You are on page 1of 14

PEMBAHASAN

Pengertian
Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai
dengan

demam,

lemas,

batuk,

konjungtivitis

(peradangan

selaput

ikat

mata/konjungtiva) dan bintik merah di kulit (ruam kulit). Virus ini terdapat dalam
darah dan sekret (cairan) nasofaring (jaringan antara tenggorokan dan hidung)
pada masa gejala awal (prodromal) hingga 24 jam setelah timbulnya bercak merah
di kulit dan selaput lendir (Rampengan, 1997).
Cara penularan melalui droplet dan kontak, yakni karena menghirup
percikan ludah (droplet) dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita
morbili/campak. Artinya, seseorang dapat tertular Campak bila menghirup virus
morbili, bisa di tempat umum, di kendaraan atau di mana saja. Penderita bisa
menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan
selama ruam kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul
(Rampengan, 1997).
Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak
terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak
SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan
kebal terhadap penyakit ini. Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah
vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang
telah kebal (berlangsung selama 1 tahun) (Rampengan, 1997).
Etiologi
Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan
genus Morbili virus. Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip
dengan virus Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada sekret
nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa prodromal hingga beberapa
saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki
daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh manusia. Pada temperatur kamar
selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif
1

minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku,


minimal 4 minggu dalam temperatur 35C, beberapa hari pada suhu 0C, dan tidak
aktif pada pH rendah (Soegeng Soegijanto, 2002).
Patologi
Lesi pada campak terutama terdapat pada kulit, membran mukosa
nasofaring, bronkus, saluran pencernaan, dan konjungtiva. Di sekitar kapiler
terdapat eksudat serosa dan proliferasi dari sel mononuklear dan beberapa sel
polimorfonuklear. Karakteristik patologi dari Campak ialah terdapatnya distribusi
yang luas dari sel raksasa berinti banyak yang merupakan hasil dari
penggabungan sel. Dua tipe utama dari sel raksasa yang muncul adalah (1) sel
Warthin-Findkeley yang ditemukan pada sistem retikuloendotel (adenoid, tonsil,
appendiks, limpa dan timus) dan (2) sel epitel raksasa yang muncul terutama pada
epitel saluran nafas. Lesi di daerah kulit terutama terdapat di sekitar kelenjar
sebasea dan folikel rambut. Terdapat reaksi radang umum pada daerah bukal dan
mukosa faring yang meluas hingga ke jaringan limfoid dan membran mukosa
trakeibronkial. Pneumonitis intersisial karena virus campak menyebabkan
terbentuknya sel raksasa dari Hecht. Bronkopneumonia yang terjadi mungkin
disebabkan infeksi sekunder oleh bakteri (Cherry, 2004).
Pada kasus encefalomyelitis terdapat demyelinisasi vaskuler dari area di
otak dan medula spinalis. Terdapat degenerasi dari korteks dan subsdtansia alba
dengan inclusion body intranuklear dan intrasitoplasmik pada subacute sclerosing
panencephalitis (Phillips, 1983).
Patogenesis
Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit
virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Lokasi
utama infeksi virus campak adalah epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi virus
pertama pada saluran nafas sangat minimal. Kejadian yang lebih penting adalah
penyebaran pertama virus campak ke jaringan limfatik regional yang
menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi

multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik
regional maupun jaringan limfatik yang lebih jauh. Multiplikasi virus campak
juga terjadi di lokasi pertama infeksi.
Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang
ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit,
konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi
organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan
virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai puncaknya dan
kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama
infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit,
dan makrofag (Cherry, 2004).
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan

kesempatan

serangan

infeksi

bakteri

sekunder

berupa

bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus


dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak (Soedarmo dkk.,
2002).
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit
Hari
0

Manifestasi
Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva

1-2
2-3
3-5

Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus


Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
Viremia primer
Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi

5-7
7-11

pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh


Viremia sekunder
Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran

nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
Sumber :Feigin et al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases 5th edition
Manifestasi klinis
Masa inkubasi 10-20 hari dan kemudian timbul gejala-gejala yang dibagi
dalam 3 stadium, yaitu:
3

1.

