You are on page 1of 3

GELAR

Teguh Puja

Gegas mencari tahu. Terburu-buru. Esok lusa pemilihan akan segera berlangsung. Dan
semua dokumen harus sudah benar-benar lengkap. Tak ada begitu banyak beda dengan
pemilihan kepala negara, menjadi kepala desa pun masih perlu usaha dan upaya yang
nyata.
Gegas mengingatkan. Tergesa-gesa. Esok lusa akan datang panitia dari luar desa yang
memeriksa lembar-lembar sertifikat yang sepekan ini dicari. Belum jua ditemukan.
Masih berusaha mendapat yang cepat dan juga bisa cukup aman menjaga nama baik
yang selama ini dijaga.
Gegas memperingatkan. Terhimpit. Hari ini semua sertifikat dan lembar-lembar ijazah,
baiknya sudah dipersiapkan. Lulusan perguruan tinggi tentu akan lebih baik. Foto lama
tak luput dicari juga. Karena sertifikat-sertifikat itu perlu dibubuhi tanda tangan beserta
foto dengan citra lama. Ya, tentu akan terasa aneh bila foto yang digunakan foto masa
kini. Riwayatnya akan membingungkan. Verifikasinya bisa jadi tambah berbelit lagi
nantinya. Kesempatan menjadi kepala desa sudah barang tentu akan lebih sulit
didapatkan.
Gegas meminta. Haus. Terlalu banyak berbicara tampaknya cukup membuat
kerongkongan terasa kering. Membentak, memaki, dan menyuruh bawahan pergi
mengurusi ini dan itu kurang lebihnya menjadikan lemas dan lelah. Namun tak ada
pilihan lain. Agar segala sesuatunya lebih mudah dimenangkan, prasyarat itu memang
harus segera dipenuhi. Tak jua merasa kesulitan menghamburkan uang untuk sedikit
saja menikmati kursi yang jauh lebih empuk nantinya.
Gegas memaksa. Tak sabar. Semua yang diminta sudah sewajarnya bisa diselesaikan
lebih cepat. Masa kini tak ada yang tidakbisa dibeli, bahkan bila sebentuk lembar
sertifikat yang menyatakan telah lulus dengan predikat terbaik di program studi apa pun
yang dirasa perlu untuk pemenangan pemilihan esok lusa itu membutuhkan sekian
angka yang tak biasa.
Gegas. Terburu-buru. Tergesa-gesa. Haus. Tak sabar. Agaknya sudah sejak lama
keinginan berkuasa itu semakin terasa menjadi-jadi. Ajudan yang disewa sejak lama tak
ayal kemudian melapor. Sore kedatangannya diharapkan ada di studio foto. Ajudannya
berbicara dengan juga dibarengi sedikit kebingungan. Ia lupa apa namanya. Tapi,
menurut hasil laporannya, kehadirannya akan membuat sesi cetakdanmengada-ada

sertifikat palsudan perihal lainnya menjadi lebih mudah. Apa boleh dikata, akhirnya ia
pergi juga.
Esok lusa ada pemilihan, bukan pemilihan besar seperti yang sering diwartakan di layar
kaca, tak akan ada juga laporannya di koran-koran ternama. Esok lusa hanya akan ada
pemilihan kepala desa. Syaratnya tak lain adalah pernah menjadi lulusan perguruan
tinggi sahaja. Karena menurut sebagian besar massa, mereka yang lahir di bangku
sekolah tinggi pastilah terdidik dan jua adil dan bijaksana sejak sedari pikiran, tentunya
pasti akan begitu juga dalam perbuatan yang dilakukan.
Gegas semua bakal kepala desa bersiap-siap. Mulai dari yang didukung alim ulama
namun tak punya cukup modal sampai kepada anak-anak juragan desa yang tak tahu
apa-apa namun punya lebih dari cukup modal untuk berkuasa dan mendapat lebih
banyak harta benda nantinya. Ia termasuk yang mendapat kehormatan dari keduanya.
Sebagian alim ulama mendukungnya dan ada harta yang menjaminnya.
Masyarakat yang ada di desa tentunya sudah tahu siapa yang nantinya akan memimpin
mereka. Lembar-lembar rupiah pun sudah masuk di kantong mereka. Bahkan untuk
jabatan dan prestise kepala desa pun kantong-kantong harus tetap terisi dalam-dalam.
Tak ada yang mau memilih karena hati nurani saja. Tak ada manfaatnya. Karena tentu
saja yang dipilih dengan hati nurani akhirnya akan kalah juga oleh siapa saja yang
modalnya lebih besar dari calon-calon lainnya.
Esok lusa. Ada pemilihan umum. Tingkat desa.
Ia sudah di studio foto. Terheran-heran. Ia sungguh terpesona. Zaman sudah begitu
canggihnya, bahkan wajah tuanya sekarang bisa dibuat lebih muda. Sungguh ajaib
mesin yang dibuat orang Eropa. Ia tertawa saja membayangkan jalannya yang menjadi
lebih mudah. Tak terbayangkan tentunya bagi orang-orang di pedalaman desanya, ada
satu mesin tak lebih besar dari talam yang biasa dipakai sebagai alas air bisa jadi sangatsangat hebat dan luar biasa dampaknya bagi pemenangannya di esok lusa pemilihannya.
Tak berapa lama. Mesin cetak, begitu orang menyebutnya, telah selesai membuat
salinan kopi sertifikat yang diperlukannya. Ia terkagum-kagum. Tak pernah sebelumnya
membayangkan ia akan mendapat selembar izajah luar biasa mudahnya. Pemuda di
depan kotak hitam yang berdengung-dengung semenjak kedatangannya itu tersenyum
sahaja. Diserahkannya uang sekian rupiah. Pemuda itu bahagia. Ia pun juga sama
bahagianya.
Di lembaran yang kini dipegangnya, tertulis besar-besar namanya. H. Basilo, S.Pd.I.
Ia bertanya penuh perhatian kepada ajudannya. Apa itu S.Pd.I? Ajudannya
menggeleng. Entahlah, Ndoro. Begitu jawabnya. Ia mengangguk dan kemudian

melupakan perihal arti dari gelar yang didapatnya. Bukan itu yang harus dipikirkannya
sekarang. Apalah arti sebuah gelar? Ia tertawa gemas dengan lembar sertifikat yang
digenggamnya. Sungguh mudah.
Esok lusa ada pemilihan. Seperti biasa, ia kembali bersiap. Masih ada prasyarat lain dan
ia ingin segera gegas menyelesaikannya. Diperintahkannya ajudannya memanggil babu
di rumahnya. Ia ingin minum secangkir kopi susu yang manis demi sisi kemenangan
yang segera diraihnya. Ditatapnya lembar berisikan foto dirinya dan tanda tangan yang
masih baru di hadapnya. Menjadi pemimpin? Tak perlu menjadi lulusan sekolah tinggi.
Cukup uang modal yang berlimpah saja. Ia tertawa. Dan tawanya terdengar sampai
seantero desa. Tawa lelaki baya yang sebentar lagi menjadi penguasa desa.

You might also like