aliran air yang menggerus
batuan disisinya.

Trace Stucture

BAB 3
ANALISA GEOLOGI REGIONAL DAERAH STUDI

1. Mengapa Formasi Semilir dapat muncul sebagai isolated hill pada lokas pengamatan?
Formasi Semilir tersingkap di sepanjang Pegunungan Selatan, pantai selatan Jawa
bagian tengah. Formasi ini terendapkan secara selaras dengan Formasi Kebo-Butak di
bawahnya dan bagian atasnya ditindih oleh Formasi Nglanggran. Formasi Semilir
didominasi oleh batuan vulkanik berupa tuf kristal, tuf lapili, dan breksi batuapung.
Berdasarkan penentuan umur dengan jejak belah pada sirkon di breksi batuapung
menunjukkan umur 17.0 + 0 juta tahun dan 16.0 + 1.0 juta tahun atau akhir Miosen Awal.
Lingkungan pengendapan Formasi Semilir menunjukkan pendangkalan ke arah
atas, yang semula laut dangkal berubah menjadi darat. Fasies breksi batuapung dan breksi
batuapung andesitan diendapkan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini menunjukkan
bahwa kegiatan kegunungapian meningkat pesat pada saat pengendapan bagian atas
formasi. Erupsi besar yang membentuk Formasi Semilir diduga berpusat di Cekungan
Baturetno. Adanya aktivitas tektonik berupa sesar naik (thrust fault) yang diperkiran
terjadi menyebabkan Formasi Kebo-Butak berada di atas Formasi Semilir yang lebih
muda. Kemudian bagian hanging wall yang tersingkap dari sesar naik akan tererosi
seiring dengan bertambahnya usia, menyebabkan hanging wall yang tadinya memiliki
kecuraman terjal menjadi kian landai karena terus tererosi.

2. Mengapa di Pulau Jawa bagian selatan tidak ditemukan cadangan minyak bumi?
Sedimentasi di daerah Pegunungan Selatan Pulau Jawa disebabkan oleh arus turbid
yang memiliki potensi keterdapatan minyak bumi. Dalam suatu sistem reservoir minyak
bumi, endapan turbidit pada lingkungan pengendapan lower fan sangat berpotensi sebagai
source rock. Sedangkan batuan-batuan

yang memiliki lapisan berulang bisa

dikelompokkan sebagai caps rock dan trap secara stratigrafi. Namun aktivitas
magmatisme yang terjadi di zona subduksi menyebabkan peningkatan temperatur yang
tinggi, sehingga membuat zat hidrokarbon mengalami over heat pada proses
pematangannya dan menghilang.

26

3. Apa penyebab berkembangnya alterasi di Pegunungan Selatan?


Secara fisiografis daerah Pegunungan Selatan terletak pada jalur magmatik Sunda
Banda yang mempunyai struktur geologi berupa lipatan dan patahan. Bentang alam yang
tersusun dari batuan gunung api di Pegunungan Selatan memperlihatkan bentang alam
dataran, bergelombang, perbukitan hingga pegunungan. Hal tersebut terbentuk dari erosi
gunung api purba yang pernah aktif di masa lampau namun tidak lagi aktif di masa
sekarang. Perkembangan tubuh gunung api purba di daerah ini diawali dengan
volkanisme bawah muka air laut kemudian berkembang hingga muncul di permukaan air
laut. Genesis bentang alam berkaitan dengan erupsi gunung api yang kemunculannya
dikendalikan oleh struktur geologi.
Berkembangnya proses alterasi di Pegunungan Selatan berkaitan dengan intrusi
batuan yang mengakibatkan alterasi hidrotermal. Proses alterasi ini mengakibatkan
terjadinya suatu mineral baru pada tubuh batuan yang merupakan hasil ubahan dari
mineral-mineral yang telah ada sebelumnya, diakibatkan oleh adanya reaksi antara batuan
dengan larutan hidrotermal.

DAFTAR PUSTAKA

Bronto, S., Pambudi, S., dan Hartono, G., 2002. The genesis of volcanic sandstones
associated with basatic pillow lava, Bayat areas: A case study at the Jiwo Jills, Bayat
area (Klaten, Central Java). Jurnal Geologi dan Sumber Daya Mineral, XII (3), h.2-16.
Laksono, P.B., 2007. Geologi dan petrogenesa batuan vulkanik Formasi Kebo-Butak, daerah
Trembono dan sekitarnya, Kecamatan

Gedangsari,

Kabupaten

Gunung

Kidul,

Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi S1, Universitas Pembangunan Nasional


Veteran, Yogyakarta, 80h.
Sudarno, 1997. Kendali tektonik terhadap pembentukan struktur pada batuan Paleogen dan
Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.Thesis
Magister Teknik, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 167 h. (tidak diterbitkan).
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I, 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa,
Skala 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

27

You might also like