Stadium kataral (prodormal).


Stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai gambaran klinis seperti

demam, malaise, batuk, fotopobia, konjungtivitis, dan coryza. Menjelang akhir


dari stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantem, terdapat bercak koplik
berwarna putih kelabu sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema.
Lokasinya di mukosa bukal yang berhadapan dengan molar bawah. Gambaran
darah tepi leukopeni dan limfositosis.

2.

Stadium erupsi
Coryza dan batuk bertambah. Timbul enantem atau titik merah di palatum

durum dan palatum mole. Kadang kadang terlihat bercak koplik. Terjadi eritem
bentuk makulopapuler disertai naiknya suhu badan. Diantara macula terdapat kulit
yang normal. Mula-mula eritema timbul dibelakang telinga, bagian atas lateral
tengkuk sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat
perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam mencapai anggota
bawah pada hari ke 3, dan menghilang sesuai urutan terjadinya.
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di
daerah leher belakang. Sedikit terdapat splenomegali, tidak jarang disertai diare
dan muntah.
Variasi yang biasa terjadi adalah Black Measless, yaitu morbili yang disertai
dengan perdarahan di kulit, mulut, hidung, dan traktus digestivus.

3.

Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang menimbulkan bekas yang berwarna lebih tua atau

hiperpigmentasi (gejala patognomonik) yang lama kelamaan akan hilang sendiri.


Selain itu ditemukan pula kelainan kulit bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan
gejala patognomonik untuk morbilli. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema
atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun
sampai normal kecuali bila ada komplikasi.
Diagnosis
Diagnosis campak biasanya cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan. Pada stadium prodromal dapat
ditemukan sel raksasa berinti banyak dari apusan mukosa hidung. Serum antibodi
dari virus campak dapat dilihat dengan pemeriksaan Hemagglutination-inhibition
(HI), complement fixation (CF), neutralization, immune precipitation, hemolysin
inhibition, ELISA, serologi IgM-IgG, dan fluorescent antibody (FA). Pemeriksaan
HI dilakukan dengan menggunakan dua sampel yaitu serum akut pada masa
prodromal dan serum sekunder pada 7 10 hari setelah pengambilan sampel
serum akut. Hasil dikatakan positif bila terdapat peningkatan titer sebanyak 4x
atau lebih (Cherry, 2004). Serum IgM merupakan tes yang berguna pada saat

munculnya ruam. Serum IgM akan menurun dalam waktu sekitar 9 minggu,
sedangkan serum IgG akan menetap kadarnya seumur hidup. Pada pemeriksaan
darah tepi, jumlah sel darah putih cenderung menurun. Pungsi lumbal dilakukan
bila terdapat penyulit encephalitis dan didapatkan peningkatan protein,
peningkatan ringan jumlah limfosit sedangkan kadar glukosa normal (Phillips,
1983).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding morbili diantaranya :
1. Roseola infantum. Pada Roseola infantum, ruam muncul saat demam telah
menghilang.
2. Rubella. Ruam berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari campak.
Gejala yang timbul tidak seberat campak.
3. Alergi obat. Didapatkan riwayat penggunaan obat tidak lama sebelum ruam
muncul dan biasanya tidak disertai gejala prodromal.
4. Demam skarlatina. Ruam bersifat papular, difus terutama di abdomen. Tanda
patognomonik berupa lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis eksudativa
atau membranosa (Alan R. Tumbelaka, 2002).
Campak yang termodifikasi
Penyakit campak yang termodifikasi muncul pada orang yang hanya
memiliki setengah daya tahan terhadap campak. Hal tersebut dapat diakibatkan
riwayat penggunaan serum globulin maupun pada anak usia kurang dari 9 bulan
karena masih terdapatnya antibodi campak transplasental dari ibu. Ditandai
dengan gejala penyakit yang lebih ringan. Stadium prodromal akan menjadi lebih
pendek. Batuk, pilek dan demam lebih ringan. Bercak Koplik lebih sedikit dan
kurang jelas, namun dapat juga tidak muncul sama sekali. Ruam yang muncul
sama dengan infeksi campak klasik, tetapi tidak bersifat konfluens. Pada beberapa
orang, infeksi campak yang termodifikasi ini dapat tidak memberikan gejala
apapun (Cherry, 2004).

Campak atipikal
Didefinisikan sebagai sindroma klinik yang muncul pada orang yang
sebelumnya telah kebal akibat terpajan pada infeksi campak alamiah. Biasanya
muncul pada orang yang telah mendapat vaksin dari virus campak yang dimatikan
Masa inkubasi dari campak atipikal sama seperti pada campak yang tipikal
yaitu sekitar 7 hingga 14 hari. Stadium prodromal ditandai dengan demam tinggi
yang mendadak (39,5C sampai 40,6C) dan biasanya sakit kepala. Bisa juga
didapatkan gejala nyeri perut, mialgia, batuk non-produktif, muntah, nyeri dada
dan rasa lemah. Bercak Koplik jarang ditemui. Dua atau tiga hari setelah onset
penyakit muncullah ruam yang dimulai dari distal ekstremitas dan menyebar ke
arah kepala. Ruam sedikit berwarna kekuningan, terlihat jelas pada pergelangan
tangan dan kaki serta terdapat juga pada telapak tangan dan kaki. Ruam dapat
berbentuk vesikel dan terasa gatal. Pada campak atipikal dapat muncul efusi
pleura, sesak nafas, hepatosplenomegali, hiperestesia, rasa lemah maupun
paresthesia. Diagnosis dari campak atipikal dapat ditegakkan melalui tes
serologis. Bila sampel serum awal diambil sebelum atau pada saat onset ruam, CF
dan titer HI biasanya kurang dari 1:5. Pada hari ke-10 infeksi kedua titer akan
meningkat mencapai 1:1280 atau lebih. Pada campak yang tipikal, di hari ke-10
infeksi titer jarang melebihi 1:160 (Cherry, 2004).
Komplikasi
Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak berumur
lebih kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada infeksi sekunder oleh
bakteri. Beberapa penyulit campak adalah :
a) Bronkopneumonia
Merupakan salah satu penyulit tersering pada infeksi campak. Dapat
disebabkan oleh invasi langsung virus campak maupun infeksi sekunder oleh
bakteri (Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus, dan Haemophyllus
influenza). Ditandai dengan adanya ronki basah halus, batuk, dan meningkatnya
frekuensi nafas. Pada saat suhu menurun, gejala pneumonia karena virus campak

akan menghilang kecuali batuk yang masih akan bertahan selama beberapa lama.
Bila gejala tidak berkurang, perlu dicurigai adanya infeksi sekunder oleh bakteri
yang menginvasi mukosa saluran nafas yang telah dirusak oleh virus campak.
Penanganan dengan antibiotik diperlukan agar tidak muncul akibat yang fatal.
b) Encephalitis
Komplikasi neurologis tidak jarang terjadi pada infeksi campak. Gejala
encephalitis biasanya timbul pada stadium erupsi dan dalam 8 hari setelah onset
penyakit. Biasanya gejala komplikasi neurologis dari infeksi campak akan timbul
pada stadium prodromal. Tanda dari encephalitis yang dapat muncul adalah :
kejang, letargi, koma, nyeri kepala, kelainan frekuensi nafas, twitching dan
disorientasi. Dugaan penyebab timbulnya komplikasi ini antara lain adalah adanya
proses autoimun maupun akibat virus campak tersebut.
c) Subacute Slcerosing Panencephalitis (SSPE)
Merupakan suatu proses degenerasi susunan syaraf pusat dengan
karakteristik gejala terjadinya deteriorisasi tingkah laku dan intelektual yang
diikuti kejang. Merupakan penyulit campak onset lambat yang rata-rata baru
muncul 7 tahun setelah infeksi campak pertama kali. Insidensi pada anak laki-laki
3x lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan. Terjadi pada 1/25.000
kasus dan menyebabkan kerusakan otak progresif dan fatal. Anak yang belum
mendapat vaksinansi memiliki risiko 10x lebih tinggi untuk terkena SSPE
dibandingkan dengan anak yang telah mendapat vaksinasi (IDAI, 2004).

d) Konjungtivitis
Konjungtivitis terjadi pada hampir semua kasus campak. Dapat terjadi
infeksi sekunder oleh bakteri yang dapat menimbulkan hipopion, pan oftalmitis
dan pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
e) Otitis Media

Gendang telinga biasanya hiperemi pada fase prodromal dan stadium


erupsi.
f) Diare
Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran cerna
sehingga mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai akibat menurunnya daya
tahan penderita campak (Soegeng Soegijanto, 2002).
g) Laringotrakheitis
Penyulit ini sering muncul dan kadang dapat sangat berat sehingga
dibutuhkan tindakan trakeotomi.
h) Jantung
Miokarditis dan perikarditis dapat menjadi penyulit campak. Walaupun
jantung seringkali terpengaruh efek dari infeksi campak, jarang terlihat gejala
kliniknya.
i) Black measles
Merupakan bentuk berat dan sering berakibat fatal dari infeksi campak
yang ditandai dengan ruam kulit konfluen yang bersifat hemoragik. Penderita
menunjukkan gejala encephalitis atau encephalopati dan pneumonia. Terjadi
perdarahan ekstensif dari mulut, hidung dan usus. Dapat pula terjadi koagulasi
intravaskuler diseminata (Cherry, 2004).

Imunitas
Struktur antigenik
Imunoglobulin kelas IgM dan IgG distimulasi oleh infeksi campak.
Kemudian IgM menghilang dengan cepat (kurang dari 9 minggu setelah infeksi)
sedangkan IgG tinggal tak terbatas dan jumlahnya dapat diukur. IgM
menunjukkan baru terkena infeksi atau baru mendapat vaksinasi. IgG menandakan

pernah terkena infeksi. IgA sekretori dapat dideteksi dari sekret nasal dan hanya
dapat dihasilkan oleh vaksinasi campak hidup yang dilemahkan, sedangkan
vaksinasi campak dari virus yang dimatikan tidak akan menghasilkan IgA
sekretori (Soegeng Soegijanto, 2002).
Imunitas transplasental
Bayi menerima kekebalan transplasental dari ibu yang pernah terkena
campak. Antibodi akan terbentuk lengkap saat bayi berusia 4 6 bulan dan
kadarnya akan menurun dalam jangka waktu yang bervariasi. Level antibodi
maternal tidak dapat terdeteksi pada bayi usia 9 bulan, namun antibodi tersebut
masih tetap ada. Janin dalam kandungan ibu yang sedang menderita campak tidak
akan mendapat kekebalan maternal dan justru akan tertular baik selama kehamilan
maupun sesudah kelahiran (Phillips, 1983).
Imunisasi
Imunisasi campak terdiri dari Imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif
dapat berasal dari virus hidup yang dilemahkan maupun virus yang dimatikan.
Vaksin dari virus yang dilemahkan akan memberi proteksi dalam jangka waktu
yang lama dan protektif meskipun antibodi yang terbentuk hanya 20% dari
antibodi yang terbentuk karena infeksi alamiah. Pemberian secara sub kutan
dengan dosis 0,5ml. Vaksin tersebut sensitif terhadap cahaya dan panas, juga
harus disimpan pada suhu 4C, sehingga harus digunakan secepatnya bila telah
dikeluarkan dari lemari pendingin.
Vaksin dari virus yang dimatikan tidak dianjurkan dan saat ini tidak
digunakan lagi. Respon antibodi yang terbentuk buruk, tidak tahan lama dan tidak
dapat merangsang pengeluaran IgA sekretori.
Indikasi kontra pemberian imunisasi campak berlaku bagi mereka yang
sedang menderita demam tinggi, sedang mendapat terapi imunosupresi, hamil,
memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau
bahan-bahan berasal dari darah (Soegeng Soegijanto, 2001).

10

Imunisasi pasif digunakan untuk pencegahan dan meringankan morbili.


Dosis serum dewasa 0,25 ml/kgBB yang diberikan maksimal 5 hari setelah
terinfeksi, tetapi semakin cepat semakin baik. Bila diberikan pada hari ke 9 atau
10 hanya akan sedikit mengurangi gejala dan demam dapat muncul meskipun
tidak terlalu berat.
Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat suportif dan simptomatis, terdiri dari istirahat,
pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan bila terjadi
infeksi sekunder, anti konvulsi apabila terjadi kejang, antipiretik bila demam, dan
vitamin A 100.000 Unit untuk anak usia 6 bulan hingga 1 tahun dan 200.000 Unit
untuk anak usia >1 tahun. Vitamin A diberikan untuk membantu pertumbuhan
epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan morbiditas campak juga berguna
untuk meningkatkan titer IgG dan jumlah limfosit total (Cherry, 2004).
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5C), dehidrasi, kejang,
asupan oral sulit atau adanya penyulit. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan
dengan penyulit yang timbul (IDAI, 2004).
Pencegahan
Pencegahan terutama dengan melakukan imunisasi campak. Imunisasi
Campak di Indonesia termasuk Imunisasi dasar yang wajib diberikan terhadap
anak usia 9 bulan dengan ulangan saat anak berusia 6 tahun dan termasuk ke
dalam program pengembangan imunisasi (PPI). Imunisasi campak dapat pula
diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR) pada usia 12-15 bulan. Anak yang
telah mendapat MMR tidak perlu mendapat imunisasi campak ulangan pada usia
6 tahun. Pencegahan dengan cara isolasi penderita kurang bermakna karena
transmisi telah terjadi sebelum penyakit disadari dan didiagnosis sebagai campak
(IDAI, 2004).
Prognosis

11

Campak merupakan penyakit self limiting sehingga bila tanpa disertai


dengan penyulit maka prognosisnya baik (Rampengan, 1997).

KESIMPULAN
Kesimpulan
Campak ialah penyakit infeksi virus akut, menular, secara epidemiologi
penyebab utama kematian terbesar pada anak. Menurut etiologinya campak

12

disebabkan oleh virus RNA dari famili paramixoviridae, genus Morbillivirus,


yang ditularkan secara droplet. Gejala klinis campak terdiri dari 3 stadium, yaitu
stadium kataral, stadium erupsi dan stadium konvalesensi. Campak dapat dicegah
dengan melakukan imunisasi secara aktif, pasif dan isolasi penderita.
Saran
Pada anak-anak disarankan untuk dilakukan pemberian vaksin campak.
Biasanya vaksin ini diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan
campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada paha
atau lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin deiberikan pada umur 9
bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis
kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. Selain itu penderita juga harus disarankan
untuk istirahat minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan
tubuh meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Tumbelaka. 2002. Pendekatan Diagnostik Penyakit Eksantema
Akut dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 113

13

Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan
(eds) Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3. Philadelphia.
Saunders. p.2283 2298
Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson
Textbook of Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders. p.743
Soegeng Soegijanto. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk.
(ed) Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Hal. 105
Soegeng Soegijanto. 2002. Campak. dalam: Sumarmo S. Poorwo
Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis.
Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 125
T.H. Rampengan, I.R. Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 90

14

You might also like